BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari orang Islam tidak akan menghayati dan mengamalkan ajaran Islam, jika ajaran tersebut hanya diajarkan saja. Oleh sebab
itu, ajaran Islam harus dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah mengajak umatnya untuk beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam
dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi, kita melihat bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada kebaikan sikap mental yang
akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Dari segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja,
tetapi juga besifat praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal sholeh. Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah pendidikan iman sekaligus
pendidikan amal. Karena ajaran Islam banyak berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi dan masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan
bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.
Definisi di atas berkaitan dengan masalah pendidikan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 dijelaskan
bahwa: “Pendidikan Nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan budi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan pendidikan Nasional di atas selaras dengan tujuan pendidikan Islam
tarbiyatul Islam, yaitu mewujudkan kepribadian secara keseluruhan yang membuatnya menjadi “Insan Kamil” dengan pola taqwa. Insan Kamil artinya
manusia utuh jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang secara wajar serta normal karena ketaqwaan kepada Allah sehingga mampu berakhlak seperti akhlak
Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu berguna bagi dirinya
dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan, mengembangkan ajaran Islam dalam hubungannya dengan Allah dan sesamanya, dapat mengambil
manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup dunia kini dan akhirat nanti. Dengan demikian secara esensial tujuan pendidikan
Islam telah tertanam dalam tujuan pendidikan nasional. Dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan Islam tersebut dapat berlangsung
melalui sekolah maupun luar sekolah. Pendidikan luar sekolah salah satu di antaranya adalah Pondok Pesantren. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam
yang menegakkan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Tujuannya tidak muluk, cukup sederhana dan hanya satu, yaitu
menciptakan manusia yang baik al-Akhlaqul al-Karimah, guna menata dan membangun karakter bangsa.
Peran pesantren sebagai lembaga komunitas sosial dan lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air telah
banyak memberikan konstribusi pembentukan manusia Indonesia yang religius. Hal ini telah teruji dan mampu bertahan mengangkat pesantren menjadi sebuah
bengkel moral spiritual dan pusat pengkajian dan pengembangan intelektualitas Islam klasik. Eksistensi pesantren ini memberikan pengaruh yang sangat
signifikan dalam proses persiapan bangsa yang beradab. Terlebih dalam konteks masa kini, di mana begitu banyak fenomena moralitas
yang memprihatinkan. Di hadapan mata kita terpampang realitas yang sering tidak masuk akal. Akhlak mulia dan budi pekerti luhur, baik pada tingkat individual
maupun sosial seolah-olah tenggelam. Berbagai kemerosotan akhlak terpampang jelas dipertontonkan, misalnya; terjadi konflik tingkat masyarakat bawah yang
berkepanjangan dan seakan sulit sekali untuk rukun kembali, meningkatnya kebiasaan main hakim sendiri terhadap orang yang dicurigai, dan menghukumnya
melampaui hukuman yang semestinya. Di pihak lain terlihat generasi muda mengkonsumsi minuman keras, NAZA narkotika dan zat adiktif, banyaknya
kasus bentrokan dan pelajar, siswa baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, sehingga proses belajar mengajar menjadi terganggu bahkan
mengganggu masyarakat juga. Yang tak jarang membawa korban maraknya
perilaku asusila di kalangan siswa sekolah yang tak jarang mengakibatkan kehamilan, seperti dikutip dalam Koran Tempo edisi Kamis, 19 April 2007
halaman A8, di situ dikabarkan ada 8 siswa SMA Efate Soe, kabupaten Timor Tengah, NTT yang gagal mengikuti ujian akhir Nasional bahkan di keluarkan dari
sekolah droup out karena pergaulan bebas sesama siswa yang kemungkinan mereka lakukan sepulang sekolah.
Di tengah masyarakat tampak meningkat gangguan keamanan berupa perampokan, pencurian, sehingga timbul keresahan dan suasana tidak tenteram.
Semakin banyak tindakan kekerasan terhadap kaum wanita dan orang lemah lainnya yang tak mampu melawan kejahatan, kian banyaknya kalangan yang
mengambil peluang dan kesempatan melakukan tindakan KKN. semakin merajalelanya kebiasaandan kegemaran memfitnah, menggunjing dan menghujat,
berselisih, bertengkar, saling mengolok, mengejek. Semua itu seolah-olah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat kita atau menjadi sebuah
kebiasaan. Ketika melihat persoalan dan moralitas di atas, banyak orang yang
menyalahkan kepada lembaga pendidikan. Tentu saja asumsi seperti itu tidak seutuhnya salah, krena problem moralitas adalah problem yang kompleks, di
mana banyak faktor yang turut terlibat di dalamnya, seperti masalah ekonomi, keadilan, sosial, budaya, suku, agama dan lain-lain. Namun demikian, agama dan
pendidikan sebagai sumber moral, memiliki beban lebih disbanding dengan faktor-faktor lainnya.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan akhlak dapat digunakan sebagai alternative pembanding, karena pendidikan dan pengajaran di pesantren,
banyak yang mengarahkan pada pencapaian Akhlaqul Karimah. Dengan demikian, yang menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan di pesantren di
samping pandai dengan ilmu agama, juga terletak pada akhlaknya. Adapun keberhasilan pendidikan akhlak di pesantren dapat dilihat dari akhlak
santri dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar pesantren yang pola kehidupannya senantiasa dilandasi dengan nilai-nilai
agama. Hal ini terjadi karena control moral di pesantren berjalan dengan sangat
ketat. Dengan mengikuti program kepesantrenan diharapkan santri berakhlak mulia sesuai dengan yang disyari’atkan Islam.
Berdasarkan studi pendahuluam yang dilakukan penulis di Pesantren al-Matiin Ciputat, dapat diperoleh informasi bahwa perilaku para santri menunjukkan
perilaku yang Islami. Hal ini terlihat pada saat santri melaksanakan program kepesantrenan, di mana santri melaksanakannya dengan penuh disiplin sesuai
dengan jadwal kegiatan yang sudah ditetapkan. Adanya kesesuaian perilaku santri dengan moral keagamaan ini menarik sekali untuk diteliti. Hal inilah yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian di Pesantren al-Matiin dengan mengajukan pokok bahasan “PENDIDIKAN AKHLAK DI PESANTREN AL-
MATIIN KP.SAWAH CIPUTAT”
B. Identifikasi Masalah