30 akuntansi sehingga tujuan manajemen dapat dicapai. Dari definisi tersebut,
terdapat dua sudut pandang dalam earning management, yaitu: a. Earning management dipandang sebagai perilaku oportunistik manajer
untuk memaksimumkan utilitasnya dengan maksimisasi kompensasi, kontrak utang dan biaya politik.
b. Earning management dipandang sebagai efficient contracting, dimana manajemen laba memberi manajer fleksibilitas untuk melindungi
perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak terduga dan untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Hal ini sesuai dengan pendapat Healy dan Wahlen 1999 dalam Fivi dan Ira 2008:27, earning management terjadi ketika manajemen
menggunakan judgement dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan
stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan.
a. Faktor-faktor pendorong Earning Management
Dalam positive accounting theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya earning management Watt dan
Zimmerman, 1986 dalam Fivi dan Ira, 2008:27, yaitu: 1 Bonus Plan Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer yang menggunakan bonus plan
akan cenderung untuk menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba yang dilaporkan pada
periode berjalan, untuk memaksimalkan bonus yang akan mereka
31 peroleh karena seberapa besar tingkat laba yang dihasilkan
seringkali dijadikan dasar dalam mengukur keberhasilan kinerja. Dengan demikian, diperkirakan bahwa manajer dari perusahaan
dengan kebijakan bonus plan, akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang akan meningkatkan laba tahun berjalan.
2 Debt Covenant Hypothesis Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran kredit
cenderung memilih metoda akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam
pandangan pihak eksternal. 3 Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metoda akuntansi yang menurunkan
laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya mengenakan peraturan
antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
Fleksibilitas dalam Standar Akuntansi Keuangan, menyebabkan manajemen dapat melakukan tindakan manajemen laba, dengan memilih
kebijakan akuntansi yang dapat menguntungkannya. Penentuan nilai persediaan, pengakuan pendapatan peranti lunak dan umur amortisasi
goodwill merupakan beberapa contoh dari banyak pilihan kebijakan
akuntansi dan
pilihan keputusan
estimasi yang
memberi fleksibilitaskeleluasaan bagi perusahaan dalam mencatat transaksi dan
32 dalam penyusunan laporan keuangan. Adanya fleksibilitas ini membuat
manajemen bisa “kreatif” dalam penyusunan laporan keuangan dan memainkan angka-angka keuangan Mulford dan Comiskey, 2010:33.
Dasar akrual disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan, karena lebih rasionalwajar dibandingkan dasar kastunai. Akrual adalah
pengaruh dari suatu kejadian usaha langsung diamati pada saat terjadinya. Jika suatu usaha memberikan suatu jasa, melakukan penjualan atau
menyelesaikan suatu beban, transaksi tersebut akan dicatat di dalam buku tanpa memperhatikan apakah kas sudah dikeluarkan atau belum
Secokosumo et al., 1993 dalam Fivi dan Ira, 2008:28. Sedangkan menurut Weygant 1995 dalam Fivi dan Ira 2008:28 akrual adalah
mengakui dampak transaksi terhadap laporan keuangan dalam periode waktu ketika pendapatan dan beban terjadi, oleh sebab itu, pendapatan
diakui pada waktu dihasilkan dan beban pada waktu terjadi, tidak perlu waktu kas berpindah tangan.
Pada dasarnya, akrual itu penting untuk menghasilkan laporan keuangan yang sahih. Tetapi bisa jadi sebagian dari akrual yang disajikan
dalam laporan keuangan perusahaan bukan akrual yang menjadikan laporan keuangan sahih tetapi akrual yang digunakan oleh manajer untuk
mempengaruhi keputusan stakeholder. Oleh karena itu, akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian akrual yang memang
sewajarnya ada
dalam proses
penyusunan laporan
keuangan nondiscretionary accrual
dan bagian yang merupakan hasil rekayasa
33 discretionary accrual
Fivi dan Ira, 2008:29. Discretionary accrual memberikan manajer fleksibilitas untuk menentukan besarnya transaksi
akrual, seperti penentuan pencadangan piutang tak tertagih, biaya garansi, nilai persediaan, dan penentuan saat serta jumlah extraordinary items.
Sehingga discretionary accrual ini seringkali digunakan sebagai proksi dilakukannya manajemen laba. Sementara itu, nondiscretionary accrual
meliputi pemilihan metode akuntansi akrual oleh manajer yang diharapkan akan digunakan secara konsisten dalam menyajikan laporan keuangan.
Contohnya adalah pemilihan metode depresiasi dan kebijakan akuntansi untuk pengakuan pendapatan.
Skandal akuntansi, seringkali diawali dengan tindakan manajemen laba. Seperti kasus skandal pelaporan akuntansi Enron, Merck, World Com
dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat Cornett et al., 2006 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007:2. Fenomena kecurangan laporan
keuangan dan manajemen laba di Indonesia, terjadi pada kasus PT Kimia Farma Tbk., dan PT Lippo Tbk., pada tahun 2002 mengindikasikan adanya
praktik manajemen laba yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi laba. PT Kimia Farma Tbk., pada tahun 2002 mengindikasikan adanya
praktik manajemen laba dengan menaikkan laba hingga Rp 32,7 miliar. Manajemen laba tersebut diduga terkait dengan keinginan manajemen
lama untuk dipilih kembali oleh pemerintah guna mengelola perusahaan farmasi tersebut. PT Indofarma pada tahun 2004 melakukan praktik
manajemen laba dengan menyajikan overstated lebih saji laba bersih
34 senilai Rp 28,870 miliar, sebagai dampak dari penilaian persediaan barang
dalam proses yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga pokok penjualan tahun tersebut understated kurang saji. Targetnya
adalah menaikkan laba Bapepam, 2004 dalam Avianti, 2006:829. Berbagai fakta dan teori yang telah diuraikan di atas
mengindikasikan bahwa terdapat hubungan erat antara earning management
dan financial statement fraud. Pernyataan tersebut diperkuat kembali oleh Rezaee 2002:7 yang menyatakan bahwa:
“suatu financial statement fraud sering diawali dengan salah saji atau manajemen laba dari laporan keuangan kuartal yang dianggap tidak
material tetapi akhirnya berkembang menjadi fraud secara besar-besaran dan menghasilkan laporan keuangan tahunan yang menyesatkan secara
material”. Berdasarkan uraian di atas, sangat relevan bila penelitian untuk
mendeteksi financial statement fraud diproksikan dengan earning management
yang dilakukan perusahaan. Hal ini diperkuat oleh Hogan et al
., 2008:17 manajemen laba terjadi dimana manajemen memiliki pilihan kebijakan discretionary dengan tingkat akrual yang signifikan dan tidak
biasa sebagai area dengan risiko tinggi. Area dengan risiko tinggi ini, apabila ditambah prosedur audit spesifik akan meningkatkan pendeteksian
kecurangan. Penelitian lainnya yang mendukung penggunaan earning management
sebagai proksi dari pendeteksian kecurangan laporan keuangan dilakukan oleh Jones et al., 2007. Penelitian ini menguji
apakah ukuran-ukuran discretionary accrual berhubungan dengan keberadaan kecurangan. Hasilnya, discretionary accrual memiliki
35 probabilitas tertinggi dalam hal hubungan dengan kecurangan fraud
Jones et al., 2007:21.
6. Leverage