Nafkah Isteri Setelah Perceraian
Isteri dalam masa iddah raj’i, para ulama telah sepakat bahwa isteri yang
sedang menjalani iddah raj’i berhak menerima nafkah lahir sepenuhnyta dari
suaminya. Suami berkewajiban menjamin tempat tinggal, nafkah, pakaian dan kesehatan. Sedangkan isteri yang seda
ng hamil dalam masa iddah ba’in, ulama telah sepakat bahwa isteri seperti itu berhak mendapat nafkah, tempat tinggal dan
pakaian. Adapun iddah ba’in karena suami wafat, meskipun isteri itu sedang hamil namun tidak mendapatkan nafkah, karena yang harus membiayai nafkah
tersebut sudah tidak ada lagi. 2. Isteri yang sedang beriddah dan tidak mendapatkan nafkah:
Isteri yang beriddah wafat suaminya, karena yang berkewajiban memberi nafkah adalah suaminya dan ia telah meninggal. Kemudian isteri yang akad
perkawinannya batal dan perempuan itu sudah dicampuri atau menjadi watak syubhat, karena perkawinan dengan akad fasid tidak wajib nafkah, maka
demikian pula dalam masa iddahnya. Perceraian yang terjadi karena fasakh, yaitu karena kesalahan isteri, seperti isteri berbuat maksiat, maka maksiatnya itulah
yang mencegah isteri tersebut mendapat nafkah iddahnya. Kita ketahui bahwa tidak jarang ketika setelah perceraian, seorang suami
salah memperlakukan isterinya dan menyengserakan hidup isterinya selama masa iddah berlangsung. Hal ini merupakan sikap keliru, karena suami pada masa
tersebut tetap harus menafkahi isterinya selama masa iddah berlangsung. Perceraian yang dimaksud disini ialah perceraian talak raj’i, karena dalam
keadaan ini suami masih memiliki kesempatan untuk ruju’ kepada isterinya.
47
Meskipun ruju’ tidak dilakukan oleh suami, namun perceraian harus dilakukan secara terhormat, agar kedua belah pihak tidak memiliki dendam, sehingga tidak
berimbas buruk kepada anak-anak mereka. Tanggung jawab suami tidak hanya ketika seorang wanita itu masih
menjadi isterinya yang sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga pada saat perceraian, Karena hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah
habis masa iddahnya. Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Baqarah ayat 233:
48
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara maruf.
Mengenai kewajiban suami untuk tetap memberi nafkah setelah
nmenceraikan isterinya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 149, yang berisi sebagai berikut.
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a.
Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang ataupun benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.
47
Abdur Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum- Hukum Islam Syari’ah, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, h. 124.
48
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cet-1, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, h. 83.
b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam
iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al
dukhul. d.
Memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
49
Para ulama sependapat bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah setelah terjadi ta
lak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, demikian juga wanita yang ditalak ba’in dalam keadaan hamil.
50
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talak ayat 6:
Artinya: “Dan jika mereka isteri-isteri yang sudah ditalaq itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”. Adapun dalam talak ba’in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak
nafkah jika isteri dalam keadaan tidak hamil: Menurut Imam Malik bin Anas
dan Imam Syafi’I, mantan isteri tersebut berhak mendapat nafkah, kecuali kalau hamil. Menurut Imam Abu Hanifah,
mantan isteri tersebut berhak atas nafkah dan tempat tinggal, seperti perempuan
49
Tim Citra Umbara, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2010, h. 281.
50
Mahmud Syaltut, Fikih Tujuh Mazhab, penerjemah Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, h. 223.
yang ditalak ra j’i. Karena ia wajib menghabiskan masa iddah dirumah suaminya.
Sedangkan di rumah ini dia terkurung, karena suamimasih ada hak kepdanya. Nafkahnya ini dianggap sebgai hutang yang resmi sejak hari jatuhnya talak,
tanpa bergantung kepada adanya persepakatan atau tidak adanya putusan pengadilan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, mantan isteri tersebut tidak
berhak atas nafkah dan tempat tinggal, sebab nafkah hanya diberikan kepada perempuan yang suaminya mempunyai hak rujuk.
51
Adapun dalam pemberian nafkah iddah, Muhammad Jawad Mughniyah mendefinisikan sebagaimana yang ada dalam beberapa mazhab, diantaranya
yaitu sebagai berikut: 1. Untuk isteri yang masih kecil.
Isteri yang masih kecil belum dapat digauli dan terjadi perceraian, maka menurut mazhab yang ada
Hanafi, Hambali, Syafi’i mantan isterinya tidak berhak mendapat nafkah suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah,
kecuali mazhab Hanafi yang mengadakan klasifikasi lebih lanjut. a.
Kecil dalam arti tidak dapat dimanfaatkan, baik untuk melayani suami, maupun bermesraan,
dan jika
terjadi perceraian
suami tidak
berkewajiban memberikannya nafkah.
b. Kecil, tetapi bisa digauli, maka jika terjadi perceraian suaminya berkeajiban
memberikan nafkah, kecuali terjadi cerai li’an.
51
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jillid 8, h. 172.
c. Kecil dalam arti bisa diajak bermesraan, tetapi tidak bisa digauli, maka jika
terjadi perceraian suami tidak berkewajiban memberikan nafkah. 2. Untuk Suami yang masih kecil.
Dalam hal ini kebalikan dari kondisi di atas, jika terjadi perceraian, maka menurut mazhab
Hanafi, Syafi’i dan Hambali pemberian nafkah wajib hukumnya bagi suami tersebut. Sedangkan mazhab maliki, berpendapat tidak berkewajiban
bagi suami untuk memberikan nafkah. 3. Jika isteri sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya.
Pada kondisi di atas, jika terjadi perceraian menurut mazhab yang ada Hanafi, Syafi’i, Hambali kewajiban suami untuk memberikan nafkah tidak
gugur, kecuali mazhab Maliki yang menyatakan gugur. 4. Apabila isteri murtad.
Isteri yang semula muslimah, kemudian menjadi murtad dan terjadi perceraian, maka tidak ada kewajiban suami untuk memberikan nafkah.
5. Isteri yang Nusyuz. Isteri yang nusyuz atau durhaka, dan jika terjadi perceraian, maka suami
tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah. 6. Talak Li’an.
Talak li’an atau bersumpah untuk tidak akan kawin lagi, maka pihak suami tidak berkewajiban dalam memberikan nafkah.
52
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 403-404.
Para fuqaha berbeda pendapat dalam pemberian nafkah mut’ah bagi mantan isteri, ada fuqaha yang berpendapat bahwa nafkah mut’ah itu wajib
diberikan kepada isteri yang diceraikannya, apabila suami telah sempat berhubungan dengannya, baik maharnya telah ditentukan atau belum, dan juga
terhadap isteri yang telah diceraikannya sebelum sempat dicampurinya apabila maharnya telah ditentukan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-
Baqarah 2 ayat 241. Persoalan mut’ah juga dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam antara lain pasal 158, yang menyatakan Mut’ah wajib diberikan oleh
mantan suamiu dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi isteri bada dukhul dan perceraian itu atas kehendak suami.
53
Tujuan pemberian mut’ah seorang suami terhadap isteri yang telah diceraikannya adalah dengan adanya pemberian tersebut diharapkan dapat
menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut, dan juga untuk membersihkan
hati kaum wanita dan menghilangkan kekhawatiran terhadap penghinaan kaum pria terhadapnya.
54
53
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakara: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 328.
54
Maulana Rasyid Ridha, Penerjemah Afif Muhammad, Panggilan Islam Terhadap Wanita, Cet- 1, Bandung: al-Bayan, 1986, h. 159.