Profil Pengadilan Agama Cikarang
Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perasilan yang ada
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh
Mahkamah Konstitusi.” Dengan amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang Kekuasaan
Kehakiman pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyesuaian tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Berdasarkan pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan mengenai
organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud ayat 1 untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang
sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing- masing.” Dengan
demikian berdasarkan pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan peradilan satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan
peradilan satu atap. Sebagai realisasi dari pasal tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pengadilan Agama Cikarang selanjutnya disebut PA Cikarang dibentuk
oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama Cikarang secara historis pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan Agama lainnya yang ada di
wilayah negara RI. Fase sebelum kemerdekaan dimana Indonesia mengalami beberapa kali masa penjajahan oleh bangsa lain seperti Belanda, Jepang, dan
lain-lain mewarnai tumbuh kembang dan terbentuknya institusi Peradilan Agama di Indonesia.
Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia. Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili perkara-
perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dengan perkataan lain, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata Islam
tertentu saja dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama dapat disebut sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang
pelaksanaannya secara limitatif telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.
59
Oleh karena Peradilan Agama itu merupakan peradilan khusus, maka cakupan wewenangnya meliputi perkara-perkara tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu. Perkara tertentu itu adalah perkara perdata di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum Islam. Adapun
golongan rakyat tertentu itu adalah orang-orang yang beragama Islam.
59
Roihan A. Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, h. 6.
Kekhususan itu meliputi unsur perkara perdata tertentu, hukum Islam dan orang Islam.
60
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal
maka keberadaan Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan dan kekuasaan wewenang masih beragam dan hukum acara yang dipergunakan
adalah HIR serta peraturan-peraturan yang diambil dari hukum acara Peradilan Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah dikeluarkan Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur: susunan, kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini kemudian
mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan di
lapangan praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
61
Pengadilan Agama Cikarang mempunyai dasar-dasar hukum yang sudah di atur di dalam :
1. UUD 1945 Pasal 24. 2. UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. UU No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. 4. UU No.3 tahun 2006 tentang Amandemen UU No.7 tahun 2006.
60
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000, h. 160.
61
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, h. 2.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan: Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3 Undang-Undang Peradilan Agama
tersebut menyatakan : 1.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh: a.
Pengadilan Agama. b.
Pengadilan Tinggi Agama. 2.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.