Dasar Hukum Memberi Nafkah
Kewajiban memberi nafkah kepada isteri merupakan kewajiban agama. Hal ini dikuatkan dengan dalil Al-
Qur’an dan al- Hadits sehingga tidak ada alasan bagi suami untuk menghindar dari kewajibannya. Kewajiban tersebut
berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nissa 4: 34:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan Karena mereka laki-laki Telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara
mereka. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” Q.S. Al-Baqarah ayat 228:
Artinya: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang maruf” Q.S. Al-Baqarah ayat 233:
Artinya
: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya .”
Menurut Muhammad Ali As-Sayis maksud pemberian dengan cara ma’ruf ialah pemberian menurut ukuran keadaan suami, bukan berdasar pada
keadaan isteri, namun hal tersebut tentu disesuaikan dengan besarnya kebutuhan hidup yang wajar bagi isteri.
32
Dalil-dalil tersebut diatas merupakan dasar kewajiban nafkah secara lahiriyah materi yang harus diberikan oleh seorang suami atau ayah untuk
keluarganya istri dan anak dengan cara yang ma’ruf sesuai dengan kadar
kemampuan yang dimilikinya. Kemudian sehubungan dengan nafkah secara bathiniyah dapat diambil dari dalil sebagai berikut:
... ...
... ...
Artinya: ”... ... dan bergaullah dengan mereka secara patut ... ... Q.S Al
Nisaa’: 19
Mengenai lafadz “Asyara” dalam bahasa arab adalah sempurna dan optimal.
33
Dan juga akar kata Asyara yaitu ’isyrah’ ةرشعلا
adalah berkumpul atau bercampur.
34
Maka berkumpul disini adalah apa yang seharusnya ada pada suami istri seperti rasa saling terikat dan bertautan. Karena dalam syariat islam antara
suami istri diwajibkan untuk bergaul dengan sebaik-baiknya, tidak diperbolehkan menunda hak dan kewajiban, dan juga tidak boleh saling membenci apalagi
bersikap saling menyakiti sebagaimana dalam ayat tersebut. Oleh sebab itu dalam
32
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Cet. 32, Bandung: Sinar Baru, 1998, h. 390
33
Syeikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2007. h. 327.
34
Saleh Al Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006. h. 682.
memaknai lafadz tersebut Al Qusairi menyatakan dalam tafsirnya yaitu maksudnya mempergauli istri dengan ilmu-ilmu agama dan tata cara atau adab
serta akhlaq yang baik. Dibawah ini merupakan ayat Al-
Qur’an yang berkaitan dengan pemberian nafkah bagi mantan isteri setelah perceraian, Allah SWT berfirman dalam Q.S.
al-Azhab ayat 49:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya.” Ayat tersebut mewajibkan pemberian nafkah terhadap setiap wanita yang
diceraikan, tidak membatasi masa pemberian nafkah bagi mantan isteri yang diceraikan, demikian juga tidak disebutkan berapa besar nafkah dan jangka
waktu pemberiannya.
35
Q.S. Al-Baqarah ayat 241:
35
M. Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam al-Quran, penerjemah: Saleh Mahfoed, Cet- 1, Bandung: al-
Ma’rif, 1994, h. 501.
Artinya : “Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh
suaminya mutah menurut yang maruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang- orang yang bertakwa.”
Dalam hal ini nafkah mut’ah juga diartikan sebagai penghibur, nafkah
sesuai dengan kemampuannya. Inti dari ayat tersebut merupakan perwujudan mendapatkan persesuaian kepada hukum Islam dalam hal ini nafkah setelah
nafkah iddah habis. Mut’ah juga berarti sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu beberapa manfaat atau kesenangan.
36
Kewajiban suami terhadap nafkah juga terdapat dalam beberapa hadits Nabi diantaranya adalah:
37
Artinya: “Dari Aisyah r.a. Hindun istri Abu Sofyan berkata pada
Rosulullah, Ya Rosulallah sesungguhnya Abu Sofyan adalah lelaki yang amat bakhil, tidak memberiku nafkah yang bisa mencukupiku dan anakku kecuali apa
yang kuambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah hal ini dosa bagiku? Rosulullah menjawab ambillah hartanya dengan baik dan mencukupi dirimu dan
anakmu dengan cara yang baik.” HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
dan Nasai’
36
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,1992, h. 707.
37
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bari, Beirut: al-Maktabah al-Salafiyyah, 1470H, cet-III, Juz IX, h. 419-420.
Hadis ini menunjukkan kewajiban suami memberi nafkah kepada isterinya dan anak-anaknya. Menurut zhahirnya, sekalipun anak sudah besar.
Hadis ini juga mengandung dalil bahwa yang wajib itu adalah mencukupi nafkah itu tanpa kikir.
38
Menurut hukum positif di Indonesia kewajiban memberi nafkah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 terdapat pada pasal 34 ayat
1 yang berbunyi: Suami wajib melindungi isterinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
39
Sementara nafkah setelah perceraian terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
pada pasal 41 huruf c, yaitu: Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi bekas isteri.
40
Adapun bahwa nafkah merupakan kewajiban suami ditegaskan dalam pasal 80 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam yaitu, sesuai dengan penghasilannya
suami menanggung: 1.
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. 2.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
38
Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulussalam, Surabaya: al-ikhlas, 1995, Cet ke- 1, h. 790.
39
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 34.
40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 41 huruf c.
3. Biaya pendidikan bagi anak.
41
Berdasarkan dalil-dalil diatas dapat disimpulkan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada istrinya dengan jumlah yang disesuaikan dengan kadar
kemampuannya. Jika suami memenuhi kewajibannya, maka istri wajib taat kepada suami. Namun jika istri telah melaksanakan kewajiban, tapi suami tetap
tidak mau memberikan haknya, dalam hukum perdata, istri dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.