Begitu pula istri yang tidak mau menyerahkan diri kepada suaminya, atau suami tidak dapat menikmati dirinya, atau istri enggan pindah ketempat yang
dikendaki suami, maka dalam hal ini tidak ada kewajiban nafkah oleh suami atas isterinya. Sebab penahanan yang dimaksud sebagai dasar wajibnya nafkah tidak
terwujud.
43
Imam Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa syarat atau sebab diwajibkannya pemberian nafkah adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan perkawinan
2. Adanya hubungan kerabat
3. Adanya kepemilikan.
44
Dalam hal ini semua ahli fiqih sependapat bahwa makanan, pakaian, dan tempat tinggal itu merupakan hak istri yang wajib dibayar oleh suaminya. Hak
istri terhadap nafkah itu tetap berlaku, apakah ia kaya atau miskin, selama ia masih terikat dengan kewajiban-kewajiban terhadap suaminya. Berdasarkan
keterangan isteri berhak menerima nafkah dari suaminya apabila: 1.
Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad nikah mereka masih diragukan keabsahannya, maka istri belum berhak menerima nafkah dari
suaminya. 2.
Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami-istri dengan suaminya.
43
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, Bandung: PT. Al Maarif, 1981, h. 149.
44
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Fiqh „ ala Madzhab al-Arba’ah, Juz 4, Beirut: t. tp., 1969, h.
553.
3. Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak suami.
45
Menurut Sayyid Sabiq, untuk mendapatkan nafkah dari suami, istri harus memenuhi beberapa syarat. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka ia
tidak wajib diberi nafkah. Syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Adanya ikatan perkawinan yang sah 2.
Menyerahkan dirinya kepada suami 3.
Suami dapat menikmati dirinya 4.
Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki suami 5.
Keduanya saling dapat menikmati.
D. Nafkah Isteri Setelah Perceraian
Tanggung jawab suami terhadap nafkah tidak hanya berlaku ketika ia sah menjadi suami dari seorang isteri, tetapi setelah terjadinya perceraian pun suami
masih tetap bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya dalam hal nafkah.
Dalam pemberian nafkah, tidak semua isteri yang sedang menjalani masa iddah berhak mendapatkan nafkah. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam
isteri yang berhak mendapatkan nafkah dan yang tidak berhak mendapatkan nafkah.
46
1. Isteri yang berhak mendapatkan nafkah iddah, adalah:
45
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1984 1985, h. 184.
46
Puenoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus- Sunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1998, Cet. I, h. 369.
Isteri dalam masa iddah raj’i, para ulama telah sepakat bahwa isteri yang
sedang menjalani iddah raj’i berhak menerima nafkah lahir sepenuhnyta dari
suaminya. Suami berkewajiban menjamin tempat tinggal, nafkah, pakaian dan kesehatan. Sedangkan isteri yang seda
ng hamil dalam masa iddah ba’in, ulama telah sepakat bahwa isteri seperti itu berhak mendapat nafkah, tempat tinggal dan
pakaian. Adapun iddah ba’in karena suami wafat, meskipun isteri itu sedang hamil namun tidak mendapatkan nafkah, karena yang harus membiayai nafkah
tersebut sudah tidak ada lagi. 2. Isteri yang sedang beriddah dan tidak mendapatkan nafkah:
Isteri yang beriddah wafat suaminya, karena yang berkewajiban memberi nafkah adalah suaminya dan ia telah meninggal. Kemudian isteri yang akad
perkawinannya batal dan perempuan itu sudah dicampuri atau menjadi watak syubhat, karena perkawinan dengan akad fasid tidak wajib nafkah, maka
demikian pula dalam masa iddahnya. Perceraian yang terjadi karena fasakh, yaitu karena kesalahan isteri, seperti isteri berbuat maksiat, maka maksiatnya itulah
yang mencegah isteri tersebut mendapat nafkah iddahnya. Kita ketahui bahwa tidak jarang ketika setelah perceraian, seorang suami
salah memperlakukan isterinya dan menyengserakan hidup isterinya selama masa iddah berlangsung. Hal ini merupakan sikap keliru, karena suami pada masa
tersebut tetap harus menafkahi isterinya selama masa iddah berlangsung. Perceraian yang dimaksud disini ialah perceraian talak raj’i, karena dalam