Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah dan rahmah.
Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, adalah membentuk keluarga bahagia dan
kekal, masing-masing suami istri saling membantu dan melengkapi agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spritual dan material.
3
Memang tujuan perkawinan sering tidak tercapai secara utuh, hal tersebut dapat dilihat beberapa peristiwa yang terjadi dalam perkawinan, yaitu
suami atau
istri tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban,
sehingga menimbulkan percekcokan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Percekcokan
dan pertengkaran antara suami istri yang tidak dapat didamaikan biasanya akan berakhir dengan jalan perceraian.
Tentu tidak bisa dikatakan salah satu tujuan pokok dalam hubungan keluarga itu adalah ketenangan, ketentraman, dan komunitas keberlangsungan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri jika dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan
perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
3
A. Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, cet. IV, h. 268.
melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah sebagai suatu jalan keluar yang baik.
Seandainya terjadi perceraian maka bukan berarti persoalan-persoalan rumah tangga akan berakhir begitu saja, justru dengan adanya perceraian maka
akan timbul berbagai masalah yang akan diselesaikan oleh suami istri, selain permasalahan hak asuh anak, nafkah anak, harta bersama, juga akan yang tak
kalah rumitnya adalah permasalahan nafkah istri dalam masa iddah beserta pengurusannya.
Menurut hukum perkawinan di Indonesia, Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri pasal 41 UU No.1 Th.1974. Ketentuan di atas dimaksudkan agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya,
jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi perceraian, maka mantan suami masih mempunyai kewajiban terhadap mantan istri, sebagaimana
yang telah diatur pada pasal 149, Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut`ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al-dukhul;
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba`in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al-
dukhul; d.
Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Ketika sebuah perkara permohonan cerai talak dikabulkan dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Pengadilan Agama
dapat mengadakan sidang penyaksian ikrar talak, sejak itulah perceraian terjadi dan ikatan perkawinan antara suami istri menjadi putus.
Dalam praktek, ketika Pengadilan Agama menggelar sidang penyaksian ikrar talak untuk memberi kesempatan kepada Pemohon
mengikrarkan talaknya kepada Termohon sebagaimana isi amar putusan, Termohon menyatakan dirinya siap untuk menerima talak dari Pemohon dan
sekaligus meminta kepada Pemohon agar setelah ikrar talak diucapkan, Pemohon segera pula menyerahkan kepadanya semua yang menjadi haknya sebagaimana
dinyatakan dalam amar putusan yaitu nafkah iddah, namun sering sekali keinginan Termohon tersebut tidak bisa dipenuhi karena Pemohon dengan
berbagai alasan menyatakan dirinya belum siap memenuhi perintah putusan tersebut.
Tapi secara realita justru dengan ditundanya ikrar talak karena ada kewajiban suami yang harus dibayar lebih dulu, kaum wanita sangat dirugikan,
banyak pembacaan ikrar talak tidak bisa dijalankan karena menunggu suami membayar nafkah iddah yang ditetapkan oleh Hakim.
Apabila Pemohon beritikad buruk, meskipun ia mampu membayar sesuai dengan isi putusan, akan tetapi ia tidak mau membayar, sehingga putusan
hakim banyak yang tidak dilaksanakan, pada akhirnya putusan-putusan seperti itu dianggap sebagai putusan yang tidak berguna. Banyak suami yang pergi
begitu saja karena tidak mau membayar kewajiban nafkah iddah tersebut akibatnya putusan menjadi sia-sia.
Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam menentukan pembayaran nafkah iddah yang menjadi hak seorang isteri yang
dicerai harus memberikan upaya dalam menjamin pelaksanaan pembayaran nafkah iddah yang diakibatkan putusan pengadilan tersebut agar putusan yang
dikeluarkan memenuhi asas kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi pihak- pihak yang berperkara. Dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk meneliti lebih lanjut dan membuatnya dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“PELAKSANAAN PEMBAYARAN
NAFKAH IDDAH
YANG DIAKIBATKAN
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA CIKARANG TAHUN 2013
”