Pengelolaan pertanian secara cermat pada budidaya padi sawah untuk meningkatkan produktivitas padi

(1)

EKA LESNIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Pengelolaan Pertanian secara Cermat pada Budidaya Padi Sawah untuk Meningkatkan Produktivitas Padi adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

Eka Lesniawati


(3)

Productivity (GUNAWAN DJAJAKIRANA as Chairman, ATANG SUTANDI and DARMAWAN as Members of the Advisory Committee).

To increase rice productivity with precision farming was begun with an understanding of problems, resources development and local environmental conditions. The purpose of this study was to see the difference between how farmers farming, the government PTT or Field School of Integrated Plant Management (SLPTT) and PTTC (Precise Integrated Plant Management), quality of rice, and increasing the economic value of paddy fields by comparing the efficiency of the three kinds of rice cultivation, developing opportunities in an effort to increase paddy field productivity through improved nutrient status. The study was conducted on paddy field of Babakti farmer groups located in the Mekarjaya Village, Ciomas District. Parameters observed were results and yield components, soil (before and after harvest) and plant analysis (leaf and straw), organoleptic test of rice, rice resistance test against rice spoiled, climate data during the rice gowing, daily rainfall during the planting. The result showed that productivity on the management of PTTC was higher (6,57 t/ha GKG) than SLPTT (4,60 t/ha GKG) and farmers (3,08 t/ha GKG) management, as well as the increase of percentage was indicated that PTTC have a capability to increase yield from farmers management even from SLPTT. PTTC have good level of resistance to the rice from spoiled than SLPTT and farmers. The overall organoleptic test of farmers rice was preferred to PTTC and SLPTT. Nevertheless organoleptic test was not done optimally because of the way the rice was cooked have a same condition between of three management, while that the quality of the rice were differents. Analysis of the PTTC farming was more profitable with the highest B/C ratio (1,44) compared to SLPTT (1,38) and farmers management (1,20). So that PTTC have a good capability to increase the economic value from farmers even from SLPTT. PTTC have a capability to increase the profits of Rp. 6.959.119,81 (118,57%) from farmers management and Rp. 4.016.119,81 (45,57%) from SLPTT, while the increase of farmers management to SLPTT was Rp. 2,943,000.00 (50.14%). In terms of time, the PTTC was more efficiently and effectively, because the harvest was earlier than the other management to 118 days after planting, whereas the farmers and SLPTT harvested at 125 days after planting.


(4)

Sawah untuk Meningkatkan Produktivitas Padi (GUNAWAN DJAJAKIRANA sebagai Ketua Komisi Pembimbing, ATANG SUTANDI dan DARMAWAN sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas padi sawah yaitu dengan pengelolaan pertanian secara cermat (precision farming), yang salah satunya yaitu dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan budidaya antara cara petani, PTT pemerintah, dan PTT cermat; melihat kualitas hasil panen dari ketiga pengelolaan petani, PTT pemerintah dan PTT cermat; dan meningkatkan nilai ekonomi/keuntungan usaha tani padi sawah dengan membandingkan efisiensi input dari ketiga budidaya padi sawah. Penelitian dilakukan di lahan Kelompok Tani Babakti Desa Mekarjaya Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Perlakuan pada ketiga pengelolaan petani, PTTC dan SLPTT yaitu menggunakan varietas Ciherang berlabel biru, bibit muda kurang dari 21 hari setelah semai (HSS), dan penambahan bahan organik saat pengolahan tanah. Adapun perbedaan perlakuan pada ketiga pengelolaan yaitu jumlah pupuk yang digunakan untuk SLPTT berdasarkan rekomendasi umum 100 kg urea/ha dan 300 kg phonska/ha; PTTC 257 kg urea/ha, 182 kg SP36/ha, 220 kg KCl/ha, dan 1,5 kg GDP (pupuk lengkap)/ha; dan pada pengelolaan petani menggunakan urea 80 kg/ha dan phonska 80 kg/ha. Selain pada PTTC dilakukan; pemeliharaan yang intensif, pada PTTC dan SLPTT dilakukan penanaman dengan sistem jajar legowo dengan jumlah bibit 1-3 bibit/rumpun. Lain halnya pada petani penanaman dilakukan tanpa caplak dan jumlah bibit 3-6 bibit/ rumpun.

Produktivitas padi dengan PTTC lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan lainya, yaitu mencapai 6,57 ton GKG/ha, sedangkan SLPTT 4,60 ton GKG/ha dan pengelolaan petani 3,08 ton GKG/ha. Kualitas nasi menunjukkan bahwa tingkat ketahanan nasi terhadap basi pada PTTC lebih baik dibandingkan SLPTT dan petani, dan secara keseluruhan pada uji organoleptik menunjukkan bahwa nasi pengelolaan petani lebih disukai dibandingkan PTTC dan SLPTT. Walaupun pengujian ini masih belum optimal karena dilakukan pemasakan nasi dengan perbandingan air dan beras yang sama pada ketiga pengelolaan, sementara kadar air pada gabah kering giling di ketiga pengelolaan berbeda. Hasil analisis usaha tani menunjukkan bahwa PTTC dengan B/C rasio sebesar 1,44, lebih menguntungkan dibandingkan pengelolaan SLPTT dengan B/C rasio 1,38 dan pengelolaan petani 1,20. PTTC mampu meningkatkan keuntungan sebesar Rp. 6.959.119,81 (118,57%) dari pengelolaan petani dan Rp. 4.016.119,81 (45,57%) dari SLPTT, sedangkan peningkatan dari pengelolaan petani ke SLPTT yaitu Rp. 2.943.000,00 (50,14%). Dilihat dari segi waktu, pada PTTC lebih efisien dan efektif, karena pemanenan dilakukan lebih awal dibandingkan dengan pengelolaan lainnya yaitu 118 HST, sedangkan pada petani dan SLPTT panen pada 125 HST.


(5)

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

EKA LESNIAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Agroteknologi Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(7)

(8)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc. Ketua

Ir Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. Dr Ir Darmawan, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Agroteknologi Tanah

Dr Ir Suwardi, M.Sc. Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(9)

terimakasih yang tulus kepada Ibunda Lilis Marlina dan Ayahanda Misbah serta adikku (Nugraha) yang selalu mendoakan untuk keberhasilan penulis, kepada suami tercinta (Nana Mulyana) dan ananda terkasih (M. Fadil Maulana Akbar) yang dengan cinta kasihnya dan segudang pengertian sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.


(10)

memberikan rahmat dan kemampuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Pengelolaan Pertanian secara Cermat pada Budidaya Padi Sawah untuk Meningkatkan Produktivitas Padi”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Ketua Komisi Pembimbing Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Ir Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. dan Dr Ir Darmawan, M.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dengan memberikan saran dan sumbangan pemikiran yang sangat membantu selama penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Iskandar selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah memberi kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Dr Ir Suwardi, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Tanah dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Program Studi Agroteknologi Tanah. 2. Petani di Desa Mekarjaya yaitu H. Jaenal, Aming dan Arif yang telah

bersedia lahannya untuk dijadikan penelitian, serta kepada ibu-ibu pengepak yang telah membantu penelitian di lapang.

3. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah banyak turut memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2013


(11)

Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Penulis adalah puteri pertama dari dua bersaudara dari Bapak Misbah dan Ibu Lilis Marlina. Pada tahun 1994 penulis lulus SMA Negeri 1 Cianjur, dan pada tahun 2000 penulis lulus S1 dari Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan pengalaman pernah menyampaikan hasil penelitian pada Seminar Kongres Nasional HITI VII tahun 1999 di Bandung dan Seminar Nasional PERSADA VII pada tahun yang sama, dan keduanya telah dipublikasikan. Selain itu selama menjadi mahasiswa S1 penulis aktif dalam organisasi Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) dan Biro Lingkungan Hidup Azimuth – HMIT serta pernah menjadi asisten praktikum pada mata ajaran Dasar-dasar Ilmu Tanah, Geomorfologi dan Analisis Landscape, Biologi Tanah, dan Kartografi.

Pada tahun 2001 penulis menikah dengan Nana Mulyana dan pada saat ini penulis sudah mempunyai seorang putra bernama Muhammad Fadil Maulana Akbar yang lahir pada tahun 2002. Pada tahun 2004 penulis mengikuti pendidikan dan pelatihan selama tiga bulan untuk Mekanisasi Pertanian di VEDCA –PPPG Cianjur, dan pada tahun 2007 penulis mengikuti pendidikan AKTA IV Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Ibnu Khaldun dan lulus pada tahun 2008.

Kegiatan penulis saat ini adalah sebagai Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP) di Balai Penyuluhan Pertanian Peternakan dan Kehutanan (BP3K) Wilayah Dramaga semenjak tahun 2008, dan sebelumnya kegiatan penulis sebagai wiraswasta dan juga pernah bekerja di perusahaan swasta sebagai Merchandiser. Dan pada tahun 2008 penulis selain bekerja juga mendapat ijin untuk melanjutkan sekolah dengan biaya sendiri dan Alhamdulillah diterima di Program Studi Agroteknologi Tanah (ATT) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).


(12)

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Hipotesis... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Konsep Pertanian Cermat ... 3

2.2 Pengelolaan Tanaman Terpadu ... 3

2.3 Karakteristik Padi Varietas Ciherang ... 4

2.4 Pengelolaan Hara ... 6

2.4.1 Nitrogen ... 8

2.4.2 Fosfor ... 8

2.4.3 Kalium ... 9

2.4.4 Magnesium ... 9

2.4.5 Kalsium... 9

2.4.6 Unsur Mikro... 10

2.4.7 Bahan Organik ... 10

2.5 Efisiensi Pupuk ... 11

III. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 12

3.1 Lokasi ... 12

3.2 Geologi dan Bahan Induk ... 13

3.3 Iklim ... 15

3.4 Pengelolaan Padi Sawah di Desa Mekarjaya dari Tahun 2008 - 2011 ... 16

IV. BAHAN DAN METODE ... 19

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

4.2 Bahan dan Alat ... 19


(13)

5.2 Tinggi Tanaman Padi ... 27

5.3 Produktivitas Padi pada Ketiga Pengelolaan ... 28

5.4 Kadar Hara pada Daun Padi ... 32

5.5 Kadar Hara pada Jerami Padi... 33

5.6 Efisiensi Pupuk ... 36

5.7 Tingkat Ketahanan Nasi terhadap Basi ... 36

5.8 Organoleptik Nasi ... 37

5.9 Analisis Usaha Tani ... 39

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(14)

2. Perbedaan Perlakuan pada Ketiga Pengelolaan ... 22

3. Metode Analisis pada Parameter Tanah dan Tanaman ... 23

4. Data Analisis Tanah pada Lahan LL-SLPTT (±1 ha) ... 26

5. Data Analisis Tanah pada Tiga Pengelolaan (Blok C) ... 26

6. Uji ANOVA Tinggi Tanaman 78 HST dan 96 HST pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC) ... 27

7. Uji ANOVA Produktivitas Padi pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC) ... 28

8. Uji ANOVA pada Komponen Produksi Padi pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC) ... 30

9. Data Komponen Produksi Padi pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC) ... 31

10. Uji ANOVA Kadar Hara pada Daun Padi 78 HST pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC) ... 32

11. Kadar Hara pada Daun Padi 78 HST ... 33

12. Uji ANOVA Kadar Hara pada Jerami pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC) ... 34

13. Kadar Hara pada Jerami Padi ... 35

14. Efisiensi Pupuk pada Ketiga Pengelolaan yang Berbeda ... 36

15. Data Organoleptik dengan Uji Hedonik pada Nasi ... 38


(15)

2. Peta Penggunaan Lahan di Desa Mekarjaya ... 14

3. Curah Hujan Harian selama Penelitian ... 16

4. Rata-rata Produktivitas Padi Sawah di Desa Mekarjaya Tahun 2008 – 2011 ... 18

5. Skema Pengambilan Contoh pada Ketiga Pengelolaan ... 20

6. Penanaman Padi Jajar Legowo ... 21

7. Tinggi Tanaman Padi pada 78 HST dan 96 HST ... 27

8. Produktivitas Padi pada Tiga Pengelolaan yang Berbeda ... 29

9. Persentase Peningkatan Produktivitas Padi ... 29

10. Tingkat Ketahanan Nasi terhadap Basi ... 37

11. Kadar Air pada Gabah Kering Giling pada Ketiga Pengelolaan yang Berbeda ... 38

12. Peningkatan Persentase Dilihat dari Keuntungan antara Ketiga Pengelolaan ... 39


(16)

2. Produktivitas Padi pada Beberapa Petani di Desa Mekarjaya

sejak tahun 2008 s.d 2011 ... 48

3. Produksi Petani di Desa Mekarjaya Tanpa Diberi Pupuk ... 50

4. Tingkat Kebasian Nasi dalam Keadaan Terbuka ... 50

5. Kisaran Optimal dan Batas Kritis Kadar Unsur Hara pada Tanaman Padi Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) ... 51

6. Uji Friedman dengan Uji lanjut Wilcoxon (SPSS) pada Organoleptik Nasi ... 52

7. Uji ANOVA untuk Tinggi Tanaman pada 78 HST dan 96 HST (SPSS) ... 58

8. Uji ANOVA untuk Daun (SPSS) ... 59

9. Uji ANOVA untuk Jerami (SPSS)... 62

10. Uji ANOVA untuk Komponen Produksi per Rumpun (SPSS) ... 65

11. Uji ANOVA untuk Komponen Produksi (SPSS) ... 67


(17)

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (BPS, 2010), jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 237.556.363 orang dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun selama sepuluh tahun terakhir adalah sebesar 1,49 persen, dan 90% penduduk di Indonesia masih mengandalkan beras sebagai sumber energi utamanya. Oleh karena itu target nasional pemerintah adalah produksi padi sebesar 70,60 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) dengan peningkatan produksi sekitar 7% dibanding tahun 2010 untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk di Indonesia.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk dapat mencapai swasembada berkelanjutan yaitu dengan meningkatkan produktivitas padi sawah dengan pengelolaan pertanian secara cermat (precision farming), yang salah satunya yaitu dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Pengelolaan Tanaman Terpadu sudah diperkenalkan kepada petani melalui SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) di Kelompok Tani di Indonesia sejak tahun 2007. Hal ini diperlukan karena lahan pertanian yang semakin terbatas sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang bertambah setiap tahunnya dan rata-rata kepemilikan lahan kurang dari setengah hektar. Selain itu PTT juga diperlukankarena pengelolaan pertanian budidaya padi sawah yang masih kurang tepat, seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat baik, dalam jumlah maupun waktu pemupukannya, belum menggunakan bibit unggul, sistem penanaman yang tidak sesuai, kurangnya pengembalian bahan organik ke dalam lahan pertanian, pemakaian pestisida yang tidak tepat, dan kehilangan pasca panen.

Berdasarkan peta produksi dan kebutuhan beras di Kabupaten Bogor Tahun 2010, Kecamatan Ciomas dengan jumlah penduduk 148.553 jiwa (berdasarkan sensus penduduk BPS tahun 2010), produksi GKG 3.925 ton, ketersediaan beras 2.480,60 ton, kebutuhan beras 15.724,34 ton, dan perimbangan minus 13.243,74 ton, sehingga menghasilkan ratio 0,16. Hal ini menunjukkan bahwa di Kecamatan Ciomas khususnya Desa Mekarjaya pada tahun 2010


(18)

mengalami kekurangan produksi (disampaikan pada pertemuan dua mingguan BP3K Wilayah Dramaga pada tahun 2011 oleh Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Bogor)1.

Secara umum Desa Mekarjaya yang walaupun terletak di dekat perkotaan namun penggunaan lahan padi sawah masih terletak pada manajemen transisi dari manajemenlow input menuju ke manajemen perbaikan (intermediate input). Hal ini berarti bahwa petani sudah dikenalkan dengan PTT untuk meningkatkan hasil padi di tingkat petani, namun dalam adopsi teknologi masih terdapat kesulitan dikarenakan faktor penghambat seperti kebiasaan petani, tingkat pendidikan serta kondisi ekonomi dan sosial di desa tersebut.

Pemupukan dalam PTT pemerintah (SLPTT) yang dilaksanakan di Desa Mekarjaya semenjak tahun 2008 masih mengikuti rekomendasi pemupukan secara umum di Kabupaten Bogor yaitu 100 kg Urea/ ha dan 300 kg Phonska/ ha. Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan produktivitas padi serta kualitas hasil panen, perlu dilakukan perbaikan yang salah satunya yaitu dengan pemupukan secara spesifik lokasi melalui PTTC (Pengelolaan Tanaman Terpadu secara Cermat).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Melihat perbedaan budidaya antara cara petani, PTT pemerintah, dan PTT cermat,

2. Melihat kualitas hasil panen dari ketiga pengelolaan petani, PTT pemerintah dan PTT cermat,

3. Meningkatkan nilai ekonomi/keuntungan usahatani padi sawah dengan membandingkan efisiensi input dari ketiga budidaya padi sawah.

1.3 Hipotesis

Pengelolaan secara cermat pada budidaya padi sawah melalui efisiensi input (pengelolaan tanaman terpadu, dan perbaikan status hara tanah) dapat meningkatkan produktivitas serta menguntungkan secara ekonomis.

1

disampaikan pada pertemuan dua mingguan BP3K Wil Dramaga pada tahun 2011 oleh Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Bogor


(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pertanian Cermat

Konsep baru pertanian cermat yang berbasis masyarakat merupakan pertanian yang mempertimbangkan kearifan petani yang terorganisir dengan baik disertai platform teknologi. Kearifan dari suatu kelompok petani dapat memperbaiki sistem pertanian konvensional melalui pengelolaan keragaman secara hirarkis: keragaman antara petani dalam hal motivasi dan jenis tanaman sebagaimana dengan keragaman di dalam lahan (within-field) dan antar lahan (between-field). Keragaman ini harus dikelola dengan baik agar dapat meningkatkan ekonomi secara menyeluruh disertai pertimbangan untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan. Platform teknologi yang terorganisasi melalui inovasi dari pengembangan perusahaan dengan tiga kunci teknologi yaitu: teknik pemetaan, teknik variable–rate dan sistem pendukung keputusan yang mempertimbangkan kondisi pedesaan. Pertanian cermat di dalam usaha tani skala kecil dapat dipahami sebagai suatu strategi dalam pengelolaan variabilitas antar lahan. Keterkaitan yang baik antara kearifan petani dan platform teknologi akan menghasilkan informasi yang berorientasi pada bidang informasi dan produk tambah yang mendorong multifungsi pertanian untuk menciptakan suatu rantai bernilai yang baru dalam sistem agro-produksi-konsumsi (Shibusawa, 2003).

Rains dan Thomas (2009) menyatakanbahwa pertanian cermat muncul sebagai suatu praktek pengelolaan dengan potensi untuk meningkatkan keuntungan dengan memanfaatkan informasi yang lebih akurat tentang sumber daya pertanian. Sementara itu Sutono (2009) menyatakan bahwa tujuan dari pertanian cermat adalah memperoleh keuntungan yang optimal. Keuntungan tersebut dapat dicapai dari pertanian cermat yang menggunakan peralatan serba otomatis dan dapat juga dicapai oleh pertanian cermat yang belum memasang peralatan serba otomatis.

2.2 Pengelolaan Tanaman Terpadu

Di Indonesia salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan produktivitas padi sawah yaitu dengan pendekatan Pengelolaan


(20)

Tanaman Terpadu (PTT). Menurut tim penyusun Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi (Abdulrachmanet al., 2007), PTT pada dasarnya merupakan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu dan bukan merupakan suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metodologi atau strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme pengganggu tanaman secara holistik dan berkelanjutan. Pengelolaan Tanaman Terpadu menurut Zaini et al. (2010) adalah suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Pendekatan yang ditempuh dalam penerapan komponen PTT bersifat: (1) partisipatif, (2) dinamis, (3) spesifik lokasi, (4) keterpaduan, dan (5) sinergis antar komponen.

Ishaq (2011), menyatakan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas padi telah menggulirkan progam P2BN (Peningkatan Produksi Beras Nasional) yang salah satunya melalui SLPTT. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu dilakukan dengan cara membagi setiap satuan unit SLPTT seluas 25 ha ke dalam Laboratorium Lapangan (LL) seluas ± 1 ha dan wilayah hamparan SLPTT seluas ± 24 ha.

Menurut Pramono et al. (2005), pendekatan PTT pada padi sawah dengan menerapkan komponen-komponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas usahatani berupa peningkatan hasil panen GKG (Gabah Kering Giling) yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan pola petani. Selain itu juga mampu meningkatkan keuntungan usaha tani berkisar antara 25 – 58%.Begitu pula menurut Haryani (2009), sebagian besar petani progam PTT telah mencapai efisiensi teknis dan lebih tinggi dibandingkan dengan petani bukan progam PTT.

2.3 Karakteristik Padi Varietas Ciherang

Menurut Ismunadji dan Roechan (1988) padi adalah tanaman unik karena dapat tumbuh dalam keadaan tergenang maupun pada tanah kering. Dinamika hara pada kedua ekosistem tersebut berbeda. Ketersediaan air yang cukup merupakan keuntungan padi sawah. Produksi yang tidak stabil pada padi sawah tadah hujan dan gogo seringkali disebabkan oleh masalah kekurangan air.


(21)

Padi varietas Ciherang adalah hasil persilangan antara varietas IR64 dengan varietas/galur lain. Sebagian sifat IR64 juga dimiliki oleh Ciherang, termasuk hasil dan mutu berasnya yang tinggi, sehingga varietas Ciherang lebih disukai oleh banyak orang (Hermanto, 2006).Menurut Ruskandar et al. (2008) pada preferensi uji varietas ditunjukkan bahwa selain varietas Ciherang lebih dikenal oleh petani dibandingkan varietas lainnya juga disukai mulai dari tampilan tanaman saat vegetatif, jumlah anakan dan panjang malai, bentuk dan warna gabah serta beras, dan penerimaan umum terhadap organoleptik nasi.

Berdasarkan uji organoleptik yang telah dilakukan untuk mengevaluasi mutu rasa nasi Ciherang menurut Dewi (2011) dengan melibatkan 30 panelis, maka berdasarkan uji hedonik, jumlah panelis yang menyatakan suka dan sangat suka pada beras varietas Ciherang berdasarkan atributwarna, kilap, aroma, kepulenan, dan rasa nasinya masing-masing 90%, 70,5%, 40,5%, 65%, dan 64%. Berdasarkan uji peringkat,yang menempatkannasi Ciherang pada urutan pertama dari empat macam nasi dari beras yang banyak beredar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan berdasarkan atribut warna, kilap, aroma, kepulenan, dan rasa masing-masing adalah 74,3%, 53%, 46,2%, 53,8%, dan 57,6%.Oleh karena itu mutu beras varietas Ciherang tidak diragukan dan kebanyakan konsumen menyukai rasanya.

Deskripsi Varietas Ciherang (Padi Modern) menurut Suprihatno et al.(2010) adalah sebagai berikut :

Nomor seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1

Asal persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/2*IR19661-131-3-1-3//4*IR64 Cere Umur tanaman : 116-125 hari

Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 107-115 cm Anakan produktif : 14-17 batang Warna kaki : Hijau

Warna batang : Hijau

Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna


(22)

Warna daun : Hijau

Muka daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi daun : Tegak

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang

Tekstur nasi : Pulen Kadar amilosa : 23% Bobot 1.000 butir : 28 g

Rata-rata hasil : 6.0 ton/ha GKG Potensi hasil : 8.5 ton/ha GKG Ketahanan terhadap

Hama : Tahan terhadap wereng cokelat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3

Penyakit : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

2.4 Pengelolaan Hara

Pengelolaan hara pada sistem sawah yang baik terjadi jika antara masukan dan keluaran seimbang. Keseimbangan hara dapat terganggu dengan adanya faktor-faktor seperti pencucian, penguapan, denitrifikasi, dan fiksasi. Pada budidaya sawah pengelolaan hara yang baik dapat dilakukan dengan pemupukan yang tepat cara, tepat dosis, tepat waktu, tepat posisi, dan tepat mutu. Pemupukan pada padi sawah dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk NPK (pupuk majemuk) ataupun pupuk tunggal.

Serapan hara oleh tanaman padi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain varietas, keadaan fisik tanah, iklim, status air tanah, ketersediaan unsur hara, pH, suhu, adanya ion kompetitif dan sifat fiksasi tanah (Ismunadji dan Roechan, 1988). Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), untuk setiap ton padi yang dihasilkan dibutuhkan sekitar 14,7 kg N/ha; 2,6 kg P/ha; dan 14,5 kg K/ha yang dapat diperoleh tanaman dari tanah, air irigasi, sisa tanaman atau dari pupuk


(23)

(organik dan/atau anorganik) yang ditambahkan. Makin tinggi hasil yang diperoleh makin besar hara yang dibutuhkan, dan sebaliknya.

Abdulrachman et al. (2009) menyatakan bahwa penggunaan pupuk pada padi sawah seyogyanya memenuhi persyaratan antara lain: 1) memenuhi keperluan hara tanaman dengan mempertimbangkan ketersediaan dalam tanah dan suplai dari luar untuk menjamin perolehan hasil gabah yang tinggi, baik kuantitas maupun kualitas, 2) menekan kehilangan hara dari tanah, tanaman dan air untuk pelestarian lingkungan, 3) mudah digunakan, baik oleh petani kecil maupun petani berskala besar, dan 4) teknologi baru pengelolaan pupuk yang dianjurkan lebih mudah diterapkan dibandingkan dengan teknologi yang sudah ada.

Menurut Dobermanndan Fairhust (2000), dengan pengelolaan hara yang tidak berimbang akan menyebabkan kehilangan hasil padi hingga 40%, dan apabila ditambah dengan pengelolaan tanaman yang tidak baik maka kehilangan hasil dapat mencapai 60% dari potensi hasil.

De Datta (1981) menyatakan bahwa terdapat dua kemungkinan hasil produksi yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan, yaitu: 1) hara yang berasal dari pupuk tidak dapat diambil oleh tanaman karena waktu pemupukan dan atau penempatan pupuk yang salah, atau karena adanya perubahan bentuk hara, sehingga pupuk yang diberikan tidak tersedia bagi tanaman; 2) meskipun hara dapat diambil tanaman, tetapi hara tidak digunakan untuk memproduksi bulir padi akibat adanya faktor pembatas seperti kekurangan air atau cahaya, atau karena kekurangan salah satu unsur hara tertentu.

Abdulrachman et al. (2009) menyatakan beberapa faktor yang akan menentukan efisiensi penggunaan pupuk antara lain: a) macam tanah, b) pengelolaan hama dan penyakit, c) varietas padi, d) waktu pemberian pupuk, e) musim dan waktu tanam, f) sumber/macam pupuk, g) tataguna air, h) rotasi tanaman, dan i) pengendalian gulma.

Menurut Witt et al. (2007), potensi terbesar perbaikan pengelolaan hara hanya dapat dicapai melalui pengelolaan tanaman yang baik, yang manacara pengelolaan tanaman mempengaruhi besarnya respon tanaman terhadap perbaikan pengelolaan hara dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:


(24)

II. Menanam bibit muda (misal : 10 – 20 hari setelah semai)

III. Meratakan permukaan tanah dan menjaga kedalaman air pada seluruh bidang lahan untuk mendapat pertanaman yang seragam. Cara ini mengurangi kebutuhan air secara keseluruhan.

IV. Memilih jarak tanam yang cocok untuk efisiensi tajuk daun (misal: 20-40 rumpun/m2, dengan 1-3 tanaman/rumpun bagi padi yang ditanam pindah atau 80-120 kg benih per hektar bila benih disebar langsung). V. Tidak membiarkan gulma bersaing dengan tanaman padi dalam hal

ruang, air, cahaya, dan hara.

2.4.1 Nitrogen

Menurut Fairhurstet al. (2007), Nitrogen mempercepat pertumbuhan tanaman, memperbesar ukuran daun, dan meningkatkan jumlah bulir per malai. N mempengaruhi semua parameter yang mendukung hasil. Ketika N dalam jumlah cukup diberikan kepada tanaman, kebutuhan akan hara-hara lain seperti P dan K meningkat.

Kirk (1996) dalam Abdulrachman et al. (2009) menyatakan bahwa di daerah-daerah yang menanam padi secara intensif, masukan nitrogen semakin banyak diperlukan, karena laju kehilangan N pada tanah yang sering ditanami padi sangat tinggi.

2.4.2 Fosfor

Fairhurstet al. (2007), menyatakan bahwa unsurFosfordiperlukan pada awal tahap pertumbuhan, penyimpanan cadangan makanan dan pengangkutan energi dalam tanaman. Fosfor bersifat mobil (mudah berpindah) dalam tanaman dan mendorong pembentukan anakan, pertumbuhan akar, pembungaan awal, dan pemasakan.

Menurut Abdulrachman et al. (2009), hara P sangat diperlukan tanaman padi terutama pada saat awal pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan tanaman tersebut, P berfungsi memacu pembentukan akar dan penambahan jumlah anakan. Selain itu, P juga berfungsi mempercepat pembungaan dan pemasakan gabah.

Tanaman dengan kahat P menyebabkan jumlah anakan berkurang dan pertumbuhan tanaman terhambat.Jumlah daun, malai, dan bulir/malai juga


(25)

berkurang. Daun muda tampak sehat, tetapi daun tua menjadi coklat lalu mati. Pemasakan buah tertunda (sering hingga 1 minggu atau lebih). Kahat P tingkat sedang sulit dikenali di lapang. Kahat P sering berhubungan dengan masalah hara-hara lain seperti keracunan Fe pada pH rendah, kahat Zn, kahat Fe, dan salinitas di tanah alkalin (Fairhurstet al., 2007)

2.4.3 Kalium

MenurutFairhurstet al. (2007) K mempunyai fungsi sangat penting dalam sel tanaman dan diperlukan untuk memindahkan produk fotosintesis dalam tanaman. Selain memperkuat dinding sel, K juga mendukung fotosintesis dan pertumbuhan tanaman. Kalium juga dapat meningkatkan jumlah bulir per malai, persentase gabah isi, dan bobot 1.000 butir gabah.

Abdulrachman et al.(2009), menyatakan bahwa meskipun pada kenyataannya total K yang diserap oleh tanaman lebih besar daripada N maupun P, namun demikian perhatian mengenai kalium sampai saat ini masih kurang dibandingkan dengan kedua unsur tersebut.

2.4.4 Magnesium

Fairhurst et al. (2007), menyatakan bahwa Mg merupakan salah satu elemen klorofil (hijau daun) dan terlibat dalam fotosintesis. Magnesium sangat mobil dan selalu siap pindah dari daun tua ke daun muda,sehingga gejala kahat Mg terlihat pertama kali pada daun tua. Gejala-gejala dan pengaruh lain kahat Mg adalah: 1) jumlah bulir dan bobot 1.000 butir gabah berkurang, 2) mutu gabah (% beras giling, protein, dan kandungan pati) menurun, 3) keracunan Fe bisa lebih nyata bila Mg merupakan bagian dari stress kahat sejumlah hara (K, P, Ca, dan Mg). Tanaman yang kahat Mg harus diperlakukan dengan: 1) pemberian pupuk yang mengandung Mg, 2) penyemprotan daun dengan pupuk cair yang mengandung Mg, 3) pemberian dolomit pada lahan kering masam.

2.4.5 Kalsium

Kalsium menurut Fairhurst et al. (2007) berperan dalam memperkuat fungsi akar dan membuat tanaman tidak mudah keracunan Fe. Kalsium juga meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit, seperti hawar daun bakteri.


(26)

Pada tanaman padi Ca lebih immobil dibandingkan dengan K dan Mg, karena Ca tidak dapat ditranslokasikan kembali ke bagian tanaman yang baru tumbuh, maka gejala kahat umumnya muncul pada daun muda pertama. Kahat Ca bisa menyerupai kahat B, hanya sedikit perubahan dalam penampilan umum tanaman kecuali bila kahat Ca parah, yaitu tanaman tumbuh kerdil dan akhirnya mati. Kahat Ca pada tanaman dapat diperbaiki dengan: pemberian pupuk daun yang mengandung Ca, CaCl2(padat atau larutan), pemberian gypsum, kapur pada tanah

masam, pemberian Mg atau K bersama Ca, dan pemberian pirit untuk mengatasi pengaruh pada air yang kaya NaHCO3 yang dapat menghambat penyerapan Ca.

2.4.6 Unsur Mikro

Tanggapan tanaman padi terhadap pemberian Zn berkaitan erat dengan nisbah kadar unsur (N + P + K)/Zn dan (Cu + Fe + Mn)/Zn tanah, yang mana semakin besar nisbah kadar unsur-unsur tersebut maka tanaman semakin tanggap terhadap pemberian Zn (Subadiyasa, 1988).

Menurut Fairhurst et al. (2007) secara umum unsur mikro segera tersedia setelah penggenangan. Mangan dan Fe diperlukan untuk fotosintesis dan kekurangan Fe dapat menghambat absorpsi K oleh tanaman. Peran Cu dalam mengatur proses: N, protein, dan metabolisme hormon; serta fotosintesis dan respirasi. Boron sangat penting pada dinding sel. Pengelolaan unsur hara mikro yaitu dengan mengelola air, menambah bahan organik, serta dengan pemupukan hara mikro.

2.4.7 Bahan Organik

Peranan bahan organikterhadap sifat fisik tanahyaitu meningkatkan dayamenahan air (water holding capacity),memperbaiki struktur tanah menjadiremah, mencegah pengerasan tanah,serta menyangga reaksi tanahdari kemasaman,kebasaan, dan salinitas.

Peranan bahan organik terhadap sifat kimia tanah yaitu meningkatkan kapasitas tukarkation tanah, berfungsi sebagai cadangansekaligus sumber hara makro dan mikro,mengikat kation yang mudah tersedia bagitanaman tetapi menahan kehilangan haraakibat pencucian (leaching), dan berfungsidalam


(27)

pembentukan chelate(ikatan organik)terhadap unsur mikro Fe, Zn, Mn sehingga tetap tersedia bagi tanaman.

Peranan bahanorganik terhadap terhadap sifat biologi tanah yaitu mendorong pertumbuhan mikrobasecara cepat sehingga dapat memperbaikiaerasi tanah, menyediakan energi bagikehidupan mikroba tanah, meningkatkanaktivitas jasad renik (mikroba tanah), danmeningkatkan kesehatan biologis tanah(Dobermann dan Fairhurstet al., 2000).

2.5 Efisiensi Pupuk

Abdulrachman et al. (2009), menyatakan bahwa efisiensi penggunaan pupuk adalah tambahan hasil yang diperoleh dari suatu pertanaman untuk tiap unit hara yang berasal dari pupuk yang digunakan dalam suatu kondisi tanah dan iklim tertentu. Pemupukan yang efisien akanmenghemat penggunaan pupuk, karena dengan jumlah pupuk yang lebih sedikit akan diperoleh hasil yang sama atau lebih tinggi.

Witt et al. (2007), menyatakan bahwa penggunaan pupuk menjadi efisien apabila sebagian besar pupuk yang diberikan diserap oleh tanaman. Efisiensi pupuk pada tanaman dapat ditingkatkan bila:

· Jumlah pupuk yang diberikan memperhitungkan jumlah hara yang telah tersedia dalam tanah,

· Pertanaman diberi pasokan hara yang dibutuhkan secara seimbang,

· Pupuk ditempatkan sedemikian sehingga dapat diserap sebanyak mungkin (misal: urea tablet dibenamkan),

· Pupuk N diberikan sesuai perubahan status N tanaman sepanjang pertumbuhan daun dengan Bagan Warna daun,

· Menggunakan benih bermutu tinggi dari varietas yang sesuai,

· Pemeliharaan tanaman (misal: pengendalian gulma, jarak tanam, pengelolaan persemaian, dan pengelolaan air) dilaksanakan pada standar tinggi, dan


(28)

III.

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

3.1 Lokasi

Lokasi penelitian terletak di lahan sawah blok Kelompok Tani Babakti di Desa Mekarjaya Kecamatan Ciomas, KabupatenBogor. Secara administrasi Desa Mekarjaya pada sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pasir Kuda Kotamadya Bogor, sebelah timur berbatasan dengan Desa Kotabatu Kecamatan Ciomas, sebelah selatan berbatasan dengan Desa ParakanKecamatan Ciomas, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Ciomas Kecamatan CiomasKabupaten Bogor.

Desa Mekarjaya memiliki luas wilayah sekitar 86,5 ha denganlahan pertanian padi sawah kurang lebih 28 hektar dan terbagi ke dalam dua blok yang dipisahkan oleh jalan utama dan pemukiman. Kedua blok itu adalah Kelompok Tani Sauyunan di Kampung Sawah Ilir dan blok Kelompok Tani Babakti di Kampung Sawah Kaum, dengan rata-rata kepemilikan lahan kurang dari 0,2 ha. Lahan sawah di Desa Mekarjaya dari tahun ke tahun semakin berkurang karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, dan diperkirakan peluang terjadinya konversi lahan akan semakin besar pada tahun-tahun berikutnya (Yasin, 2010).

Lahan sawah di Desa Mekarjaya merupakan lahan sawah yang mendapat pengairan dari dua bagian hulu sungai Ciomas yang mengalir dari Desa Parakan dan Desa Kota Batu.Secara geografis daerah penelitian ini terletak pada 6⁰36’42,15’’ LS dan 106⁰46’46,16’’ BT. Peta situasi lokasi penelitian yang ditandai oleh lingkaran yang berwarna merah yang diambil dari Google Earth (2012) disajikan pada Gambar 1.


(29)

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Lahan Sawah Desa Mekarjaya

3.2 Geologi dan Bahan Induk

Lokasi penelitian termasuk pada zone fisiografi Bogor yang berasal dari Salak – Prabakti – Endut. Zone fisiografi Bogor mempunyai ciri daerah antiklinorium karena zone ini pernah mengalami pelipatan yang kuat.

Berdasarkan peta geologi bersistem, Indonesia (Effendiet al., 1998), dibentuk terutama oleh formasi-formasi volkanik yang dihasilkan oleh dua gugus volkan yaitu gugus Salak, Prabakti dan gugus Pangrango, Gede, Limo-Kencana. Lokasi penelitian di Desa Mekarjaya termasuk formasi volkanik batuan gunung api gunung Salak yaitu Qvsb yang merupakan lahar, breksi tuffan dan lapili, bersusunan andesit basal umumnya lapuk sekali.

Berdasarkan peta tanah semi detil skala 1 : 50.000 (LPT, 1979), Desa Mekarjayamerupakan wilayah yang berombak dengan jenis tanah Regosol coklat kekelabuan dengan tekstur agak kasar dan drainase cepat serta berbahan indukvolkanik (lahar) yang terletak pada dataran sedang ketinggian ± 269 m dpl.

Berdasarkan peta penggunaan di Desa Mekarjaya pada Gambar 2ditunjukkan penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman, walaupun demikian padi sawah merupakan tanaman utama di Desa Mekarjaya. Hampir semua lahan

Klp Babakt i Klp Sauyunan

Kodya Bogor

Desa Mekarjaya


(30)

basah di desa ini selalu ditanami padi sawah kecuali pada beberapa tempat yang pada musim kering air tidak sampai, maka ditanami palawija.


(31)

3.3 Iklim

Berdasarkan peta agroklimat (Oldeman, 1975), Desa Mekarjaya termasuk zone agroklimat tipe A1, dengan bulan basah lebih dari 9 bulan secara berurutan dan bulan kering kurang atau samadengan 1 bulan. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan kurang dari 100 mm (Tabel 1). Tipe iklim A1 merupakan tipe iklim yang sesuai untuk penanaman padi secara terus menerus, tetapi produksi kurang karena pada umumnya kerapatan fluks radiasi surya rendah sepanjang tahun.

Tabel 1. Data Curah Hujan Tahun 2002 - 2011

Bulan

Tahun

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah Rata-rata Jan 629 212 404 537 352 374 251 361 252 179 3551 355 Feb 475 636 327 580 538 438 377 305 461 91 4228 423 Mar 414 271 432 568 504 276 673 261 414 140 3953 395 Apr 578 309 643 308 596 473 527 260 43 295 4032 403 Mei 247 501 374 429 523 198 277 571 331 300 3751 375 Jun 345 180 169 682 138 274 172 338 303 143 2744 274 Jul 312 25 209 215 243 134 172 131 270 256 1967 197 Ags 128 91 166 163 403 248 162 33 478 28 1900 190 Sep 118 270 392 320 342 206 343 157 601 343 3092 309 Okt 298 552 277 351 425 230 311 416 436 204 3500 350 Nop 416 326 401 423 355 444 509 407 284 378 3943 394 Des 365 398 432 252 30 476 255 258 422 185 3073 307 Jumlah 4325 3771 4226 4828 4449 3771 4029 3498 4295 2542 45521 4552

Sumber : Stasiun Klimatologi dan Geofisika Dramaga Bogor

Berdasarkan curah hujan harian selama penelitian (Gambar 3) diketahui bahwa curah hujan terendah pada bulan Agustus sebesar 28.1 mm termasuk ke dalam bulan kering, sedangkan bulan Juli, September, Oktober dan Nopember jumlah curah hujan bulanan termasuk dalam bulan basah yaitu lebih dari 200 mm/bulan. Adanya bulan kering yang ekstrim terutama pada awal pertumbuhan tanaman, mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat dikarenakan kekurangan air.


(32)

Gambar 3. Curah Hujan Harian selama Penelitian

3.4 Pengelolaan Padi Sawah di Desa Mekarjaya dari Tahun 2008-2011

Pengelolaan padi sawah biasanya dilakukan oleh para penggarap dan atau petani yang menyewa lahan orang lain, sedangkan petani pemilik sawah yang terjun langsung untuk mengelola sawahnya hanya sedikit, sehingga intensitas modal rata-rata petani di desa ini rendah. Selain itu rata-rata para petani di desa ini usianyasudah lanjut dengan sebagian besar tingkat pendidikannya hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Sedikit sekali pemuda yang mau menanam padi, walaupun ada yang bergerak di bidang pertanian hanya sebagai pekerjaan sampingan. Hal ini dikarenakan mata pencaharian utama rata-rata penduduk di desa ini adalah di bidanghome industryberupa bengkel sandal sepatu, karena Desa Mekarjaya merupakan salah satu sentra sandal sepatu di Kecamatan Ciomas.

Petani di Desa Mekarjaya pada waktu pengolahan tanah lebih memilih menggunakan tenaga kerja hewan (kerbau) dan atau manusia dengan alasan beberapa bagian lahan lumpurnya relatif dalam. Walaupun demikian pada lahan sawah yang relatif datar dengan petakan yang luas dan akses jalanserta lumpur yang tidak terlalu dalam, maka penggunaan traktor masih menguntungkan bagi petani.

Sistem bagi hasil pada budidaya padi sawah di desa ini disebut dengan sistem “ngepak” yaitu pengolahan lahan dan pemupukan dilakukan oleh pemilik atau penggarap, tetapi mulai dari menanam (tandur), pemeliharaan

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0 80.0 90.0 100.0

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31

mm

Curah Hujan Harian

Juli Agustus September Oktober Nopember


(33)

(pembersihangulma), dan pemanenan dilakukan oleh ibu-ibu yang disebut “pengepak”. Pengepak biasanya lebih berkuasa dalam hal penanaman dan pemeliharaan tanaman dibandingkan pemilik atau penggarap lahan, dan rata-rata sudah berusia lanjut. Hasil panen yang diperoleh “pengepak” adalah 1 kg dari setiap 5 kg gabah yang telah dipanen, dan untuk penggarap hasil panen dibagi rata dengan pemilik sawah yang biasa disebut sistem “paro”.

Pola tanam pada lahan sawah dengan pengairan yang cukup sepanjang tahun ialah dengan menanam padi terus menerus sepanjang tahun. Lain halnya pada lahan sawah yang tersedia airhanya pada waktu musim hujan, maka pada musim kemarau ditanami oleh tanaman palawija atau sayuran seperti jagung manis, talas, ubi jalar, ubi kayu, mentimun, dan kacang panjang. Terjadinya kekurangan air ini lebih disebabkan oleh tidak adanya pengelolaan air yang baik pada saluran irigasi, yaitu tidak adanya“ulu-ulu” (orang yang mengatur pembagian air dan memelihara saluran air untuk lahan sawah), maka pembagian air kurang merata pada setiap lahan sawah.Selain itu adanya keramba ikan dan kolam di bagian hulu serta banyaknya sampah pada saluran air juga menghambat kelancaran aliran air pada lahan-lahan sawah.

Petani di desa Mekarjaya lebih memilih menjual hasil panen berupa Gabah Kering Panen (GKP) kepenggilingan dengan harga sekitar Rp. 2.600,00 (berdasarkan penjualan petani pada tahun 2010 sampai 2011) dibandingkan dengan menjual hasil panen berupa beras kepada konsumen. Walaupun demikian masih banyak petani yang memilih untuk mengkonsumsi sendiri (subsisten) sebagai bahan persediaan makanan, sehingga rata-rata tingkat pendapatan petani pun masih rendah.

Secara umum teknologi pertanian yang telah diterapkan oleh petani di DesaMekarjayabelum sepenuhnya sesuai anjuran, banyak faktor penyebabnya, diantaranya tingkat pendidikan formal masih rendah (rata-rata lulusan SD), sudah lanjut usia, kemampuan ekonomi yang lemah, dan adanya budaya“ngepak”, serta kelembagaan Kelompok Tani yang masih lemah. Walaupun pada saat ini pengetahuan petani sedikit berkembang,yaitupetani sudah dapat mengetahui varietas unggul yang cocok untuk ditanam di wilayahnya dan mengembalikan jerami ke lahan pertanian dengan tidak membakarnya, namun penerapan teknologi


(34)

pada usaha tani padi sawah di Desa Mekarjaya masih terbatas dan masih memerlukan pembinaan yang intensif dari instansi yang terkait.

Gambar 4. Ratarata Produktivitas Padi Sawah di Desa Mekarjaya Tahun 2008 -2011

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari 19 orang petani dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 di Desa Mekarjaya dari Kelompok Tani Babakti maupun Kelompok Tani Sauyunan(Gambar 4) ditunjukkan bahwa rata-rata produktivitas padi ton/ha di Desa Mekarjaya yaitu GKP, GKG, dan beras pada tingkat petani adalah 4,46, 3,82, dan 2,41 ton/ha, sedangkan GKP, GKG, dan beras pada tingkat SLPTT adalah 7,88, 6,74, dan 4,26 ton/ha.Hasil ini diperoleh dengan mengacu pada rendemen beras sebesar 0,632 , GKG = 0,856 x GKP, dan hasil ubinan dengan alat ubin ukuran 2,5 x 2,5 m2. Hal ini menunjukkan bahwa selama SLPTT dilaksanakan dari tahun 2009 sampai dengan 2011 telah terjadi peningkatan produktivitas sebesar 76,70%.

7,88

4,46 6,74

3,82 4,26

2,41

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

SLPTT Petani

to

n/

ha GKP

GKG Beras


(35)

IV.

BAHAN DAN METODE

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelompok Tani Babakti Desa Mekarjaya Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor pada LL-SLPTT (Lahan Laboratorium-Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) seluas satu hektaryang dibagi kedalam 4 blok berdasarkan lokasi untuk keperluan analisis tanah, yaitu blok A, B, C, dan D, dan petak PTTC (Pengelolaan Tanaman Terpadu secara Cermat)serta petani yang terdapat pada blok C. Lahan Laboratorium-SLPTT seluas 1 hektar yang dilakukan di lahan kelompok Babakti merupakan lahan sawah yang dimiliki oleh beberapa orang petani yang terdiri dari 24 petak yang dibagi ke dalam beberapa orang pengepak dan satu pengepak dapat memegang lebih dari satu petakan sawah.

Kegiatan di lapang dilakukan dari bulan Juni hingga bulan Nopember 2011, meliputi: 1. pengambilan contoh tanah sebelum tanam dan sesudah panen, 2. Penanaman padi sawah dengan tiga perlakuan pengelolaan yang berbeda. Analisis contoh tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB dan laboratorium BPT Bogor sampai dengan bulan Mei 2012, dan pengujian organoleptik dilakukan di Laboratorium SEAFAST Center IPB.

4.2 Bahan dan Alat

Dalam penelitian ini bahan yang digunakan meliputi: benih padi varietas Ciherang berlabel biru, pupuk kandang, pupuk Urea, SP36, KCl, Phonska (pupuk majemuk), pupuk cair lengkap GDP, serta pestisida jika diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya hama dan penyakit.

Alat yang digunakan adalah: alat-alat pertanian untuk di sawah, dan berbagai alat yang digunakan untuk analisis di laboratorium.

4.3 Pelaksanaan Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan uji variansi satu arah atauOne Way ANOVA dengan asumsi contoh yang diambil acak dan tidak berhubungan satu dengan yang lainnya, populasi darimana contoh diambil memiliki sebaran normal, dan varians


(36)

dari populasi-populasi memiliki ragam yang sama dan diuji lanjut dengan uji Duncan untuk membandingkan tiga pengelolaan yang berbeda yaitu petak pengelolaan PTTC, pengelolaan menurut petani, dan petak SLPTT. Pada setiap pengelolaan diambil 5 ubinan yang masing-masing berukuran 2,5 x 2,5 m2dari petak seluas ± 500 m2 (Gambar 5).

PTTC Petani SLPTT

Keterangan : U = ubinan ukuran 2,5 x 2,5 m = pengambilan 5 rumpun contoh

Gambar 5. Skema Pengambilan Contoh pada Ketiga Pengelolaan

Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT menurut Zaini et al. (2010) dikelompokkan ke dalam teknologi dasar dan pilihan. Komponen dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi sawah, sedangkan untuk komponen pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat.

Komponen dasar : 1. Varietas unggul.

2. Benih bermutu dan berlabel.

Pada penelitian dipilih varietas Ciherang berlabel biru karena lebih banyak petani yang menyukai varietas ini dari rasa nasinya. Menurut Sumarno dan Sutisna (2010) tanaman padi varietas Ciherang cocok pada musim kering dengan hasil 6,6 t/ha, sedangkan pada musim hujan menghasilkan 4,41 t/ha.

U

U

U U

U

U

U

U U

U

U

U

U U


(37)

3. Penambahan bahan organik saat pengolahan tanah. 4. Pengaturan populasi tanaman secara optimum.

Pada penelitian ini penanaman padi dilakukan dengan sistem legowo 2:1 yang ditunjukkan pada Gambar 6, yaitu dengan caplak ukuran 25 cm dan 50 cm digunakan untuk jarak barisan tanaman dan ukuran 12,5 cm untuk jarak dalam barisan tanaman. Jarak tanam yang digunakan pada sistem legowo adalah 12,5 cm x 25 cm x 50 cm. Berdasarkan hasil penelitian Pahruddinet al. (2004) ditunjukkan bahwa cara tanam legowo mampu menghasilkan gabah kering panen lebih tinggi dan pemeliharaan tanaman lebih mudah dibanding cara tanam tegel.

Gambar 6. Penanaman Padi Jajar Legowo

5. Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.

Pada penelitian jumlah pupuk yang digunakan untuk SLPTT berdasarkan rekomendasi umum yaitu 100 kg urea/ha dan 300 kg phonska/ha, sedangkan untuk PTTC digunakan pupuk urea 257 kg/ha, SP36 182 kg/ha, KCl 220 kg/ha, dan pupuk GDP (pupuk lengkap) 1,5kg/ha dengan komposisi: N 13%; P2O5 6%; K2O 11%; MgO 0,5%; B 0,1%; Fe 2%; Mn 0,7%; Cu 0,8%; Zn

1,9%yang dilakukan tiga kali penyemprotan yaitu 2 kali sebelum pembungaan dan 1 kali setelahnya.

6. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan pendekatan pengendalianhamaterpadu (PHT).

Komponen pilihan:

1. Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam

2. Penggunaan bibit muda umur kurang dari 21 hari setelah semai (HSS) dengan 1-3 bibit/rumpun.

3. Pengairan secara efektif dan efisien. 4. Penyiangan dengan landak atau gasrok. 5. Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.

12,5 cm


(38)

Adapun perbedaan perlakuan pada ketiga pengelolaan yaitu SLPTT, pengelolaan petani, dan PTTC terdapat pada Tabel 2. Pada penelitian ini terutama untuk PTTC berusaha untuk mengadopsi komponen dasar dan pilihan pada PTT tetapi tetap menyesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat.

Tabel 2. Perbedaan Perlakuan pada Ketiga Pengelolaan

Komponen teknologi Petani SLPTT PTTC

Varietas padi unggul

dan bersertifikat Ciherang Ciherang Ciherang Jarak tanam Tanpa caplak ±

20 x 20 cm

Jajar legowo 2 : 1

12,5 cm x 25 cm x 50 cm

Jajar legowo 2 : 1

12,5 cm x 25 cm x 50 cm Umur bibit ≤ 21 hari ≤ 21 hari ≤ 21 hari

Jumlah bibit / lubang 3 – 6 bibit 2 - 3 bibit 2 - 3 bibit

Pemupukan

Pupuk kandang (1 ton/ha) Urea 80 kg/ha Phonska 80 kg/ha

Pupuk kandang (1 ton/ha) Urea 100 kg/ha Phonska 300 kg/ha

Pupuk kandang (1 ton/ha) Urea 257 kg/ha

SP36 182 kg/ha KCl 220 kg/ha Pupuk GDP 1,5kg/ha Penyiangan berdasarkan kepadatan gulma dengan landak/gasrok Tidak dilakukan karena kekeringan Tidak dilakukan karena kekeringan

Dilakukan secara manual tanpa menggunakan landak/gasrok karena kekeringan

Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok

Panen pada waktu yang tepat 125 HST

Panen pada waktu yang tepat 125 HST

Panen pada waktu yang tepat 118 HST

4.4 Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati adalah : a. Hasil dan komponen hasil

Hasil panen dilakukan dengan ubinan berukuran 2,5 x 2,5 m. Menurut Ishaq (2009), ubinan merupakan cara pengambilan data hasil panen yang dilakukan dengan menimbang hasil tanaman contoh pada plot panen tertentu untuk mewakili seluruh hamparan lahan yang diusahakan.

Jumlah malai per-rumpun, persentase butir hampa dan berat 1.000 butir diambil dari 5 rumpun contoh pada setiap ubin setelah panen. Hasil gabah ditimbang dalam bentuk GKP, GKG, dan beras dari setiap ubinan, yang kemudian dikonversikan ke dalam ton/ha.


(39)

b. Analisis tanah dan tanaman

Pengambilan contoh tanah dilakukan sebelum penanaman dan sesudah pemanenan pada kedalaman lapisan olah tanah (0-20 cm). Sifat tanah yang ditetapkan adalah pH, N-total, NH4+, NO3-, P, K, Ca, Mg, Cu, Zn, Fe, Mn,

dan C organik dalam tanah.

Tabel 3. Metode Analisis pada Parameter Tanah dan Tanaman

No Parameter Metode Analisis

Tanah

1 pH pH meter

2 NH4+, NO3- KCl 2 N

3 P (%) Bray 1

4 K, Ca, Mg (me/100g) NH4OAc pH 7.0

5 Cu, Zn, Mn, Fe HCl 0,05 N

6 C org (%) Walkey and Black

7 N-total Kjeldahl

Tanaman

1 N-total pada jaringan tanaman Kjeldahl

2 K, Ca, Mg Pengabuan basah

3 P Pengabuan basah

4 Cu, Zn, Mn, Fe Pengabuan basah

Pengambilan contoh daun dilakukan sebelum pembungaan, diambil 1 daun dari 3 teratas sebanyak 15 daun dari setiap perlakuan dan contoh jerami diambil dari setiap ubinan pada tiga perlakuan. Analisis yang dilakukan adalah N, P, K, Ca, Mg, Cu, Zn, Fe, dan Mn. Metode analisis tanah dan tanaman disajikan pada Tabel 3.

c. Efisiensi Pupuk

Efisiensi pupuk secara agronomis (EA) dilakukan untuk mengetahui berapa produksi yang dihasilkan pada setiap 1 kg pupuk yang ditambahkan, dengan rumus:

EA ( kg/ kg) = Hasil (yang diber i pupuk−tidak diber i pupuk) Dosis pupuk

d. Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rangking hedonik dengan Uji Friedman dan uji hedonik (uji penerimaan konsumen denganmenggunakan


(40)

panelis terlatih yang berjumlah 35 panelis untuk mengevaluasi dan menentukan kesukaan terhadap nasi.

Uji hedonik atau uji penerimaan konsumen dilakukan untuk mengungkapkan tanggapan panelis terhadap parameter rasa, aroma, tekstur, warna, penampakan, kepulenan dan keseluruhan produk yang terpilih. Skala hedonik yang digunakan adalah 1-7 yaitu 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=agak tidak suka, 4=netral, 5=agak suka, 6=suka, dan 7=sangat suka (Soekarto, 1985; Lees, 1975). Uji ini dilakukan pada nasi untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap produk yang dihasilkan.

e. Uji ketahanan nasi terhadap basi

Uji ini dilakukan untuk melihat kualitas nasi yang dihasilkan pada tiga pengelolaan yang berbeda terutama pada ketahan nasi terhadap basi. Pemasakan nasi dilakukan dengan menggunakan rice cooker yang sama secara bergantian dengan perbandingan 1 liter beras ditambah 1.5 liter air. Uji ketahanan nasi terhadap basi dilakukan dengan menggunakan cup dari plastik secara terbuka dan diamati setiap tiga jam sekali dengan memperhatikan parameter bau (nilai bau= 1), rasa (nilai rasa basi=2), dan nilai 0 untuk nasi yang tidak berbau dan rasa basi. Untuk menentukan penilaian terhadap ketahanan basi yaitu lamanya waktu sampai pada saat rasa basi pertama kali muncul.

Uji ketahanan basi dilakukan oleh dua orang dengan masing-masing dua ulangancup yang berisi nasi.

f. Data yang dikumpulkan adalah data iklim selama masa penanaman padi yaitu curah hujan harian selama penanaman dan curah hujan selama sepuluh tahun terakhir, serta data hasil panen SLPTT dan beberapa petani di Desa Mekarjaya selama 4 tahun terakhir yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2011.


(41)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Tanah Sebelum dan Sesudah Panen

Karakteristik tanah pada LL-SLPTT seluas 1 ha (Tabel 4) menunjukkan bahwa pada lahan satu hektar yang dibagi dalam 4 blok berdasarkan kondisi lahan yang ada, sebelum tanam maupun sesudah panen terdapat perbedaan karakteristik tanah. Perbedaan karakteristik tanah sebelum tanam kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dalam pemberian pupuk oleh petani pada setiap petak sawah. Hal ini dikarenakan kepemilikan lahan dalam 1 ha dimiliki oleh beberapa petani dengan pemberian pupuk yang tergantung dari kebiasaan petaninya itu sendiri dalam jenis pupuk yang diberikan, cara, waktu maupun jumlahnya. Walaupun demikian rata-rata karakteristik tanah setelah panen pada blok A, B, dan D dengan perlakuan pemupukan yang sama yaitu 100 kg Urea/ha dan 300 kg Phonska/ha, menunjukkan peningkatan hara N, P, dan K pada tanah.

Karakteristik tanah sebelum dan sesudah panen pada ketiga pengelolaan yang berbeda yaitu pada blok C (Tabel 5)menunjukkan bahwa pada kondisi setelah panen terjadi peningkatan pada pH, C-org, bahan organik, K terutama pada PTTC, Mg, Zn, N kecuali pada pengelolaan petani yang relatif tetap, P kecuali pada PTTC yang cenderung menurun, Ca kecuali PTTC, dan Mn kecuali pada pengelolaan petani yang relatif tetap. Terjadinya peningkatan K yang tinggi pada kondisi setelah panen di PTTC disebabkan pemupukan K yang tinggi. Penelitian di daerah tropika menunjukkan bahwa pertanaman padi musim kemarau dengan produksi yang lebih tinggi memerlukan hara termasuk K lebih banyak dibandingkan pada musim hujan (De Datta, 1981). Kemmler (1971) menyatakan bahwa untuk menghasilkan 5 ton padi per ha tanaman memerlukan 100 kg N, 22 kg P dan 166 kg K.

Pada kondisi setelah panenditunjukkan bahwa yang mengalami penurunan yaitu Cu kecuali pada SLPTT yang relatif tetap, NO3-, NH4+kecuali pada

pengelolaan petani yang relatif tetap, dan Fe kecuali pada SLPTT yang sedikit meningkat pada kondisi setelah panen.


(42)

Kode Sampel pH tanah 1:2.5 C-org (%) BO (%) N

(%) NH4

+

(%) NO3

-(%)

P-Bray ppm

me/100g ppm Contoh

K Ca Mg Zn Fe Mn Cu

A Sebelum Tanam 5,30 3,52 6,08 0,29 0,01 0,01 61,1 0,57 10,53 2,88 24 4 61 1

Setelah panen 5,30 4,81 8,32 0,29 0,02 0,08 69,4 0,60 13,41 2,80 19 25 112 0

B Sebelum Tanam 5,25 2,90 5,01 0,17 0,01 0,03 18,9 0,20 7,92 2,12 14 56 319 2

Setelah Panen 5,40 4,22 7,29 0,22 0,02 0,12 20,4 0,39 9,22 1,89 17 169 403 1

C Sebelum Tanam 5,20 3,18 5,49 0,30 0,03 0,05 20,4 0,32 8,63 2,27 18 38 186 2

Setelah Panen 5,50 4,51 7,80 0,23 0,02 0,06 28,1 0,63 10,74 2,38 15 118 337 1

D Sebelum Tanam 5,40 2,58 4,46 0,26 0,01 0,08 25,1 0,63 9,44 3,69 12 10 61 1

Setelah Panen 5,40 2,19 3,79 0,27 0,01 0,11 30,2 0,85 11,04 3,69 11 44 70 1

Keterangan: blok yang terdapat ketiga pengelolaan Petani, PTTC, dan SLPTT

Tabel 5. Data Analisis Tanah pada Tiga Pengelolaan (Blok C)

Kode Sampel pH tanah 1:2,5 C-org (%) BO (%) N (%) NH4 + ( %) NO3 -(%) P-Bray ppm

---me/100g--- ---ppm

Contoh---K Ca Mg Zn Fe Mn Cu

Petani Sebelum Tanam 5,40 4,89 8,45 0,23 0,02 0,10 21 0,50 6,85 2,17 15 121 180 2

Setelah Panen 5,70 5,39 9,32 0,23 0,02 0,08 23 0,58 10,64 2,69 17 45 180 1 SLPTT Sebelum Tanam 5,40 4,23 7,31 0,21 0,03 0,12 20 0,45 10,24 2,22 15 65 178 1 Setelah Panen 5,50 4,91 8,49 0,24 0,02 0,11 41 0,72 10,89 2,44 17 69 269 1

PTTC Sebelum Tanam 5,40 4,04 6,99 0,20 0,09 0,34 23 0,29 10,81 2,17 12 106 226 2


(43)

Berdasarkan tinggi tanaman padi menurut hasil uji ANOVA (Tabel 6), bahwa pada tanaman padi berumur 78 HST (Sig 0,000) dan 96 HST (Sig 0,000) pada ketiga pengelolaan yaitu petani, SLPTT maupun PTTC secara signifikan berbeda nyata dengan nilai signifikan < 0,05.

Tabel 6. Uji ANOVA Tinggi Tanaman 78 HST dan 96 HST pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC)

Jumlah Kuadrat db Kuadrat

Tengah F Sig.

Tinggi tanaman 78 HST

Antar pengelolaan 12.868,844 2 6434,422 167,466 ,000 Dalam pengelolaan 1.613,733 42 38,422

Total 14.482,578 44

Tinggi tanaman 96 HST

Antar pengelolaan 9.986,363 2 4993,181 87,580 ,000 Dalam pengelolaan 2.337,524 41 57,013

Total 12.323,886 43

Gambar 7. Tinggi Tanaman Padi pada 78 HST dan 96 HST

Berdasarkan uji Duncan 5% pada tinggi tanaman di ketiga pengelolaan petani, SLPTT dan PTTC terlihat berbeda nyata (Gambar 7). Tinggi tanaman pada pengelolaan PTTC lebih tinggi dibandingkan pengelolaan lainnya disebabkan karena pada pengelolaan petani dan SLPTT tidak dilakukan

53.3 59.8 92.0 69.1 79.5 105.3 0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0

Pet ani SLPTT PTTC

T in g g i T a n a m a n ( c m ) 78 HST 96 HST


(44)

dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan tanaman padi itu sendiri. Oleh karena itu pada PTTC walaupun pada pertumbuhan awal terhambat, tetapi tinggi tanaman setelah 96 HST mendekati tinggi tanaman varietas Ciherang secara umum seperti yang dinyatakan oleh Suprihatno et al. (2010) bahwa tinggi tanaman varietas Ciherang berkisar antara 107 – 115 cm.

5.3 Produktivitas Padi pada Ketiga Pengelolaan

Berdasarkan uji ANOVA produktivitas padi (Tabel 7), GKP (Sig 0,000),GKG (Sig 0,000), dan beras (Sig 0,000) pada ketiga pengelolaan yaitu petani, SLPTT maupun PTTC secara signifikan berbeda nyata dengan nilai signifikan < 0,05.

Tabel 7. Uji ANOVA Produktivitas Padi pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC)

Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

GKP (ton) Antar pengelolaan 45,182 2 22,591 50,024 ,000

Dalam pengelolaan 5,419 12 ,452

Total 50,602 14

GKG (ton) Antar pengelolaan 30,480 2 15,240 58,397 ,000

Dalam pengelolaan 3,132 12 ,261

Total 33,611 14

Beras (ton) Antar pengelolaan 8,339 2 4,169 47,581 ,000

Dalam pengelolaan 1,052 12 ,088

Total 9,390 14

Berdasarkan uji Duncan GKP, GKG, dan beras pada ketiga pengelolaan berbeda nyata, yang mana produktivitas padi pada PTTC lebih tinggi dan pada petani lebih rendah yang disajikan pada Gambar 8.Pada PTTC produktivitas padi mencapai 6,57 ton GKG/ha hampir mendekati target hasil yaitu 7 ton GKG/ha, SLPTT menghasilkan 4,60 ton GKG/ha, dan pengelolaan petani 3,08 ton GKG/ha. Hal ini disebabkan karena adanya bulan kering pada awal penanaman yaitu pada bulan Agustus yang hanya mencapai 28,1 mm (Gambar 3), sehingga pada awal pertumbuhan tanaman terhambat akibat kekurangan air.


(45)

Gambar 8. Produktivitas Padi pada Tiga Pengelolaan yang Berbeda

Berdasarkan produktivitas pada tiga pengelolaan (Gambar 8), diperoleh persentase peningkatan produktivitas di antara ketiga pengelolaan (Gambar 9), yang manaPTTC mampu untuk meningkatkan produktivitas dari pengelolaan petani maupun dari SLPTT pada GKP, GKG, dan beras.

Gambar 9. Persentase Peningkatan Produktivitas Padi 4,14 5,84 8,37 3,08 4,60 6,57 1,87 2,70 3,70 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

Petani SLPTT PTTC

P rod u k tivit a

s (ton

/h a) GKP GKG Beras 41.06 102.17 43.32 49.35 113.31 42.83 44.39 97.33 36.67 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

Pet ani ke SLPTT Pet ani ke PTTC SLPTT ke PTTC

p e rs e n ( % ) GKP GKG Beras


(46)

(Tabel 8), bahwa pada semua komponen kecuali pada rendemen (sig 0,320 > 0,05) dan berat hampa/rumpun (sig 0,06 > 0,05) adalah berbeda nyata pada ketiga pengelolaan yaitu petani, SLPTT maupun PTTC dengan nilai signifikan < 0,05, sehingga dapat diuji lanjut dengan uji Duncan.

Tabel 8. Uji ANOVA pada Komponen Produksi Padi pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC)

Jumlah

Kuadrat db

Kuadrat

Tengah F Sig.

Jumlah Antar pengelolaan 2.649.088.000,000 2 1.324.544.000,000 8,730 ,005 rumpun/ ha Dalam pengelolaan 1.820.672.000,000 12 151.722.666,667

Total 4.469.760.000,000 14

Berat seribu Antar pengelolaan 20,016 2 10,008 9,670 ,003

butir Dalam pengelolaan 12,420 12 1,035

Total 32,436 14

Rendemen Antar pengelolaan 71,905 2 35,953 1,253 ,320 Dalam pengelolaan 344,211 12 28,684

Total 416,116 14

Persentase Antar pengelolaan 52,703 2 26,352 8,739 ,005 GKP ke GKG Dalam pengelolaan 36,184 12 3,015

Total 88,887 14

Persentase Antar pengelolaan 52,703 2 26,352 8,739 ,005 bobot susut Dalam pengelolaan 36,184 12 3,015

Total 88,887 14

GKG/ rumpun Antar pengelolaan 954.410 2 477.205 48.420 .000 Dalam pengelolaan 118.265 12 9.855

Total 1072.675 14

GKP/rumpun Antar pengelolaan 1220.134 2 610.067 42.170 .000 Dalam pengelolaan 173.602 12 14.467

Total 1393.737 14

Berathampa/ Antar pengelolaan 72.822 2 36.411 3.588 .060

rumpun Dalam pengelolaan 121.765 12 10.147

Total 194.587 14

Jumlahmalai/ Antar pengelolaan 52.069 2 26.035 8.398 .005

rumpun Dalam pengelolaan 37.200 12 3.100

Total 89.269 14

Persentase Antar pengelolaan 857.638 2 428.819 7.504 .008 hampa/ rumpun Dalam pengelolaan 685.740 12 57.145

Total 1543.378 14

Berdasarkan Tabel 9, walaupun jumlah rumpun per hektar pada pengelolaan petani berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan SLPTT dan PTTC, namun pada komponen produksi lainnya menunjukkan bahwa pada PTTC lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.Jumlah rumpun yang banyak pada petani menunjukkan kurangnya efisiensi, karena jarak tanam yang tidak teratur dan


(47)

timbulnya hama dan penyakit.

Persentase GKP ke GKG (Tabel 9) pada pengelolaan petani berbeda nyata lebih rendah daripada SLPTT dan PTTC, sehingga bobot susut pada pengelolaan petani berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Pada berat 1.000 butir gabah pada PTTC berbeda nyata lebih berat dibandingkan petani maupun SLPTT.Jumlah malai per rumpun pada SLPTT berbeda nyata lebih banyak dibandingkan pengelolaan petani dan PTTC. Produksi GKG per rumpun dan gabah berisi per rumpun pada PTTC berbeda nyata lebih tinggi dari yang lainnya, sedangkan pada produksi gabah berisi menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara petani dan SLPTT.Pada berat hampa per rumpun pada ketiga pengelolaan tidak berbeda nyata, namun demikian nilai persentase hampa per rumpun pada PTTC lebih kecil dibandingkan pengelolaan petani dan SLPTT.

Tabel 9. Data Komponen Produksi Padi pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC)

Pengelolaan

Petani SLPTT PTTC

Jumlah rumpun/ha 241.280a 208.960b 221.760b

Rendemen beras (%) 61,63 58,80 56,27

GKP ke GKG (%) 74,64b 78,74a 78,47a

Bobot susut (%) 25,36a 21,26b 21,53b

1.000 butir (g) 25,34b 26,18b 28,10a

Jumlah malai/rumpun 16b 21a 18b

Produksi/rumpun (g) GKG 20,51

c

29,24b 42,45a Gabah Berisi 13,84b 17,27b 32,22a

Hampa/rumpun (g) 6,67 11,97 10,23

Persentase hampa/rumpun 34,46a 42.25a 23,81b Keterangan: Angka-angka yang diikuti perbedaan huruf dalam satu baris menunjukkan perbedaan nyata pada uji Duncan 5%

Secara keseluruhan dilihat dari komponen produksi, PTTC merupakan pengelolaan yang baik dibandingkan dengan pengelolaan petani dan SLPTT pada budidaya padi sawah di Desa Mekarjaya untuk mendapatkan produktivitas yang


(48)

dilakukan berdasarkan target hasil dengan menyesuaikan kondisi dan lingkungan setempat, dan juga waktu panen yang lebih awal dibandingkan dengan pengelolaan lainnya.

5.4 Kadar Hara pada Daun Padi

Karakteristik tanaman padi berdasarkan kandungan hara yang terdapat pada daun yang ditunjukkan pada Tabel 10, memperlihatkan bahwa secara uji ANOVA pada Ca (Sig 0,009) dan Mn (Sig 0,000) pada ketiga pengelolaan yaitu petani, SLPTT maupun PTTC secara signifikan berbeda nyata yaitu dengan nilai signifikan < 0,05.

Tabel 10. Uji ANOVA Kadar Hara pada Daun Padi78 HST pada Ketiga Pengelolaan (Petani, SLPTT, dan PTTC)

Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

N Antar pengelolaan ,046 2 ,023 ,234 ,798

Dalam pengelolaan ,591 6 ,098

Total ,637 8

P Antar pengelolaan ,000 2 ,000 ,273 ,770

Dalam pengelolaan ,001 6 ,000

Total ,001 8

K Antar pengelolaan 1,014 2 ,507 4,179 ,073

Dalam pengelolaan ,728 6 ,121

Total 1,742 8

Ca Antar pengelolaan ,031 2 ,015 11,385 ,009

Dalam pengelolaan ,008 6 ,001

Total ,039 8

Mg Antar pengelolaan ,002 2 ,001 3,613 ,093

Dalam pengelolaan ,002 6 ,000

Total ,005 8

Cu Antar pengelolaan 36,222 2 18,111 ,560 ,598

Dalam pengelolaan 194,000 6 32,333

Total 230,222 8

Zn Antar pengelolaan 5,556 2 2,778 ,026 ,974

Dalam pengelolaan 635,333 6 105,889

Total 640,889 8

Mn Antar pengelolaan 341.293,556 2 170.646,778 147,562 ,000 Dalam pengelolaan 6.938,667 6 1.156,444

Total 348.232,222 8

Fe Antar pengelolaan 6.588,667 2 3.294,333 3,388 ,104

Dalam pengelolaan 5.833,333 6 972,222


(49)

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan uji Duncan (Tabel 11), Ca dan Mn pada PTTC berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan petani maupun SLPTT. Kalsium pada petani dan SLPTT tidak berbeda nyata, sedangkan Mn pada petani berbeda nyata lebih rendah dibandingkan pengelolaan lainnya.

Tabel 11. Kadar Hara pada Daun Padi78 HST

Pengelolaan N P K Ca Mg Cu Zn Mn Fe

---%--- ---ppm---Petani 2,80 0,17 1,14 0,15b 0,12 14 28 159c 51 SLPTT 2,83 0,17 1,87 0,22b 0,15 10 28 252b 113

PTTC 2,67 0,18 1,17 0,30a 0,16 11 30 611a 102 Keterangan : Angka-angka yang diikuti perbedaan huruf dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata pada uji Duncan 5%

Berdasarkan kisaran optimal dan batas kritis kadar unsur hara pada tanaman padi menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), diketahui bahwa pada pengelolaan petani dan SLPTT untuk P terdapat pada batas kritis kahat yaitu < 0,18%. Demikian pula pada pengelolaan petani dan PTTC untuk K terdapat pada batas kritis kahat yaitu < 1,2%.

Walaupun pada awal kadar hara K pada PTTC di daun terdapat pada batas kritis kahat, namun sebenarnya penyerapan kadar haraK pada daun di PTTC lebih besar apabila dibandingkan dengan pengelolaan lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya dilution effect (efek pengenceran) oleh bobot kering pada pertumbuhan tanaman PTTC lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan lainnya, sehingga kadar hara (jumlah hara / bobot kering) lebih rendah pada PTTC. Hal ini di dukung dengan tinggi tanaman pada 78 HST (Gambar 7) dan produksi pada PTTC lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan lainnya.

5.5 Kadar Hara pada Jerami Padi

Karakteristik tanaman padi pada jeramiberdasarkan uji ANOVA(Tabel 12) ditunjukkan bahwa pada N (Sig 0,013), Ca (Sig 0,015), Mg (Sig 0,016), dan Mn (Sig 0,008) pada ketiga pengelolaan yaitu petani, SLPTT maupun PTTC secara signifikan berbeda nyata yaitu dengan nilai signifikan < 0,05.


(50)

SLPTT, dan PTTC)

Jumlah Kuadrat db Kuadrat Tengah F Sig.

N Antar pengelolaan ,214 2 ,107 6,412 ,013

Dalam pengelolaan ,200 12 ,017

Total ,414 14

P Antar pengelolaan ,000 2 ,000 ,681 ,525

Dalam pengelolaan ,002 12 ,000

Total ,002 14

K Antar pengelolaan ,528 2 ,264 1,109 ,362

Dalam pengelolaan 2,860 12 ,238

Total 3,388 14

Ca Antar pengelolaan ,027 2 ,014 6,125 ,015

Dalam pengelolaan ,027 12 ,002

Total ,054 14

Mg Antar pengelolaan ,010 2 ,005 5,934 ,016

Dalam pengelolaan ,010 12 ,001

Total ,019 14

Cu Antar pengelolaan 470,933 2 235,467 ,563 ,584 Dalam pengelolaan 5.014,800 12 417,900

Total 5.485,733 14

Zn Antar pengelolaan 1.268,400 2 634,200 ,456 ,645 Dalam pengelolaan 16.703,600 12 1.391,967

Total 17.972,000 14

Mn Antar pengelolaan 222.302,429 2 111.151,214 7,728 ,008 Dalam pengelolaan 158.215,000 11 14.383,182

Total 380.517,429 13

Fe Antar pengelolaan 550,533 2 275,267 ,067 ,936 Dalam pengelolaan 49.390,800 12 4.115,900

Total 49.941,333 14

Berdasarkan hasil uji lanjut dengan uji Duncan (Tabel 13), bahwa N pada SLPTTberbeda nyata lebih tinggi dibandingkan pengelolaan petani dan PTTC, tetapi N pada pengelolaan petani tidak berbeda nyata dengan PTTC. Kalsium, Mg dan Mn pada jerami berbeda nyata yang manaPTTC lebih tinggi dibandingkan pengelolaan petani dan SLPTT. Kalsium dan Mn pada pengelolaan petani tidak berbeda nyata dengan SLPTT, tetapi Mg pada petani berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan pengelolaan lainnya.


(51)

Tabel 13. Kadar Hara pada Jerami Padi

Pengelolaan N P K Ca Mg Cu Zn Mn Fe

---%--- ---ppm---Petani 0,55b 0,15 2,02 0,18b 0,11b 20 56 534b 240 SLPTT 0,79a 0,16 2,07 0,17b 0,13ab 11 37 637b 225 PTTC 0,53b 0,16 2,44 0,27a 0,17a 6 57 891a 231 Keterangan : Angka-angka yang diikuti perbedaan huruf dalam satu kolom menunjukkan

perbedaan nyata pada uji Duncan 5%

Berdasarkan kisaran optimal dan batas kritis kadar unsur hara pada tanaman padi menurut Dobermann dan Fairhurst (2000),maka kisaran optimal hara N pada jerami adalah 0,60 – 0,80%, sehingga pada pengelolaan petani dan PTTC hara N tidak optimal. Untuk hara P pada ketiga pengelolaan dapat diserap secara optimal oleh tanaman terutama pada pengelolaan SLPTT dan PTTC yang berada diatas kisaran optimal 0,1 – 0,15%. Begitu pula pada kadar hara K pada ketiga pengelolaan berada diatas kisaran optimal 1,5 – 2,0%, terutama pada PTTC terlihat lebih signifikan perbedaannya dengan pengelolaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pemupukan K pada PTTC lebih efisien, yaitu hara K lebih banyak yang terserap pada tanaman.

Kalsium pada jerami di pengelolaan petani maupun di SLPTT mendekati batas kahat yaitu < 0,15%, sedangkan Ca pada PTTC berbeda nyata lebih mendekati ke kisaran optimal yaitu 0,3%. Begitu pula pada kadar hara Mg pada PTTC berbeda nyata lebih mendekati ke kisaran optimal yaitu 0,2%, sedangkan pengelolaan petani kadar hara Mg berbeda nyata lebih rendah dan mendekati batas kahat < 0,1%. Untuk kadar hara Cu pada PTTC lebih mendekati kahat yaitu < 0,6%, walaupun pada ketiga pengelolaan sebenarnya kadar hara Cu tidaklah berbeda nyata.Namun demikian, walaupun pada PTTC untuk N dan Cu berada pada batas kritis, namun karena adanya efek pengenceran, maka sebenarnya kadar hara N dan Cu yang diserap oleh tanaman baik pada daun maupun pada jerami lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari data komponen produksi padi (Tabel 9) yang rata-rata pada PTTC lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan lainnya.


(52)

Pupuk dikatakan efisiensi apabila terjadi peningkatan hasil panen yang tinggi pada setiap kg pupuk yang ditambahkan yang disebut Efisiensi Agronomis (EA) (kg/kg) (Wittet al., 2007).

EA ( kg/ kg) =

Hasil (yang diber i pupuk−tidak diber i pupuk) Dosis pupuk

Efisiensi Pupuk pada ketiga pengelolaan yang berbeda(Tabel 14)menunjukkan bahwa efisiensi pupuk secara agronomis yang tertinggi untuk N dan P terletak pada pengelolaan PTTC yaitu N sebesar 33,77 dan P sebesar 139,77. Akan tetapi untuk K pada PTTC lebih rendah dibandingkan dengan pengelolaan lainnya. Efisien K yang tertinggi terdapat pada pengelolaan SLPTT yaitu sebesar 36,45.

Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk N dan P pada PTTC dianggap lebih baik dibandingkan pada SLPTT dan Petani, sedangkan untuk K pada PTTC walaupun dengan penambahan pupuk yang tinggi serta produksi yang tinggi tetapi tidak lebih efisien dibandingkan SLPTT maupun petani. Walaupun demikian K yang ditambahkan pada PTTC lebih banyak diserap oleh tanaman dibandingkan dengan pengelolaan lainnya, hal ini ditunjukkan pada Tabel 13 yaitu sebesar 2,44% pada jerami PTTC.

Tabel 14. Efisiensi Pupuk pada Ketiga Pengelolaan yang Berbeda

Pengelolaan

kg/ha pupuk yg

ditambahkan (GKG)

t/ha

Efisiensi pupuk (EA) (kg/kg)

N P K N P K

Petani 48,8 5,23 9,96 3,08 10,43 97,28 51,08

SLPTT 91 19,62 37,35 4,60 22,29 103,40 54,32

PTTC 118,42 28,61 109,7 6,57 33,77 139,77 36,45 Keterangan: produksi tanpa pupuk = 2,57 GKG t/ha (berdasarkan Lampiran 3)

5.7 Tingkat Ketahanan Nasi terhadap Basi

Berdasarkan tingkat ketahanan terhadap basi yang disajikan pada Gambar 10 ditunjukkan bahwa pada PTTC waktu yang dibutuhkan untuk menjadi basi yaitu 37 jam, sedangkan pada pengelolaan petani hanya 31 jam selisih satu jam


(53)

lebih baik dari SLPTT dan pengelolaan petani.

Kualitas nasi di PTTC lebih tahan dibandingkan dengan pengelolaan lainnya kemungkinan disebabkan karena pemupukan yang berbeda dibandingkan dengan pengelolaan lainnya, yaitu selain jumlah pupuk N, P, dan K yang berbeda juga adanya penambahan pupuk mikro. Walaupun demikian belum bisa dipastikan unsur mana yang lebih berpengaruh terhadap ketahanan basi dalam nasi.

Gambar 10.Tingkat Ketahanan Nasi terhadap Basi

5.8 Organoleptik Nasi

Berdasarkan data organoleptik dengan uji hedonik pada nasi (Tabel 15), bahwa nilai rata-rata untuk tekstur pada pengelolaan petani lebih tinggi daripada PTTC dan SLPTT, dan secara ranking berbeda nyata. Nilai rata-rata dan secara ranking untuk aroma berbeda nyata, yaitu pada pengelolaan petani lebih tinggi daripada SLPTT, tetapi PTTC tidak berbeda nyata dengan keduanya. Nilai rata-rata dan secara ranking pada penampakan dan warna tidak berbeda nyata. Pada kepulenan nilai rata-rata dan secara ranking berbeda nyata, yaitu pengelolaan petani dan PTTC lebih tinggi daripada SLPTT. Pada rasa nilai rata-rata dan secara ranking berbeda nyata, yaitu pada pengelolaan petani lebih disukai dibandingkan PTTC dan SLPTT.Secara keseluruhan, nilai rata-rata dan secara

31 32

37

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Petani SLPTT PTTC

lam

a w

akt

u (j

am


(54)

SLPTT, tetapi PTTC tidak berbeda nyata dengan keduanya.

Tabel 15. Data Organoleptik dengan Uji Hedonik pada Nasi

Parameter Nilai rata-rata Ranking

PETANI SLPTT PTTC PETANI SLPTT PTTC

Tekstur 6,03 4,89 5,49 2,49a 1,49c 2,03b

Aroma 5,46 4,94 5,31 2,24a 1,69b 2,07ab

Penampakan 5,77 5,43 5,43 2,21a 1,86a 1,93a

Kepulenan 5,80 4,94 5,43 2,43a 1,53b 2,04a

Warna 5,86 5,80 5,77 2,11a 1,94a 1,94a

Rasa 5,89 5,03 5,46 2,43a 1,54b 2,03b

Keseluruhan 5,91 5,29 5,40 2,39a 1,64b 1,97b Keterangan : Angka-angka yang diikuti perbedaan huruf dalam satu baris menunjukkan perbedaan nyata

Perbedaan secara nyata pada level 0,05 (Tes Friedman) diuji lanjut dengan Wilcoxon (SPSS)

Walaupun demikian uji organoleptik yang dilakukan masih belum optimal, karena beras dimasak dengan perbandingan beras dan air yang sama pada ketiga pengelolaan yaitu 1 : 1,5. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 11 yaitu kadar air GKG pada ketiga pengelolaan adalah berbeda, yang mana pada PTTC kadar air lebih tinggi dibandingkan SLPTT dan pengelolaan petani.

Gambar 11. Kadar Air pada Gabah Kering Giling pada Ketiga Pengelolaan yang Berbeda

10.43 10.46

11.19

0 2 4 6 8 10 12

Pet ani SLPTT PTTC

k

a

d

a

r

a

ir

(

%


(55)

Berdasarkan analisis usaha tani (Tabel 16), bahwa tingkat penerimaan usaha tani pada pengelolaanpetani sebesar Rp. 10.764.000,00 dengan total biaya pengeluaran sebesar Rp. 4.894.800,00 dengan keuntungan hasil usaha tani sebesar Rp. 5.869.200,00 atau diperoleh B/C ratio sebesar 1,20. Pada SLPTT penerimaan usaha tani sebesar Rp. 15.184.000,00 dengan total biaya pengeluaran sebesar Rp.6,371,800,00 dengankeuntungan hasil usaha sebesar Rp. 8.812.200,00 atau diperoleh B/C ratio sebesar 1,38. Pada PTTC penerimaan usaha tani sebesar Rp. 21.762.000,00 dengan total biaya pengeluaran sebesar Rp.8.933.680,19 dengan keuntungan sebesar Rp. 12.828.319,81 atau diperoleh B/C ratio usaha tani sebesar 1,44.

Berdasarkan nilai B/C rasio pada ketiga pengelolaan diperoleh nilai B/C rasio pada PTTC lebih tinggi dibandingkan nilai B/C rasio pada pengelolaan SLPTT dan pengelolaan petani, sehingga hal ini menunjukkan bahwa usaha tani PTTC lebih menguntungkandibandingkan pengelolaan SLPTT dan pengelolaan petani. Hal ini juga dapat dilihat daripeningkatan persentase padakeuntungan antara ketiga pengelolaan (Gambar 12),yang mana PTTC mampu meningkatkan keuntungan sebesar Rp. 6.959.119,81 (118,57%) dari pengelolaan petani dan Rp. 4.016.119,81 (45,57%) dari SLPTT, lebih besar apabila dibandingkan dengan peningkatan dari pengelolaan petani ke SLPTT yaitu Rp. 2.943.000,00 (50,14%).

Gambar 12. Peningkatan Persentase Dilihat dari Keuntunganantara Ketiga Pengelolaan

50.14

118.57

45.57

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00

Pet ani ke SLPTT Pet ani ke PTTC SLPTT ke PTTC

Rp. 2.943.000 Rp. 6.959.119,81 Rp. 4.016.119,81

P

e

rs

e

n

(

%


(56)

dari segi waktu juga lebih efisien dan efektif, karena pemanenan dilakukan lebih awal dibandingkan dengan pengelolaan lainnya yaitu 118 HST, sedangkan pada petani dan SLPTT panen pada 125 HST.


(1)

Homogeneous Subsets

GKG

Duncan

per_rumpun

N Subset for alpha = .05

1 2 1

1.00 5 13.8460

2.00 5 17.2780

3.00 5 32.2200

Sig. .110 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Berat_hampa

Duncan

per_rumpun

N Subset for alpha = .05

1 2 1

1.00 5 6.6720

3.00 5 10.2360 10.2360

2.00 5 11.9640

Sig. .102 .408

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

GKP

Duncan

per_rumpun

N Subset for alpha = .05

1 2 3 1

1.00 5 20.5140

2.00 5 29.2440

3.00 5 42.4540

Sig. 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Jumlah_malai

Duncan

per_rumpun

N Subset for alpha = .05

1 2 1

1.00 5 16.2000

3.00 5 18.3200

2.00 5 20.7600

Sig. .081 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(2)

Persentase_hampa

Duncan

per_rumpun

N Subset for alpha = .05

1 2 1

3.00 5 23.8060

1.00 5 34.4600

2.00 5 42.2540

Sig. 1.000 .129

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Lampiran 11.Uji ANOVA untuk Komponen Produksi (SPSS)

Descriptives

N Mean Std,

Deviation Std, Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound Lower Bound Upper Bound Lower Bound Upper Bound Lower Bound Upper Bound

GKP_ton SLPTT 5 5,84 0,74 0,33 4,92 6,75 5,03 6,71

Petani 5 4,14 0,81 0,36 3,14 5,15 2,96 5,11

PTTC 5 8,37 0,40 0,18 7,87 8,86 7,99 8,79

Total 15 6,12 1,90 0,49 5,06 7,17 2,96 8,79

GKG_ton SLPTT 5 4,60 0,60 0,27 3,86 5,34 3,93 5,35

Petani 5 3,08 0,58 0,26 2,36 3,81 2,25 3,76

PTTC 5 6,57 0,29 0,13 6,20 6,93 6,10 6,82

Total 15 4,75 1,55 0,40 3,89 5,61 2,25 6,82

Beras_ton SLPTT 5 2,70 0,38 0,17 2,23 3,17 2,40 3,32

Petani 5 1,87 0,25 0,11 1,57 2,18 1,64 2,16

PTTC 5 3,70 0,24 0,11 3,39 4,00 3,28 3,84

Total 15 2,76 0,82 0,21 2,30 3,21 1,64 3,84

Jumlah rumpun

_ha

SLPTT 5 208960,00 8734,30 3906,10 198114,93 219805,07 193600,00 214400,00 Petani 5 241280,00 17938,56 8022,37 219006,33 263553,67 214400,00 256000,00 PTTC 5 221760,00 7555,66 3378,99 212378,41 231141,59 209600,00 230400,00 Total 15 224000,00 17868,09 4613,52 214104,98 233895,02 193600,00 256000,00 seribu_

butir

SLPTT 5 26,18 1,20 0,54 24,68 27,68 24,20 27,50 Petani 5 25,34 0,86 0,39 24,27 26,41 24,10 26,30 PTTC 5 28,10 0,95 0,43 26,92 29,28 27,00 29,40 Total 15 26,54 1,52 0,39 25,70 27,38 24,10 29,40 rendemen SLPTT 5 58,80 2,87 1,28 55,23 62,36 55,87 62,05 Petani 5 61,63 8,70 3,89 50,83 72,43 54,44 76,38 PTTC 5 56,27 1,47 0,66 54,44 58,10 53,79 57,68 Total 15 58,90 5,45 1,41 55,88 61,92 53,79 76,38 persentase

_gkg_gkp

SLPTT 5 78,74 1,32 0,59 77,10 80,39 76,76 79,83 Petani 5 74,64 1,43 0,64 72,87 76,41 72,84 76,16 PTTC 5 78,47 2,29 1,03 75,62 81,31 75,92 80,92 Total 15 77,28 2,52 0,65 75,89 78,68 72,84 80,92 persentase

bobot_ susut

SLPTT 5 21,26 1,32 0,59 19,61 22,90 20,17 23,24 Petani 5 25,36 1,43 0,64 23,59 27,13 23,84 27,16 PTTC 5 21,53 2,29 1,03 18,69 24,38 19,08 24,08 Total 15 22,72 2,52 0,65 21,32 24,11 19,08 27,16


(3)

Test of Homogeneity of Variances

Levene

Statistic db1 db2 Sig,

GKP_ton 1,112 2 12 ,360

GKG_ton 1,466 2 12 ,269

Beras_ton ,447 2 12 ,650

jumlah_rumpun_ha 3,486 2 12 ,064

seribu_butir ,068 2 12 ,935

Rendemen 2,969 2 12 ,090

persentase_gkg_gkp 3,109 2 12 ,082

persentase_bobot_susut 3,109 2 12 ,082

Homogeneous Subsets

GKP_ton

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 3 1

Duncan(a)

Petani 5 4,1420

SLPTT 5 5,8380

PTTC 5 8,3660

Sig, 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,

GKG_ton

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 3 1

Duncan(a)

Petani 5 3,0840

SLPTT 5 4,6000

PTTC 5 6,5660

Sig, 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,

beras_ton

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 3 1

Duncan(a)

Petani 5 1,8720

SLPTT 5 2,7040

PTTC 5 3,6960

Sig, 1,000 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,

jumlah_rumpun_ha

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 1

Duncan(a) SLPTT 5 208960,0000

PTTC 5 221760,0000

Petani 5 241280,0000

Sig, ,126 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,


(4)

seribu_butir

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 1

Duncan(a)

Petani 5 25,3400

SLPTT 5 26,1800

PTTC 5 28,1000

Sig, ,216 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,

rendemen

Pengelolaan

N Subset for alpha = ,05

1 1

Duncan(a)

PTTC 5 56,2740

SLPTT 5 58,7980

Petani 5 61,6340

Sig, ,158

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,

persentase_gkg_gkp

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 1

Duncan(a)

Petani 5 74,6360

PTTC 5 78,4660

SLPTT 5 78,7440

Sig, 1,000 ,804

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,

persentase_bobot_susut

Pengelolaan N Subset for alpha = ,05

1 2 1

Duncan(a)

SLPTT 5 21,2560

PTTC 5 21,5340

Petani 5 25,3640

Sig, ,804 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed, a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000,


(5)

Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian

Petakan PTTC

Petakan Petani


(6)

Alat Ubinan