Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lembaga Kepailitan

(1)

PENYELESAIAN KREDIT MACET MELALUI

LEMBAGA KEPAILITAN

(Studi Terhadap Putusan Pailit)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Hukum

Oleh

ATMAWARNI

037005084/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ABSTRAK

Dalam memberikan fasilitas kredit, seringkali bank menghadapi persoalan yang disebut dengan kredit bermasalah. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai potensi menjadi macet. Tindakan yang dilakukan bank dalam upaya penyelesaian kredit macet akan beranekaragam tergantung pada kondisi kredit macet tersebut. Kepailitan merupakan salah satu lembaga dalam hukum perdata barat (Hindia Belanda) sebagai sarana bagi kreditur untuk menyelesaikan utang debitur yang tidak mampu melunasi utang-utangnya kepada krediturnya.

Tesis ini membahas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan kepailitan dalam upaya penyelesaian kredit macet, yaitu tentang penyelesaian kredit macet di lembaga perbankan, mekanisme penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan, dan kendala-kendala yang dihadapi oleh bank dalam menggunakan lembaga kepailitan dalam penyelesaian kredit macet.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it

is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Upaya penyelamatan kredit yang dilakukan untuk memperbaiki kredit macet dengan bentuk Rescheduling, Recoditioning, dan Restructuring Apabila langkah-langkah tersebut tidak juga dapat dilaksanakan debitur, maka penyelesaian dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Mekanisme penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan dilakukan melalui proses pengajuan ke pengadilan yang terbagi dalam beberapa tahapan, yaitu: tahap pendaftaran permohonan pernyataan pailit, tahap pemanggilan para pihak, tahap persidangan atas permohonan pailit, tahap putusan atas permohonan pendaftaran pailit. Kendala-kendala yang dihadapi kreditur/bank apabila prosedur pemberesan harta pailit dilakukan melalui kepailitan adalah: Kendala internal, yaitu pihak bank tidak mudah menggunakan hukum kepailitan dalam penyelesaian kredit macet, sebab perlu kemampuan pembuktian oleh bank atas permohonan pailit dan besarnya sumber daya dan anggaran yang harus dibiayai bank. Selain kendala internal, pihak bank juga mengalami kendala eksternal, yaitu jika melalui pengadilan, akan memakan waktu yang relatif lama karena adanya perlawanan dari debitur. Jika melalui pelelangan, pelaksanaan eksekusi sering ditangguhkan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan proses eksekusi yang lama dan berbeli-belit akan menimbulkan kerugian secara material maupun immaterial.


(3)

ABSTRACT

In giving credit facility, the bank is often experience the problem which named problem credit. Problem credit is the credit which stagnant collectability which added by the credits which have apocryphal collectability which can be stagnant potential. The act which done by bank in the credit completion effort will be multiple up to the stagnant credit condition. Bankrupt law is one of the civil law house as the legal remedy for the creditor to complete the debitor’s debt who doesn’t be able to pay their debt to the creditor.

This thesis getting down the cases which related with the legal remedy application in the completion stagnant credit effort, that is about stagnant credit completion through bankrupt law, and the obstacles which faced by the bank in the using of bankrupt law in the stagnant credit completion.

The method research which used by this research is normative juridical. normative juridical is called doctrinal research, law as it is written notice in the book or law it is decided by the judge through judicial process. Normative law research is based to the secondary data and pointed up to theoretical speculative steps and qualitative normative analyzing.

The credit safety effort which done to improve stagnant credit by rescheduling, and restructuring form. If the steps can’t be also done by debitor, then the completion will be done by propose the claim to district court. Stagnant credit completion process through the bankrupt law is done through propose process to the court, which divided to some of stages, it is bankrupt declaration register petition stage, each party concern stage, court session stage based bankrupt petition, adjudication stage based bankrupt register petition. The obstacles which faced by creditor/ bank if the property finishing procedure is done through the bankrupt law are: internal obstacle, it is the bank doesn’t easy to use bankrupt law in stagnant credit completion, because it’s need evidence ability of bank for bankrupt propose and high resource and budget which must be paid by bank. Other than internal obstacle, bank side also experience external obstacle, that is if through the court process, it will passing the long time, because the existence of debitor’s resistance. If through the auction room, the execution is often deferred till the existence of a valid adjudication and a long and wind execution process will making material and immaterial disadvantage .


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Tesis ini berjudul: uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lembaga Kepailitan”.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(5)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum USU.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, M. Hum sebagai Ketua Pasca Sarjana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh staf Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU.

8. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU.

9. Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang,

perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

10.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian

yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai tesis ini.

11.Kepada teman-temanku di Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU yang tidak

bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

12.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan tesis ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.


(6)

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 13 Mei 2010


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori ... 13

G. Metode Penelitian ... 27

BAB II KREDIT MACET DAN PENYELESAIANNYA DI PERBANKAN . 31 A. Tinjauan Umum tentang Kredit ... 31

B. Prinsip dan Pertimbangan Kredit ... 41

C. Kredit Bermasalah dan Kredit Macet ... 51

D. Upaya-Upaya Penyelamatan dan Pennyelesaian Kredit Macet ... 54

BAB III MEKANISME PENYELESAIAN KREDIT MACET MELALUI HUKUM KEPAILITAN ... 66

A. Pengaturan hukum mengenai kepailitan ... 66

1. Pengertian Pailit ... 66


(8)

3. Tahap kepailitan ... 79

B. Penyelesaian Kredit Macet melalui Kepailitan ... 89

1. Pihak-pihak dalam permohonan pailit ... 89

2. Lembaga peradilan yang berwenang... 91

3. Prosedur Permohonan Pailit terhadap Debitur... 94

4. Tahap Penyelesaian Kredit Macet Melalui Kepailitan... 104

a. Pernyataan pailit... 104

b. Pencocokan utang ... 106

c. Upaya perdamaian... 110

d. Pemberesan harta pailit ... 121

e. Tahap terakhir ... 124

C. Hukum Kepailitan Sebagai Penyelesaian Kredit Macet Perbankan . 125 BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI BANK DALAM PENYELESAIAN KREDIT MELALUI HUKUM KEPAILITAN ... 134

A. Kendala Internal ... 134

B. Kendala Eksternal ... ... 142 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 151

A. Kesimpulan ... 151

B. Saran ... 152


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

N a m a : Atmawarni

Tempat/Tgl. Lahir : Bukit Tinggi, 7 Mei 1958

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS Kopertis dpk UISU

Alamat : Jl. Garuda Gg. Amal No. 39 Sie Sikambing B Medan

Pendidikan : Sekolah Dasar Negeri SK Ramai, Takengon, tamat tahun

1971

GA Negeri VI Tahun, Takengon, tamat tahun 1977

Stara-1 (S1) FIP/BP UNSYIAH Banda Aceh, tamat tahun Strata-1 (S1) Fakultas Hukum Universitas Al- Washliyah Medan, tamat tahun 2002

Strata-2 (s2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum USU, tamat tahun 2010


(10)

ABSTRAK

Dalam memberikan fasilitas kredit, seringkali bank menghadapi persoalan yang disebut dengan kredit bermasalah. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai potensi menjadi macet. Tindakan yang dilakukan bank dalam upaya penyelesaian kredit macet akan beranekaragam tergantung pada kondisi kredit macet tersebut. Kepailitan merupakan salah satu lembaga dalam hukum perdata barat (Hindia Belanda) sebagai sarana bagi kreditur untuk menyelesaikan utang debitur yang tidak mampu melunasi utang-utangnya kepada krediturnya.

Tesis ini membahas beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan kepailitan dalam upaya penyelesaian kredit macet, yaitu tentang penyelesaian kredit macet di lembaga perbankan, mekanisme penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan, dan kendala-kendala yang dihadapi oleh bank dalam menggunakan lembaga kepailitan dalam penyelesaian kredit macet.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it

is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses

pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Upaya penyelamatan kredit yang dilakukan untuk memperbaiki kredit macet dengan bentuk Rescheduling, Recoditioning, dan Restructuring Apabila langkah-langkah tersebut tidak juga dapat dilaksanakan debitur, maka penyelesaian dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Mekanisme penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan dilakukan melalui proses pengajuan ke pengadilan yang terbagi dalam beberapa tahapan, yaitu: tahap pendaftaran permohonan pernyataan pailit, tahap pemanggilan para pihak, tahap persidangan atas permohonan pailit, tahap putusan atas permohonan pendaftaran pailit. Kendala-kendala yang dihadapi kreditur/bank apabila prosedur pemberesan harta pailit dilakukan melalui kepailitan adalah: Kendala internal, yaitu pihak bank tidak mudah menggunakan hukum kepailitan dalam penyelesaian kredit macet, sebab perlu kemampuan pembuktian oleh bank atas permohonan pailit dan besarnya sumber daya dan anggaran yang harus dibiayai bank. Selain kendala internal, pihak bank juga mengalami kendala eksternal, yaitu jika melalui pengadilan, akan memakan waktu yang relatif lama karena adanya perlawanan dari debitur. Jika melalui pelelangan, pelaksanaan eksekusi sering ditangguhkan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan proses eksekusi yang lama dan berbeli-belit akan menimbulkan kerugian secara material maupun immaterial.


(11)

ABSTRACT

In giving credit facility, the bank is often experience the problem which named problem credit. Problem credit is the credit which stagnant collectability which added by the credits which have apocryphal collectability which can be stagnant potential. The act which done by bank in the credit completion effort will be multiple up to the stagnant credit condition. Bankrupt law is one of the civil law house as the legal remedy for the creditor to complete the debitor’s debt who doesn’t be able to pay their debt to the creditor.

This thesis getting down the cases which related with the legal remedy application in the completion stagnant credit effort, that is about stagnant credit completion through bankrupt law, and the obstacles which faced by the bank in the using of bankrupt law in the stagnant credit completion.

The method research which used by this research is normative juridical. normative juridical is called doctrinal research, law as it is written notice in the book or law it is decided by the judge through judicial process. Normative law research is based to the secondary data and pointed up to theoretical speculative steps and qualitative normative analyzing.

The credit safety effort which done to improve stagnant credit by rescheduling, and restructuring form. If the steps can’t be also done by debitor, then the completion will be done by propose the claim to district court. Stagnant credit completion process through the bankrupt law is done through propose process to the court, which divided to some of stages, it is bankrupt declaration register petition stage, each party concern stage, court session stage based bankrupt petition, adjudication stage based bankrupt register petition. The obstacles which faced by creditor/ bank if the property finishing procedure is done through the bankrupt law are: internal obstacle, it is the bank doesn’t easy to use bankrupt law in stagnant credit completion, because it’s need evidence ability of bank for bankrupt propose and high resource and budget which must be paid by bank. Other than internal obstacle, bank side also experience external obstacle, that is if through the court process, it will passing the long time, because the existence of debitor’s resistance. If through the auction room, the execution is often deferred till the existence of a valid adjudication and a long and wind execution process will making material and immaterial disadvantage .


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu persoalan besar dari krisis moneter yang melanda Indonesia adalah kredit bermasalah atau kredit macet. Oleh karena itu penyelesaian terhadap kasus kredit macet akan sangat menentukan bobot pemulihan ekonomi (economy recovery) Untuk memperlancar proses tersebut serta adanya desakan dari berbagai pihak maka lahirlah Undang-Undang Kepailitan 1998 serta Lembaga Pengadilan Niaga dimana efesiensi dan efektifitas dari keduanya akan menjadi faktor kunci dalam penyelesaian utang piutang maupun pulihnya kepercayaan dan iklim investasi yang baik.1

Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian nasional dan menimbulkan kesulitan yang besar dikalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada debitur. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membumbung tinggi secara luar biasa yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter tersebut.2

Kredit macet tersebut menimbulkan persoalan, bukan hanya terhadap bank selaku lembaga pemberi kredit tetapi juga terhadap masyarakat pengguna dana bank, karena dana yang digunakan bank untuk membiayai kredit tersebut bukan

1

Andi Muhammad Asrun, Prasetyantoko, Analisis Yuridis dan Emperis Peradilan Niaga, (Jakarta: CINLES, 2004), hal. 76.

2

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto


(13)

mata berasal dari modal bank tetapi sebagian besar dari dana masyarakat yang disimpan di bank.

Di Indonesia lembaga keuangan perbankan memiliki misi dan fungsi yang khusus seperti menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat, juga memiliki fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent

of development) yaitu sebagai lembaga yang bertujuan guna mendukung pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.3 Fungsi tersebut sebagai penjabaran dari Pasal 4

Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu: Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunagn nasional dalam rangka peningkatan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

Kegiatan usaha bank menurut Pasal 6 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan antara lain adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit.

Penyaluran dana (fund lending) adalah kegiatan usaha meminjamkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit (utang). Menurut Pasal 1 butir 11 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

3

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 86


(14)

pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.4

Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur didasarkan atas

kepercayaan dan harus dilakukan dengan hati-hati5 karena kredit yang diberikan

selalu mengandung risiko, selain permasalahan kredit yang macet, juga ada permasalahan wanprestasi, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar batas waktu atau tidak melaksanakan ketentuan yang ada di dalam perjanjian kredit, bila ini terjadi bank akan mengalami kerugian. Maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu bank mengadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usaha, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.6

Lebih lanjut tentang jaminan atau agunan di dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang ditegaskan bahwa: ”Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi kewajibanya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum

4

Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniaty, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 58

5

Dalam pemberian kredit atau pembiayaan bank selalu melakukan analisis kridit yang merupakan salah satu upaya untuk memenuhi asas prinsip kehati-hatian (prudential banking principle)

6


(15)

memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.

Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembangkan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Ketentuan tersebut di atas menunjukan bahwa bank sebelum memberikan kredit harus memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor dengan melakukan penilaian terhadap watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha debitur (condition of economy) yang dikenal dengan the fives of Credit atau 5C.

Di dalam ketentuan Pasal 1 butir 23 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa: “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” oleh karena itu agunan tersebut merupakan upaya preventif, apabila kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama dengan kata lain akan melahirkan kredit macet.7

Apabila terjadi wanprestasi akan berlaku ketentuan jaminan secara umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatakan: Segala kebendaan si

7

Terjadinya kredit macet pada bank, maka penyebabnya hanya ada dua yaitu: (1) Karena adanya error comission yaitu timbulnya kredit macet yang diakibatkan oleh adanya unsur kesengajaan manusianya untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan, dan (2) Error comission yaitu timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya peraturan.


(16)

berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa; Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para debitur itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua pasal ini memberi jaminan kepastian hukum kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap terpenuhi dengan adanya jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari. Adapun hubungan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua kreditur dengan hak mendahului (right preferens).

Meskipun prosedur pemberian kredit telah dilakukan dengan sangat hati-hati sesuai dengan prudential principles, namun dalam pelaksanaanya bank tidak dapat terhindar dari adanya kredit macet, yang disebabkan berbagai alasan misalnya usaha yang dibiayai dengan kredit mengalami kemerosotan usaha, penurunan penjualan, kalah bersaing, adanya krisis moneter dan ekonomi seperti sekarang ini dan adanya kesengajaan debitur melakukan penyimpanan dalam penggunaan kredit, yang mengakibatkan sumber pendapatan dari usaha tidak mencukupi bahkan gagal dalam mengembangkan usahanya, sehingga debitur tidak mampu menyelesaikan utangnya


(17)

tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit akibatnya kredit menjadi bermasalah dan macet.8

Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai potensi menjadi macet. Kredit bermasalah dan kredit macet selalu dilihat dan diukur dari kolektibilitas kredit yang bersangkutan.9

Kolektibilitas kredit diatur dalam Surat Edaran BI Nomor 31/147/KEP/DIR Tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif memberi penggolongan kualitas kredit kedalam katagori: Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Kredit Macet. Kredit yang dikatakan macet adalah kredit yang telah menunggak pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari.

Menurut catatan Bisnis Indonesia, memasuki paruh kedua 2006, kredit macet perbankan justru melonjak naik. Cuma sedikit bank yang lolos dari pemburukan kualitas aktiva produktif, termasuk bank yang telah tercatat di Bursa Efek Jakarta. Sebaliknya, kenaikan kredit bermasalah malah memukul sebagian besar emiten perbankan. Dalam rekor non performing loan (NPL) tertinggi bahkan dimiliki dua bank beraset terbesar, yakni PT Bank Mandiri Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Tbk, masing masing 26,45% dan 16,58%. Kedua bank pelat merah itu masih berdalih dengan persoalan sama, yakni revisi aturan penyelesaian kredit bermasalah milik Bank BUMN yang belum selesai. Padahal, sudah berkali-kali pemerintah menjanjikan

8

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: ALFABETA, 2004), hal 7 9

Dapat dikatakan bahwa kredit macet merupakan kredit bermasalah, tetapi kredit bermasalah belum seluruhnya kredit macet. Adbulkadir Muhammad, Rilda Murniati, Op.cit., hal. 68


(18)

revisi itu bakal dipercepat. Bila aturan tersebut sudah ada, manajemen kedua bank yakin bisa lebih leluasa menurunkan NPL.10

Bisnis Indonesia juga mencatat bahwa bank lain yang mengantongi NPL terbesar berikutnya, dengan selisih sangat jauh, adalah PT Bank Panin Tbk (8,23%), PT Bank Artha Graha Internasional Tbk (6,47%), PT Bank Century Tbk (7,3%) dan PT Bank Bumi Putera Tbk (5,47%). Namun, untuk nama terakhir justru menunjukkan perbaikan dari periode sebelumnya (8,41%). Bumi Putera mampu memperbaiki NPL pada semester I/2006 bersama PT Bank Niaga Tbk dan PT Bank Kesawan Tbk. Bank-bank lain menunjukkan kenaikan rasio kredit bermasalahnya. Malah, PT Bank Buana Tbk dan PT Bank NISP Tbk merupakan bank dengan kenaikan NPL tertinggi hingga lebih dua kali lipat.11 Keberadaan kredit macet dalam dunia perbankan merupakan

suatu penyakit kronis yang sangat mengganggu dan mengancam sistem perbankan Indonesia yang harus diantisipasi oleh semua pihak terlebih lagi keberadaan bank mempunyai peranan strategi dalam kegiatan perekonomian Indonesia.12

Tindakan yang dilakukan bank dalam upaya penyelesaian kredit macet akan beranekaragam tergantung pada kondisi kredit macet tersebut. Terlebih dahulu bank akan mengupayakan penyelesaian secara intern melalui restrukturisasi kredit. Langkah penyelesaian melalui restrukturisasi diperlukan syarat paling utama yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan kooperatif serta bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi antara lain; melakukan penjadwalan kembali

10

Lihat Harian Bisnis Indonesia, edisi 3 Agustus 2004 11

Ibid.

12

Lihat Frans Hendra Winarta, Tehnis Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan


(19)

(rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian kredit macet tersebut tanpa menimbulkan banyak kerugian bagi kedua belah pihak. Apabila restrukturisasi telah dilakukan, tetapi debitur tetap gagal dalam menjalankann restrukturisasi atau tidak beritikad baik, maka pihak bank (kreditur) akan melakukan tindakan-tindakan pengambilan jaminan kredit atau mengajukan gugatan ke pengadilan.13

Apabila kreditur ingin mengajukan gugatan atas utang-piutang debitur yang tidak dibayar maka kreditur dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri dengan alasan debitur telah melakukan wanprestasi. Namun bila kreditur terdiri atas beberapa orang tuntutan dapat diajukan melalui lembaga hukum kepailitan yang akan berakibat sangat berat terhadap harta kekayaan debitur.14

Kepailitan merupakan salah satu lembaga dalam hukum perdata barat (Hindia Belanda) sebagai sarana bagi kreditur untuk menyelesaikan utang debitur yang tidak mampu melunasi utang-utangnya kepada krediturnya. Jangka waktu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi debitur tidak melunasi utangnya maka lembaga kepailitan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan debitur yang melakukan cidera janji.15

Fenomena banyaknya kredit macet, dinilai oleh kalangan pengamat ekonomi sebagai sumber masalah yang melahirkan krisis perbankan dan kemudian krisis

13

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 292-293

14

Bismar Nasution & Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Program Pascasarjana USU, 2003), hal 15 15


(20)

ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu timbul desakan dari berbagai pihak baik domestik maupun Internasional kepada pemerintah Indonesia untuk segera melakukan reformasi hukum yaitu perubahan peraturan tentang kepailitan yang berlaku sebab peraturan tentang kepailitan tersebut sudah tidak memadai terutama untuk penyelesaian kasus-kasus kredit macet.16

Peraturan tentang kepailitan yang ada berasal dari (Faillissements

Verordening, Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1909

Nomor 348).17 Sebagian besar materinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan

kebutuhan hukum masyarakat Indonesia dan kini secara berturut-turut telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1998.18

Kemudian direvisi kembali yang selanjutnya menjadi Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (disingkat UUKdan PKPU) dan disahkan tanggal 18 Oktober 2004. Penyempurnaan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan langkah hukum dalam perlindungan hak dan hubungan antara debitur dan kreditur, selain itu terbentuknya pengadilan khusus berdasarkan UU No.4 tahun 1998 diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka penyelesaian utang piutang maupun kredit macet secara adil, cepat dan efektif.

16

Abdul Hakim Garuda Nusantara, Benny Harman, Analisis Kritis Putusan-Putusan

Peradilan Niaga, (Jakarta: CINLES, 2000), hal. 2

17

Staatblad ini terdiri dari 279 pasal. 18

Sejak berlakunya Perpu No.1 Tahun 1998 jouncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998 Hukum Kepailitan mendapat perhatian khusus baik dikalangan teoritis di Perguruan Tinggi maupun dikalangan praktisi di Lembaga Kepengacaraan Konsultan Hukum dan Pengadilan Niaga. Bismar Nasution & Sunarmi, Op. cit, hal. 5-6


(21)

Dari sudut hukum, undang-undang kepailitan bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar, undang-undang kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitur dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehinga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.19

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kredit macet adalah fenomena hukum antara kreditur dan debitur. Penyelesaian kasus kredit macet dapat ditempuh dengan berbagai cara. Salah satu peluang solusi hukum yang terbuka adalah penyelesaikan melalui lembaga kepailitan berdasarkan UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penyelesaian Kredit Macet Melalui Lembaga Kepailitan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah penyelesaian kredit macet di lembaga perbankan.?

2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian kredit macet melalui lembaga

kepailitan.?

3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh bank dalam menggunakan

lembaga kepailitan dalam penyelesaian kredit macet?

C. Tujuan Penelitian

19

Artikel Kepailitan, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan.html.


(22)

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penyelesaian kredit macet di lembaga perbankan.

2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian kasus kredit macet melalui lembaga

kepailitan.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh bank dalam menggunakan

lembaga kepailitan dalam penyelasaian kredit macet di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan secara teoretis dalam upaya penyelesaian hukum kasus kredit macet di perbankan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut tentang fungsi lembaga kepailitan yang pada gilirannya dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan studi hukum bidang keperdataan, khususnya dalam perihal praktik perekonomian pada umumnya.

Secara praktis, penelitian ini dapat dipergunakan antara lain, sebagai bahan masukan dalam membahas putusan pengadilan yang bersinggungan langsung dengan mekanisme penyelesaian kasus kredit macet di perbankan. Di samping itu, hasil dari penelitian ini dapat menjadi pemacu bagi pelaku usaha untuk lebih cepat dan efektif dalam menyelesaikan sengketa utang piutang dan untuk mendapatkan kepastian hukum dalam penyelesaian kredit macet melalui hukum kepailitan.


(23)

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian erat kaitannya dengan masalah kesamaan penelitian. Sehubungan dengan itu dari hasil penelusuran diperpustakaan dan hasil pemeriksaan administrasi pada program pascasarjana ilmu hukum, ternyata tidak ditemukan judul yang membahas mengenai penyelesaian kredit macet melalui lembaga kepailitan (studi terhadap putusan pailit). Dengan demikian penelitian ini bersifat asli dan dapat diertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori

Bank adalah suatu badan usaha yang bergerak di bidang jasa keuangan, demikian penegasan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1998 N.182)20

Secara eksplisit ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perbankan mengatakan sebagai berikut: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Usaha utama bank21 adalah memberikan kredit, pada Pasal 1 butir 11

Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan; kredit adalah penyediaan

20

UU No. 7 Tahun 1992 terdiri dari 10 bab dan 61 Pasal. UU No. 10 Tahun 1998 terdiri dari perubahan, penambahan, dan penghapusan beberapa ketentuan UU No. 7 Tahun 1992.

21

Berdasarkan Pasal 6 UU No.7 Tahun 1992 ditegaskan bahwa usaha bank umum meliputi; (a) menghimpun dana dari masyarakat; (b) menerbitkan kredit; (c) menerbitkan surat pengakuan utang;


(24)

uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dari pengertian kredit tersebut di atas menunjukan adanya beberapa unsur yang terdapat dalam kredit yaitu adanya prestasi yang berupa uang dari bank kepada pihak lain dan adanya kontrak prestasi dari pihak lain yang akan diterima oleh bank kemudian hari.

Menurut Thomas Suyatno unsur-unsur yang terdapat di dalam kredit yaitu:22

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang

diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.

b. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan

kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.

c. Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberi prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya. Dan dengan unsur risiko inilah timbul jaminan dalam pemberian kredit.

d. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik perkreditan.

(d) membeli, menjual, atau menjamin risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabah; (e) memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri untuk kepentingan nasabah; (f) menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain; (g) menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; (h) menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga; (i) melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak; (j) melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; (l) melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat; (m) menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; (n) melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penulis memberikan catatan bahwa pertama ketentuan huruf (k) pada Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992 telah dihapus dan ketentuan huruf (m) adalah hasil perubahan, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 6 UU No.10 Tahun 1998.

22

Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999) hal 12-13


(25)

Kegiatan perkreditan akan berjalan lancar apabila adanya saling mempercayai dari semua pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut. Keadaan itupun dapat terwujud hanya apabila semua pihak yang terkait mempunyaiu integritas moral. Kondisi dasar seperti ini sangat diperlukan oleh bank dalam usaha dan alokasi dana untuk kredit, karena dana yang ada pada bank sebagian besar dana merupakan milik pihak ketiga yang dipercayakan kepada bank tersebut. Dengan demikian sebaliknya pula bank dituntut dan kewajiban untuk selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pihak ketiga dalam menjalankan penggunaan dana tersebut.23

Dalam pemberian kredit atau pembiayaan bank selalu meminta jaminan dari debitur, jaminan yang dimaksud adalah keyakinan bank atas kemampuan debitur untuk melunasi utangnya. Keyakinan tersebut diperoleh setelah bank menilai watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral) dan prospek usaha dari debitur (condition of economy). Seringkali bank tidak saja memegang agunan pokok yaitu barang yang dibiayai dengan kredit bank, tetapi juga meminta agunan tambahan dari debitur berupa barang yang tidak dibiayai oleh kredit bank yang diikat secara hukum. Konsekuensinya jika kreditnya macet, maka bank dapat memperoleh prioritas pengembalian dananya dengan mencairkan (melelang) agunan yang diberikan nasabah.24

Dalam kinerja perbankan untuk pemberian kredit selalu dilakukan analisis kredit dalam salah satu upaya memenuhi asas prinsip kehati-hatian (prudential

23

Muhammad Djumhana, Op. Cit, hal. 366 24

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, (Jakarta: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2002), hal. 30


(26)

banking principle). Analisis unsur 5C’s yang dikenal dengan sebutan The Fives Credit Analysis atau prinsip 5C’s dilakukan perbankan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal

8 Undang-Undang No.10 Tahun 1998.25

Dalam ketentuannya penerapan unsur 5C’s (Character, Capacity, Capital,

Collateral, Conditions of Economy) memiliki perlindungan preventif terhadap

pengembalian kredit yaitu unsur collateral atau jaminan. Jaminan terdiri dari jaminan kebendaan dan jaminan perorangan timbul dari perjanjian yang bertujuan untuk adanya kepastian hukum bagi kreditur atas pelunasan utang atau pelaksanaan suatu prestasi sebagaimana telah diperjanjikan oleh debitur atau pihak ketiga, jaminan secara yuridis material mempunyai fungsi mengcover utang. Dalam jaminan kebendaan, benda objek jaminan khusus di peruntukkan sebagai upaya preventif untuk berjaga-jaga apabila suatu ketika terjadi wanprestasi oleh debitur. Pemilikan benda objek jaminan tidak beralih kepada kreditur karena terjadinya penjaminan tersebut.

Dengan demikian, dalam perjanjian jaminan kebendaan, benda tetap menjadi milik debitur, benda hanya disiagakan untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan terjadi wanprestasi. Dalam jaminan perorangan tidak ada benda tertentu yang diikat dalam perjanjian, yang diikat dalam perjanjian adalah kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur. Dalam jaminan perorangan karena tidak diperjanjikan benda sebagai objek jaminan, maka apabila terjadi ingkar janji akan berlaku ketentuan

25

Sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemempuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur untuk mengembalikan utangnya. Agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibayar dengan kredit yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998.


(27)

jaminan secara umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa semua kebendaan milik debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan persorangan. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya.

Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara yang berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditur. Di sini para kreditur mempunyai kedudukan yang sama (paritas creditorum), kecuali apabila kreditur mempunyai hak istimewa.

Kredit macet merupakan salah satu dampak negatif dari fasilitas pemberian kredit Istilah kredit macet dipergunakan dalam lingkungan perbankan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia Nomor 31/1477/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 Tentang Kualitas Aktiva Produktif. Kredit macet adalah terdapatnya tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari. Selanjutnya Surat Edaran Bank Indonesia tersebut memberi penggolongan kualitas kredit kedalam 5 (lima) katagori yaitu:

1. Kredit lancar yaitu:

a. pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada


(28)

b. hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat

c. dukumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat

2. Kredit dalam perhatian khusus yaitu:

a. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai 90 hari

b. jarang mengalami cerukan

c. hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan

informasi keuangan secara teratur dan akurat.

d. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat

e. Pelanggaran perjanjian kredit yang tidak prinsipil 3. Kredit kurang lancar yaitu:

a. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui

90 hari sampai dengan 180 hari

b. terdapat cerukan yang berulangkali khususnya untuk menutupi kerugian

operasional dan kerugian arus kas

c. hubungan debitur dengan bank dan informasi keuangan tidak dapat dipercaya

d. dokumen kredit kurang lengkap dan pengikat agunan yang lemah

e. pelanggaran terhadap persyaratan pokok kredit

f. perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan

4. Kredit diragukan yaitu:

a. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui


(29)

b. terdapat cerukan yang permanen khususnya untuk menutupi kerugian operasioanal dan kekurangan arus kas

c. hubungan debitur dengan bank semakin memburuk dan informasi keuangan

tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya

d. dokumen kredit tidak lengkap dan pengikat agunan yang lemah

e. pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok kredit dalam perjanjian kredit

5. Kredit macet yaitu;

a. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui

270 hari

b. dokumen kredit dan atau pengikat agunan tidak ada.

Walaupun kredit memenuhi kreteria lancar (pass), dalam perhatian khusus

(special mention), kurang lancar (substandard) dan diragukan (doubtful), namun

apabila menurut penilaian keadaan usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut harus digolongkan pada kualitas yang paling rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Indikator tersebut pada dasarnya tetap memperhatikan apa yang disebut sebagai kolektibilitas, yaitu keadaan pembayaran pokok atau angsuran pokok dan bunga kredit oleh nasabah serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan dalam surat-surat berharga atau penanaman lainnya.26

26


(30)

Begitu besarnya kredit bermasalah yang dihadapi oleh perbankan, sehingga membawa pengaruh terhadap perekonomian nasional. Oleh sebab itu, perlu penanganan secara konsepsional. Apabila kredit bermasalah dalam perbankan tidak ditangani secara tuntas, maka dikhawatirkan akan menjadi salah satu penghambat pertumbuhan perkreditan dalam perbankan yang pada akhirnya dapat mengganggu

pertumbuhan perekonomian.27 Adanya kredit bermasalah dalam jumlah yang besar

juga dapat mengganggu efektivitas kebijaksanaan dalam upaya memantapkan suku bunga kredit.28

Untuk memperlancar penanganan kredit macet atau bermasalah yang mengakibatkan tidak bergeraknya sektor riil, maka Bank Indonesia di samping memberikan arah dalam upaya turut berperan aktif mendorong pergerakan sektor riil dengan cara membuat kebijakan dengan melonggarkan ketentuan penanganan kredit bermasalah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kerap sekali menghadapi berbagai permasalahan hukum, yakni koordinasi kelembagaan yang berbeda alam kepentingan dan pendekatan dalam proses restrukturisasi kredit, ketentuan kepailitan, penyelesaian kredit bermasalah yang bersifat multilateral, dimana satu bank yang akan merestrukturisasi utang debitur tidak mendapat respon dari bank lain.29

Instrumen kepailitan merupakan salah satu upaya pemerintah di samping berbagai kebijakan lainnya yang harus diperhitungkan ketika membicarakan upaya pemulihan ekonomi nasional yang mungkin diakibatkan oleh krisis perbankan yang

27

Eko B. Supriyanto, 10 Tahun Krisis Moneter, (Jakarta: Info Bank Publishing, 2007), hal. 12. 28

Ibid, hal. 13. 29

J. Soedradjad Djiwando, 10 Tahun Krisis Moneter, (Jakarta: Info Bank Publishing, 2007), hal. 44.


(31)

mengalami kredit macet dalam skala besar. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dengan perjanjian kredit bank serta mengalami kredit bermasalah atau macet yang tidak dapat direstrukturisasi lagi, maka akan berakhir di pengadilan niaga dengan kasus kepailitan.

Menurut Rahayu Hartini, tujuan kepailitan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang memaksa berbagai cara agar debitur membayar utangnya, sehingga dengan adanya lembaga kepailitan memungkinkan debitur membayar utang-utangnya secara tenang, tertib dan adil, yaitu:30

1. Dengan dilakukan penjualan atas harta pailit yang ada yakni seluruh harta

kekayaan yang tersisa dari debitur.

2. Membagi hasil penjualan harta pailit tersebut kepada sekalian kreditur yang telah diperiksa sebagai kreditur yang sah, masing-masing dengan:

a. hak preferensinya

b. proporsionalnya dengan hak tagihannya dibandingkan dengan besarnya

hak tagihan kreditur konkuren lainnya.

Zainal Asikin mengatakan bahwa kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekeyaan debitur, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditur secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang.31

30

Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, (Malang: Direktorat Jenderal Pendidikan Tingggi Nasional DEPDIKBUD, 2002), hal. 3

31

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 24


(32)

Prasyarat adanya dua kreditur dan dua kewajiban yang harus dilakukan antara debitur dengan setidaknya dua kreditur juga merupakan ketentuan mengenai jatuh tempo pada perjanjian yang mendasari hubungan utang tersebut. Bila hal tersebut terbukti secara sederhana dalam persidangan, maka hakim wajib mengabulkan permohonan pailit tersebut. Dengan sistem pembuktian sederhana (sumir) maka diberikan batas waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari bagi keluarnya putusan terhadap permohonan pailit.32

Dalam hal terjadi kepailitan pada debitur, maka di sini berlaku asas paritas

creditorum di mana pembayaran atau pelunasan utang dilaksanakan secara berimbang.

Dengan demikian, dalam kepailitan debitur, para kreditur pemegang hak jaminan perorangan hanya akan berkedudukan sebagai kreditur konkuren saja yang bersaing dalam pemenuhan piutangnya karena dalam jaminan perorangan tidak ada benda tertentu sebagai objek jaminan.

Undang-undang, dalam hal ini KUH Perdata telah memberi sarana perlindungan kepada para kreditur melalui ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132. pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa setiap kreditur berhak atas setiap bagian dari kekayaan debiturnya untuk dipergunakan sebagai pembayaran atas piutang-piutangnya. Adapun Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa semua kreditur mempunyai hak yang sama tanpa menghiraukan siapa yang lebih dahulu memberikan kredit kepada si debitur yang bersangkutan. Jadi kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara profesional kecuali bagi kreditur dengan hak didahulukan (hak preferen). Dalam kepailitan tidak semua kreditur memiliki

32


(33)

kedudukan yang sama. Perbedaan kedudukan kreditur ini ditentukan oleh jenis piutang masing-masing.

Adapun penggolongan kreditur dalam kepailitan adalah sebagai berikut:33 1. Kreditur Separatis; yaitu kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan

seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan sebagai kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan. Artinya para kreditur separatis ini tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya telah dinyatakan pailit. Yang tergolong sebagai kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak hipotik, hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Dari hasil penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditur akan mengambil pelunasan atas piutangnya dan sisanya akan dikembalikan pada boedel pailit. Apabila ternyata hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka terhadap sisa piutang yang belum terbayar tersebut, kreditur ini akan menggabungkan diri dengan kreditur lain sebagai kreditur konkuren.

2. Kreditur Preferen/Istimewa; yaitu golongan kreditur yang piutangnya

mempunyai kedudukan istimewa, artinya kreditur ini mempunyai hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu sari hasil penjualan boedel pailit. Kreditur preferen ini oleh Undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi dari kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang seperti yang diatur dalam Pasal 1133, 1134, 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.

3. Kreditur Konkuren; yaitu kreditur yang tidak termasuk golongan kreditur

separatis atau golongan preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka

33


(34)

dicukupkan dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan separatis dan golongan preferen. Sisa hasil penjalan harta pailit itu dibagi menurut pertimbangan besar kecilnya piutang para kreditur konkuren (Pasal 1132 KUH Perdata).

Kepailitan tidak selamanya menguntungkan. Di satu sisi, ada kemungkinan debitur menjadi terhenti usaha atau kegiatannya yang dapat merugikan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apalagi jika debitur bergerak di bidang usaha yang menyangkut pelayanan masyarakat. Di sisi lain, ada kemungkinan kreditur terutama kreditur konkuren atau kreditur bersaing akan menemui kerugian, karena tidak selamanya hasil seluruh utang asal debitur dapat mencukupi tagihan krediturnya, sehingga kreditur bersaing, kreditur konkuren tidak menerima untuk tagihannya.

Dalam prakteknya, penyelesaian kredit bermasalah biasanya dilakukan melalui dua cara, yakni secara litigasi dan non litigasi. Upaya litigasi dilakukuan melalui pengadilan dan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, sedangkan upaya non litigasi dilakukan melalui upaya negosiasi antara para pihak.

1. Melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)

Cara ini adalah untuk kredit macet di bank milik negara. Biasanya kredit yang telah macet (dan telah diupayakan penagihannya/ penyelesaiannya) melalui BUPLN untuk selanjutnya akan dilakukan pelelangan/ penjualan benda


(35)

jaminan.34 Namun tidak selamanya pelelangan atau penjuaan itu dilakukan

dengan bantuan BUPLN, sebab apabila bank telah memperoleh kuasa untuk

menjual, maka ia dapat menjual harta jaminan tersebut di bawah tangan.35

Untuk memperoleh pengembalian kredit dari hasil pelelangan, bukanlah hal yang mudah dan cepat. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk menjual agunan melalui prosedur lelang sangat sulit untuk memperoleh pembeli dengan harga yang memadai. Kadang-kadang bank justru memperoleh pengembalian yang sangat rendah. Agar tidak terlalu merugikan pihak bank, maka hukum perbankan yang baru memberikan kesempatan kepada bank untuk turut serta dalam pelelangan (sebagai pembeli lelang), sebab jika bank dapat menguasai agunana itu dari pelelangan, maka nantinya bank dapat menjual agunan itu secara perlahan-lahan menurut harga yang berlaku di pasaran.36

2. Melalui Lembaga Pengadilan

Apabila suatu kredit bermasalah atau macet (dari bank swasta), maka penyelesaianya dapat dilakukan melalui proses pengadilan. Proses litigasi merupakan langkah terpaksa yang dilakukan bank apabila debitur

34

Write Off, http://www/jawapos.co.id/indones/jawapos/news/today/analysis/op18-1.html. diakses pada tanggal 11 April 2010.

35 Ibid 36

Kredit UKM TIdak Dihapusbukukan Total, http://KREDIT UKM TIDAK DIHAPUSBUKUKAN TOTAL,html. Diakses pada tanggal 11 April 2010.


(36)

menunjukkan itikad tidak baik yang sengaja menyembunyikan harta bendanya yang masih cukup banyak untuk melunasi kreditnya.37

Akan tetapi proses litigasi seringkali dinilai oleh masyarakat memakan waktu bertahun-tahun. Sementara di pihak lain, lembaga sandera (gijzeling) yang dahulunya dapat dianggap sangat membantu sebagai alat pemaksa debitur untuk melunasi hutangnya, telah dihapus pemberlakuannya oleh Mahkamah

Agung dengan SEMA No. 2 Tahun 1960 jo No. 24 Tahun 1975.38

Di sisi lain, lembaga unit Voerbaar Bij Vooraad yang semestinya dapat diberlakukan secara penuh untuk mempercepat/ memperpendek prosedur litigasi kredit macet, ternyata lembaga inipun telah diperlakukan setengah hati. Jadi jelaslah, mengharapkan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan kredit bermasalah atau macet secara cepat bukan pilihan yang tepat. Dapat dikatakan bahwa pilihan ini hanyalah pilihan terpaksa.

Adapun penyelesaian kredit macet/ bermasalah melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Niaga. Penyelesaian melalui Pengadilan Negeri dengan cara melakukan:

a. Somasi

b. Eksekusi hak tanggungan, sertifikat hipotik, jaminan fidusia credit verband (parate eksekusi)

c. Gugatan

d. Eksekusi grosse akta-akta pengakuan hutang.

37

Write Off, http://www/jawapos.co.id/indones/jawapos/news/today/analysis/op18-1.html. diakses pada tanggal 11 April 2010.

38


(37)

Selain melalui gugatan ke pengadilan negeri, penyelesaian kredit macet bermasalah dapat juga dilakukan melalui lembaga kepailitan, yang dalam hal ini adalh Pengadilan Niaga, dimana para pihak dapat mengajukan permohonan pailit pada lembaga ini.

3. Melalui Negosiasi

Dalam hal terjadinya kredit macet, maka kreditur harus secara cepat berusaha melakukan upaya penyelamatan kredit. Salah satu bentuk penyelamatan kredit macet yang dapat diambil adalah melalui upaya negosiasi antara pihak kreditur dan debitur.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, sebab penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan asas-asas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan penelitian yang diterapkan

adalah penelitian hukum normatif.39 Disebut penelitian hukum doktiner karena

penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum lainnya.40

2. Metode Pengumpulan Data dan Pengelolaan Data.

39

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal 2 Nama lain dari penelitian normatif adalah penelitian hukum doktiner, juga disebutkan sebagai penelitian atau studi dokumentasi.

40

Ibid. Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumentasi, penelitian ini lebih banyak


(38)

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsep teori atau doktrin41,

pendapat atau pemberian konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang merupakan landasan utama

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang dan Putusan Pengadilan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

hukum primer, seperti buku-buku karangan para ahli, hasil-hasil penelitian para ahli, pendapat beberapa ahli hukum sepanjang relevan dengan objek telaahan penelitian ini.42

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.

Sebagai data pendukung dalam penelitian ini juga dilakukan wawancara dengan bank sebagai informan, untuk mendapatkan keterangan pendukung seputar materi penelitian.

41

Bismar Nasution, ”Penelitian Hukum Normatif dan Perkembangan Hukum,” Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 18 Februari 2003, hal 1. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal

research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is deceded the judge through judical process).

42


(39)

3. Analisis Data.

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.43 Dari hasil

pengumpulan data primer dan data sekunder sesuai dengan yang diharapkan, maka untuk mengetahui data akurat dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Kemudian data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis dan selanjutnya dilakukan analisis deskriptif secara kualitatif44 sehingga deskripsi mengenai objek

penelitian semakin kian jelas batas cakupannya.

43

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal 103

44

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal 135. Dalam analisis data kualitatif, sebenarnya peneliti tidak harus menutup diri terhadap kemungkinan penggunaan data kuantitatif. Data ini bermanfaat bagi pengembangan analisis data kualitataif itu sendiri. Data kualitatif dapat digunakan pada analisis ini sampai pada batas-batas tertentu sesuai kebutuhan dalam analisis kualitatif.


(40)

BAB II

KREDIT MACET DAN PENYELESAIANNYA DI PERBANKAN

A. Tinjauan Umum tentang Kredit

1. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere (credo atau creditum), yang berarti kepercayaan, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan faith atau trust. Dapat dikatakan bahwa kreditur sebagai yang memberi kredit (lazimnya bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui

bersama dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit.45

Credere (percaya) maksudnya adalah si pemberi kredit percaya kepada si penerima

kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya.46

Muchdarsyah Sinungan mengatakan bahwa kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan daytang disertai dengan suatu kontrak prestasi berupa bunga.47

45

Rachmadi Usman, Op. cit., hal. 236 46

Kasmir, Log. cit. 47

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.11


(41)

Pada dunia bisnis pada umumnya kata kredit diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan baranga atau jasa dengan perjanjian akan membayar kelak.48

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang tentang Perbankan memberi difinisi; ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga”.

Berdasarkan pengertian ini, segala bentuk penyaluran dana dapat dikategorikan sebagai pemberian kredit.49 Secara yuridis, unsur–unsur kredit yang

48

Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, (Jakarta,: Pradya Paramita, 1995), hal 279

49

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Log, cit., Menurut Rachmadi Usman, Undang-undang Perbankan yang Diubah menggunakan 2 (dua) istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Penggunaan istilah yang berbeda tersebut tergantung pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank, apakah bank dalam menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional ataukah berdasarkan prinsip syari’ah. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional menggunakan istilah kredit, sedangkan bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah menggunakan istilah pembiayaan. Istilah kredit disebutkan pada Pasal 1 angka (11), sementara istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah disebutkan pada Pasal 12 Undang-undang Perbankan yang Diubah, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Adapun pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Dari rumusan kedua istilah tersebut, maka perbedaannya terletak pada bentuk kontra-prestasi yang akan diberikan nasabah peminjam dana (debitur) kepada pihak bank (kreditur) atas pemberian kredit atau pembiayaannya. Pada bank konvensional, kontra prestasinya berupa bunga. Sedangkan bank syari’ah, kontra prestasinya dapat berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan bersama. Baik kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, sama-sama menyediakan uang tagihan atas dasar persetujuan atau kesepakatan bersama antara pihak bank dan pihak lain dengan kewajiban pihak peminjam atau pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya atau mengembalikannya beserta bunga, imbalan, ataupun bagi hasil dalam tenggang waktu yang telah disepakati bersama. Lihat Rachmadi Usman, Op. cit., hal. 236-237


(42)

diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 11 UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan dapat dirinci, yakni sebagai berikut:

a. penyediaan uang sebagai utang oleh pihak bank; atau

b. tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang sebagai pembiayaan,

misalnya pembiayaan pembuatan rumah, pembelian kendaraan;

c. kewajiban pihak peminjam (debitur) melunasi utangnya menurut jangka waktu

disertai pembayaran bunga; dan

d. berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam uang antara bank dan peminjam

(debitur) dengan persyaratan yang disepakati bersama.

Adapun secara konseptual, Kasmir, dalam bukunya Dasar-dasar Perbankan, menyebutkan unsur-unsur esensial yang terkandung dalam kredit adalah sebagai berikut: 50

a. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan suatu keyakinan bagi si pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (baik berupa uang, barang, atau jasa) benar-benar diterima kembali di masa yang akan datang sesuai jangka waktu kredit yang disepakati. Kepercayaan diberikan oleh bank sebagai dasar utama yang melandasi suatu kredit berani dikucurkan. Oleh karena itu, sebelum kredit dikucurkan harus dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih dulu secara mendalam tentang kondisi nasabah, baik secara interen maupun eksteren. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi pemohon kredit sekarang dan masa lalu dilakukan untuk menilai kesungguhan dan etiket baik nasabah terhadap bank.

50


(43)

b. Kesepakatan

Adanya kesepakatan dituangkan dalam suatu perjanjian atau akad kredit. Kesepakatan tersebut berisikan tanda tangan dari masing-masing pihak yang mengatur hak dan kewajibannya. Penandatanganan ini dilakukan sebelum kredit dikucurkan. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, dalam bukunya Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan, menambahkan bahwa semua persyaratan pemberian kredit dan prosedur

pengembalian kredit serta akibat hukumnya adalah hasil dari kesepakatan, dituangkan dalam akta perjanjian yang disebut sebagai kontrak kredit.51

c. Jangka waktu

Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati, yakni jangka pendek, menegah, dan panjang. Adapun jangka pendek (di bawah 1 tahun), jangka menengah (1 sampai 3 tahun), atau jangka panjang (di atas 3 tahun). Jangka waktu merupakan batas waktu pengembalian angsuran kredit yang sudah disepakati kedua belah pihak. Untuk kondisi tertentu, jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.

d. Risiko

Akibat dari adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan terjadinya suatu risiko, yakni tidak tertagihnya atau macetnya pemberian kredit. Semakin panjang jangka waktu kredit, maka semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko

51


(44)

yang disengaja oleh nasabah maupun risiko yang tidak disengaja, misalnya karena bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya sehingga nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diperolehnya.

e. Balas jasa

Bagi bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian suatu kredit. Dalam bank jenis konvensional balas jasa dikenal dengan bunga bank. Di samping balas jasa dalam bentuk bunga, bank juga membebankan kepada nasabah biaya administrasi kredit yang juga merupakan keuntungan bank. Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah, balas jasanya ditentukan dengan sistem bagi hasil.

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, memakai istilah bunga bank untuk menyebutkan balas jasa sebagai salah satu unsur yang terkandung dalam perkreditan. Dalam hal ini, setiap pemberian kredit selalu disertai imbalan jasa berupa bunga yang wajib dibayar oleh calon debitur, dan ini merupakan keuntungan yang diterima oleh bank.52

Perjanjian adalah suatu persetujuan, yakni perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih.53 Suatu perjanjian harus

memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut:54

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

52

Abdulkadir Muhammad & Rilda Murniati, Log. Cit. 53

Subekti, R, & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pranya Paramita, Jakarta, 1975, hal. 304.

54


(45)

3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal

Dari macam-macam perjanjian yang ada di dalam KUH Perdata, salah satunya adalah perjanjian pinjam pengganti. Perjanjian itu daitur dalam bab ketiga belas buku ketiga KUH Perdata.

Adapun yang disebut perjanjian pinjam pengganti dari ketentuan pasal 1754 KUH Perdata menetapkan:

Pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Undang-undang perbankan sendiri dalam hal ini tidak mengatur secara khusus tentang perjanjian kredit. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perjanjiannya, perlu melihat apa yang dimaksud dengan kredit dalam pasal 1 butir 12 undang-undang tersebut, yakni:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank (pemberi kredit) dengan pihak lain (nasabah). Melihat bentuk perjanjiannya dan kewajiban debitur seperti di atas, maka perjanjian kredit tergolong sebagai perjanjian pinjam meminjam. Meskipun perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus, karena di dalamnya terdapat kekhususan dimana pihak kreditur selalu bank, dan objek perjanjiannya berupa uang.


(46)

Karena itu peraturan-peraturan yang berlaku bagi perjanjian kredit adalah KUH Perdata sebagai peraturan umumya, dan undang-undang perbankan beserta pelaksanaannya sebagai peraturan khusus.

2. Jenis-jenis Kredit

Pada umumnya kredit terdiri dari beberapa jenis yang dapat dilihat menurut:55

1. Tujuan penggunaannya:

a. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang penggunaannya untuk pengadaan barang

maupun jasa yang dapat memberi kepuasan langsung terhadap kebutuhan manusia.

b. Kredit produktif yaitu kredit yang penggunaannya untuk tujuan-tujuan

produktif dalam arti dapat meningkatkan manfaat dan kegunaan baik karena bentuk, tempat, waktu maupun karena kepemilikan, termasuk dalam kredit ini adalah;

1) Kredit investasi yaitu kredit yang digunakan untuk pembiayaan pengadaan barang-barang modal tetap dan dipergunakan dalam waktu yang lama.

2) Kredit modak kerja yaitu kredit yang digunakan dalam rangka pembiayaan

keperluan modal lancar yang biasa habis dalam satu atau beberapa proses produksi atau siklus usaha.

2. Jangka waktunya:

a. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang berjangka waktu maksimal 1 (satu)

tahun, biasanya kredit ini adalah untuk membiayai modal kerja.

55

Hasanuddin Rahman, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Perbankan di Indonesia, (Bandung: citra Aditya Bakti , 1995) hal.97


(47)

b. Kredit jangka menengah, yaitu kredit yang berjangka waktu antara 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun biasanya kredit ini untuk pembiayaan modal kerja permanen atau kredit investasi jangka pendek.

c. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun, biasanya kredit ini untuk pembiayaan kredit investasi jangka panjang, misalnya mesin-mesin berat, pembangunan gedung dan sebagainya.

3. Kredit menurut bentuknya:

a. Kredit sekaligus, yaitu kredit yang penarikannya dilakukan sekaligus, cara

pembayaran kembali dapat secara sekaligus maupun dengan cara angsuran/cicilan, bentuk kredit ini cocok untuk kredit investasi.

b. Kredit rekening koran, yaitu kredit yang penarikannya maupun penyetorannya

dilakukan secara bertahap sesuai dengan keperluan usaha debitur. Kredit ini biasanya dipergunakan oleh para pengusaha untuk pembiayaan modal kerja perdagangan dan industri. Kredit ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu;

1) Kredit rekening koran dengan plapond tetap, yaitu merupakan kredit modal kerja jangka pendek yang bersifat musiman atau temporer.

2) Kredit rekening koran dengan plafond menurun, yaitu merupakan

pembiayaan kredit kredit modal kerja dasar, yang setelah waktu tertentu akan dapat dibiayai dengan modal sendiri (equity) yang berasal dari perolehan laba usaha.

Dari segi jaminannya, jenis kredit dapat dibedakan antara lain; kredit tanpa jaminan dan kredit dengan jaminan. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perbnkan disebutkan: bahwa pemberian kredit


(48)

dapat dilakukan oleh bank, apabila bank mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dengan demikian undang-undang perbankan memperkenankan pemberian kredit dengan tanpa jaminan fisik apabila sudah memiliki keyakinan akan kemampuan debitur untuk mengembalikan kredit. Kredit tanpa jaminan ini misalnya kredit individu dan kartu kredit,

Sedangkan kredit dengan jaminan diberikan kepada debitur selain didasarkan dengan adanya keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan kredit, juga didasarkan kepada adanya jaminan fisik (agunan) sebagai jaminan tambahan. Agunan tambahan ini dimaksudkan untuk memindahkan kreditor menerima pelunasan utang apabila debitur wanprestasi melalui cara pelelangan atas agunan tersebut.

Pemberian fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai. Dalam praktiknya, tujuan pemberian kredit adalah sebagai berikut:56

1. Mencari Keuntungan.

Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah debitur. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank dan membesarkan usaha bank. Bagi bank yang terus-menerus menderita kerugian, maka besar kemungkinan bank tersebut akan dilikuidir (dibubarkan). Oleh karena itu, sangat penting bagi bank untuk memperbesar keuntungannya, mengingat biaya operasional bank relatif cukup besar.

2. Membantu Usaha Nasabah.

56


(49)

Pemberian kredit juga bertujuan untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana untuk investasi ataupun dana untuk modal kerja. Dengan bantuan dana tersebut, maka pihak nasabah debitur dapat mengembangkan usahanya. Dalam hal ini, baik pihak bank maupun nasabah sama-sama diuntungkan.

3. Membantu Pemerintah

Tujuan lainnya adalah membantu pemerintah dalam pembangunan di berbagai bidang, terutama sektor riil. Hal ini disebabkan oleh karena kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan dapat memberikan kucuran dana bagi peningkatan pembangunan. Misalnya, penerimaan pajak, membuka kesempatan kerja, meningkatkan jumlah barang dan jasa, menghemat devisa negara, dan meningkatkan devisa negara.

Berdasarkan di atas, maka selayaknya pihak perbankan memantapkan tujuannya ketika bank didirikan demi mencapai dan menjaga keuntungan-keuntungan bagi berbagai pihak, baik keuntungan bagi pihak bank sendiri, ataupun nasabah debitur dan pemerintah.

B. Prinsip dan Pertimbangan Kredit

Sebelum menerima permohonan dan memberikan kredit, bank perlu melakukan analisis kredit terlebih dahulu untuk meyakinkan bahwa kredit yang dimohonkan tersebut adalah layak, dapat dipercaya, dan tidak fiktif. Atas dasar analisis kredit itu, maka bank memberikan penilaian dan pertimbangan terhadap permohonan nasabah, apakah layak untuk dikabulkan atau tidak. Hal ini sepatutnya dilakukan oleh pihak bank, mengingat risiko adanya kemungkinan kredit yang sulit


(50)

dilunasi atau bahkan cenderung macet. Maka sebelum kredit diberikan bank perlu melakukan analisis kredit terlebih dahulu.yang meliputi;57

1. Latar belakang nasabah/perusahaan nasabah,

2. Prospek usaha yang akan dibiayai, 3. Jaminan yang diberikan, dan

4. Hal-hal lain yang ditentukan oleh bank.

Tujuan analisis kredit adalah untuk meyakinkan bank bahwa kredit yang dimohonkan tersebut adalah layak dan dapat dipercaya serta tidak fiktif. Atas dasar analisis kredit, bank memberikan pertimbangan dengan hati-hati, apakah permohonan nasabah tersebut layak untuk dikabulkan. Hal ini perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh mengingat risiko kemungkinan kredit sulit dilunasi bahkan cenderung macet. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jamianan yang diberikan, serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman dan terjamin.

Biasanya, kriteria dan aspek penilaian yang umum dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan kredit adalah dengan melakukan analisis 5C dan 7P.58

Pertimbangan pemberian kredit berdasarkan pada hasil penilaian atas konsep 5C, adalah sebagai berikut :

1. Character (Watak)

57

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Op. cit., hal. 61 58


(1)

dicapai oleh debitur dan kreditur, maka akan dilakukan pemberesan harta pailit, sebab harta kekayaan debitur dianggap dalam keadaan insolvensi (tidak ada kemampuan untuk membayar)

3. Kendala-kendala yang dihadapi kreditur/bank apabila prosedur pemberesan harta pailit dilakukan melalui kepailitan adalah: Kendala internal, yaitu pihak bank tidak mudah menggunakan hukum kepailitan dalam penyelesaian kredit macet, sebab perlu kemampuan pembuktian oleh bank atas permohonan pailit dan besarnya sumber daya dan anggaran yang harus dibiayai bank.

Selain kendala internal, pihak bank juga mengalami kendala eksternal, yaitu jika melalui pengadilan, akan memakan waktu yang relatif lama karena adanya perlawanan dari debitur. Jika melalui pelelangan, pelaksanaan eksekusi sering ditangguhkan sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dan proses eksekusi yang lama dan berbeli-belit akan menimbulkan kerugian secara material maupun immaterial.

B. Saran

1. Untuk menghindari terjadinya kredit macet hendaknya bank bertindak secara profesional yaitu sungguh-sungguh menerapkan prinsip prudential banking dalam mempertimbangkan suatu permohonan kredit dari calon debitur, dan dalam menyelesaikan kredit macet debitur hendaknya pihak bank lebih memperhatikan tindakan yang bersifat pembinaan terhadap debitur karena eksekusi terhadap jaminan kredit sangat memberatkan dan merugikan debitur. Akibat eksekusi debitur tidak dapat lagi melanjutkan usahanya.


(2)

2. Kepada pihak bank sebaiknya lebih selektif dalam memberikan fasilitas kredit bagi para calon debitur, sebab sering terjadi macetnya pembayaran kredit oleh debitur lebih disebabkan oleh pemberian kredit yang terburu-buru tanpa mempertimbangkan serta menganalisa secara cermat dan mendalam tentang kondisi objektif dari para calon debitur yang mengajukan permohonan fasilitas kredit kepada bank.

3. Dalam hal terjadinya kredit macet, pihak kreditur, yakni pihak bank harus lebih mengedepankan penyelesaian non litigasi, khususnya negosiasi, agar tercapai suatu kesepakatan yang dapat mewakili kepentingan semua pihak serta tidak memakan waktu lama serta tidak melewati proses yang berbelit-belit.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Asikin Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta1995.

Asrun Andi Muhammad, Analisis Yuridis dan Emperis Pengadilan Niaga, CINLES, Jakarta, 2004

Broers, Engls Woordenboek, Batavia, Bij JB, Wolters Uitgvermaatschappij N.V., tt. Bungin Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo, Persada, Jakarta,

2003

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996

Djumhana Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003

---Dimensi Hukum Kepailtan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Fuady Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Citra Aditya, Bandung, 2000 Garner Bryan A, (ed). Black’s Law Dictinary, eight edition, St. Paul:west Publishing

and Co, 2004

Hanitijo Ronny, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,1982

Hartini Rahayu, Hukum Kepailitan, Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi, Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi Nasional DEPDIKBUD, Malang, 2002 Kartono, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Pradya Paramita, Jakarta, 1982 Kasmir, Dasar-dasar Perbankan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

Lontoh Rudy, et.el, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung,2001

Mahmoedin, AS, 100 Penyebab Kredit Macet, Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 1995.


(4)

Moleong Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002 Montayborbir, et.el, Pengurusan Piutang Negara Macet pada BUPLN, Pustaka

Bangsa, Jakarta, 2001

Muhammad AbdulKadir, et.el, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Mulyadi Kartini, Perubahan pada Faillessmentverordening dan Perpu No.1 tahun 1998 jo. No.1998 tentang Penetapan Undang-undang tentang Kepailitan menjadi UU, Makalah dalam Seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta 25 Juli 2003

Nasution Bismar, Sunarmi, Hukum Kepailitan, Program Pascasarjana Ilmu Hukum USU, Medan, 2003.

Ranuhandoko, IPM. Terminologi Hukum, Sinar grafika, Jakarta, 2000

Remy Sutan Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillismentverordening jo No.4 Tahun 1998, Pustaka Utama Gratifi, Jakarta, 2002

Sayudi Arya et.el, Kepailitan di Negeri Pailit, PSHK, Jakarta2004

Sitompul Zulkarmain, Perlindungan Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Progran Pascasarjana FH, Universitas Indonesia, 2002

Suhardi Gunarto, Usaha Perbankan dalam Perspek Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2003

Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan, 2009

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003

Suyatno Thomas, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999 Untung Budi, Kredit Perbankan di Indonesia, ANDI, Yogyakarta, 2005

Usman Rachmadi, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 2003

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, 2002

Winarta Hendra Frans, Teknis Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Pendekatan Hukum, Newstter Komosihukum Nasional, Desember 2003


(5)

B. Majalah dan Jurnal

Nasution Bismar, ”Penelitian Hukum Normatif dan Perkembangan Hukum,” Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23, Tahun 2004

Wongsowidjaya, Hapusbuku dan Hapustagih Piutang Negara Bank-bank BUMB, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 23, Tahun 2004

Sri Rezeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modren, dalam Majalah Hukum Nasional, edisi No. 2 tahun 2000

Harian Kompas, edisi 20 September 2001 Harian Kompas, edisi 17 edisi 17 Mei 2005 Harian Bisnis Indonesia, edisi 3 Agustus 2006

C. Perundang-undangan dan Yurisprudensi

Undang-Undang Tentang Kepailitan (Faillissementverordening Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 Jounto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang_undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara R I tahun 1998 Nomor 135. Tambahan Lembaran Negara R I Nomor 3778).

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,. (Lembarab Negara R I Tahun 2004 nomor 131. Tambahan Lembaran Negara R I Nomor 4443)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif, Tanggal 12 November 1998

D. Situs Internet

http://komisihukum.go.id/index.php?option=com_rubberdoc&view=doc&id=24&for mat=raw&Itemid=84&lang=in. Diakses tanggal 19 Januari 2010.


(6)

http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan.html. Diakses pada tanggal 17 Januari 2010.

http://www.solusihukum,com/artikel 36. php.> 29 juli 2005 http://www. Solusihukum.com/artikel 36 php>19 Mei 2004

http///www. Komisihukum.go.id/article opinion. Php> 3 Desember 2005 http/:www.bappenas.go.id/index php. 26 Mei 2007.