BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi di bidang ekonomi telah membawa dampak yang luar biasa dalam bidang hukum bisnis. Salah satu yang paling terkena dampak dari
globalisasi tersebut ialah lembaga perbankan. Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit.
1
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi yang ada, bank memiliki berbagai fasilitas-fasilitas yang dapat dinikmati dan digunakan oleh
masyarakat luas. Banyaknya fasilitas yang diberikan oleh jasa perbankan dalam menunjang kegiatan usaha bank, ditujukan untuk memikat masyarakat
supaya menggunakan fasilitas bank yang dapat memenuhi kebutuhan transaksi pembayaran secara mudah dan cepat. Fasilitas yang dimaksud
tersebut adalah kartu kredit. Fasilitas kartu kredit pada saat ini sudah bukan barang yang asing lagi
bagi masyarakat, tetapi menjadi kebutuhan pokok yang tidak dapat dipisahkan
1
Kasmir, Dasar-dasar Perbankan Edisi Revisi 10, Jakarta : Rajawali Pers, 2012, h. 36.
1
dari alat pembayaran sehari-hari. Produsen kartu kredit mencoba memberikan pemahaman bahwa dengan menggunakan kartu kredit semuanya beres. Praktis
dan aman penggunaannya. Dalam konteks ini pengguna kartu kredit mengemas dirinya dalam lingkaran kehidupan yang dikendalikan oleh
aktivitas hutang. Semakin banyak kartu kredit yang dimilikinya, semakin bebas membelanjakan uangnya. Semakin banyak hutang yang dimiliki, maka
mereka dinobatkan sebagai warga masyarakat modern. Lewat tawaran diskon, promosi, dan rayuan dahsyat yang lainnya, para pemilik kartu kredit
dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu berbelanja, agar para konsumen ini mendapatkan reward point atas objek barang dan jasa yang dibelinya.
2
Penggunaan kartu kredit yang tidak bijaksana, maka akan mendatangkan masalah bagi pemiliknya. Permasalahan kartu kredit yang
sering terjadi adalah keterlambatan kewajiban pembayaran yang pada akhirnya menimbulkan kemacetan, atau biasa disebut dengan kredit macet.
Kartu kredit yang sudah macet akan menimbulkan masalah baru bagi pemiliknya dan bagi pihak bank yang menerbitkan kartu kredit tersebut. Pada
umumnya yang terjadi adalah permasalahan dalam hal penagihan hutang kartu kredit yang macet. Nasabah sering merasa keberatan apabila sudah terjadi
jatuh tempo penagihan kartu kreditnya yang macet. Nasabah merasa keberatan apabila dalam proses penagihan kredit macetnya dilakukan dengan
2
Sumbo Tinarbuko, Mendengarkan Dinding Fesbuker, Yogyakarta : Multicom, 2009, h. 96.
menggunakan jasa pihak ketiga debt collector. Pengguna kartu kredit yang terlilit hutang dalam jumlah yang besar dan tidak mampu melunasi tagihan
yang diminta oleh bank harus berurusan dengan debt collector. Debt collector sebagai pihak yang dikuasakan oleh bank untuk
menagih hutang kartu kredit konsumen pada dasarnya bekerja sesuai dengan target yang diamanatkan oleh bank penerbit kartu kredit kepada badan usaha
tersebut. Debt collector disini merupakan badan usaha yang bekerja sama dengan lembaga perbankan jika terjadi masalah penunggakan hutang dalam
pelunasan tagihan kartu kredit, yang pada intinya bank tidak ingin adanya wanprestasi dalam perjanjian pemberian kartu kredit.
Tetapi penggunaan jasa pihak ketiga debt collector pada dasarnya merupakan pihak yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada
konsumen. Adakalanya pula debt collector tidak bekerja dengan profesional seperti yang diharapkan oleh bank. Terkadang untuk mendapatkan hutang
yang ditagihnya mereka melakukan tindakan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi nasabah yang ditagih hutangnya tersebut.
Pada dasarnya jika mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia SEBI No. 1417DASP2012 penggunaan jasa pihak ketiga ini diperbolehkan, dan
keberadaannya telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia, yaitu pengaturan kerjasama dengan pihak lain dengan mengacu pada Peraturan Bank Indonesia
No. 1325PBI2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain
dan Peraturan Bank Indonesia No. 142PBI2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 1111PBI2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu APMK.
Dalam hal ini, terdapat sejumlah ketentuan yang dapat dilihat pada Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1 dimana disebutkan bahwa pertama, penerbit
kartu yang menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan kartu kredit wajib mematuhi pokok-pokok etika penagihan hutang kartu kredit
sesuai dengan ketentuan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bank dalam melakukan penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain. Kedua, dalam hal penagihan hutang kartu kredit menggunakan jasa pihak lain, bank penerbit kartu wajib
menjamin kualitas pelaksanaan penagihannya sama dengan jika dilakukan sendiri oleh bank penerbit kartu tersebut, dan dapat ditagih hanya untuk
hutang kartu kredit dengan kualitas tertentu yaitu jika termasuk ke dalam tingkat kolektibilitas macet.
3
Ketiga, dalam perjanjian kerjasama antara penerbit kartu dengan perusahaan penyedia jasa penagihan kartu kredit harus
memuat klausul tentang tata cara, pokok-pokok etika penagihan, dan hal-hal yang dilarang dalam melakukan penagihan kartu kredit sebagaimana yang
3
Peraturan Bank Indonesia No. 142PBI2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu APMK, Pasal
17B.
telah diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia SEBI No. 1417DASP2012 yang tercantum pada ketentuan butir VII.D angka 4, serta mencantumkan pula
klausul tentang tanggung jawab penerbit kartu terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat kerjasama dengan pihak lain.
4
Selain itu di dalam Booklet Perbankan Indonesia BPI Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OJK, diatur pula mengenai Prinsip Kehati-hatian Bagi
Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan
Pekerjaan Penagihan Kredit, yang diantaranya pertama, mengenai cakupan penagihan kredit yang dalam ketentuan ini adalah penagihan kredit secara
umum, termasuk penagihan kredit tanpa agunan dan utang kartu kredit. Kedua, mengenai penagihan kredit yang dapat dialihkan penagihannya kepada
pihak lain adalah kredit dengan kualitas macet sesuai ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kualitas aset bank umum. Ketiga, perjanjian kerjasama
antara bank dan PPJ harus dilakukan dalam bentuk perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja, dan yang ke empat, bank wajib memiliki kebijakan etika
penagihan sesuai ketentuan yang berlaku.
5
4
Surat Edaran Bank Indonesia, SEBI No. 1417DASP2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, ketentuan butir
VII.D angka 4.
5
Booklet Perbankan Indonesia Tahun 2014, Bab VI. Ketentuan-Ketentuan Pokok Perbankan bagian C tentang Ketentuan Kehati-hatian mengenai Prinsip Kehati-hatian Bagi
Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak
Penggunaan jasa pihak ketiga debt collector dalam penagihan hutang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen akibat ketidakprofesionalan
dalam melaksanakan tugasnya. Seperti kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3192 KPdt2012 terkait dengan penagihan hutang kredit macet oleh
Standard Chartered Bank kepada nasabahnya Victoria Silvia Beltiny yang sudah menunggak pembayaran hutangnya karena mengalami kesulitan
keuangan pada saat membayar cicilannya, sehingga pihak bank menggunakan jasa pihak ketiga debt collector untuk menyelesaikan kredit macetnya.
Tetapi pada saat pelaksanaannya, jasa penagih hutang debt collector tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum seperti mengintimidasi,
melakukan penekanan, pengancaman, dan teror, bahkan sampai kepada pencemaran nama baik si nasabah. Karena tidak tahan dengan kondisi seperti
itu yang dilakukan secara terus menerus dan mengganggu kenyamanan Victoria, maka nasabah Standard Chartered Bank tersebut mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang pada akhirnya gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tetapi pihak
bank disini masih tidak terima dengan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Tinggi, sehingga
pihak Standard Chartered Bank mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yang pada putusan akhirnya menetapkan bahwa pihak
Lain pada bagian Prinsip Kehati-hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan Penagihan Kredit, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan, 2014, h. 140-142.
bank bersalah karena melakukan penagihan kredit dengan cara yang tidak profesional dengan menggunakan pendekatan intimidasi dan premanisme dari
pada pendekatan yang lain.
6
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Penggunaan Debt Collector Dalam Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank
Standard Chartered Analisis Putusan MA Nomor 3192 KPdt2012
”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah