Mutasi Virus AI TINJAUAN PUSTAKA

rendahnya rasio substitusi NS Taubenberger et al. 2005. Antara hospes dengan virus terjadi toleransi yang seimbang, sehingga walaupun virus bereplikasi namun inang tidak menunjukkan gejala klinis. Virus bereplikasi di saluran pencernaan unggas air, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui feses atau secara oral Sturm-Ramirez et al. 2004. Isolasi virus influenza pertama dari unggas feral Sterna hirundo dilakukan pada tahun 1961 di Afrika Selatan Alexander 1995. Pada tahun 1970an dilakukan investgasi yang menunjukkan bahwa terdapat pool virus yang besar pada populasi unggas liar Alexander 1995. Survei oleh Stallknecht dan Shane 1988 menunjukkan bahwa dari 21.318 sampel yang berasal dari berbagai spesies unggas terisolasi 2.317 10.9 virus. Dari sampel tersebut, 14.303 sampel berasal dari Ordo Anseriformes, dengan hasil positif 2.173 isolat 15.2. Tingkat isolasi tertinggi selanjutnya berasal dari unggas ordo Passeriformes dan Charadriiformes 2.9 dan 2.2. Faktor yang berperan penting dalam tingkat isolasi virus influenza pada unggas liar yaitu 1 usia unggas, 2 lokasi geografis terkait migrasi, 3 waktu pengambilan sampel dalam tahun tersebut, 4 spesies unggas, and 5 karakteristik virus Alexander 1995. Strain patogenik virus AI H5N1 hanya menyebabkan gejala klinis ringan pada itik, tetapi unggas dapat tetap mengekskresikan virus viral shedding bersama kotorannya sehingga berpotensi menyebarkan virus yang bersifat patogenik bagi unggas lain dan juga manusia Hulse-Post et al. 2005. HPAI jarang terisolasi dari unggas liar, namun tingkat isolasi yang tinggi dapat ditemukan pada bebek dan angsa 15 dan hanya 2 pada spesies yang lain Alexander 2000. Virus HPAI H5N1 b erhasil terisolasi dari angsa prevalensi 2 dan bebek prevalensi 4 Nguyen et al. 2005. Ordo Colombiformis yang secara eksperimental diinfeksi virus HPAI H5N1 lebih resisten dibandingkan ayam Perkins dan Swayne 2002. Psittaciformes dapat terinfeksi LPAI, walaupun jarang Cardona et al. 2009. Salah satu unggas air, yaitu itik, dianggap sebagai sumber virus AI H5N1 pada wabah di Cina tahun 2000-2004 dan Hongkong tahun 2001 Susanti 2008. Unggas air yang bermigrasi diduga kuat sebagai pembawa virus HPAI subtipe H5N1 Perez-Ramirez et al. 2010, terutama setelah terjadinya wabah di Danau Qinghai, Cina yang menyebabkan kematian ribuan burung liar Chen et al., 2005, Boyce et al. 2009. Beberapa spesies unggas seperti Mallard Anas platyrhinchos mampu bertahan dari infeksi H5N1 dan terjangkit virus selama periode waktu tertentu, sehingga menjadi diduga kuat sebagi spesies pembawa HPAI H5N1 pada proses transmisi jarak jauh Keawcharoen et al. 2008. Namun, peran unggas air dalam penyebaran H5N1 masih belum jelas Perez-Ramirez et al. 2010. Wabah virus HPAI H5N1 pertama kali dilaporkan di Cina Selatan tahun 1996-1997, kemudian menyebar dan menyebabkan kematian unggas di Vietnam, Thailand, Indonesia dan Negara Asia Timur sejak awal tahun 2004 Smith et al. 2006. Transmisi zoonotik dari unggas ke manusia terus menerus terjadi sejak pertengahan tahun 2005 sampai sekarang Susanti 2008 namun belum ada laporan terjadinya transmisi dari manusia ke manusia. Manusia umumnya menjadi inang akhir dead end virus AI, baik HPAI maupun LPAI Boyce et al. 2009. Selain di peternakan dan alam, studi mengenai VAI dilakukan di pasar unggas hidup dan pasar makanan. Studi pada pasar unggas hidup dan pasar makanan di Thailand tahun 2006-2007 menunjukkan bahwa VAI H5N1 terisolasi pada 12 dari 930 sampel yang diuji Amonsin et al. 2008. Sampel yang positf berupa sampel daging 5 ekor puyuh, 2 ekor mandar, dan 2 ekor ayam-ayaman maupun unggas sehat satu ayam dan dua bebek. Analisa filogenetik menunjukkan bahwa VAI H5N1 termasuk dalam garis keturunan lineage Vietnam dan Thailand clade 1 dan berkorelasi erat dengan virus yang beredar di Thailand tahun 2004-2005 Amonsin et al. 2008

2.5 Diagnosa Laboratorium untuk Avian Influenza

Diagnosa laboratorium untuk Avian Influenza dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi atau mendeteksi virus. Diagnosa serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap AI dapat dilakukan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi HI, Agar Gel Immunodiffusion Test AGID atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay ELISA. Metode untuk mendiagnosa virus dapat dilakukan melalui isolasi virus, rapid antigen detection, Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction RT-PCR konvensional, realtime RT-PCR rRT-PCR, dan Nucleic acid sequence based amplification NASBA Suarez 2003. Beberapa metode lain yang sedang berkembang yaitu Microarray Gall et al. 2009 dan Loop Mediated Isothermal Amplification LAMP. Dalam penelitian ini, metode uji serologis yang akan digunakan adalah HI, sedangkan deteksi virus akan menggunakan rRT- PCR.

2.5.1 Uji Hemaglutinasi Inhibisi

Uji Hemaglutinasi Inhibisi HI merupakan metode yang direkomendasikan untuk uji spesifik terhadap suatu subtipe virus AI FAO 2007. Uji ini dapat digunakan untuk pemantauan respon terhadap vaksinasi dan untuk memantau sirkulasi virus pada unggas yang bertahan terhadap infeksi, misalnya LPAI dan HPAI pada bebek FAO 2007. Virus influenza memiliki protein amplop yang disebut hemaglutinin HA. Hemaglutinin dapat berikatan dengan reseptor sialik pada sel, termasuk pada sel darah merah red blood cell, RBC. Apabila HA berikatan pada RBC maka akan terjadi hemaglutinasi yang ditandai dengan terbentuknya butir-butir menyerupai pasir. Apabila RBC tidak berikatan dengan virus influenza, maka RBC akan mengendap pada dasar well Capua dan Alexander 2009. Uji ini dilakukan dengan pengenceran bertingkat dan berlangsung selama kira-kira 40 menit sehingga merupakan indikator cepat untuk mengetahui kuantitas relatif partikel virus. Uji HI dilakukan dengan mencampurkan virus yang mampu mengaglutinasi RBC, misalnya virus AI, dengan serum yang mengandung antibodi terhadap virus tertentu. Apabila tidak terjadi aglutinasi pada penambahan RBC, hal tersebut disebabkan oleh antibodi serum yang telah menetralisasi virus sehingga virus tersebut tidak dapat menempel pada reseptor dipermukaan sel darah. Hal tersebut menujukkan bahwa virus yang diuji homolog dengan antibodi serum tertentu tersebut Capua dan Alexander 2009. Pada sampel serum non ayam terkandung HA nonspesifik sehingga sebelum dilakukan uji HI perlu diberi perlakuan dengan RBC ayam terlebih dulu. Selain itu, perlu dilakukan inaktifasi terhadap serum melalui pemanasan dalam penangas air pada suhu 56 o C selama 30 menit Capua dan Alexander 2009.

2.5.2 Real time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction

rRT-PCR Reaksi berantai polymerase Polymerase Chain Reaction, PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro Yuwono 2006. Metode PCR memungkinkan terjadinya pelipatgandaan suatu fragmen DNA 110 bp, 5x10 -19 mol sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit Yuwono 2006. Kelebihan reaksi ini yaitu dapat dilakukan menggunakan komponen yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 µg dan oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM Yuwono 2006. Virus AI merupakan virus RNA Boyce et al. 2009, maka perlu dilakukan transkripsi balik reverse transcription, RT terhadap molekul RNA sehingga diperoleh complementary DNA cDNA yang digunakan sebagai cetakan template dalam proses PCR Yuwono 2006. Teknik real time RT-PCR rRT-PCR merupakan hasil pengembangan RT-PCR konvensional yang memungkinkan dilakukan pemonitoran amplifikasi DNA pada saat proses amplifikasi berlangsung real time. Dibandingkan PCR konvensional, rRT-PCR lebih menguntungkan dari segi sensitivitas dan spesifisitas, bersifat kuantitatif, lebih cepat, dan lebih ramah lingkungan. Walaupun biaya investasi peralatan lebih mahal, namun biaya operasional dan pengamanan lingkungan memerlukan biaya yang lebih sedikit Aminah 2012. Real time PCR disebut juga PCR kinetik dan bersifat kuantitatif. Secara teori, terdapat hubungan kuantitatif antara jumlah DNA awal sekuen target dan jumlah produk PCR untuk setiap siklus PCR. Amplifikasi pada rRT-PCR dideteksi berdasarkan pancaran sinar flouresen yang digunakan sebagai indikator amplifikasi DNA Artika 2008. Hasil rRT-PCR berupa Ct cycle threshold yang merupakan perpotongan antara kurva amplifikasi siklus PCR dimana floresen yang dihasilkan memotong garis threshold, atau garis ambang deteksi. Nilai Ct dapat menggambarkan konsentrasi relatif target PCR. Pada rRT-PCR menggunakan TaqMan Probe, proses ekstensi amplikon menyebabkan reporter R dan quencher Q pada probe terpisah sehingga floresen tereksitasi Gambar 2. Dalam pengerjaan rRT-PCR terdapat beberapa titik kritis yang perlu diperhatikan, yaitu ekstraksi RNA, amplifikasi RT-PCR berserta enzim yang digunakan, serta penggunaan primer dan probe Suarez et al. 2007, Aminah 2012. Berbagai macam kit komersial tersedia di pasaran untuk melakukan ektraksi, amplifikasi RNA virus dengan reagen, enzim serta pasangan primer dan probe yang beragam. Guna memperoleh hasil dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi maka diperlukan optimasi, termasuk dalam menentukan penggunaan urutan basa primer dan probe, waktu dan suhu amplifikasi, serta konsentrasi reagen uji. Beberapa kit rRT-PCR yang tersedia telah divalidasi, namun validasi tersebut biasanya sesuai untuk penggunaan spesies dan spesimen tertentu saja. Belum ada uji diagnostik molekuler yang tervalidasi untuk semua spesies dan spesimen Suarez et al. 2007.