Deteksi Avian Influenza dengan rRT-PCR

Apabila jumlah materi genetik VAI dalam sampel dibawah limit deteksi maka akan diperoleh negatif palsu. Adapun limit deteksi rRT-PCR untuk gen matriks adalah 10 fg atau sekitar 1.000 kopi RNA target dan dapat mendeteksi 0.1 50 Egg infective dose EID 50 Spackman et al. 2002. Sedangkan limit deteksi rRT- PCR untuk H5 dan H7 adalah 100 fg atau sekitar 1.000-10.000 kopi gen dan dapat mendeteksi 10 EID 50 Spackman et al. 2002 atau dapat juga 5x10 -2 EID 50 Chen et al. 2007. Gen HA pada VAI memiliki variabilitas yang tinggi sehingga pasangan primer dan probe yang tepat menjadi pertimbangan penting untuk meningkatkan sensitivitas. Dalam penelitian ini digunakan pasangan primer dan probe yang terbukti dapat mendeteksi VAI pada unggas air di Indonesia Aminah 2012, namun sensitivitasnya pada sampel dari berbagai spesies unggas liar masih perlu diteliti lebih lanjut. Perbedaan hasil deteksi antar spesies unggas pernah dilaporkan Das et al. 2007 di dalam Xing et al. 2008, dimana sensitifitas rRT- PCR untuk sampel dari unggas liar lebih rendah dibandingkan sampel dari unggas domestik. Penggunaan primer dan probe yang tepat untuk isolat dari Indonesia terutama perlu diperhatikan karena adanya infeksi HPAI dari clade yang baru pada bebek di Indonesia pada tahun 2012. Clade baru di Indonesia tersebut adalah clade 2.3 yang sangat berbeda dengan clade virus yang sebelumnya beredar di Indonesia, yakni clade 2.1.3 Wibawa et al. 2012. Kemungkinan adanya clade baru sehingga mempengaruhi hasil uji dalam penelitian ini tidak dapat dikesampingkan, mengingat asal geografis unggas yang diperdagangkan di Pasar Burung Pramuka sangatlah beragam, yaitu dari dalam maupun luar negeri. Selain memiliki variabilitas yang tinggi, virus RNA seperti VAI memiliki tingkat mutasi yang tinggi. Tingkat mutasi gen Matriks adalah 1.64x10 -4 substitusisitustahun untuk VAI dari garis keturunan Amerika Utara dan 5.76x10 -4 substitusisitustahun untuk VAI dari garis keturunan Asia Furuse et al. 2009. Di lain pihak, kecepatan substitusi nonsinonim gen HA 1 VAI lebih tinggi dibandingkan gen matriks, yakni 5,7 x 10 -3 situstahun Bush et al. 1999. Variabilitas HA dan tingkat mutasi HA yang tinggi menjadi alasan diperlukannya uji tapis dengan target deteksi gen Matriks yang bersifat lebih lestari conserved, sedangkan pengujian subtipe HA berperan sebagai informasi tambahan dan konfirmasi sampel positif. Mengingat mutasi gen HA yang cepat, maka diduga bahwa VAI yang menginfeksi unggas di Pasar Burung Pramuka telah mengalami evolusi sehingga tidak terdeteksi oleh primer dan probe yang digunakan untuk mendeteksi H5. Kegagalan rRT-PCR dalam mendeteksi virus AI H7 pada unggas liar pernah dilaporkan oleh Xing et al. 2008. Pada penelitian tersebut sampel berasal dari unggas liar di California dan deteksi dilakukan menggunaka rRT-PCR sesuai dengan protokol deteksi dini AI yang telah digunakan secara nasional di Ameika Serikat . Dengan menggunakan rRT-PCR, semua sampel dinyatakan negatif terhadap AI H7, namun berdasarkan hasil sekuensing ternyata terdapat tiga sampel yang positif AI H7 Xing et al. 2008. Penyebab kegagalan deteksi rRT- PCR sehingga menyebabkan negatif palsu disebabkan isolat dari unggas liar memiliki perbedaan sekuens nukleotida gen HA di regio primer forward, reverse dan probe Xing et al. 2008. Dengan mempertimbangkan adanya faktor inhibitor, mutasi gen HA, dan kemungkinan keragaman sekuens gen HA pada berbagai spesies unggas liar, maka kegagalan deteksi rRT-PCR terhadap H5 diduga dapat terjadi dalam penelitian di Pasar Burung Pramuka. Oleh karena itu disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan peneguhan diagnosa menggunakan isolasi virus pada TAB dan sekuensing. Virus yang terdeteksi pada unggas liar umumnya bersifat LPAI Boyce et al. 2009, namun kecurigaan terhadap kemungkinan infeksi HPAI pada unggas di Pasar Burung Pramuka tidak dapat dikesampingkan mengingat keterbatas deteksi H5 dengan rRT-PCR. Virus LPAI tetap beresiko bagi unggas, manusia dan lingkungan karena LPAI dapat bermutasi menjadi HPAI Capua et al. 2002. Mutasi virus HPAI dapat terjadi akibat substitusi atau insersi nukleotida Alexander 2007, kegagalan transkripsi oleh komplek enzim polymerase sehingga terjadi duplikasi spontan triplet purin yang menghasilkan insersi asam amino pada HA cleavage site Perdue et al. 1997. Contoh kasus mutasi LPAI menjadi HPAI terjadi pada tahun 1999-2000 di Italia. Pada wabah LPAI dan HPAI H7N1 di Italia, sebanyak 199 wabah LPAI mengalami mutasi sehingga menyebabkan 415 wabah HPAI dan kematian 14 juta unggas Capua et al. 2000, Capua et al. 2002. Wabah HPAI H5N1 pada peternakan unggas air itik dan entok sejak bulan September 2012 di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan VAI yang bersirkulasi di Indonesia terus terjadi. Sejak September 2012 hingga awal Januari 2013, tercatat terdapat 11 propinsi di Indonesia yang telah mengalami wabah HPAI H5N1 pada unggas air Kompas 2013, padahal sebelumnya prevalensi AI pada unggas air adalah rendah dan umunya bersifat subklinis. Kematian itik pada berbagai provinsi di Indonesia akhir tahun 2012 disebabkan oleh HPAI H5N1 clade 2.3.2. Clade 2.3.2 ini berbeda dengan clade yang sebelumnya beredar di Indonesia, yaitu clade 2.1.3 Wibawa et al. 2012. Penyebab munculnya clade baru di Indonesia masih belum diketahui secara pasti. Diduga hal tersebut terjadi akibat mutasi genetic drift atau genetic shift dari virus sebelumnya atau introduksi virus baru dari luar negeri. Lesi yang ditemukan pada itik akibat clade 2.3 lebih parah dibandingkan infeksi akibat clade 2.1, dengan gejala klinis AI yang ditandai dengan gangguan sistem saraf tortikolis, kesulitan berdiri dan tremor, kornea mata yang memutih, penurunan produksi telur, dan kematian Wibawa et al. 2012. Namun, patogenesis virus baru ini belum diketahui secara jelas pada unggas liar maupun unggas domestik sehingga kewaspadaan perlu ditingkatkan. Berbagai kasus LPAI yang akhirnya berubah menjadi HPAI menunjukkan bahwa unggas liar yang terinfeksi LPAI memiliki peranan yang penting dalam penyebaran virus. Virus LPAI dapat bereplikasi di saluran pencernaan unggas, sehingga ekskresi virus bersama feses dapat ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui feses atau secara oral Sturm-Ramirez et al. 2004. Feses dalam kandang maupun di sekitar pemeliharaan unggas yang tidak dibersihkan dapat menjadi risiko penularan AI. Berbeda dengan infeksi virus HPAI yang menimbulkan kematian cepat sehingga pelepasan virus yang terjadi hanya sedikit Alexander 2007, pada infeksi virus LPAI unggas tidak langsung mati sehingga virus dapat bereplikasi dengan baik dan semakin menyebar di lingkungan. Apabila virus LPAI bermutasi menjadi HPAI maka hal tersebut dapat menimbulkan wabah dan kerugian yang serius. Pengendalian penyebaran dan pemberantasan virus AI yang sudah menjadi program pemerintah selama ini sebaiknya harus secara nyata diterapkan di lapangan, termasuk di pasar burung. Pada tahun 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan strategi No. 17Kpts PD.640F0204 yang meliputi 1 penerapan biosekuriti yang tepat, 2 depopulasi selektif di daerah tertular, 3 vaksinasi, 4 pengendalian lalu lintas unggas, 5 surveilans dan penelusuran, 6 peningkatan kesadaran masyarakat, 7 pengisian kandang kembali, 8 stamping out di daerah tertular baru, 9 monitoring, pelaporan dan evaluasi. Pada tahun 2012, strategi utama pengendalian AI yang ditetapkan pemerintah melalui Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dititik beratkan pada 1 peraturan perundangan, 2 public awareness, 3 biosekuriti di peternakan dan rantai pemasaran unggas, 4 depopulasi terbatas di daerah endemis dan stamping out di daerah bebas, 5 surveilans yang meliputi partisipasi, prevalensi, pembebasan dan monitoring dinamika virus, 6 pengawasan lalu lintas, 7 vaksinasi tertarget di daerah kasus tinggi, 8 restrukturisasi perunggasan BBalitvet 2012.

5.3 Uji Hemaglutinasi Inhibisi

Prevalensi AI H5 berdasarkan uji HI pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil studi oleh BKHI pada lokasi yang sama. Dalam penelitian ini, sebanyak 4.29 unggas dinyatakan memiliki antibodi terhadap AI H5. Pada penelitian oleh BKHI di Pasar Burung Pramuka tahun 2011, tidak ditemukan unggas yang memiliki antibodi terhadap AI H5, sedangkan di tingkat pasar dan pedagang burung di DKI Jakarta secara keseluruhan, terdapat 2 burung yang positif AI titer antibodi ≥ 2 4 dan hewannya tidak divaksin BKHI 2011. Berdasarkan data HI yang terbatas dalam penelitian ini, diduga bahwa unggas yang diperiksa kemungkinan terinfeksi virus AI yang lebih mendekati isolat yang digunakan untuk membuat ACkWest JavaPWT-Wij2006 H5N1 dibandingkan ALegokIPB-SGT12004 H5N1. Isolat untuk membuat antigen ALegokIPB-SGT12004 H5N1 merupakan hasil modifikasi virus yang menyebabakan outbreak di Legok pada tahun 2003. Sedangkan isolat untuk membuat antigenACkWest JavaPWT-Wij2006 H5N1 berasal dari Purwakarta dan diketahui telah mengalami mutasi pada cleavage site gen HA komunikasi pribadi. Virus AI H5N1 yang menyebabkan outbreak pertama pada tahun 2003 mempunyai motif asam amino PQRERRRKKRG pada cleavage site gen HA. Pada tahun 2005 dan 2006, virus AI khususnya dari daerah Jawa Barat diketahui telah mengalami mutasi pada cleavage site gen HA, yakni sekuen asam aminonya telah berubah menjadi PQRESRRKKRG, dimana posisi Rarginin digantikan oleh Sserin Indriani et al. 2011. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi antigenic drift pada isolat virus AI yang ada di Indonesia, termasuk virus AI ACkWest JavaPWT-Wij2006 H5N1 yaitu pada epitope A posisi asam amino 124, 131, dan 137 Dharmayanti dan Darminto et al. 2009 di dalam Indriani et al. 2011. Berdasarkan clade prediction pada Gen Bank, virus AI A CkWest JavaPwt-Wij2006 H5N1 termasuk dalam clade 2.1.3 www. fluegenome. or Indriani et al. 2011.