5
Moscatello et al. 1995 menunjukkan bahwa EGFR dijumpai pada hampir semua sel normal. Apabila EGFR digunakan sebagai molekul target dalam
penyampaian obat secara terarah maka pengobatan yang dilakukan dapat menyebabkan efek samping yaitu rusaknya sel-sel yang bukan target. Selain itu
pengobatan ini juga dapat merusak kekebalan tubuh, dan tubuh menjadi toleran terhadap pengobatan ini. Oleh karena itu diperlukan suatu molekul target yang
lebih spesifik yang hanya terdapat pada sel kanker. Salah satu varian mutan EGFR adalah EGFRvIII yang telah mengalami mutasi pada bagian ekstraselularnya.
Mutasi yang terjadi adalah delesi 801 pasang basa yang terdapat pada ekson 2-7 pada mRNA. Delesi tersebut mengakibatkan hilangnya asam amino 6-273 pada
domain ekstraselular EGFR serta menghasilkan residu glisin pada fusi antara exon-1 dan exon-8. Delesi tersebut mengakibatkan munculnya epitop baru pada
daerah ujung-N varian mutan EGFR tersebut, yaitu LEEKKGNYVVTDH Gambar 2. Delesi tersebut mengakibatkan ukuran molekul EGFRvIII menjadi
145 kDa. Varian mutan EGFR ini tetap memiliki kemampuan untuk terekspresi pada permukaan membran sel karena mutasi terjadi setelah signal peptida Kuan
et al.
2001.
Gambar 2 Skema Struktur Protein pada EGFR Wild-type dan EGFRvIII
diadopsi dari Kuan et al. 2001
Perbedaan struktur EGFR dengan EGFRvIII dapat dilihat pada Gambar 2. Molekul EGFRvIII bersifat unik dan hanya ditemukan pada sel tumor yang
mengalami mutasi tersebut. Oleh karena itu reseptor mutan ini dapat dijadikan sebagai molekul target ideal untuk terapi antikanker. Pendekatan terapi kanker
dengan memanfaatkan keunikan dari reseptor mutan EGFR tersebut dapat dikembangkan. Molekul EGFRvIII ditemukan pada permukaan sel beberapa jenis
tumor dan dapat dikenali oleh antibodi spesifik anti-EGFRvIII. Molekul EGFRvIII umumnya ditemukan pada sel kanker paru-paru 16, kanker
payudara 78, dan kanker ovarium 73. Sedangkan pada kanker prostat ekspresi EGFRvIII meningkat seiring dengan bertambahnya sel kanker. Ekspresi
EGFRvIII tidak ditemukan pada sel normal Pedersen et al. 2001, Gupta et al. 2010.
6
2.2 Human Pancreatic Ribonuclease HPR
Ribonuklease terdiri atas grup enzim heterogen yang mengkatalisis ikatan fosofodiester pada RNA. Beberapa jenis ribonuklease bersifat sitotoksik dan
berukuran kecil 10-28 kDa seperti bovine seminal ribonuclease BS-RNase, onconase
and amphinase Benito et al. 2005; Ardelt et al. 2009. Enzim tersebut homolog dengan human pancreatic ribonuclease HPR atau HP-RNase atau
RNase1. Ribonuklease dapat dikelompokkan
sebagai toksin karena
kemampuannya dalam mendegradasi RNA dan mengakibatkan kematian sel karena menghambat sintesis protein pada sel. Sifat toksisitas RNase diakibatkan
oleh aktifitas enzimatik, yaitu kemampuan memotong ikatan fosfodiester pada untai RNA. Ribonuklease mengikat membran sel yang bermuatan negatif,
memasuki sel dengan cara endositosis dan mentranslokasi ke sitosol untuk menghindari inhibitor protein ribonuklease dan mendegradasi RNA Ardelt et al.
2009.
Pada dasarnya RNase tidak bersifat toksik dan tidak mengganggu aktivitas fisiologis. Namun, jika RNase mengalami internalisasi atau difusi dengan suatu
molekul ligan atau fragmen antibodi spesifik kemudian mengalami endositosis, maka RNase tersebut akan bersifat sitotoksik. Keunikan sifat dari RNase ini
menyebabkan perkembangan penelitian mengenai imunoRNase dengan human pancreatic ribonuclease
HPR atau RNase1 sebagai gugus pembunuh sel. Penelitian secara in vitro membuktikan bahwa rute intraseluler yang tepat ke
sitosol dan ketahanan terhadap penghambatan oleh inhibitor RNase RI merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan imunoRNase konjugat
Mathew Verma 2009.
Telah terbukti bahwa ribonuklease yang bersifat tidak toksik seperti RNase1 dan angiogenin dapat menjadi sitotoksik jika secara artifisial disalurkan ke badan
golgi dengan keberadaan asam retinoik. Setelah mengikat reseptor dan terjadi internalisasi, RNase konjugat terpotong dan dilepaskan secara efisien ke sitosol
dan menjadi sitotoksik. Fusi varian RNase yang resisten terhadap RNase inhibitor dengan ligan yang selektif untuk proses endositosis yang efisien ke dalam sitosol
merupakan strategi untuk pengembangan imunotoksin yang potensial Mathew Verma 2009.
Ekspresi HPR terjadi diberbagai jaringan yang memiliki aktivitas enzimatik dan biologis yang penting, seperti pemotongan untai tunggal RNA, untai ganda
RNA, dan untai ganda hibrid RNA–DNA, proses pembentukan RNA, regulasi homeostasis pembuluh darah, penonaktifan HIV, aktivasi sel dendrit yang belum
matang dan induksi produksi sitokin, dan lebih lanjut lagi menunjukkan agen anti- tumor yang potensial Kövér et al. 2000.
Berbeda dengan BS-RNase and onconase yang bersifat sitotoksik pada sel manusia, HPR tidak bersifat sitotoksik. Rendahnya sifat toksisitas HPR
dikarenakan aktivitas ribonukleolitiknya dihambat oleh RNase inhibitor RI dalam sitosol. Oleh karena itu, afinitas dari suatu RNase pada RI di dalam sel
memainkan peranan penting dalam menentukan potensi sitotoksiknya Leland Raines 2001. Perubahan interaksi antara RI dan RNase 1 dapat direkayasa
dengan menciptakan varian sitotoksik RNase 1. Hal ini dapat dilakukan antara
7
lain melalui substitusi beberapa asam amino pada RNase 1 dipermukaan simpul untuk menjaga stabilitas konformasi dan aktivitas ribonukleolitik namun
mengurangi penghambatan oleh RI Leland et al. 2001.
Tabel 1 Struktur primer dari pre-protein HPR dan posisi mutasi pada HPR mutan diadopsi dari Leland et al. 2001
2.3 Imunotoksin dan Sistem Penyampaian Obat Berbasis Antibodi Konjugat
Imunotoksin merupakan protein toksin yang terkonyugasi dengan suatu ligan pengikat. Imunotoksin terdiri dari sekurangnya dua domain yang fungsional,
satu untuk mengenali sel target dan yang lainnya untuk membunuh sel setelah terinternalisasi. Imunotoksin pertama kali dipostulatkan oleh Paul Ehrlichs seratus
tahun yang lalu yang digambarkan sebagai peluru ajaib magic-bullets. Strategi imunotoksin yang digunakan untuk pengobatan kanker dan berbagai gangguan
autoimun telah berhasil digunakan. Sejak diketahui adanya keterbatasan pada toksin bakteri, fungi, dan tanaman seperti masalah toksisitas dan imunogenisitas,
penelitian terkait imunotoksin yang seluruh bagiannya berasal dari manusia menjadi objek baru yang banyak dipelajari. Perkembangan metode rekayasa
antibodi telah memunculkan berbagai format baru imunotoksin Gambar 3, Madhumathi Verma 2012.
Secara klasik, imunotoksin diciptakan melalui konjugasi secara kimia antara antibodi dengan protein toksin utuh. Konstruksi yang lebih selektif dilakukan
dengan menggunakan protein toksin tanpa domain pengikat alaminya. Protein imunologis yang lebih kecil dari antibodi monoklonal mAbs, seperti faktor
pertumbuhan growth factors dan sitokin, umumnya dikonjugasi secara kimia atau difusi secara genetik dengan protein toksin. Beberapa penelitian mengenai
imunotoksin yang menargetkan senyawa aktif atau toksin ke antigen tumor hematologi dan antigen tumor padat telah dilaporkan sebelumnya Kreitman,
2006.