Human Pancreatic Ribonuclease HPR

7 lain melalui substitusi beberapa asam amino pada RNase 1 dipermukaan simpul untuk menjaga stabilitas konformasi dan aktivitas ribonukleolitik namun mengurangi penghambatan oleh RI Leland et al. 2001. Tabel 1 Struktur primer dari pre-protein HPR dan posisi mutasi pada HPR mutan diadopsi dari Leland et al. 2001

2.3 Imunotoksin dan Sistem Penyampaian Obat Berbasis Antibodi Konjugat

Imunotoksin merupakan protein toksin yang terkonyugasi dengan suatu ligan pengikat. Imunotoksin terdiri dari sekurangnya dua domain yang fungsional, satu untuk mengenali sel target dan yang lainnya untuk membunuh sel setelah terinternalisasi. Imunotoksin pertama kali dipostulatkan oleh Paul Ehrlichs seratus tahun yang lalu yang digambarkan sebagai peluru ajaib magic-bullets. Strategi imunotoksin yang digunakan untuk pengobatan kanker dan berbagai gangguan autoimun telah berhasil digunakan. Sejak diketahui adanya keterbatasan pada toksin bakteri, fungi, dan tanaman seperti masalah toksisitas dan imunogenisitas, penelitian terkait imunotoksin yang seluruh bagiannya berasal dari manusia menjadi objek baru yang banyak dipelajari. Perkembangan metode rekayasa antibodi telah memunculkan berbagai format baru imunotoksin Gambar 3, Madhumathi Verma 2012. Secara klasik, imunotoksin diciptakan melalui konjugasi secara kimia antara antibodi dengan protein toksin utuh. Konstruksi yang lebih selektif dilakukan dengan menggunakan protein toksin tanpa domain pengikat alaminya. Protein imunologis yang lebih kecil dari antibodi monoklonal mAbs, seperti faktor pertumbuhan growth factors dan sitokin, umumnya dikonjugasi secara kimia atau difusi secara genetik dengan protein toksin. Beberapa penelitian mengenai imunotoksin yang menargetkan senyawa aktif atau toksin ke antigen tumor hematologi dan antigen tumor padat telah dilaporkan sebelumnya Kreitman, 2006. 8 Gambar 3. Format konstruksi imunotoksin diadopsi dari Madhumathi Verma 2012. Molekul EGFRvIII tidak dapat lagi mengikat ligan naturalnya seperti EGF atau TGFα karena mutasi yang terjadi pada domain pengikatan ligan. Oleh karena itu antibodi anti-EGFRvIII diperlukan sebagai ligan untuk mengenali molekul target EGFRvIII. Salah satu kendala dalam terapi antitumor menggunakan antibodi adalah kemampuan penetrasi yang rendah dari molekul antibodi ke dalam jaringan sel tumor. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mengurangi ukuran dari molekul antibodi yang digunakan, seperti menggunakan fragmen antibodi. Fragmen antibodi ini dapat dihasilkan dari proses pemotongan enzimatis seperti Fab dan Fab 2 , atau melalui teknik rekayasa genetika untuk menghasilkan scFv dan scFv 2 Pedersen et al. 2001. Fragmen antibodi ini berperan sebagai ligan spesifik sehingga terapi bersifat lebih selektif pada sel kanker. Sitotoksisitas yang selektif merupakan salah satu tujuan penargetan obat terarah. Protein toksin yang berasal dari tanaman seperti risin, saporin, dan protein antivirus pokeweed PAP, bekerja secara selektif dengan menonaktifkan ribosom dan menghambat sintesis protein. Toksin yang berasal dari bakteri seperti toksin difteri DT, eksotoksin Pseudomonas PE bekerja secara spesifik dengan melakukan ribosilasi ADP adenosin difosfat pada protein EF2 elongation factor 2 sehingga menghambat sintesis protein. Jenis-jenis toksin tersebut telah dilaporkan difusi dengan suatu antibodi atau ligan pengikat reseptor sehingga menghasilkan suatu senyawa sitotoksik dengan target khusus yang disebut immunotoksin Pastan et al. 2007. Strategi ini menjadi ide untuk memfusi RNase mamalia dengan ligan pengikat sel spesifik yang diperlukan untuk pengembangan strategi terapi dengan toksisitas dan imunogenisitas yang rendah dibandingkan immunotoksin yang menggunakan toksin asal tanaman atau bakteri Rybak et al. 1991.