terhadap output tempe yang dihasilkan. Sehinga dalam penelitian ini faktor produksi yang dianalisis yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja.
6.4.1.1 Kedelai
Kedelai merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam suatu usaha tempe. Hasil produksi usaha tempe akan baik jika menggunakan
bahan baku kedelai yang memiliki kualitas baik disertai dengan pola dan cara produksi yang tepat. Jenis kedelai yang digunakan oleh pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri sama yaitu kedelai hasil impor. Namun berbeda sumber bahan bakunya pengusaha tempe pola kemitraan memperolehnya dari
koperasi, sedangkan pengusaha tempe pola mandiri memperoleh bahan bakunya dari pedagang pasar. Tabel 15 menunjukan penggunaan bahan baku kedelai
sebagai faktor produksi usaha tempe di Desa Cimanggu I. Secara rinci, penggunaan kedelai untuk kedua pengusaha tempe dapat dilihat pada Tabel 14
dan Lampiran 2. Tabel 14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe pola kemitraan
dan pola mandiri
Kategori Pengusaha
Rata-rata Penggunaan Kedelai
kghari Harga Rata-
rata RpKg Nilai
Rphari Nilai
Rptahun Pola Kemitraan
71,25 9.291,67
659.333,33 239.338.000,00
Pola Mandiri 72,50
9.070,00 656.250,00
238.218.750,00
Berdasarkan Tabel 14 penggunaan kedelai total rata-rata yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan di Desa CImanggu I setiap harinya yaitu
71,25 kg dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.291,67kg. Sedangkan pengusaha tempe pola mandiri menggunakan kedelai sebanyak 72,50 kghari
dengan harga beli kedelai seharga Rp 9.070,00kg. Penggunaan kedelai tersebut hampir sama baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dikarenakan
kapasitas produksi dari mereka yang tidak terlalu besar setiap harinya, yaitu berkisar antara 50-100 kghari. Kedua pola pengusaha ini merupakan industri
tempe yang skalanya masih skala industri rumahan yang mana penggunaan input bahan baku kedelai yang sedikit serta menggunakan mayoritas Tenaga Kerja
Dalam Keluarga TKDK dan hanya sedikit yang menggunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga TKLK.
6.4.1.2 Ragi
Salah satu bahan yang biasa digunakan dalam memproduksi tempe adalah ragi. Ragi memiliki fungsi sebagai zat yang akan membantu dalam proses
fermentasi tempe. Perbandingan penggunaan ragi baik pada pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 15 dan Lampiran 3.
Tabel 15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
Kategori Pengusaha
Rata-rata Penggunaan Ragi kg
Harga Rata- rata RpKg
Nilai Rphari
Nilai Rptahun
Pola Kemitraan 0,30
22.500,00 6.649,17
2.413.647,50 Pola Mandiri
0,29 22.600,00
6.390,00 2.319.570,00
Berdasarkan Tabel 15, dapat dilihat bahwa penggunaan rata-rata ragi yang digunakan oleh pengusaha tempe pola kemitraan adalah 0,3 kghari dengan harga
beli rata-rata ragi sebesar Rp 22.500,00kg. Jumlah tersebut hampir sama dengan penggunaan rata-rata ragi per hari pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri
yaitu sebesar 0,29 kghari dengan harga beli ragi sebesar Rp 22.600,00 kg. Penggunaan rata-rata ragi pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri lebih
sedikit dibandingkan dengan penggunaan rata-rata ragi pada pengusaha tempe pola kemitraan karena pengusaha pola mandiri menggunakan anjuran penggunaan
ragi yang disampaikan oleh KOPTI yang mana dalam menggunakan ragi seharusnya setiap 1 kg kedelai adalah sebanyak 0,002 kg ragi. sedangkan
pengusaha pola kemitraan menggunakan ragi sesuai dengan kebiasaan meraka tanpa mengikuti anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Berdasarkan data Tabel
penggunaan ragi kedua pola pengusaha melebihi standar yang dianjurkan KOPTI akan tetapi pengusaha pola mandiri mengguanakan ragi yang lebih mendekati
anjuran dari KOPTI atau lebih baik daripada penggunaan ragi pengusaha pola kemitraan.
6.4.1.3 Air
Air yang meupakan input produksi yang digunakan oleh kedua pengusaha baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri adalah air yang
bersumber dari sumber mata air sumur atau sungai yang dialirkan kerumah masing-masing. Penggunaan air PDAM Perusahaan Daerah Air Minum bagi
mereka itu sangat mahal dan akan memepengaruhi biaya yang harus dikeluarkan. Komposisi perbandingan penggunaan input air antara pengusaha tempe pola
kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 4. Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan dan
pola mandiri
Kategori Pengusaha
Rata-rata Penggunaan Air
ltr Harga Rata-rata
Rp0-10.000 ltr Nilai
Rphari Nilai
Rptahun Pola Kemitraan
1.027,58 2.200,00
2.200,00 798.600,00
Pola Mandiri 1.233,10
2.200,00 2.200,00
798.600,00
Berdasakan Tabel 16 dapat dilihat bahwa, jumlah rata-rata penggunaan air per hari pada kelompok pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 1.027,58
liter dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00hari. Sedangkan jumlah rata-rata penggunaan air pada kelompok pengusaha tempe pola mandiri adalah sebesar
1.233,10 literhari dengan harga beli air sebesar Rp 2.200,00hari. Penggunaan rata-rata air oleh kedua pengusaha menunjukan adanya perbedaan dimana jumlah
rata-rata air yang digunakan oleh pengusaha pola mandiri lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata penggunaan air pengusaha pola kemitraan. Hal ini
disebabkan pengusaha pola kemitraan hanya melakukan pencucian setelah penggilingan kedelai sebanyak satu kali saja, sedangkan pengusaha pola mandiri
mencucinya sebanyak dua kali setelah penggilingan karena untuk memperoleh hasil pencucian yang lebih bersih guna menghasilkan proses fermentasi yang lebih
baik, serta merupakana anjuran dari KOPTI Kabupaten Bogor. Dalam penentuan harga air ini peneliti mengacu pada harga air yang di
tetapkan oleh PADM Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor karena pada faktanya pengusaha baik pola kemitraan maupun
pola mandiri tidak mengeluarkan biaya dalam penggunaan air. Sehingga dengan adanya acuan tersebut peneliti mengasumsikan bahwa para pengusaha
menggunakan air dari PDAM dan mendapat harga sebagaimana yang ditetapkan oleh PDAM Tirta Kahuripan yang menetapkan harga air untuk kelas rumah
tangga adalah sebesar Rp 2.200,00 0-10.000 liter air . Hal ini dimaksudkan agar mendpatkan nilai dari biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam penggunaan
air untuk proses produksi tempe.
6.4.1.4 Tenaga Kerja HOK
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat berpengaruh terhadap suatu kegiatan. Tenaga kerja yang digunakan dapat berupa
tenaga mekanik mesin giling dan tenaga kerja manusia. Tenaga kerja mekanik mesin giling digunakan untuk melakukan pengolahan pemecahan kedelai karena
dengan menggunakan tenaga masin giling, memecah kedelai menjadi lebih cepat dan lebih efektif, sedangkan tenaga kerja manusia digunakan untuk melakukan
pengolahan kedelai setelah dipecah dan direbus seperti mencuci kedelai sebelum dan sesudah merebus, meniriskan kedelai setelah dicuci, memberikan ragi,
mencetak kedelai kedalam kantong plastik, menata di rak fermentasi kre dan bambu plandangan, distribusi tempe, dan penjualan langsug kepada konsumen.
Kebutuhan tenaga kerja manusia yang digunakan pengusaha tempe pola kemitran atupun pola mandiri tidak hanya menggunakan tenaga kerja luar
keluarga, namun juga menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang biasanya sering terabaikan dalam perhitungan struktur biaya usaha ini. Kebutuhan tenaga
kerja untuk setiap aktivitas usaha berbeda antara satu pengusaha tempe dengan pengusaha lainnya disesuaikan dengan kapasitas produksi yang dikerjakan, namun
secara keseluruhan jumlah penggunaan tenaga kerja untuk pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri setiap harinya tidak hampir. Secara terperinci jumlah
rata-rata tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 5.
Tabel 17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
No Kategori
Pengusaha Kategori
HOK Rata-rata
Tenaga Kerja HOK
Harga Rata-rata
Rptrip Nilai
Rphari Nilai
Rptahun 1
Pola Kemitraan
Keluarga 2,00
50.000,00 83.333,33
30.250.000,00 Non Keluarga
1,00 50.000,00
29.166,67 10.587.500,00
2 Pola
Mandiri Keluarga
2,00 50.000,00
75.000,00 27.225.000,00
Non Keluarga 1,00
50.000,00 30.000,00
10.890.000,00
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa perbandingan kebutuhan rata- rata tenaga kerja usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri tidak jauh berbeda
dan sama-sama didominasi oleh kenaga kerja dalam keluarga. Dari Tabel diatas dapat kita lihat bahwa rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam keluarga baik pada
kelompok usaha pola kemitraan maupun usaha pola mandiri adalah sebanyak 2 orang, dan jumlah rata-rata tenaga kerja luar keluaga adalah 1 orang.
Kebutuhan tenaga kerja dalam usaha tempe ini tidak banyak, hal ini dikarenakan skala usaha yang mereka jalankan juga tidak terlalu besar. Tenaga kerja dalam
keluarga mendominasi usaha tempe ini karena dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga pengusaha akan menghemat biaya langsung tunai yang di
keluarkan. Pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri dalam memberikan upah
kepada tenaga kerja luar keluarga rata-rata sama besar yaitu Rp 50.000hari. Upah ini berlaku bagi tenaga kerja wanita dan juga tenaga kerja laki-laki. Dalam
menentukan nilai upah tenaga kerja biasanya pengusaha tempe baik pengusaha pola kemitraan maupun pola mandiri mengadakan kesepakatan antar pengusaha
supaya besaran upah yang di berikan kepada tenaga kerja sama besar. Hal ini dilakukan agar tidak ada perselisihan antar tenaga kerja yang bekerja dalam usaha
yang sama. Rata-rata upah yang harus di bayarkan oleh pengusaha tempe pola kemitraan untuk tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp 83.333,33hari,
dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar keluarga adalah sebesar Rp 29,166.67hari
.
Sedangkan upah rata-rata yang harus dibayarkan oleh pengusaha pola mandiri kepada tenaga kerja dalam keluarga adalah sebesar Rp
75.000,00hari, dan rata-rata upah yang harus dibayarkan kepada tenaga kerja luar keluarga adalah sebesar Rp 30.000,00hari.
6.4.2 Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Faktor produksi yang diduga mempengaruhi produksi usaha tempe pada pengusaha pola kemitraan yaitu kedelai, ragi, air, tenaga kerja. Pendugaan fungsi
produksi ini dilakukan dengan menguji faktor-faktor produksi menggunakan metode statistik dan pengujian asumsi ekonometrika dengan menggunakan
perangkat lunak Minitab 15. Model fungsi produksi yang digunakan dalam menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi tempe adalah model
fungsi Cobb-Douglas dengan metode OLS Ordinary Least Square. Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe kelompok pengusaha pola
kemitraan dapat dilihat pada Tabel 18 dan lampiran 6.
Tabel 18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola kemitraan
Prediktor Koefisien
SE Koef T-Hitung
P-Value VIF
Konstanta 0,47
0,15 3,21
0,02 Kedelai
0,85 0,02
51,31 0,00
4,30 Ragi
-0,04 0,02
-1,88 0,10
5,86 Air
0,04 0,04
2,10 0,07
6,25 Tenaga Kerja HOK
-0,02 0,03
-0,06 0,96
1,27 R-sq
99,90 R-sqad
99,90 Analisi Varians
Sumber DF
SS MS
F P
Regresi 4
3,14 0,78
2861,57 0,00
Kesalahan Sisaan 7
0,00 0,00
Total 11
3,14 Keterangan:
Nyata pada taraf α 1
Nyata pada taraf α 10
Berdasarkan Tabel 18, model statistik untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi tempe pengusaha pola kemitraan
dapat dikatakan layak serta memenuhi kriteria. Alasan ini dapat dilihat dari nilai R-sqadj pada model produksi yang dihasilkan yaitu sebesar 99,90 berarti
menyatakan bahwa variabel-variabel kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat menjelaskan keragaman dari produksi tempe sebesar 99,90 dan sisanya 0,10
dari keragaman model produksi tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang ada di luar model. Nilai F-hitung sebesar 2861,57 dengan nilai p-value 0,000
menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara bersama-sama terhadap produksi tempe pola kemitraan
di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang. Nilai koefisien regresi dari variabel-variabel bebas dalam model fungsi
produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, atau bisa disebut sebagai nilai besarnya pengaruh variabel tersebut
terhadap produsi tempe pola kemitraan. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel- variabel bebas pada fungsi produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,83.
Jumlah elastisitas produksi tersebut ini bernilai kurang dari satu, artinya menunjukkan bahwa skala usaha tempe pola kemitraan berada pada kondisi
decreasing return to scale, yang berarti bahwa proporsi penambahan input
produksi akan menghasilkan tambahan output produksi yang proporsinya lebih kecil daripada input produksi yang ditambahkannya. Variabel-variabel yang
diduga berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraa di Desa Cimanggu Iadalah sebagai berikut.
a. Kedelai
Kualitas tempe yang baik akan sangat tergantung pada kualitas kedelai yang digunakan dalam memproduksi tempe, sangat penting pengusaha tempe
memperhatikan kualitas dari kedelai yang digunakan sebagau input produsinya. Semkain baik kualitas kedelai maka akan menghasilakan kualits tempe yang lebih
baik pula. Hasil regresi menunjukkan bahwa kedelai memiliki hubungan yang positif terhadap produksi tempe pola kemitraan yang berarti bahwa semakin
banyak kedelai yang digunakan maka output produksi tempe yang dihasilkan diduga akan semakin meningkat pula. Berdasarkan hasil regresi, nilai elastisitas
kedelai adalah sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan kedelai sebesar 1 maka diduga akan meningkatkan produksi tempe sebesar
0,85 ceteris paribus. Kedelai yang digunakan pengusaha tempe pola kemitraan merupakan kedelai impor dengan kualitas yang baik, sehingga dengan kualitas
kedelai yang baik menghasilkan hasil produksi tempe yang baik pula. Hal ini terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15,
artinya menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik memiliki pengaruh yang nyata terhadap output produksi tempe yang dihasilkan.
b. Ragi
Penggunaan ragi memiliki hubungan yang negatif terhadap produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
koefisien faktor produksi dari ragi adalah sebesar -0,04. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan penggunaan ragi sebesar 1 diduga akan menurunkan produksi
tempe sebesar 0,04 ceteris paribus. Penggunaan ragi dalam pegusaha pola kemitraan ini berpengaruh nyata terhadap produksi tempe pola kemitraan. Hal ini
dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,10 yang lebih keci
l dari taraf nyata hingga α 15.
c. Air
Air merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam proses produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I. Penggunaan air sangat dibutuhkan
dalam usaha tempe karena air digunakan dalam banyak proses dalam memproduksi tempe. Air digunaka untuk mencuci, merebus, dan mencuci kedelai
yang telah direbus, dan merendam dalam penghilangan asam pada kedelai. Sehingga peran air dalam memproduksi tempe sangat dibutuhkan keberadaannya
oleh pengusaha pola kemitraan. Hasil uji statistik pada model fungsi produksi tempe pengusaha pola kemitraan menunjukkan bahwa koefisien regresi air
memiliki tanda yang positif sebesar 0,04 dengan p-value 0,07. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1 diduga akan meningkatkan produksi
usaha tempe sebesar 0,04 ceteris paribus. Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara nyata terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai p-value air sebagai faktor produksi sebesar 0,074, dimana nilai tersebut kurang dari
taraf nyata hingga α 15. d.
Tenaga Kerja HOK Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja sebagai
salah satu variabel faktor produksi bernilai negatif, yaitu -0,03 dengan p-value sebesar 0,956. Hal ini berarti setiap penambahan 1 penggunaan tenaga kerja
diduga akan menurunkan produksi tempe sebesar 0,03 ceteris paribus. Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata pada
taraf α 15. Sehingga penambahan tenaga kerja pada usaha tempe pola kemitraaan akan megurangi jumlah produksi tetapi dalam jumlah yang sedikit
pengurangannya yaitu sebesar 0,03. Hal ini terjadi karena usaha tenpe pola kemitran merupakan usaha yang skalanya sangat kecil dimana dapat dikerjakan
oleh satu atau dua orang tanaga kerja, sehingga jika ada penambahan tenaga kerja malah akan menimbulkan inefisien dalam produksi yang berakibat pada
penuruanan output produksi.
Uji Kriteria Ekonometrika
a. Uji Multikolinearitas
Tujuan dari adanya uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear kuat yang
terjadi antara variabel-variabel bebas independen yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja. Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat nilai dari Variance
Inflation Factor VIF pada model hasil regresi tersebut. Suatu model dikatakan memiliki multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel bebas pada model
bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 19, nilai VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel bebas pada model memiliki nilai kurang
dari 10. Artinya ini menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model regresi untuk produksi usaha tempe pola kemitraan tidak memiliki hubungan
linear satu sama lain antara variebel-variabel bebas. b.
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Uji stasistik Kolmogorov-Smirnov KS dalam penelitian ini digunakan
untuk menguji kenormalam Uji normalitas untuk model produksi tempe pola kemitraan, dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil yang diperoleh pada uji KS
tersebut yaitu nilai rata-rata -1,33227E-15, nilai standar deviasi 0,01321, jumlah pengamatan 12 reponden, nilai Kolmogorov-Smirnov KS 0,235, dan p-value
0,066. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai KS-hitung 0,235 lebih kecil daripada KS-Tabel 0,375. Hal ini menunjukkan bahwa residual responden
telah mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual dikatakan telah terpenuhi.
Tujuan dari uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan error adalah konstan.
Model regresi yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu
dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik
tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y Hidayat, 2013. Gambar
2 a dan b masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas dari model regresi berganda pengusaha pola kemitraan.
Gambar 2. Gambar grafik model regresi produksi usahatani tempe pola kemitraan
a Grafik Uji Kenormalan
b Grafik Homoskedastisitas
Model fungsi produksi untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah produksi tempe pola mandiri hampir sama dengan model fungsi produksi
tempe pola kemitraan. Faktor produksi yang menjadi variabel bebas independen untuk fungsi produksi tempe pola mandiri yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga
kerja. Secara rinci hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 19 dan Lampiran 7.
Tabel 19 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe pola mandiri
Prediktor Koefisien
SE Koef T-Hitung
P-Value VIF
Konstanta 0,67
0,24 2,77
0,04 Kedelai
0,85 0,04
21,54 0,00
9,03 Ragi
0,00 0,05
0,08 0,94
7,23 Air
0,01 0,04
0,25 0,81
8,12 Tenaga Kerja HOK
0,13 0,13
1,00 0,36
4,45 R-sq
99,90 R-sqad
99,80 Analisi Varians
Sumber DF
SS MS
F P
Regresi 4
235,749 0,58937 1111,03
0,000 Kesalahan Sisaan
5 0,00265 0,00053
Total 9
236,014 Keterangan:
Nyata pada taraf α 1
a b
Berdasarkan data pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa model statistik regresi berganda untuk menduga faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap
produksi tempe pengusaha pola mandiri dapat dikatakan layak dan memenuhi kriteria. Karena dapat dilihat bahwa nilai R-sqadj dari model produksi yaitu
sebesar 99,80 yang menyatakan bahwa variabel-variabel independen seperti kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja dapat menjelaskan keragaman dari produksi
tempe sebesar 99,80 dan sisanya sebesar 0,20 dari keragaman model produksi tempe dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang ada di luar model. Nilai F-
hitung sebesar 1111,03 dengan nilai p-value 0,000 menjelaskan bahwa secara umum variabel-variabel faktor produksi dalam model berpengaruh nyata secara
bersama-sama terhadap produksi tempe pola mandiri. Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa nilai koefisien regresi dari
variabel-variabel bebas dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, atau bisa disebut sebagai
nilai besarnya pengaruh variabel tersebut terhadap produsi tempe pola mandiri. Jumlah total nilai elastisitas dari variabel-variabel bebas independen pada fungsi
produksi tempe pola kemitraan diperoleh sebesar 0,99. Jumlah elastisitas produksi tersebut bernilai kurang dari satu yang menunjukkan bahwa skala usaha tempe
pola kemitraan berada pada kondisi decreasing return to scale. Artinya bahwa proporsi penambahan input produksi akan menghasilkan tambahan output
produksi yang proporsinya lebih kecil dari penambahan input produksi yang ditambahkannya. Berikut adalah Variabel-variabel yang diduga berpengaruh
terhadap produksi tempe pola mandiri. a.
Kedelai Hasil regresi berganda pada Tabel diatas menunjukkan bahwa kedelai
memiliki hubungan yang positif terhadap output produksi tempe pola mandiri yang berarti bahwa semakin banyak kedelai yang digunakan maka diduga output
produksi tempe yang dihasilkan akan meningkat pula. Berdasarkan hasil pada Tabel diatas, nilai elastisitas kedelai sebesar 0,85 yang berarti bahwa setiap
penambahan penggunaan kedelai sebesar 1 diduga akan meningkatkan produksi tempe sebesar 0,85 ceteris paribus. Kedelai yang digunakan pengusaha tempe
pola mandiri merupakan kedelai kualitas impor yang baik sama halnya dengna
kedelai yang digunakan pengusaha pola kemitraan, sehingga dengan kualitas kedelai yang baik menghasilkan hasil output produksi yang baik pula. Hal ini
terbukti dengan nilai p-value kedelai yang kurang dari taraf nyata hingga 15 menunjukkan bahwa penggunaan kedelai yang baik dalam penelitian ini memiliki
pengaruh yang nyata terhadap produksi tempe. b.
Ragi Berbeda dengan penggunaan ragi pada pengusaha pola kemitraan yang
memiliki hubungan negatif terhadap output produksi tempe, pada pengusaha pola mandiri ragi justru memikiki hubungan positif terhadap output produksi. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai koefisien dari ragi adalah sebesar 0,004. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan ragi yang digunakan sebesar 1 diduga akan
meningkatkan output produksi sebesar 0,004 ceteris paribus. Penggunaan ragi dalam penelitian ini berpengaruh tidak nyata terhadap produksi tempe pola
kemitraan. Hal ini dapat dilihat dari p-value ragi sebagai variabel faktor produksi sebesar 0,94 yang lebih besar
dari taraf nyata hingga α 15. Penggunaam ragi oleh pengusaha pola mandiri berada di atas normal dari yang seharusnya
digunakan, sehingga pengaruh kenaikan penggunaan ragi dirasakan tidak nyata oleh pengusaha pola mandiri.
c. Air
Hasil uji statistik pada model fungsi produksi tempe pengusaha pola mandiri menunjukkan bahwa koefisien regresi air memiliki tanda yang positif
sebesar 0,01 dengan p-value 0,81. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan air sebesar 1 diduga akan meningkatkan output produksi sebesar 0,01 ceteris
paribus. Penggunaan air dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata terhadap produksi tempe. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value air sebagai
faktor prod uksi sebesar 0,81 dimana nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata α
15. Fungsi air pada produksi tempe dirasakan secara tidak nyata oleh pengusaha pola mandiri dalam pemenuhan kebutuhan air untuk pengelolaan usahanya.
d. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi usaha tempe dapat memberikan pengaruh yang positif jika penggunaan tenaga kerja dilakukan
dengan efisien. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai elastisitas tenaga kerja
bernilai positif, yaitu 0,13 dengan p-value sebesar 0,36. Hal ini berarti setiap penambahan 1 penggunaan tenaga kerja diduga akan menaikan produksi tempe
sebesar 0,13 ceteris paribus. Penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini berpengaruh secara tidak nyata pada taraf α 15 karena nilai P-value adalah
sebesar 0,36 dan lebih besar dari taraf nyata α 15.
Uji Kriteria Ekonometrika
a. Uji Multikolinearitas
Tujuan dari uji multikolinearitas terhadap suatu model regresi berganda adalah untuk memastikan tidak adanya hubungan linear yang terjadi antara
variabel-variabel bebas independen yaitu kedelai, ragi, air, dan tenaga kerja. Cara melakukan pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai dari Variance
Inflation Factor VIF dari model. Suatu model dikatakan memiliki multikolinearitas jika nilai VIF dari setiap variabel pada model hasil tegresi
bernilai lebih dari 10. Berdasarkan hasil uji statistik pada Tabel 20 diatas, nilai VIF dari keempat faktor yang menjadi variabel bebas indpoenden pada model
memiliki nilai kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel independen dalam model regresi untuk produksi tempe pola mandiri tidak
memiliki hubungan linear satu sama lain sesame variabel bebasnya. b.
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Uji statistik Kolmogorov-Smirnov KS dilakukan untuk melihat
kenormalan Uji normalitas pada model produksi tempe pola kemitraan di Desa Cimanggu I, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil yang diperoleh pada
uji Kolmogorov-Smirnov KS tersebut yaitu nilai rata-rata 4,440892E-17, nilai standar deviasi 0,01717, jumlah pengamatan 10 reponden, nilai Kolmogorov-
Smirnov KS 0,287, dan p-value 0,029. Terlihat bahwa nilai KS-hitung 0,287 lebih kecil dari KS-Tabel 0,409. Sehingga bisa dikatakan bahwa residual telah
mengikuti distribusi secara normal, sehingga asumsi kenormalan residual telah terpenuhi.
Uji heteroskedastisitas terhadap suatu model regresi berganda dilakukan untuk memastikan varian unsur gangguan eror adalah konstan. Model regresi
yang didapat diharapkan memenuhi asumsi homoskedastisitas. Pendeteksian
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode grafik, yaitu dengan melihat pola penyebaran titik-titik pada scatterplot. Model regresi dikatakan memenuhi
asumsi homoskedastisitas jika sebaran titik-titik pada grafik tidak membentuk pola tertentu atau pola yang terbentuk tidak jelas, dan titik-titik menyebar di atas
dan di bawah angka nol pada sumbu Y Hidayat, 2013. Gambar 3 a dan b masing-masing menunjukkan sebaran kenormalan residual dan homoskedastisitas.
Gambar 3. Gambar grafik Model Regresi Produksi Usaha Tempe Pola Mandiri
a Grafik Uji Kenormalan
b Grafik Homoskedastisitas
6.5 Analisis Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe Pola Kemitraan
dan Pola Mandiri
6.5.1 Output
Output usaha tempe yaitu berupa tempe itu sendiri yang siap jual dan telah mengalami pengolahan dan proses fermentasi sebelumnya. Tempe merupakan
satu-satunya output yang dihasilakan oleh kedua pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri. Tempe inilah yang menjadi hasil utama pengusaha dalam
melakukan usahanya sekaligus menjadi sumber pendapatan bagi pengusaha tempe untuk memenuhu kebutuhan usaha dan keluarganya. Tempe yang dihasilakan
tersebut dijual kepada konsumen langsung, baik konsumen di pasar maupun konsumen yang langsung di antar ke rumah masing-masing oleh penjual keliling.
Tempe hasil olahan yang telah jadi atau siap jual harus segera dijual karena tempe yang di olah oleh pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri tidak
a b
menggunakan bahan pengawet. Sehingga jika tempe yang sudah jadi tersebut tidak segera dipasarkan maka akan tumbuh jamur dan tempe tersebut takan laku
dijual. Pengusaha tidak menggunakan pengawet kedalam olahan tempe tersebut karena pengusaha memahami hal tersebut kurang baik bagi kesehatan masyarakat
dalam jangka panjang. Harga rata-rata tempe yang dihasilkan dan sudah siap jual berdasarkan
informasi dari hasil penelitian kelompok pengusaha pola kemitraan adalah sebesar Rp 13.791,67kg, sedangkan harga rata-rata tempe pada kelompok pengusaha pola
mandiri tida jauh berbeda yaitu sebesar Rp 13.800kg. Data hasil produksi dan produktivitas tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada
Tabel 20 dan Lampiran 1. Tabel 20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe pola kemitraan dan pola
mandiri
Waktu Produksi
Kategori Pengusaha
Input Total Kg
Output Total kg
Output Rata-rata
kgorg Produktivitas
kg1 Kg Kedelai Per Hari
Kemitraan 855,00
1.017,00 84,77
1,19 Per Bulan
25.650,00 30.510,00
2.542,50 1,19
Per Tahun 310.365,00 369.171,00
30.771,51 1,19
Waktu Produksi
Kategori Pengusaha
Input Total Kg
Output Total kg
Output Rata-rata
kgorg Produktivitas
kg1 Kg Kedelai Per Hari
Mandiri 725,00
868,50 86,85
1,20 Per Bulan
21.750,00 26.055,00
2.605,50 1,20
Per Tahun 263.175,00 315.265,50
31.526,55 1,20
Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa output produksi rata-rata tempe pola mandiri lebih besar daripada output produksi rata-rata tempe
pengusaha pola kemitraan. Berdasarkan Tabel 21 diatas total rata-rata output pengusaha tempe pola kemitraan adalah sebesar 30.771,51 kg dalam satu tahun
dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,19 kg tempe1 kg kedelai. Sedangkan total rata-rata output pada pengusaha tempe pola mandiri sebesar
31.526,55 kg dalam satu tahun dengan produktivitas rata-rata menghasilkan 1,20 kg tempe1 kg kedelai. Hal ini dikarenakan teknik produksi pengusaha pola
mandiri lebih baik karena menggunakan cara yang di anjurkan KOPTI daripada teknik produksi pengusaha pola kemitraan yang masih menggunakan cara
tradisional. Hampir seluruh kelompok pengusaha pola mandiri yang merupakan
responden dalam penelitian ini adalah merupakan anggota dari kelompok pola kemitraan sebelumnya. tetapi mereka keluar dari keanggotaan dengan alasan tidak
ada keuntungan yang berarti dengan adanya kerjasama dengan koperasi KOPTI. Akan tetapi untuk pengetahuan pengolahan tempe yang baik meski saat ini
mereka adalah non anggota kemitraan tetapi secara teori mereka pernah mendapat penyuluhan bagaimana memproduksi tempe yang baik. Lain hal dengan kelompok
pola kemitraan yang saat ini masih menjadi anggota KOPTI malah masih menggunakan cara-cara lama yang biasa lakukan dan mengabaikan instruksi dari
KOPTI ketika penyuluhan.
6.5.2 Penerimaan
Penerimaan usaha tempe merupakan jumlah output dikalikan dengan harga yang berlaku terhadap output tersebut. Penerimaan ini merupakan pendapatan
kotor sebelum dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan selama melakukan proses produksi. Output berupa tempe yang siap dijual dengan harga yang berlaku di
pasar untuk masing-masing usaha sehingga akan diperoleh penerimaan kotor. Perbandingan penerimaan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
dapat dilihat pada Tabel 21 dan Lampiran 8. Tabel 21 Penerimaan usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
Kategori Pengusaha Penerimaan rata-rata Rp
Hari Bulan
Tahun Kemitraan
1.165.750,00 34.972.500,00
423.167.250,00 Mandiri
1.210.925,00 36.327.750,00
439.565.775,00
Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa penerimaan rata-rata pengusaha pola kemitraan sebesar Rp 423.167.250,00 dalam satu tahun, sedangkan
penerimaan rata-rata pengusaha pola mandir sebesat Rp 439.565.775,00 dalam satu tahun. Dimana rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha mandiri lebih
besar daripada rata-rata penerimaan pada kelompok pengusaha pola kemitraan. Hal ini disebabkan oleh output produsi yang yang dihasilkan oleh pengusaha pola
mandiri lebih banyak daripada output produksi yang dihasilkan oleh pengusaha pola kemitraan.
6.5.3 Biaya
Biaya merupakan suatu pengeluaran yang harus dibayarkan atas segala sesuatu yang dibutuhkan ketika melakukan suatu kegiatan, baik kegiatan ekonomi
mupun kegiatan lainnya. Biaya usaha yang ada dalam usaha tempe merupakan komponen dari pemakain barang atau jasa untuk keperluan usaha tempe yang
harus dikeluarkan oleh pengusaha tempe selama masa produksi dan penjualan berlangsung. Biaya usaha tempe terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
Menurut Hernanto 1996, biaya tetap merupakan biaya yang penggunaannya tidak habis dalam satu masa produksi. Kelompok biaya ini antara lain pajak tanah,
pajak air, penyusutan alat dan bangunan, pemeliharaan drum, pemeliharaan rak kayu dan kre, bambu plandangan dan lain sebagainya. Biaya variabel merupakan
biaya yang besar kecilnya sangat tergantung kepada biaya skala produksi. Tergolong dalam kelompok biaya ini antara lain biaya untuk kedelai, gas, ragi,
plastik, air, buruh atau tenaga kerja, dan transportasi. Secara rinci biaya usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Biaya usaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri
Rupiahtahun
No. Uraian
Biaya Pengusaha
Pola Kemitraan Pengusaha Pola
Mandiri 1
Biaya Tunai Biaya Tetap
Sewa Bangunan 2.880.000,00
2.970.000,00 Penyusutan Alat Produksi
643.152,78 641,141.67
Biaya Variabel Kedelai
239.338.000,00 238.218.750,00
Ragi 2.413.647,50
2.319.570,00 Gas
8.659.818,75 9.020.550,00
Air 798.600,00
798.600,00 Tenaga Kerja Luar Keluarga
10.587.500,00 10.890.000,00
Plastik 11.116.875,00
13.068.000,00 Transportasi
10.496.750,00 10.890.000,00
Sub Total 286.934.444,03
288.816.611,67 2
Biaya Non Tunai Biaya Variabel
Tenaga Kerja Dalam Keluarga 30.250.000,00
27.225.000,00 Sub Total
30.250.000,00 27.225.000,00
Total Biaya 317.184.444,03
316.041.611,67
Tabel 22 menunjukan bahwa biaya total usaha tempe pola mandiri lebih kecil dari biaya usaha tempe pola kemitraan. Biaya total yang dikeluarkan oleh
pengusaha pola mandiri sebesar Rp 316.041.611,67 dalam satu tahun. Sedangkan biaya total yang dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan dalam satu tahun
sebesar Rp 317.184.444,03. Biaya tersebut merupakan jumlah total rata-rata dari biaya tunai dan non tunai yang dikeluarkan dalam satu tahun. Biaya tunai yang
dikeluarkan memiliki proporsi yang lebih besar dari pada biaya non tunai dalam struktur biaya usaha tempe. Hal ini dikarenakan dalam melakukan suatu aktivitas
produksi usaha tempe input yang digunakan untuk proses produksi harus tercukupi kebutuhannya, baik berupa biaya tunai yang langsung dikeluarkan oleh
pengusaha maupun biaya hitung yang secara nyata tidak dikeluarkan sebagai biaya namun pada kenyataannya biaya tersebut harus dikeluarkan dalam aktivitas
produksi tempe, sehingga pengusaha harus memiliki modal untuk dapat memenuhi kebutuhan produksi tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh, alokasi biaya yang paling besar dikeluarkan oleh pengusaha pola kemitraan yaitu untuk keperluan bahan baku
kedelai. Penggunaan kedelai untuk usaha tempe usaha pola kemitraan dalam satu tahun adalah sebesar Rp 239.338.000,00. Hal yang sama alokasi biaya terbesar
yang harus dikeluarkan oleh pengusaha pola mandiri yaitu untuk biaya penyediaan bahan baku kedelai dimana biaya yang harus dikekurkan adalah
sebesar Rp 238.218.750,00. Sedangkan biaya terkecil yang harus dikeluaran oleh penguasaha pola kemitraan maupun pola mandiri adalah biaya penggunaan air
yaitu sebesar Rp 798.600 dalam satu tahun. Biaya yang harus dikeluarkan sama besar karena dengan asumsi menggunakan air dari PDAM tirta kahuripan
Kabupaten Bogor.
6.5.4 Pendapatan
Setiap pelaku usaha dalam ekonomi memiliki suatu tujuan dalam usahanya, tak lain adalah memperoleh pendapatan dari apa yang dihasilkan pada
usaha tersebut. Selain itu tujuan utama dari aktivitas ekonomi adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimum dengan menggunakan pengeluaran
biaya yang minimum. Suatu usaha dikatakan menguntungkan jika selisih antara