Latar Belakang Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)

tahu dan makanan sejenisnya yang berada di wilayah Jakarta Pusat yang terdiri dari 699 anggota. KOPTI hanya mempunyai susunan organisasi tingkat primer yang dikembangkan dari ide dan kebulatan tekad produsen pengrajin tempe tahu pada tanggal 11 Maret 1979 yang juga ditetapkan sebagai hari lahir KOPTI 2 . Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu tempat industri tempe yang ada di Bogor, dimana para pelaku industri tempe terbagi menjadi dua, yaitu industri pola kemitraan dan pola mandiri. Perbedaan kenggotaan tersebut menimbulkan adanya perbedaan pula dalam pendapatan yang diperoleh maupun struktur biaya pada masing-masing industri pengolahan tempe tersebut, sehingga diperlukan adanya penelitian mengenai adanya perbedaan pendapatan dan struktur biaya dari dua pola industri tempe tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengurangi kendala yang ada di lingkungan pelaku usaha tempe maka KOPTI merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat seluruh Indonesia yang bermata pencaharian dalam usaha tempe. KOPTI tersebut keberadaanya merata di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. KOPTI ini berdiri karena adanya kesamaan cita-cita dan kepentingan produsen tahu dan tempe untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya karena selama ini para produsen tempe belumlah memperleh kesejahteraan layaknya yang diharapkan. Keberadaan KOPTI mempermudah usaha kecil tempe untuk bekerjasama dalam penyediaan faktor produksi, modal, keahlian dalam menejerial bahan baku dan sumberdaya manusia, serta teknologi pengolahan yang lebih baik sehingga usaha kecil tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya. Berdasarkan keterangan dari KOPTI, di Cibungbulang terdapat industri tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dan tidak tergabung dalam anggota KOPTI. Industri yang tergabung dalam anggota KOPTI mendapatkan bantuan berupa penyediaan input, modal, peralatan, sedangkan industri tempe yang tidak tergabung dalam anggota KOPTI atau pola mandiri umumnya penyediaan input, 2 http:lailyardiyani.blogspot.com201111KOPTI-primer-koperasi-produsen.html modal serta peralatan yang digunakan merupakan kepemilikan pribadi. Hal ini menyebabkan tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pengusaha tempe di Cibungbulang berbeda-beda dan menghasilkan produksi serta pendapatan yang berbeda pula, maka sangat perlu menganalisis karakteristik pengusaha, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe, pendapatan, dan struktur biaya dari masing-masing usaha tersebut, yaitu usaha yang termasuk dalam anggota kemitraan dan pola mandiri, sehingga diharapkan usaha tempe di lokasi tersebut dapat dikembangkan dan memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri. Sebelum monopoli BULOG Badan Urusan logisti atas kedelai impor dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli KOPTI dicabut, para pengrajin tempe membeli kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70 pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan 30 pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakaian bahan baku ke wilayah-wilayah pelayanan yang ada di Indionesia. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kghari dengan rata-rata pemakaian 75 kghari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku antara 10-150 kghari dengan rata-rata pemakaian 75 kghari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten Bogor sumber perolehan bahan baku kedelai berasal dari pedagang Cina, dan hanya 10 pengrajin tempe yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI Sutrisno, 2006 . Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan rumah tangga khususnya agroindustri adalah pengadaan bahan baku, modal, manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty 2000, permasalahan dalam pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain sifat produk pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi, jumlah produksi yang melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama. Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumbersumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratanpersyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang ada saat ini. Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran saat ini. Terkadang pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu dan standar yang sesuai dengan tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha Apretty, 2000. Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah 2001, pengelolaan industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik. Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan spesifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi : 1. Bagi peneliti, penelitian ini diharrapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai industripengolahan tempe yang ada di Indonesia. 2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapakn menjadi salah satu sumber rujukan pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah. 3. Pemerintah daerah Cibungbulang khususnya, dan pemerintah daerah Kab. Bogor umumnya agar dapat membuat rekomendasi mengenai pola usaha tempe yang paling efisien dan memberikan pendapatan yang optimal. 4. Pelaku usaha, dimana pelaku usaha tempe dapat mengetahui langkah mana yang haris diambil agar usaha yang di jalankan dapat memberikan pendapatan yang optimal dan berlanjut keberadaanya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut, yaitu: 1. Wilayah penelitian adalah, Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. 2. Objek penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. 3. Responden penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang merupakan pengusaha dalam industri tempe pada pola kemitraan Prikompti dan pola mandiri.

1. 6 Batasan Penelitian

1. Pengusaha yang menjadi sample yaitu pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor 2. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama. 3. Satuan input produksi yang digunakan yaitu kedelai kg, ragi kg, plastik pack, tenaga kerja HOK, dan air liter. 4. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja HOK, upah harian antara laki-laki dan wanita besaranya sama. 5. Pengusaha pola kemitraan menggunakan kedelai yang disediakan di koperasi, sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan bahan baku kedelai yang ada di pasaran atau non koperasi 6. Harga satuan air untuk pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri yaitu menggunakan harga air PDAM Tirta Kahuripan sebesar Rp 2.2000-10m 3 . 7. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi Cobb- Douglas dengan faktor produksi kedelai, ragi, air, tenaga kerja. 8. Jumlah penggunaan input dan pengeluaran tunai usahatani dihitung per tahun.