Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE
PADA INDUSTRI
POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)
KUSAERI AULANI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2014
Kusaeri Aulani
(4)
ABSTRAK
KUSAERI AULANI. Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Hasil uji stasistik menunjukan bahwa produksi tempe pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air, sedangkan produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi oleh kedelai saja. Pendapatan pengusaha pola mandiri lebih besar daripada pendapatan pengusaha pola kemitraan karena teknik produksi yang digunakan oleh pangusaha pola mandiri menggunakan teknik yang anjurankan oleh KOPTI Kabupaten Bogor sedangkan pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional dan tidak menggunakan cara yang dianjurkan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.
Kata kunci: Tempe, Kemitraan, KOPTI, Pendapatan, Model Cobb-Douglas
ABSTRACT
KUSAERI AULANI. The Income Analysis And Production Function Of Tempe Partnership And Autonomy Pattern (Case in Cimanggu I Village, Cibungbulang District of Bogor Regency). Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI.
Tempe is a processed food from soybeans. It is needed by the Indonesian people, especially in the Cibungbulang District, Bogor Regency. The purpose of this study was to analyze the income from tempe industry which applying partnership and independent system in Cimanggu I Village, Cibungbulang District of Bogor Regency. The results showed that the tempe production which using partnership system was affected by soy, yeast, and water, whereas the production which using independent system was influenced by soy alone. The entrepreneurs which applying independent system gained more income than the partnerships system because they used production techniques recommended by Bogor Regency’s Indonesia Tofu and Soybean Cake Entrepreneurs Union (KOPTI). The partnership system entrepreneurs, on the contrary, was applying the traditional method rather than the recommended one by KOPTI Bogor Regency.
(5)
ANALISIS PENDAPATAN DAN FUNGSI PRODUKSI TEMPE
PADA INDUSTRI
POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI
(Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor)
KUSAERI AULANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
(6)
(7)
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)
Nama : Kusaeri Aulani NIM : H44080020
Disetujui oleh
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S Dosen Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT
Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
(8)
Judul Skripsi Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kabupaten Bogor)
Nama Kusaeri Aulani
NIM H44080020
Disetujui oleh
a Intan Kumala Putri M.S
(9)
(10)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini yaitu “Analisis Pendapatan dan Fungsi Produksi Tempe Pada Industri Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (Kasus Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor)”.
Skripsi ini membahas analisis produksi dan pendapatan usahatani dengan membandingkan produksi dan pendapatan pangusaha tempe pola kemitraan dan pola msndiri. Skripsi ini juga menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh tergadap produksi pada usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri.
Bersama ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberikan banyak ilmu kepada penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si dan Ibu Hastuti, S.P, M.P, M.Si selaku penguji siding. Terima kasih saya ucapkan kepada Yogi Chandra yang telah banyak membantu penlulis dalam mengolah data, juga kepada keluarga tercinta Ibunda Solihat dan Ayahanda Acep Al-mutahar, Ibunda Pipih Sopiah, Ayahanda Tatan Gunawan, Ibunda Heny, Bapak Brata, serta keempat adik saya yaitu Amir, Hany, Aziz, dan Dzikry yang
selalu memberikan do’a dan semangat. Terima kasih kepada teman-teman ESL 45
yang selalu membantu dan memberikan semangat, teman-teman tercinta Yogi, Ade, Sandy, Rizky, Hady, Fajar Jajuli, Inggit Rahayu, As’ad, Mahmudin, dan semia ESL 45 dan juga Afni Kusuma Wardhani yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula kepada pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang ada di Desa Cimanggu I yang bersedia memberikan data kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, khususnya pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan pengusaha tempe.
Bogor, Maret 2014
(11)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 5
Tujauan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup Penelitian 9
Batasan Penelitian 9
TINJAUAN PUSTAKA 11
Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi 11
Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia 12
Karakteristik Tempe 13
Jumlah Industri 14
Jumlah Industri Kecil di Indonesia 14
Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor 15
Pendapatan 16
Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya) 16
Pendapatan Usaha 17
Struktur Biaya 17
Tinjauan Penelitian Terdahulu 18
KERANGKA PEMIKIRAN 21
Kerangka Pemikira Operasional 21
METODE PENELITIAN 23
Lokasi dan Waktu Penelitian 23
Metode Penelitian 23
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel 24
(12)
Analisis Struktur Biaya 24
Fungsi Produksi 25
Konsep Produktivitas 26
Fungsi Cobb-Douglas 26
Pengujian Parameter 27
Uji Koefisien Determinasi 28
Uji Statistik F 28
Uji Statistik t 29
Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity) 29
Uji Heteroskedastisitas 30
Analisis Pendapatan 30
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 32
Profil Desa Cimanggu I 32
HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Identifikasi Karakteristik Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri 35
Karakteristik Sosial Ekonomi Pengusaha Tempe
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 35
Usia 35
Tingkat Pendidikan 36
Pengalaman Usaha Tempe 37
Karakteristik Ekonomi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri 38
Karakteristik Produksi Pengusaha Tempe Pola Kemitraan dan
Pola Mandiri 40
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tempe
Pola Mandiri dan Pola Kemitraan 43
Karakteristik Input Produksi 43
Kedelai 44
Ragi 45
Air 45
(13)
Hasil Uji Statistik Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 48 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Tempe Pola Mandiri dan
Pola Kemitraan 57
Output 57
Penerimaan 59
Biaya 60
Pendapatan 61
SIMPULAN DAN SARAN 64
DAFTAR PUSTAKA 66
(14)
DAFTAR TABEL
1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia
tahun 1970-2009 1
2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di indonesia
tahun 2008-2009 4
3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 – 2004 14 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor 15 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu 19
6 Matriks metode analisis data 24
7 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan
mata pencaharian 33
8 Sebaran jumlah penduduk desa cimanggu I berdasarkan
tingkat pendidikan 34
9 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan
sebaran usia 36
10 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri berdasarkan
tingkat pendidikan 37
11 Jumlah pengusaha tempe pola kemitraan dan mandiri berdasarkan
pengalaman usaha 38
12 Karakteristik Ekonomi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 39 13 Karakteristik Produksi pengusaha tempe pola kemitran dan pola mandiri 41 14 Perbandingan penggunaan kedelai pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 44
15 Perbandingan penggunaan ragi pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 45
16 Perbandingan penggunaan air pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 46
17 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 47
18 Hasil analisis pendugaan fungsi produksi usaha tempe
pola kemitraan 49
(15)
pola mandiri 53 20 Jumlah produksi dan produktivitas tempe
pola kemitraan dan pola mandiri 58
21 Penerimaan Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 59 22 Biaya Usaha Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 60 23 Perbandingan Pendapatan Usaha Tempe
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 62
DAFTAR GAMBAR
1 Alur Kerangka Pemikiran Operasional 22
2 Tahapan Proses Produksi Tempe di Desa Cimanggu I 43 2 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Kemitraan 53 3 Grafik Model Regresi Produksi Usahatani Tempe Pola Mandiri 57
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah Produksi dan Produktivitas Tempe PengusahaPola Kemitraan dan Pola Mandiri 69
2 Perbandingan Penggunaan Kedelai Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 71
3 Perbandingan Penggunaan Ragi Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 72
4 Perbandingan Penggunaan Air Pengusaha Pola Kemitraan
dan Pola Mandiri 73
5 Perbandingan Penggunaan Tenaga Kerja Pengusaha
Pola Kemitraan dan Pola Mandiri 74
6 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe
Pola Kemitraan 75
7 Hasil Output Minitab 15 Model Fungsi Produksi Tempe Pola Mandiri 76 8 Penerimaan, Biaya, dan Pendapatan Usahatani Tempe
(16)
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tempe merupakan makanan olahan yang terbuat dari bahan utama kedelai yang setiap harinya dibutuhkan oleh masyarakat, baik masyarakat kalangan bawah, menengah, maupun masyarakat kalangan atas, dengan demikian permintaan terhadap tempe semakin naik dalam setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Naiknya permintaan terhadap tempe berimplikasi pada peningkatan permintaan kedelai yang merupakan bahan baku pembuatan tempe yang hingga saat ini belum mendapatkan substitusinya sebagai bahan utama dalam memproduksi tempe.
Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2009 sebesar 1.97 juta ton sedangkan pada tahun tersebut produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 0.92 juta ton meskipun produksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 0.14 juta ton dan kekuranganya sebesar 1.05 juta ton dipenuhi dari impor. Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai nasional dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai di indonesia tahun 1970-2009
Produksi (tahun) Produksi Nasional Konsumsi Nasional
Juta (ton)
1970 0.5 0.49
1980 0.65 0.75
1990 1.49 1.54
1992 1.87 2.56
1994 1.56 2.36
1996 1.52 2.26
1998 1.31 1.65
2000 1.02 2.29
2002 0.67 2.04
2004 0.72 1.84
2006 0.81 1.84
2007 0.59 2
2008 0.78 1.95
2009 0.92 1.97
Sumber : Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2009
Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut tingkat konsumsi kedelai nasional rata-rata 1.8 juta ton per tahun. Pertumbuhan produksi kedelai jauh lebih rendah daripada konsumsi. Implikasinya adalah tanpa terobosan yang berarti, Indonesia
(17)
akan mengalami defisit yang makin besar (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Penurunan produksi kedelai di dalam negeri mengakibatkan industri yang menggunakan bahan baku kedelai harus membeli dari luar negeri.
Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe. Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat (Sutrisno 2006). Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 diperkirakan mencapai 4 persen per tahun (Solahudin, 1998).
Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan. Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.
Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah, dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan adanya krisis ekonomi yang sering terjadi di Indonesoa. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu berproduksi lagi (Sari, 2002).
Makanan tempe semakin populer dan meluas di masyarakat, karena masyarakat semakin mengetahui bahwa tempe adalah pangan bergizi yang diproduksi secara higienis. Kesan-kesan bahwa tempe merupakan barang inferior seperti yang terjadi dimasa lalu akhir-akhir ini telah hilang. Mengingat hal tersebut perkembangan permintaan akan tempe akan semakin meningkat (Suryana, 2001).
(18)
Pemenuhan kebutuhan akan makanan dan gizi tidak terlepas dari peranan usaha pengolahan pangan. Usaha kecil tempe merupakan salah satu bentuk usaha yang bergerak dibidang pengolahan pangan yang ada di Indonesia. Peranan usaha kecil tempe dalam mengolah hasil pertanian dapat berupa produk jadi yang dijual langsung kepada konsumen akhir maupun produk setengah jadi. Selain itu usaha kecil tempe juga memiliki peranan yang paling dominan, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga (Amalia, 2008).
Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991 sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam menyumbang pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia (Sarah, 2001). Tempe termasuk kedalam kategori industri pengolahan yang ada di Indonesia, dimana industri pengolahan di Indonesia mempunyai prioritas dalam hal memajukan pembangunan di Indonesia. Hal ini terlihat dari industri pengolahan berkontribusi terhadap PDB nasional sebesar 23% sepanjang 2012 dimana industri tempe mempunyai kontribusi sebesar 12% pada industri pengolahan. 1
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dimana memiliki karakteristik laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk ini berpengaruh pada peningkatan permintaan atau kebutuhan akan pangan, dan salah satu kebutuhan yang terus meningkat permintaannya adalah tempe. Tempe tidak lagi dipandang sebagai bahan pokok sampingan atau alternative, akan tetapi tempe masuk pula kedalam pilihan utama makanan pokok sebagian banyak masyarakat di Indonesia dari golongan bawah, menegah dan atas. Disamping itu terjadi pula peningkatan pendapatan masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pangan, dari tinggi karbohidrat dan rendah protein menjadi cenderung rendah karbohidrat dan tinggi protein.
Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat memberikan efek terhadap tingginya persaingan dalam hal lapangan pekerjaan. Usaha kecil seperti
1
(19)
tempe memiliki peranan yang penting, yaitu sebagai alternatif lapangan pekerjaan serta sebagai sumber kontribusi pendapatan keluarga. Kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan, sumberdaya manusia, terbatasnya keterampilan, keahlian, keterbatasan modal, informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur, peralatan yang usang, beberapa kebijakan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan (Hubies,1997).
Koperasi mempunyai pernan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penyerapan tenaga kerja. Perkembangan pelaksanaan pembinaan kelembagaan dan usaha koperasi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Jumlah koperasi yang tumbuh di kalangan masyarakat serta jumlah anggota koperasi dan partisipasi mereka dalam koperasi semakin meningkat, hal tersebut juga diikuti dengan semakin beragamnya bidang usaha koperasi dan semakin dirasakannya manfaatnya bagi anggota (Lembaga Ketahanan Nasional, 1995). Perkembangan koperasi yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan jumlah koperasi menurut propinsi di Indonesia tahu 2008- 2009
No. Provinsi
Tahun 2008 (unit) Tahun 2009 (unit)
Aktif Tidak
aktif Jumlah Aktif
Tidak
aktif Jumlah
1 DKI Jakarta 4 647 2 556 7 017 4 790 2 536 7 326
2 Jawa Barat 14 659 6 613 21 272 14 771 7 893 22 664
3 Jawa Tengah 12 426 5 191 17 617 19 850 5 227 25 077
4 DI Yogyakarta 1 518 677 2 195 1 806 495 2 301
5 Jawa Timur 14 669 3 987 18 656 15 674 3 722 19 396
Sumber : Departemen Koperasi 2010
Dalam pelaksanaanya industri pengolahan tempe di Indonesia terbagi menjadi dua pola pelaksanaan, yaitu pola industri mandiri dan pola kemitraan yang tergabung dalam KOPTI (Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia). KOPTI adalah sebuah perkumpulan koperasi yang merupakan wadah satu-satunya untuk menghimpun dan menggerakan daya kreasi dan potensi serta membina produsen pengolah bahan makanan dari kedelai yang terdiri dari pengrajin tempe,
(20)
tahu dan makanan sejenisnya yang berada di wilayah Jakarta Pusat yang terdiri dari 699 anggota. KOPTI hanya mempunyai susunan organisasi tingkat primer yang dikembangkan dari ide dan kebulatan tekad produsen / pengrajin tempe tahu pada tanggal 11 Maret 1979 yang juga ditetapkan sebagai hari lahir KOPTI2.
Kecamatan Cibungbulang merupakan salah satu tempat industri tempe yang ada di Bogor, dimana para pelaku industri tempe terbagi menjadi dua, yaitu industri pola kemitraan dan pola mandiri. Perbedaan kenggotaan tersebut menimbulkan adanya perbedaan pula dalam pendapatan yang diperoleh maupun struktur biaya pada masing-masing industri pengolahan tempe tersebut, sehingga diperlukan adanya penelitian mengenai adanya perbedaan pendapatan dan struktur biaya dari dua pola industri tempe tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengurangi kendala yang ada di lingkungan pelaku usaha tempe maka KOPTI merupakan harapan besar masyarakat untuk dapat mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi oleh masyarakat seluruh Indonesia yang bermata pencaharian dalam usaha tempe. KOPTI tersebut keberadaanya merata di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. KOPTI ini berdiri karena adanya kesamaan cita-cita dan kepentingan produsen tahu dan tempe untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya karena selama ini para produsen tempe belumlah memperleh kesejahteraan layaknya yang diharapkan. Keberadaan KOPTI mempermudah usaha kecil tempe untuk bekerjasama dalam penyediaan faktor produksi, modal, keahlian dalam menejerial bahan baku dan sumberdaya manusia, serta teknologi pengolahan yang lebih baik sehingga usaha kecil tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dapat meningkatkan hasil produksi dan pendapatannya.
Berdasarkan keterangan dari KOPTI, di Cibungbulang terdapat industri tempe yang tergabung dalam anggota KOPTI dan tidak tergabung dalam anggota KOPTI. Industri yang tergabung dalam anggota KOPTI mendapatkan bantuan berupa penyediaan input, modal, peralatan, sedangkan industri tempe yang tidak tergabung dalam anggota KOPTI atau pola mandiri umumnya penyediaan input,
2
(21)
modal serta peralatan yang digunakan merupakan kepemilikan pribadi. Hal ini menyebabkan tingkat penggunaan faktor produksi yang digunakan pengusaha tempe di Cibungbulang berbeda-beda dan menghasilkan produksi serta pendapatan yang berbeda pula, maka sangat perlu menganalisis karakteristik pengusaha, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe, pendapatan, dan struktur biaya dari masing-masing usaha tersebut, yaitu usaha yang termasuk dalam anggota kemitraan dan pola mandiri, sehingga diharapkan usaha tempe di lokasi tersebut dapat dikembangkan dan memberikan kesejahteraan bagi para pelaku usaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri.
Sebelum monopoli BULOG (Badan Urusan logisti) atas kedelai impor dicabut para pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi setelah monopoli KOPTI dicabut, para pengrajin tempe membeli kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan 30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun 2005 KOPTI melakukan pendataan pemakaian bahan baku ke wilayah-wilayah pelayanan yang ada di Indionesia. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar 875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300 ton. Hampir sama dengan di Kabupaten Bogor sumber perolehan bahan baku kedelai berasal dari pedagang Cina, dan hanya 10% pengrajin tempe yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI ( Sutrisno, 2006 ).
Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku, modal, manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan dalam pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain sifat produk pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi, jumlah produksi yang
(22)
melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak tahan lama. Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumbersumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratanpersyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah tangga yang ada saat ini.
Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran saat ini. Terkadang pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu dan standar yang sesuai dengan tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha (Apretty, 2000).
Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen keuangan dan personalia dengan baik.
Dari penjabaran diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?
(23)
3. Bagaimana perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Tujuan spesifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola
kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharrapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai industripengolahan tempe yang ada di Indonesia.
2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapakn menjadi salah satu sumber rujukan pustaka dalam membuat penulisan-penulisan ilmiah.
3. Pemerintah daerah Cibungbulang khususnya, dan pemerintah daerah Kab. Bogor umumnya agar dapat membuat rekomendasi mengenai pola usaha tempe yang paling efisien dan memberikan pendapatan yang optimal.
(24)
4. Pelaku usaha, dimana pelaku usaha tempe dapat mengetahui langkah mana yang haris diambil agar usaha yang di jalankan dapat memberikan pendapatan yang optimal dan berlanjut keberadaanya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini memiliki batasan-batasan sebagai berikut, yaitu:
1. Wilayah penelitian adalah, Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
2. Objek penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
3. Responden penelitian adalah masyarakat Desa Cimanggu I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, yang merupakan pengusaha dalam industri tempe pada pola kemitraan Prikompti dan pola mandiri.
1. 6 Batasan Penelitian
1. Pengusaha yang menjadi sample yaitu pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri Desa Cimanggu I Kec. Cibungbulang Kab. Bogor
2. Penerapan teknik budidaya petani dalam satu kelompok usahatani relatif sama. 3. Satuan input produksi yang digunakan yaitu kedelai (kg), ragi (kg), plastik
(pack), tenaga kerja (HOK), dan air (liter).
4. Ukuran tenaga kerja dinyatakan dalam Hari Orang Kerja (HOK), upah harian antara laki-laki dan wanita besaranya sama.
5. Pengusaha pola kemitraan menggunakan kedelai yang disediakan di koperasi, sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan bahan baku kedelai yang ada di pasaran atau non koperasi
6. Harga satuan air untuk pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri yaitu menggunakan harga air PDAM Tirta Kahuripan sebesar Rp 2.200/0-10m3. 7. Analisis fungsi produksi yang digunakan yaitu analisis fungsi produksi
Cobb-Douglas dengan faktor produksi kedelai, ragi, air, tenaga kerja.
(25)
9. Analisis pendapatan pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri (biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani) dihitung per tahun.
(26)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Ketentuan Umum Koperasi
Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian bab I tentang ketentuan umum, Pasal 1 : Ayat (1) Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi yang kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas azas kekeluargaan; ayat (2) Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan koperasi; ayat (3) Koperasi Primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang; (5) Gerakan koperasi adalah keseluruhan organisasi dan kegiatan perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita bersama koperasi. Menurut International Cooperative Alliance (ICA, 1995) dalam Nasution, 2002 : Koperasi adalah perkumpulan orang-orang yang mandiri (autonomous) bersatu secara sukarela untuk memenuhi kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspirasi melalui badan usaha (enterpise) yang dimiliki bersama dan dikontrol secara demokratis.
Menurut Hatta (1995) dalam Nasution (2002) : Koperasi yang benar-benar koperasi (the ideal type cooperative) adalah bentuk kerjasama dengan sukarela antara mereka yang sama cita-citanya untuk membela keperluan dan kepentingan bersama. Koperasi sebenarnya tidak dikemudikan oleh cita-cita keuntungan, melainkan oleh cita-cita memenuhi keperluan bersama. Fungsi dan peran koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 adalah :
1. Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya;
2. Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat;
3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan berkoperasi sebagai sokoguru;
4. Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
(27)
Prinsip koperasi menurut Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992 adalah :
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; 5. Kemandirian.
Selanjutnya, dalam ayat dua dikatakan bahwa dalam mengembangkan koperasi, maka koperasi melaksanakan pula prinsip koperasi sebagai berikut :
1. Pendidikan perkoperasian; 2. Kerjasama antar koperasi.
2.2 Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia
Koperasi berasal dari bahasa Latin cooperere yang dalam bahasa Inggris menjadi cooperation, berarti bekerja sama. Menurut UU No 25 Tahun 1992, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi berdasar atas azas kekeluargaan.
Koperasi berbeda dengan badan usaha lainnya, perbedaannya terletak pada tujuan koperasi yang tidak hanya mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi juga mempertinggi kesejahteraan anggotanya. Keberhasilan koperasi dilihat dari kemampuan koperasi untuk hidup terus dengan kekuatannya sendiri dan memberikan pelayanan kepada anggotanya secara kontinyu. Faktor yang paling menentukan keberhasilan koperasi adalah faktor manajemen. Hal ini sangat penting dalam pengelolaan koperasi yang dapat menentukan kemajuan usaha koperasi yang bersangkutan (Ruswan, 2013).
Anggota koperasi di Indonesia memiliki bermacam-macam jenis usaha, diantaranya mempunyai usaha kecil seperti tahu dan tempe. Koperasi yang menaungi pelaku usaha kecil tahu dan tempe adalah KOPTI. KOPTI berdiri sejak Tahun 1979 di Jakarta yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan pengrajin tahu dan tempe dalam memperoleh kedelai dan menghasilkan tahu tempe yang baik.
(28)
KOPTI diharapkan mampu menjadi pusat pelayanan bagi anggota khususnya maupun masyarakat umum di wilayah kerja. KOPTI juga dimaksudkan untuk meningkatkan mutu tahu dan tempe yang dibuat oleh pengrajin anggota KOPTI tersebut, antara lain dibidang manajemen dan administrasi, bidang modal dalam bentuk bantuan kredit kepada pada pengusaha. Keberadaan KOPTI di Desa Cimanggu I memberikan kemudahan kepada pengusaha tempe pola kemitraan yang karena ketersediaan kedelai yang lebih pasti ketimbang ketersediaan kedelai bagi pengusaha pola mandiri yang disediakan oleh pasar.
2.3 Karakteristik Tempe
Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus, kegiatan fermentasi melibatkan tiga faktor pendukung yaitu, bahan baku yang diolah (kedelai), mikroorganisme (jamur tempe) dan lingkungan tumbuh. Proses pembuatan tempe yang terdiri atas perendaman, pencucian, pembilasan dan fermentasi secara akumultatif telah mampu menghancurkan zat gizi yang terdapat pada kedelai mentah. Teknologi tradisional dan relatif sederhana ini telah mampu menghancurkan zat anti gizi pada kedelai sekaligus menghasilkan zat gizi utama yang mampu memperbaiki mutu gizi kedelai (Winarno, 1993).
Tempe merupakan makanan tradisional yang telah dikenal masyarakat Indonesia sejak dulu terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Produk ini berbahan baku utama kedelai dan merupakan hasil dari proses fermentasi. Terdapat tiga faktor pendukung dalam proses pembuatan tempe yaitu bahan baku yang diurai, mikroorganisme, dan keadaan lingkungan tumbuh. Bahan baku yang dimaksud yaitu keping-keping biji kedelai yang telah direbus, mikroorganisme berupa kapang tempe Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, dan yang terakhir yaitu keadaan lingkungan tumbuh seperti suhu 30° C, pH awal 6,8 serta kelembapan nisbi 70-80 % (Sarwono, 1994).
Permintaan akan tempe ini dipastikan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, sehingga akan berpengaruh pula pada peingkatan produsen tempe yang ada di setiap daerah atau kota yang ada di
(29)
Indonesia guna memenuhi kebutuhan tempe yang ada di pasaran. Tingginya permintaan terhadap tempe tersebut merupakan sebuah peluang bisnis bagi para pelaku usaha tempe yang ada di Indonesia, sehingga akan memacu pada perilaku usaha yang efisien dalam produksi dan optimal dalam pendapatannya.
2.4 Jumlah Industri
2.4.1 Jumlah Industri Kecil di Indonesia
Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun 2003 memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak 42.326.519 unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan penggalian, 2.560.846 unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit pada sektor listrik, gas dan air bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan, 8.456 unit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, 2.963.768 unit pada sektor pengangkutan dan komunikasi, 29.508 unit pada sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit pada sektor jasajasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor
ekonomi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 - 2004
Sektor Tahun 1999 Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003
Pertanian, peternakan
dan perikanan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693
Pertambangan, dan
Panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141
Industri, pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846
Listrik,gas dan air
bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185
Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359
Perdagangan,hotel
dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064
Pengangkutan dan
komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768
Keuangan, perusahaan perseroan, dan jasa
24.143 25.034 25.667 27.392 29.508
Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955
Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519
(30)
2.4.2 Jumlah dan Sebaran Industri Tempe di Kabupaten Bogor
Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang mendaftarkan usahanya ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI. Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI Kabupaten Bogor tahun 2012 terdapat 1.373 penggrajin tempe yang tersebar di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor.
Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa wilayah pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor sekarang berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Pengrajin tempe di Kabupaten Bogor tersebar kedalam 22 wilayah pelayanan. Setiap wilayah pelayanan dikepalai oleh seorang Kepala Wilayah Pelayanan (KWP) yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penyebaran dan jumlah anggota KOPTI di Kabupaten Bogor
No. Penyebaran Wilayah Jumlah Anggota
1. Ciseeng 101
2. Parung 106
3. Cibinong 105
4. Citereup I 115
5. Citereup II 82
6. Bojonggede 49
7. Sukaraja 45
8. Ciawi Megamendung 23
9. Caringin Cijeruk 65
10. Tamansari 50
11. Leuwiliang 39
12. Ciampea 62
13. Cibungbulang 34
14. Jasinga 20
15. Dramaga 19
16. Cimanggu 37
17. Cilrndek 84
18. Depok I 68
19. Depok II 111
20. Sawangan I 77
21. Sawangan II 17
22. Cimanggis 64
Jumlah 1.373
(31)
2.5 Pendapatan
2.5.1 Analisis Pendapatan (Penerimaan-Biaya)
Salah satu cara untuk mengukur manfaat pola kemitraan dibandingkan dengan pola mandiri pada usaha tempe adalah dengan melihat perbedaan pendapatan yang di hasilakan dari penjualan tempe per kilo gram bahan baku kedelai. Pendapatan merupakan selisih dari nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran (biaya). Terdapat dua tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan suatu unit usaha. Analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur kegiatan usaha pada saat ini berhasil atau tidak.
Penerimaan perusahaan bersumber dari pemasaran atau penjualan hasil usaha, seperti panen tanaman dan barang olahannya serta panen dari peternakan dan barang olahannya. Penerimaan bisa juga bersumber dari pembayaran-pembayaran tagihan, bunga, dividen, pembayara dari pemerintah dan semua sumber lainnya yang menambah aset perusahaan. Semua hasil agribisnis yang dipakai untuk dikonsumsi keluarga pun harus dihitung dan dimasukkan sebagai penerimaan perusahaan walaupun akhirnya dipakai pemeilik perusahaan secara pribadi (Kadarsan, 1995).
Hanafie (2010) menerangkan bahwa pendapatan terbagi menjadi dua yaitu pendapatan tunai dan pendapatan non tunai. Pendapatan tunai adalah pendapatan yang terhitung dari hasil perusahaan secara tunai. Contohnya adalah hasil penjualan tempe dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan untuk memproduksinya. Pendapatan non tunai adalah pendapatan yang tidak terhitung dari hasil perusahaan tidak tunai tetapi termasuk pendapatan. Contohnya adalah tempe hasil produksi yang dikonsumsi sendiri.
Kadarsan (1995) menjelaskan bahwa Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan pengeluaran. Untuk menganalisis pendapatan diperlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan pengeluaran dan penerimaan dalam jangka waktu tertentu.
(32)
2.5.2 Pendapatan Usaha
Pendapatan adalah selisih antara penerimaan total perusahaan dengan pengeluaran. Penerimaan tersebut bersumber dari hasil pemasaran atau penjualan hasil usaha, sedangkan pengeluaran merupakan total biaya yang digunakan selama proses produksi (Kadarsan, 1995).
Usaha tani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usahatani merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut, sedangkan pengeluaran total usahatani merupakan semua nilai yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan (Nicholson, 1995). Formulasi pendapatan usahatani yang lebih jelas, dapat dilihat sebagai berikut :
π = TR – TC
π = (Py · Y) – (Px · X) ... (2.1)
Keterangan:
π : Tingkat pendapatan usaha tempe (Rp) TR : Total penerimaan usaha tempe (Rp) TC : Total pengeluaran usaha tempe (Rp) Py : Harga output tempe (Rp)
Y : Jumlah output tempe (ton) Px : Harga input tempe (Rp)
X : Jumlah input (kg,liter, liter, HOK)
2.6 Struktur Biaya
Biaya produksi dibagi menjadi dua yaitu biaya-biaya yang berupa tunai, yaitu biaya yang digunakan untuk upah pekerja, pembelian bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja. Selain itu ada juga biaya-biaya yang dibayarkan dalam bentuk in-natura, yaitu biaya-biaya penjualan, bagi hasil, sumbangan-sumbangan dan pajak.
(33)
Besar kecilnya biaya yang berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi pengembangan usaha tempe. Terbatasnya uang tunai yang dimiliki pengusaha tempe sangat menentukan berhasil tidaknya perkembangan usaha tempe.
Dalam jangka pendek, biaya produksi dikelompokkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah semua jenis biaya yang nilainya tidak tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi, sehingga jumlah biaya tetap adalah konstan. Contoh biaya tetap adalah lahan pabrik, drum, kompor gas, dan tempat pematangan tempe. Biaya variabel adalah semua jenis biaya yang nilainya tergantung pada besar-kecilnya biaya produksi. Contoh biaya tidak tetap adalah biaya-biaya untuk pembelian kedelai, ragi, plastik, gas, air, dan upah pekerja. Jumlah biaya variabel sama dengan jumlah faktor produksi variabel dikalikan dengan biaya faktor produksi.
2.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi masukan untuk kesempurnaan penelitian ini. Beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan pada penelitian ini antara lain penelitian Sari (2002), Latifah (2006), Purnama (2006), Lestari (2010) dan penelitian Ruswan (2012). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah dalam hal spesifikasi komoditas, sumber data, lokasi penelitian dan metode pengolahan data. Peneliti dalam penelitian ini menjelaskan karakteristik dari masing-masing pengusaha baik pola kemitraan maupun pola mandiri, menjelaskan variabel apa saja yang berpengaruh terhadap produksi tempe, dan efisiensi produksi dari kedua pola usaha tersebut. Selain itu peneliti juga membandingkan struktur biaya dan pendapatan yang diperoleh masing-masing pola pengusaha yang bisa menjadi pembeda antara kedua pola usaha tersebut, mana pola usaha yang paling baik untuk perkebangan usahanya dimasa mendatang serta mengungtungkan dari sudut pandang ekonomi. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 5.
(34)
Tabel 5 Tinjauan penelitian penelitian terdahulu
No Nama
Penulis Judul Skripsi HASIL
1. Sari
(2002)
Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota KOPTI Kotamadya Bogor
1) Pendapatan pengrajin tempe pada usaha skala besar dan kecil mempunyai nilai R/C rasio yang positif.
2) Output tempe pada skala besar lebih responsif terhadap perubahan pemakaian faktor-faktor produksi kedelai, ragi, tenaga kerja, dan plastik dibandingkan pada skala kecil.
3) Penggunaan faktor-faktor produksi pada industri tempe belum efisien karena nilai perbandingan rasio nilai produk marginal (NPM) dengan biaya korbanan marginal (BKM) tidak sama dengan satu.
2. Latifah (2006)
Dampak
Kenaikan Harga
Bahan Bakar
Minyak terhadap Pendapatan Usaha Pengrajin
Tempe di
Kotamadya Bogor
1) Adanya kenaikan BBM, hasil produksi mengalami penurunan sebesar 12.9 persen
2) Penggunaan faktor-faktor dalam
memproduksi tempe belum efisien baik sebelum kenaikan BBM maupun setelah kenaikan BBM kecuali bahan baku kedelai.
3. Purnama
(2006)
Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Industri Tahu
1) Model produksi yang diduga menunjukan bahwa jumlah nilai-nilai elastisitas dari parameter penjelas adalah sebesar 0.801 yang berarti produksi tahu berada pada skala kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to scale).
2) Rasio NPM dan BKM faktor produksi kedelai dan tenaga kerja bernilai lebih dari satu yang berarti faktor-faktor produksi belum efisien dan perlu penambahan pemakaian faktor produksi untuk mencapai kondisi optimal
4. Lestari (2010)
Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani
Kangkung
Anggota dan
Non Anggota
Kelompok Tani
di Desa
Bantarsari Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor
1) Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan dan status kepemilikan lahan sebagian besar 0.11-0.3 ha per usahatani dan memiliki lahan dan menyewa sebesar 40 persen petani, sedangkan non anggota kelompok tani memiliki lahan sebagian besar 0.01-0.1 ha dan status kepemilikan lahannya 50 persen petani milik lahan sendiri dan 40 persen menyewa.
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi kangkung untuk anggota
kelompok tani adalah TKLK, luas lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung non anggota kelompok tani adalah benih dan luas lahan.
(35)
3) Pendapatan usahatani bagi anggota kelompok tani sebesar Rp 698 615.42 per hektar usahatani bagi non anggota pendapatan usahatani sebesar Rp 3 870 441.41 per hektar.
5. Ruswan
(2012)
Analisis
Pendapatan dan Produksi Usaha
Kecil Tempe
Anggota dan
Non Anggota
Primer Koperasi Produsen Tahu
Dan Tempe
Indonesia Tebet Barat Jakarta Selatan
1) Usaha kecil tempe anggota dan non anggota KOPTI yang memiliki pendapatan yang berbeda tergantung dari kualitas bahan baku kedelai yang digunakan yaitu kedelai tipe A dan tipe B.
2) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha
kecil tempe anggota KOPTI yang
berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi tempe yaitu kedelai, dan tenaga kerja, untuk usaha kecil tempe non anggota penggunaan faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi tempe yaitu kedelai, dan ragi.
3) Penggunaan faktor-faktor produksi usaha kecil tempe anggota dan non anggota KOPTI belum efisien, ditunjukkan dengan rasio nilai NPM-BKM tidak sama dengan satu. Produksi rata-rata yang dihasilkan usaha kecil tempe anggota KOPTI pada kondisi aktual sebesar 85.00 kg per sekali produksi, apabila faktor produksi yang digunakan berada pada tingkat optimal maka akan menghasilkan produksi optimal sebesar 183.83 kg per sekali produksi.
(36)
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha tempe merupakan salah satu usaha yang banyak dilakukan oleh masyarakat baik skala kecil (rumah tangga) maupun skala besar industri yang fokus dalam memproduksi tempe. Salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan usaha tempe yang ada di Indonesia adalah dengan mengeluarkan program Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (KOPTI). Lembaga ini bertujuan membantu pengusaha tempe yang ada di seluruh Indonesia agar mampu menghasilkan produk tempe yang baik secara kualitas dan optimal secara kuantitas. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri yang berada di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, dilihat dari sudut pandang karakteristik pengusaha, faktor yang mempengaruhi hasil produksi, serta perbandingan biaya dan pendapatan antara pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri.
Baik pengusaha tempe pola kemitraan maupun pola mandiri sama-sama mengalami keterbatasan dalam memaksimumkan keuntungan sehingga perlu diketahui struktur biaya dan masing-masing kontribusi biaya tersebut. Pemahaman struktur biaya sangat penting karena berimplikasi pada pendapatan yang diterima oleh masing-masing pengusaha tempe baik pola kemitraan maupun pola mandiri. Pertama, pada struktur biaya akan dianalisis biaya tetap, biaya variabel dan unit cost masing-masing pengusaha tempe. Kedua, pada pendapatan akan dianalisis biaya tunai, biaya non-tunai dan pendapatan total. Pengukuran kelayakan usaha tempe diukur dengan cara menghitung perbandingan antara penerimaan total dengan biaya produksi total dari masing-masing pengusaha dengan menggunakan analisis R/C rasio. Selanjutnya adalah membandingakan pendapaatan yang diterima oleh pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri dalam satu tahun dengan menggunakan analisis perbandingan. Adapun alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 1.
(37)
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Kenaikan Populasi Penduduk di Indonesia
Pengusaha Tempe dan Permasalahan Keterediaan Kedelai serta Keterbatasan Pengetahuan Produksi
KOPTI Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor
Anggota KOPTI (Pola Kemitraan)
Non Anggota KOPTI (Pola Mandiri)
Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Produksi
Tempe
Analisis Faktor Produksi Pertanian
Perbandingan Struktur Biaya dan Pendapatan Industri Tempe Pola Kemitraan dan Pola Mandiri
Tingginya angka konsumsi tempe di Indonesia khususnya di Kabupaten
Bogor
Identifikasi Karakteristik Pengusaha Pola Kemitraan dan Pola
Mandiri (Analisis Deskriptif)
Analisis Struktur Biaya dan Pendapatan
Industri Tempe Pola Kemitraan dan Pola
Mandiri
Pembinaan Pengusaha untuk Memperoleh Hasil Produksi Tempe yang Optimal
(38)
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa daerah ini terdapat sentra industri tempe yang terdapat wadah kerjasama dengan KOPTI. Pengumpulan data primer di lapangan dilaksanakan bulan November 2013.
4.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dimana peneliti mengambil data penelitian pada beberapa responden/sample yang mewakili populasi. Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode observasi langsung ke lokasi penelitian dengan melakukan wawancara kepada para pengusaha tempe anggota KOPTI (Pengusaha Pola Kemitraan) dan Pengusaha non anggota KOPTI (Pengusaha Pola Mandiri). Wawancara tersebut dibantu dengan daftar-daftar pertanyaan berupa kuesioner tentang penelitian terkait.
4.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari dan wawancara secara langsung dengan pengusaha yang melakukan kegiatan usaha tempe dengan pola mandiri dan pola kemitraan dengan menggunakan kuesioner, serta wawancara secara mendalam (depth-interview) kepada informan, yaitu kepada pengurus KOPTI Desa Cimanggu I dan KOPTI Kabupaten Bogor. Data sekunder diperoleh dari studi-studi literatur serta hasil-hasil penelitian, buku, internet, serta instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti Kantor Pusat KOPTI Kabupaten Bogor, Kelurahan Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor dan instansi lainnya.
(39)
4.4 Metode Pengambilan dan Jumlah Responden / Sampel
Penentuan jumlah responden pada penelitian ini adalah dengan cara menggunakan sensus karena total jumlah pengusaha hanya 22 pengusaha. Total 22 pengusaha tempe tersebut adalah dari dua pola pengusaha tempe, yaitu dari pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri. Penggunaan metode sensus ini berlaku jika anggota populasi relatif kecil (Usman, 2009).
4.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Minitab 15, dan program Microsoft Office Excel 2010. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Matriks metode analisis data
No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1 Mengidentifikasi karakteristik
pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan pengusaha tempe yang menjadi responden.
Analisis Deskriptif
2 Menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap produksi tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan pengusaha tempe yang menjadi responden.
Analisis Struktur Biaya
3 Menganalisis perbandingan struktur
biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor.
Data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan pengusaha tempe yang menjadi responden.
Analisis Pendapatan
Sumber : Data penulis, 2012 (diolah)
4.5.1 Analisis Struktur Biaya
Analisis struktur biaya dalam penelitian ini dibedakan menurut tipe usahanya. Tipe usaha dibedakan menurut pola usaha masing-masing pengusaha, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri yang dilihat secara keseluruhan. Biaya yang dikeluarkan dalam usaha tempe terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai dalam usaha tempe. Biaya tunai terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang
(40)
dikeluarkan adalah biaya tempat, serta alat-alat untuk pengolahan dan fermentasi tempe, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan baku kedelai, ragi, gas, air, plastik, dan tenaga kerja keluarga serta tenaga kerja luar keluarga. Biaya tidak tunai merupakan biaya yang tidak dikeluarkan secara tunai, namun diperhitungkan dalam usaha tempe. Biaya tidak tunai yang diperhitungkan terdiri dari biaya-biaya penyusutan, seperti biaya penyusutan tempat, peralatan, dan tenaga kerja dalam keluarga.
4.5.2 Fungsi Produksi
Menurut Kaunang (2006) Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah suatu bentuk barang menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan produksi. Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang lain disebut sebagai input produksi, sedangkan barang-barang yang dihasilkan dari aktivitas produksi disebut sebagai output produksi (Hidayat, 2013). Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan teknis antara hasil produksi fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang digunakan untuk melakukan produksi. Dikenal juga dengan istilah Factor Relationship (FR). Dalam bentuk matematika sederhana, hubungan ini dituliskan sebagai berikut:
Y = f(x1, x2, x3, x4,) ... (4.1)
Keterangan:
Y : Hasil produksi tempe (kg) x1 : Kedelai (kg)
x2 : Ragi (kg)
x3 : Air (liter)
x4 : Tenaga Kerja (HOK)
Berdasarkan persamaan tersebut, pengusaha dapat melakukan tindakan yang dapat meningkatkan produksi (Y) dengan dua cara, yaitu:
1. Menambah jumlah salah satu dari input yang digunakan.
(41)
4.5.3 Konsep Produktivitas
Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output
terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan
output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan. Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen dari usaha produktivitas.3
Y*
= ...
(4.2) Keterangan:Y* : Produktivitas tempe siap jual (kg/kedelai) Y : Total produksi tempe (kg)
L : Penggunaan kedelai (kg)
4.5.4 Fungsi Cobb-Douglas
Manurut Soekartawi (2002) fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel (variabel bebas atau
independent variable dan variabel tak bebas atau dependent variable). Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut.
Y = a X1b1X2b2X3b3X4
b4
eε ... (4.3) Keterangan:
Y : Produksi Tempe (kg) a : Intercept/konstanta
b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1 : Kedelai (kg)
X2 : Ragi (kg)
X3 : Air (Liter)
X4 : Tenaga Kerja (HOK)
e : Logaritma natural, e = 2,718 ε : Kesalahan (error)
Untuk menaksir parameter-parameter pada persamaan (4.3) diatas, persamaan tersebut harus ditransformasikan dalam bentuk double logaritme
3
http://file2shared.wordpress.com/analisis_produktivitas/ (diakses pada tanggal 1 maret 2012)
Y L
(42)
natural (ln) sehingga merupakan bentuk linear berganda (multiple linear) yang kemudian dianalisi dengan metode kuadrat terkecil (ordinary least square).
Manurut Juanda (2009) model regresi berganda merupakan salah satu model yang terdapat dalam ilmu ekonometrika. Model ini mambahas asumsi bahwa peubah tak bebas atau (dependen) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas (independen) X1, X2, …, Xn, dan komponen sisaan ε (error). Model
akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Sesudah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, kesesuaian model dengan kriteria statistik dapat dilakukan dengan melihat hasil uji F, uji t, dan koefisien determinan (R2). Berdasarkan persamaan (4.3) diatas, dapat diperoleh fungsi linear berganda sebagai berikut:
Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + ε ... (4.4)
Keterangan:
Y : Produksi Tempe (kg) a : Intercept/konstanta
b1-b4 : Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas
X1 : Kedelai (kg)
X2 : Ragi (gram, kg)
X3 : Air (liter)
X4 : Tenaga Kerja (HOK)
ε : Kesalahan (error)
Menurut persamaan (4.4) diatas menunjukkan bahwa nilai b1, b2, b3, dan
b4 memiliki nilai tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal
ini dapat dimengerti karena b1, b2, b3, dan b4 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus
menunjukkan elastisitas variabel bebas terhadap variabel tak bebasnya dalam model tersebut.
4.5.5 Pengujian Parameter
Suatu model akan diuji berdasarkan hipotetsis yang diajukan. Pengujian hipotesis berdasarkan statistik bertujuan untuk melihat nyata atau tidaknya variabel-variabel bebas yang dipilih terhadap variabel tak bebas. Pengujian ini menggunakan nilai-P (P-value). Bedasarkan nilai-P, dapat diketahui berapa persen
(43)
variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas. Setelah melakukan pendugaan parameter koefisien regresi, selanjutnya harus diuji terlebih dahulu asumsi-asumsi dari model regresi tersebut sebelum melakukan pengujian model secara keseluruhan (uji-F) dan pengujian mengenai masing-masing koefisien regresi (uji-t) (Sapta, 2009).
4.5.6 Uji Koefisien Determinasi
Dalam hal hubungan dua atau lebih variabel, koefisien determinasi (r2) mengukur tingkat ketepatan/kecocokan (goodness of fit) dari regresi linear sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan X terhadap variasi (naik-turunnya) Y. Pengertian tersebut dapat diperluas untuk regresi linear berganda. Pada regresi linera berganda, besarnya persentase sumbangan X terhadap variasi Y disebut koefisien determinasi berganda (multiple coefficient of correlation) dengan simbol R2 (Firdaus, 2004).
Seperti halnya r2 maka R2nilainya antara nol dan satu: 0 ≤ R2≤ 1.
4.5.7 Uji Statistik F
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independen) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya (dependen). Formula pengujiannya adalah sebagai berikut:
H0: β1= β2= β3= …. = βk = 0
H1: β1= β2= β3= …. = βk≠ 0
Fhit = ... (4.6)
Keterangan:
KTR : Kuadrat tengah regresi KTG : Kuadrat tengah galat
Jika F < Fhit Tabel, maka H0 diterima, artinya variabel bebas secara serentak
tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Jumlah Kuadrat Regresi (JKR)
Jumlah Kuadrat Total (JKT)
R2 = ... (4.5)
KTR KTG
(44)
Jika F > Fhit Tabel, maka H0 ditolak, artinya variabel bebas secara serentak
berpengaruh nyata terhapad variabel tidak bebasnya.
4.5.8 Uji Statistik t
Tujuan dari melakukan Uji statistik t adalah untuk mengetahui seberapa besar masing-masing variable bebas (independen) mempengaruhi variable tak bebasnya (dependen). Prosedur cara pengujiannya adalah sebagai berikut:
Nilai t-hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan t Tabel. Jika t < - tα/2 atau t > tα/2, tolak H0. Jika - tα/2≤ t ≤ tα/2, terima H0, dengan asumsi:
H0: βi = 0, artinya variabel bebas (independen) tidak berpengaruh nyata terhadap
variable tak bebasnya (dependen).
H1 : βi ≠ 0, artinya variabel bebas (independen) berpengaruh nyata terhadap
variable tak bebasnya.
4.5.9 Uji Kolinearitas Ganda (Multicollinearity)
Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas (independen) dalam model tersebut. Jika hubungan tersebut ada, maka dapat dikatakan bahwa dalam model tersebut terdapat multikolinearitas. Deteksi adanya multikolinearitas dalam sebuah model dapat dilakukan dengan membadingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (r2). Kolinear ganda dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Namun multikolinearitas dianggap sebagai masalah serius jika koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas melebihi atau sama dengan nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan (Juanda, 2009).
b - B Se(b)
thitung = ... (4.7)
... (4.8) 1
1 – Rj2 VIF =
(45)
Keterangan :
VIF : Variance Inflation Factor
Rj2 : Koefisien determinasi
Masalah multicollinearity juga dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana jika nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.
4.5.10 Uji Heteroskedastisitas
Menurut Supranto (2004) salah satu asumsi yang penting dalam model regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan pengganggu εi mempunyai varian
yang sama, artinya Var (εi) = E(εi2) = σ2 untuk semua i, i = 1, 2, …n. Asumsi ini
disebut sebagai homoskedastisitas (homoscedastic). Menurut Firdaus (2004) model yang tidak memenuhi asumsi tersebut dapat dikatakan memiliki penyimpangan. Penyimpangan terhadap faktor pengganggu sedemikian itu disebut dengan heteroskedastisitas (heteroscedasticity), dapat dilihat statistik ujinya adalah sebagai berikut :
Fhit = ... (4.9)
Keterangan:
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh pertama dikonotasikan (JKR1).
Jumlah kuadrat regresi dari regresi anak contoh kedua dikonotasikan (JKR2) Jika tidak ada masalah heteroskedastisitas maka nilai F-hitung akan menuju 1. Masalah heteroskedastisitas masih dapat ditolerir jika F-hitung < F table dengan derajat bebas v1 = v2 = (n-c-2k)/2 dimana n adalah jumlah contoh, c adalah jumlah contoh pemisah, dan k adalah jumlah parameter yang diduga.
4.5.11 Analisis Pendapatan
Nicholson (1995) menyatakan bahwa usaha adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal dalam proses produksinya. Penerimaan total usaha merupakan hasil produksi dikalikan dengan harga per satuan produksi tersebut. Sedangkan pengeluaran total usaha merupakan semua nilai yang dikeluarkan
JKR1 JKR2
(46)
dalam melakukan proses produksi. Perbedaan antara penerimaan dan pengeluaran inilah yang disebut dengan pendapatan. Secara matematis formulasi pendapatan usahatani dapat dilihat sebagai berikut.
π = TR - TC = (Py · Y) – (Px · X) ... (4.10)
Keterangan:
π : Tingkat pendapatan usaha (Rp) TR : Total penerimaan usaha (Rp) TC : Total pengeluaran usaha (Rp)
Py : Harga persatuan produksi tempe (Rp)
Y : Jumlah produksi tempe (kg) Px : Harga input (Rp)
X : Jumlah input (kg, kg, liter, HOK)
Analisis ini meliputi komponen penerimaan dan biaya yang digunakan untuk menganalisis pendapatan yang diperoleh pengusaha tempe. Analisis pendapatan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (TR) dengan biaya total (TC). Menurut Soekartawi (1995) rumus yang digunakan untuk menganaisis pendapatan adalah sebagai berikut :
total ∑ tidak tunai + ∑ tunai tidak tunai
tunai
Dimana,
total = Pendapatan total usaha tempe (Rp) tidak tunai = Pendapatan tidak tunai usaha tempe (Rp) tunai = Pendapatan tunai usaha tempe (Rp)
(47)
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Profil Desa Cimanggu I
Desa Cimanggu I adalah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Desa yang terdiri dari tiga Dusun dan sembilan Rukun Warga ini, terbagi atas empat Kampung yaitu Cimanggu, Ciaruteun, Bojong Galeuh, dan Jatake, dipimpin oleh Kepala Desa Bapak Hamdani dengan dibantu seorang Sekretaris Desa Bapak Noerhasan. Luas wilayah Desa Cimanggu I mencapai 170 Ha yang terbagi menjadi 3 wilayah Kekadusan, yaitu: Kadus I, II dan III, Adapun batas wilayah Desa Cimanggu I adalah :
Sebelah Utara : Desa Cijujung
Sebelah Selatan : Desa Cimanggu II
Sebelah Barat : Desa Leuweung Kolot
Sebelah Timur : Desa Cimanggu II
Pada umumnya wilayah Desa Cimanggu I berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (dpl), Desa Cimanggu I berada di ketinggian antara 460 m dpl. Seperti halnya dengan daerah lain yang terdapat di Jawa Barat, wilayah Desa Cimanggu I juga beriklim tropis yang ditandai dengan dua musim, yaitu musim panas dan musim penghujan. Musim penghujan berlangsung antara bulan Oktober-Pebruari, dengan tingkat curah hujan rata-rata berkisar 1000 hingga 2000 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 100 – 200 hari/tahun. Sedangkan musim panas atau kemarau berlangsung antara bulan Maret-Agustus. Suhu udara di Desa Cimanggu I pada pagi hari berkisar antara 18 – 23 C, sedangkan pada siang hari suhu udara berkisar antara 27 – 35 C, dengan kelembaban udara rata-rata 80%. Desa Cimanggu I dilalui 1 (Satu) buah sungai besar, yaitu Sungai Ciaruteun dengan arah aliran menuju ke utara dan bermuara di Sungai Cisadane.
Pola penggunaan lahan yang terdapat di Desa Cimanggu I pada umumnya masih berupa tegalan dan persawahan yang terdapat disemua wilayah Kekadusan yang ada di Desa Cimanggu I, sedangkan untuk daerah permukiman penduduk sebagian besar berada di wilayah 3 Kekadusan yaitu di wilayah Kekadusan I, II dan III, Selain itu juga penggunaan lahan di Desa Cimanggu I, berupa lahan
(48)
terbagun (fasilitas pertokoan, peribadatan dan pendidikan) yang berada di sekitar Jalan Ciaruteun Gardu Seri-Jatake Desa CimangguI.
Sebaran penduduk merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan kemajuan suatu wilayah. Desa Cimanggu I, sebaran penduduk paling besar berada di Kekadusan I (Satu) Hal ini disebabkan karena di kawasan tersebut, telah terdapat beberapa sarana dan prasana yang memadai. Jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan Profil Desa pada tahun 2011 setelah terjadinya pemekaran Desa sebesar 9.523 Jiwa (perempuan sebesar 4.720 jiwa dan laki-laki sebesar 4.803 jiwa) Dengan Jumlah KK sebesar 2.550. Kepadatan penduduk di wilayah ini adalah kepadatan kasar (brutto) yang merupakan suatu perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah. Kepadatan penduduk rata-rata di Desa Cimanggu I pada tahun 2011 sebesar 29 jiwa/km.
Kegiatan penduduk di Desa Cimanggu I didominasi oleh Petani sebesar 1.474 jiwa (15%), Buruh Tani sebesar 2521 jiwa (26%) dan Petani Penggarap sebesar 639 jiwa (6%). Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sektor pertanian lebih besar dapat menampung tenaga kerja dan memiliki peluang lebih besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya.Sebaran penduduk Desa CImanggu I berdasarkan matap encaharian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran jumlah penduduk Desa Cimanggu I berdasarkan mata pencaharian
No. Pendidikan Jumlah (jiwa) Presentase (%)
1 Petani 1474 28
2 Buruh Tani 2521 48
3 PNS 17 1
4 TNI / POLRI 8 6
5 Karyawan Swasta 211 4
6 Pensiunan 7 0
7 Jasa 331 0
8 Tukang 43 1
9 Petani Penggarap 630 12
Jumlah 5242 100
Sumber: Kelurahan Desa Cimanggu I (2011)
Berdasarkan Tabel 7 tingkat pendidikan penduduk di Desa Cimanggu I, sebagian besar merupakan lulusan SD/sederajat sebanyak 624 jiwa, lulusan
(1)
Lampiran 4 Perbandingan penggunaan air pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri
Penggunaan air pengusaha tempe pola kemitraan
No. Resp.
Air (Liter)
Harga air (m3)
Total/hari
Total/tahun
1
418.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
2
836.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
3
418.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
4
2,090.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
5
418.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
6
2,090.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
7
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
8
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
9
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
10
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
11
627.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
12
418.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
Jumlah
12,331.00
26,400.00
26,400.00
9,583,200.00
Rata-rata
1,027.58
2,200.00
2,200.00
798,600.00
Penggunaan air pengusaha tempe pola mandiri
No. Resp.
Air (Liter)
Harga air
(0-10.000 liter)
Total/hari
Total / tahun
1
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
2
627.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
3
836.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
4
1,463.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
5
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
6
627.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
7
3,135.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
8
627.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
9
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
10
1,254.00
2,200.00
2,200.00
798,600.00
Jumlah
12,331.00
22,000.00
22,000.00
7,986,000.00
(2)
Lampiran 5 Perbandingan penggunaan tenaga kerja pengusaha pola kemitraan dan
pola mandiri
Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola kemitraan
No. Resp.
Tenaga
Kerja
Keluarga
Tenaga
Kerja Non
Keluarga
Jumlah
Kerja
(hari)
HOK
Keluarga
HOK
Non
Keluarga
HOK
Total
Harga
Satuan
(Rp)
1
2
0
1
2
-
2
50.000,00
2
2
1
1
2
1
3
50.000,00
3
2
0
1
2
-
2
50.000,00
4
0
3
1
-
3
3
50.000,00
5
2
0
1
2
-
2
50.000,00
6
2
0
1
2
-
2
50.000,00
7
2
0
1
2
-
2
50.000,00
8
2
0
1
2
-
2
50.000,00
9
1
2
1
1
2
3
50.000,00
10
2
0
1
2
-
2
50.000,00
11
1
1
1
1
1
2
50.000,00
12
2
0
1
2
-
2
50.000,00
Jumlah
20
7
12
20
7
27 600.000,00
Rata-rata
2
1
1
2
1
2
50.000,00
Penggunaan tenaga kerja pengusaha tempe pola mandiri
No. Resp.
Tenaga
Kerja
Keluarga
Tenaga
Kerja Non
Keluarga
Jumlah
Kerja
(hari)
HOK
Keluarga
HOK
Non
Keluarga
HOK
Total
Harga
Satuan
(Rp)
1
2
-
1
2
-
2
50.000,00
2
2
-
1
2
-
2
50.000,00
3
2
-
1
2
-
2
50.000,00
4
2
-
1
2
-
2
50.000,00
5
2
-
1
2
-
2
50.000,00
6
2
-
1
2
-
2
50.000,00
7
1
2
1
1
2
3
50.000,00
8
2
1
2
-
2
50.000,00
9
-
2
1
-
2
2
50.000,00
10
-
2
1
-
2
2
50.000,00
Jumlah
15
6
10
15
6
21 500.000,00
(3)
Lampiran 6
Hasil output
minitab 15
model fungsi produksi tempe
pola kemitraan
Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter),
Tenaga Kerja (HOK)
The regression equation is
Output ( kg ) = 0.469 + 0.855 Kedelai (kg) - 0.0412 Ragi (kg) + 0.0417 Air ( liter) - 0.0018 Tenaga Kerja (HOK)
Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.4694 0.1462 3.21 0.015
Kedelai (kg) 0.85505 0.01666 51.31 0.000 4.304 Ragi (kg) -0.04124 0.02190 -1.88 0.102 5.860 Air ( liter) 0.04172 0.01991 2.10 0.074 6.253 Tenaga Kerja (HOK) -0.00177 0.03064 -0.06 0.956 1.266
S = 0.0165623 R-Sq = 99.9% R-Sq(adj) = 99.9% PRESS = 0.0116893 R-Sq(pred) = 99.63%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 4 3.13981 0.78495 2861.57 0.000 Residual Error 7 0.00192 0.00027
Total 11 3.14173
Source DF Seq SS Kedelai (kg) 1 3.13827 Ragi (kg) 1 0.00014 Air ( liter) 1 0.00140 Tenaga Kerja (HOK) 1 0.00000
Unusual Observations Kedelai Output
Obs (kg) ( kg ) Fit SE Fit Residual St Resid 3 3.00 3.40120 3.37642 0.01219 0.02478 2.21R 5 3.00 3.33220 3.34783 0.01472 -0.01563 -2.06R R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 2.15416 Mean -1.33227E-15
StDev 0.01321
N 12
KS 0.235
(4)
Lampiran 7
Hasil output
minitab 15
model fungsi produksi tempe pola mandiri
Regression Analysis: Output ( kg ) versus Kedelai (kg), Ragi (kg), Air (liter),
Tenaga Kerja (HOK)
The regression equation is
Output (kg) = 0.665 + 0.851 Kedelai (kg) + 0.0037 Ragi (kg) + 0.0111 Air ( liter) + 0.126 Tenaga Kerja (HOK)
Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.6652 0.2401 2.77 0.039
Kedelai (kg) 0.85065 0.03950 21.54 0.000 9.032 Ragi (kg) 0.00374 0.04873 0.08 0.942 7.234 Air ( liter) 0.01109 0.04357 0.25 0.809 8.120 Tenaga Kerja (HOK) 0.1257 0.1263 1.00 0.365 4.451
S = 0.0230320 R-Sq = 99.9% R-Sq(adj) = 99.8% PRESS = * R-Sq(pred) = *%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 4 2.35749 0.58937 1111.03 0.000 Residual Error 5 0.00265 0.00053
Total 9 2.36014
Source DF Seq SS Kedelai (kg) 1 2.35510 Ragi (kg) 1 0.00117 Air ( liter) 1 0.00069 Tenaga Kerja (HOK) 1 0.00053
Unusual Observations Kedelai
Obs (kg) Output (kg) Fit SE Fit Residual St Resid 2 3.22 3.52636 3.55589 0.01829 -0.02953 -2.11R 6 3.40 3.74950 3.71099 0.01403 0.03852 2.11R 7 5.01 5.15329 5.15329 0.02303 0.00000 * X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Durbin-Watson statistic = 2.07456 Mean 4.440892E-17
StDev 0.01717
N 10
KS 0.287
(5)
Lampiran 8
Penerimaan, biaya, dan pendapatan usahatani tempe pola kemitraan dan pola mandiri
(Rupiah/tahun)
No. Uraian Biaya
Pengusaha Pola Kemitraan Pengusaha Pola Mandiri
1 Biaya Tunai
Biaya Tetap Sewa Bangunan 2,880,000.00 2,970,000.00
Penyusutan Alat Produksi 643,152.78 641,141.67
Biaya Variabel Kedelai 239,338,000.00 238,218,750.00
Ragi 2,413,747.50 2,319,570.00
Gas 8,659,818.75 9,020,550.00
Air 798,600.00 798,600.00
Tenaga Kerja Luar Keluarga 10,587,500.00 10,890,000.00
Plastik 11,116,875.00 13,068,000.00
Transportasi 10,496,750.00 10,890,000.00
Sub Total 286.934.444,03 288.816.611,67
2 Biaya Non Tunai
Biaya Variabel Tenaga Kerja Dalam Keluarga 30,250,000.00 27,225,000.00
Sub Total 30,250,000.00 27,225,000.00
Total Biaya 317.184.444,03 316.041.611,67
(6)