Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Lamun dan Makrozoobentos

ortofosfat yang rendah. Grafik Analisis Komponen Utama PCA korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen dapat dilihat pada Gambar 9 sedangkan sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 F1 dan F2 dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 9 Grafik Analisis Komponen Utama PCA korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen Gambar 10 Sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 F1xF2 Hasil analisis korelasi PCA menunjukkan bahwa variabel kerapatan lamun mempunyai korelasi positif yang kuat dengan total bahan organik sebesar 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun yang tinggi dapat mempengaruhi tingginya total bahan organik dan sebaliknya. Ini ditunjukkan oleh substasiun A1, A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 -3 -2 -1 1 2 3 4 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 F 2 19,72 F1 55,43 Observations axes F1 and F2: 75,15 B3, B1 dan A2 yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi ternyata memiliki kandungan organik yang tinggi pula. Substasiun A1 964 tegakanm 2 memiliki kandungan bahan organik sebesar 7,33, B3 844 tegakanm 2 dengan bahan organik sebesar 5,25, B1 756 tegakanm 2 dengan bahan organik sebesar 5,98, dan A2 496 tegakanm 2 dengan bahan organik sebesar 4,50. Sementara lamun yang memiliki kerapatan yang rendah di substasiun A3, A4 dan A5 memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Substasiun A3 128 tegakanm 2 dengan bahan organik sebesar 2,83, A4 292 tegakanm 2 dengan bahan organik sebesar 2,25, dan A5 36 tegakanm 2 mempunyai bahan organik sebesar 1,75. Pengaruh kerapatan lamun dengan bahan organik dapat pula dilihat pada Gambar 11a. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa beberapa substasiun yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi terdapat total bahan organik yang tinggi. Sementara substasiun tanpa lamun terjadi penurunan drastis total bahan organik. Total bahan organik daerah tanpa lamun yakni substasiun C1 memiliki kandungan bahan organik sebesar 1,14 , C2 sebesar 0,94, D1 sebesar 0,96 dan D2 sebesar 0,59. Variabel kerapatan lamun mempengaruhi keberadaan bahan organik di substrat. Hal ini disebabkan oleh lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi mempunyai biomassa dan produktivitas daun yang tinggi. Sebagaimana pendapat vonk Arie et al. 2008 bahwa semakin tinggi kerapatan tunas maka semakin tinggi pula biomassa dan produktivitas daunnya dibandingkan dengan kerapatan tunas yang rendah jarang. Selain itu, lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi dapat membuat perairan menjadi tenang, sehingga partikel tersuspensi di kolom air dapat mengendap ke dasar. Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi dapat pula mengurangi resuspensi di perairan. Akar dan rhizoma lamun dapat mencengkeram sedimen di dasar perairan, sehingga meminimalkan sedimen tersebut naik ke kolom air. Sebagaimana pendapat Gacia dan Duarte 2001 bahwa lamun dapat mengurangi resuspensi sekitar 85-95 di perairan. Hubungan kerapatan lamun, total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat di Gambar 11a, 11b, dan 11c. Gambar 11 a Hubungan kerapatan lamun dan total bahan organik b Hubungan kerapatan lamun dan kelimpahan makrozoobentos c Hubungan total bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos 2 4 6 8 500 1000 1500 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 T o tal b ah an o rg an ik Ker ap atan lam u n teg ak an m 2 Substasiun Kerapatan Lamun Bahan Organik 500 1000 500 1000 1500 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 Keli m p ah an m ak ro zo o b en to s in d m 2 Ker ap atan lam u n teg ak an m 2 Substasiun Kerapatan Lamun Kelimpahan Makrozoobentos 500 1000 2 4 6 8 A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2 K elim p ah an m ak ro zo o b en to s in d m 2 T o ta l B ah an O rg an ik Substasiun Bahan Organik Kelimpahan Makrozoobentos Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi terdiri atas Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serullata. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah terdiri atas Halodule uninervis. Thalassia hemprichii dan Cymodocea serullata memiliki daun yang panjang dan lebar sementara Syringodium isoetifolium memiliki bentuk daun bulat seperti lidi dan daunnya tumbuh sangat rapat. Kerapatan lamun per satuan luas sangat bervariasi tergantung jenisnya. Karena masing-masing jenis lamun memiliki tipe morfologi daun yang berbeda. Berdasarkan analisis PCA, diperoleh variabel kerapatan lamun memiliki korelasi positif yang kuat dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,72. Dalam bentuk gambar grafik hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 11b. Substasiun A1, B1, B3 dan A2 yang memiliki kerapatan yang tinggi ternyata memiliki makrozoobentos yang memiliki kelimpahan yang tinggi. Sebaliknya, substasiun yang memiliki kerapatan yang rendah di substasiun A3, A4 dan A5 terdapat makrozoobentos yang memiliki kelimpahan yang rendah. Bahkan terjadi penurunan yang drastis terhadap kelimpahan makrozoobentos pada substasiun tanpa lamun C1, C2, D1 dan D2. Ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun mempengaruhi kelimpahan makrozoobentos di substrat. Hal ini disebabkan oleh lamun menjadi habitat hidup, tempat berlindung dan mencari makan makrozoobentos. Apabila kerapatan lamunnya tinggi, makrozoobentos dapat terlindung dari pemangsaan organisme lain, dari panas matahari, dan dari arus serta ombak yang kuat. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah atau tanpa lamun, kurang melindungi makrozoobentos dari pemangsaan serta kemampuan untuk mengurangi gerakan air sangat rendah, sehingga dapat menghanyutkan makrozoobentos. Total bahan organik yang tinggi di substrat dapat menaikkan kelimpahan makrozoobentos. Total bahan organik mempunyai korelasi yang kuat positif dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,84. Gambar grafik hubungan total bahan organik dengan kelimpahan makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 11c. Ternyata substasiun yang memiliki total bahan organik yang tinggi, ditemukan makrozoobentos yang melimpah seperti di substasiun A1, B3, B1 dan A2. Substasiun A1, A3, B1 dan A2 ini memiliki pula kerapatan yang tinggi. Jadi kerapatan yang tinggi tak lepas dari tingginya kandungan total bahan organik yang dimiliki. Dengan tingginya kerapatan lamun dan bahan organik dapat memicu tingginya kelimpahan makrozoobentos di substrat. Jadi ada keterkaitan positif yang erat antara kerapatan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian sebagai berikut:

1 Jenis lamun Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata dan Syringodium isoetifolium merupakan jenis yang paling sering ditemukan dan dominan. Ketiga jenis lamun tersebut memiliki kerapatan yang tinggi. Lamun yang memiliki kerapatan yang tinggi ternyata mampu memerangkap total bahan organik yang tinggi di substrat. 2 Kerapatan dan total bahan organik yang tinggi ternyata memiliki makrozoobentos yang melimpah dibandingkan dengan kerapatan dan bahan organik yang rendah. 3 Kelas Gastropoda lebih banyak ditemukan di daerah lamun yang memiliki kerapatan dan total bahan organik yang tinggi. Sementara kelas Bivalvia banyak terdapat di daerah tanpa lamun. 4 Perairan yang memiliki tekstur sedimen liat yang tinggi ternyata mampu memerangkap partikel tersuspensi yang tinggi dibandingkan dengan perairan yang memiliki tekstur sedimen pasir dan debu yang tinggi.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengukuran komposisi organik dan inorganik yang terperangkap di sediment trap baik di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun untuk mengetahui kontribusi yang berasal dari partikel tersuspensi di kolom perairan. DAFTAR PUSTAKA Asmus H, Asmus R. 1985. The importance of grazing food chain for energy flow and production in three intertidal sand bottom communities of the northern Wadden Sea. Helgolnder Meeresunters 39: 273-301. Abbot RT. 1991. Seashells of Southeast Asia. Scotland: Tynron Press. Abelson A, Danny M. 1997. Settlement of marine organisms in flow. Annu. Rev. Ecol. Syst. 28: 317-339. Agawin NSR, Duarte CM. 2002. Evidence of direct particle trapping by a tropical seagrass meadow. Estuaries 25: 1205-1209. Abdelrhman MA. 2003. Effect of eelgrass Zostera marina canopies on flow and transport. Marine Ecology Progress Series 248: 67-83. Brower JE, Zar JH, Ende von CN. 1990. Field and laboratory methods for general ecology. Dubuque: WCB Publishers. Baron C, Marba N, Terrados J. 2004. Community metabolism and carbon budget along a gradient of seagrass Cymodocea nodosa colonization. Limnology and Oceanogrphy. 495: 1642-1651. Binzer T, Borum M, Pedersen O. 2005. Flow velocity affects internal oxygen conditions in the seagrass Cymodocea nodosa. Aquatic Botany 83: 239-247. Baron C, Middelburg JJ, Duarte CM. 2006. Phytoplankton trapped within seagrass Posidonia oceanica sediments are a nitrogen source: An in situ isotope labeling experiment. Limnonogy and Oceanogrphy 514: 1648- 1653. Chester R. 1990. Marine geochemistry. Department of Earth Science University of Liverpool. London: UNWIN HYMAN. Den hartog C. 1970. The Sea-grasses of the world. Amsterdam: North-Holland Publisher. Dance SP. 1977. the Encyclopedia of shells. Poole Dorset: Blandford Press. Dharma B. 1988. Siput dan kerang Indonesia I. Jakarta: PT Sarana Graha. -------------1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Jakarta: PT Sarana Graha. Danovaro R, Gambi C, Mirto S. 2002. Meiofaunal production and energy transfer efficiency in a seagrass Posidonia oceanica bed in the western Mediterranean. Marine Ecology Progress Series 234: 95-104. Erftemeijer PLA, Middelburg JJ. 1993. Sediment-nutrient interactions in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedimentary environment in South Sulawesi Indonesia. Marine Ecology Progress Series 102: 187-198. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey mannual for tropical marine resource. Townville, Australia: ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources by Australian Institute of Marine science. Enriquez S, Marba N, Duarte CM, van Tussenbroek BI, Gayes-Zavala G. 2001. Effects of seagrass Thalassia testudinum on sediment redox. Marine Ecology Progress Series 219: 149-158. Evrald V, Kiswara W, Bouman TJ, Middelburg. 2005. Nutrient dynamics of seagrass ecosystems: 15N evidence for the importance of particulate organic matter and root systems. Marine Ecology Progress Series 295: 49-55. Fortes M.D. 1989. Seagrasses: A Resource Unknown in The Asean Region. Iccarm Education, Manila, Philippines. Fahruddin 2002. Pemanfaatan, ancaman, dan isu-isu pengelolaan ekosistem padang lamun makalah falsafah sains. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Folkard AM. 2005. Hydrodynamics of model Posidonia oceanic patches in shallow water. Limnology and Oceanography 50 5: 1592-1600. Fredriksen S, de Backer A, Bostrom C, Christie H. 2010. Infauna from Zostera marina L. meadows in Norway. Differences in vegetated and unvegetated areas. Marine Biology Research 6: 189-200. Gacia E, Duarte CM. 2001. Sediment retention by a Mediterranean Posidonia oceanica meadow: the balance between deposition and resuspension. Estuarine, Coastal and Shelf Science 52: 505-514. Gacia E, Duarte CM, Marba N, Terrados J, Kennedy H, Fortes MD. 2003. Sediment deposition and production in SE-asia seagrass meadows. Estuarine, Coastal and Shelf Science 56: 909-919. Gunawan AW, Suminar S, Laksmi A. 2008. Pedoman penyajian karya ilmiah. Ed: ke-2. Bogor: IPB press. Acuan penulisan tesis Gruber RK, Kemp WM. 2010. Feedback effects in a coastal canopy-forming submersed plant bed. Limnoogy and Oceanogrphy. 556 : 2285 –2298. Hawkes HA. 1978. Invertebtrates as indicator of river water quality. Toronto: John Willey and Sons.