Keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap dan penghasil bahan organik dengan struktur komunitas makrozoobentos di perairan pulau Barrang Lompo

(1)

PEMERANGKAP DAN PENGHASIL BAHAN ORGANIK

DENGAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

DI PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO

IRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

IRA

NRP C551070011


(3)

IRA. Interconnection of Seagrass Beds As a Producer and Organic Matter Trap and their relations with Macrozoobenthos Community Structure in Barrang Lompo Island Waters. Supervised by HARPASIS S SANUSI and NEVIATY P ZAMANI.

Seagrass beds is one of ecosystem in coastal waters which is known for its high organic productivity. The productivity derives from litter fall, epiphyte, phytoplankton and suspended particles which trapped among seagrass. Organic material then undergoing a process of decomposition and becomes a source of nutrients. Furthermore, the nutrients will be used by seagrass itself and other aquatic organisms. Macrozoobenthos is a part of the organisms that served as a connector in material cycles and energy flow, from high-level producers to consumers in the waters. The presence of macrozoobenthos in seagrass bed, will enable to support higher fish production in coastal areas. From this starting point, these studies were conducted to analyze the connection between seagrass beds as a producer and organic matter traps and its influenced to macrozoobenthos community structure. The aim of this study is to know the effect of seagrass density toward the total organic material on the bottom substrate, to investigate the effect of seagrass density on the abundance of macrozoobenthos and to determine the influence of total organic material against macrozoobenthos abundance, as well as the rate of deposition of suspended particles (mg/cm2/day). Sampling were taken in the southeast and northeast part of Barrang Lompo Island. Result of the present study, showed that all of 2 stations in Barang Lompo Islands were dominated by 5 species of seagrasses such as Cymodocea serullata, Syringodium isoetifolium, Halophila minor, Halodule uninervis, and Thalassia hemprichii. About 70 genera of macrozoobenthos have been found in all observed stations comprised of 53 families, 7 classes, and 4 phyla. Macrozoobenthos diversity index relatively higher in seagrass beds compared to bare area. However, homogenity index in seagrass beds as well as bare area was high and was relatively homogen. Thalassia hemprichii, Cymodocea serullata and Syringodium isoetifolium are the main species in this area with high densitiy. Results of Principal Component Analysis (PCA) showed that seagrass with higher density were able to trap amount of total organic material in the substrate. Macrozoobenthos density were directly proportional with seagrass density and total organic material. Gastropods are commonly found in seagrass bed with higher density and higher total organic material. In contrast with the results mention above, bivalve are more common in bare area. Coastal waters with higher clay sediment concentration may able to trap higher suspended particles than those within sandy and silty sediment.

Keywords: interconnection, seagrass bed, producer, organic matter trap, community structure, macrozoobentos, Barrang Lompo Island.


(4)

IRA. Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo. Di bimbing oleh HARPASIS S SANUSI dan NEVIATY P ZAMANI.

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan pesisir yang memiliki produktivitas organik yang tinggi. Produktivitas tersebut berasal dari serasah yang telah membusuk, ditambah epifik dan fitoplankton yang ada di lamun serta partikel tersuspensi yang terperangkap di lamun. Bahan organik mengalami proses dekomposisi menjadi sumber nutrien yang akan digunakan kembali oleh lamun dan beberapa organisme yang ada di lamun. Makrozoobentos merupakan kumpulan organisme yang hidup di dasar perairan yang dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Keberadaan makrozoobentos dapat memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produksi perikanan di wilayah pesisir. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keterkaitan lamun sebagai penghasil dan pemerangkap bahan organik dengan struktur komunitas makrozoobentos. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kerapatan lamun terhadap total bahan organik di substrat, menganalisis pengaruh kerapatan lamun terhadap kelimpahan makrozoobentos, menganalisis pengaruh total bahan organik terhadap kelimpahan makrozoobentos, serta mengukur laju pemerangkap partikel tersuspensi (mg/cm2/hari).

Lokasi penelitian di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar dengan penempatan stasiun berdasarkan keberadaan lamun, dimana pada waktu surut air laut terendah, lamun masih terendam minimal 50 cm. Berdasarkan hasil observasi lapangan diperoleh 2 stasiun yaitu sebelah Tenggara dan Timur Laut. Pengambilan sampel waktu surut di masing-masing stasiun. Parameter yang diukur meliputi kondisi fisik lingkungan dan pengambilan beberapa sampel. Parameter lingkungan yang diukur yaitu pasang surut, kecepatan dan arah arus, serta kedalaman perairan. Parameter kolom air yang diukur meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi (TSS), total bahan organik (BOT), nitrat, ortofosfat, dan pH. Parameter substrat yang diukur meliputi pH, C-Organik, BOT, nitrat, ortofosfat, dan tekstur sedimen. Pengambilan sampel untuk partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sedimen trap dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Parameter yang diukur meliputi berat sedimen, kandungan nitrat dan ortofosfat.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 5 jenis lamun yaitu Cymodocea serullata, Syringodium isoetifolium, Halophila minor, Halodule uninervis dan

Thalassia hemprichii. Lamun di lokasi penelitian termasuk komunitas campuran.

Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii

merupakan jenis yang sering ditemukan. Sementara Halodule uninervis memiliki frekuensi kemunculan yang rendah. Halophila minor hanya ditemukan di stasiun Timur Laut. Persen penutupan tertinggi di stasiun Tenggara adalah Thalassia hemprichii berkisar 1-75% dan persen penutupan terendah adalah Halodule uninervis yang berkisar 1%. Persen penutupan tertinggi di stasiun Timur Laut


(5)

adalah Cymodocea serullata yang berkisar 11-69%, disusul Syringodium isoetifolium berkisar 2-60%, dan Thalassia hemprichii berkisar 4-17%. Sementara persentase penutupan terendah adalah Halodule uninervis sebesar 0,3%.

Laju pemerangkap partikel tersuspensi tertinggi terdapat di stasiun Tenggara dibandingkan dengan Timur Laut, yaitu berkisar 2,37-4,57 mg/cm2/hari (daerah lamun) dan berkisar 2,28-2,32 mg/cm2/hari (daerah tanpa lamun). Sementara di Timur Laut hanya berkisar 1,87-2,32 mg/cm2/hari (daerah lamun) dan 2,13-2,21 mg/cm2/hari (daerah tanpa lamun). Nitrat dan ortofosfat yang terperangkap di daerah lamun dan daerah tidak ada lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan baik di stasiun Tenggara maupun Timur Laut. Namun, ada perbedaan yang signifikan yang terdapat pada nitrat dan ortofosfat yang terperangkap dalam sediment trap dengan yang mengendap di substrat serta di kolom air. Nitrat dan ortofosfat yang terperangkap di sediment trap lebih tinggi yaitu berkisar 0,3-0,7 mg/kg (nitrat) dan 12,4-17,4 mg/kg (ortofosfat) dibandingkan dengan yang mengendap di substrat yang hanya berkisar 0,03-0,16 mg/kg (nitrat) dan 6,0-13,5 mg/kg (ortofosfat). Sementara nitrat dan ortofosfat yang ada di kolom air berkisar 0,03-0,32 mg/kg dan 0,26-1,11 mg/kg.

Hasil identifikasi jenis makrozoobentos yang ditemukan sekitar 70 genera yang terdiri atas 53 famili, 7 kelas, dan 4 filum. Dari ke-70 genera tersebut, 46 genera berasal dari kelas Gastropoda, 2 genera dari kelas Skaphopoda, 16 genera dari kelas Bivalvia, 1 genera dari kelas Polikhaeta, 2 genera dari kelas Asteroidea, 2 genera dari kelas Ekhinoidea serta 1 genera dari kelas Malakostraka. Daerah lamun lebih banyak ditemukan kelas makrozoobentos dibanding daerah tanpa lamun. Daerah lamun ditemukan sekitar 7 kelas makrozoobentos yakni Gastropoda, Skaphopoda, Bivalvia, Polikhaeta, Asteroidea, Ekhinoidea, dan Krustasea. Sementara di daerah tanpa lamun hanya sekitar 3 kelas yakni Gastropoda, Bivalvia dan Ekhinoidea.

Indeks keanekaragaman di daerah lamun lebih tinggi dibandingkan dengan daerah tanpa lamun. Hal ini disebabkan oleh jumlah spesies di daerah lamun lebih banyak yakni sekitar 111 spesies, sementara di daerah tanpa lamun hanya 31 spesies. Indeks keseragaman makrozoobentos di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Indeks keseragamannya menunjukkan kemerataan jumlah individu untuk setiap jenis yang ditemukan. Indeks dominansi makrozoobentos baik di daerah lamun maupun daerah tanpa lamun menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan. Nilai indeks dominansinya menunjukkan tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Perhitungan indeks penyebaran makrozoobentos menunjukkan pola penyebarannya yang merata/seragam.

Berdasarkan analisis komponen utama diperoleh bahwa kerapatan lamun mempunyai korelasi positif yang kuat dengan total bahan organik sebesar 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun yang tinggi dapat mempengaruhi tingginya total bahan organik di substrat dan sebaliknya. Thalassia hemprichii,

Syringodium isoetifolium dan Cymodocea serullata umumnya memiliki kerapatan yang tinggi. Sementara lamun yang memiliki kerapatan rendah adalah Halodule uninervis.

Variabel kerapatan lamun memiliki korelasi positif yang kuat dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,72. Ini menunjukkan bahwa kerapatan lamun mempengaruhi kelimpahan makrozoobentos di substrat. Semakin tinggi


(6)

kerapatan maka semakin melimpah makrozoobentos di substrat. Kerapatan lamun yang tinggi dapat mengakibatkan daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak sehingga terjadi sedimentasi bahan-bahan organik dan mencegah resuspensi. Selain itu, dapat dimanfaatkan sebagai habitat dan naungan makrozobentos, sehingga makrozoobentos dapat terlindungi dari pemangsaan, sinar matahari, dan kekurangan air.

Variabel total bahan organik mempunyai korelasi yang kuat positif dengan kelimpahan makrozoobentos sebesar 0,84. Semakin tinggi bahan organik, semakin melimpah makrozoobentos. Bahan organik yang tinggi umumnya ditemukan di daerah lamun yang memiliki kerapatan lamun yang tinggi. Dengan demikian, tingginya kerapatan lamun dan bahan organik dapat mempengaruhi tingginya kelimpahan makrozoobentos di substrat. Jadi ada keterkaitan positif yang erat antara kerapatan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos.

Kata kunci: Keterkaitan, padang lamun, penghasil, pemerangkap partikel tersuspensi, struktur komunitas, makrozoobentos, Pulau Barrang Lompo.


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

DENGAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS

DI PERAIRAN PULAU BARRANG LOMPO

IRA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Kelautan

Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(9)

Dosen Penguji dari Luar Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Dedi Soedarma, DEA


(10)

Nama : Ira

NRP : C551070011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Harpasis S Sanusi, M.Sc Dr.Ir.Neviaty P Zamani, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Kelautan

Dr.Ir.Neviaty P Zamani, M.Sc Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc, Agr


(11)

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberikan hidayah-Nya kepada hamba-Nya, sehingga diberikan kemampuan, kekuatan dan kesehatan yang baik untuk menyelesaikan tesis yang berjudul "Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo". Salam dan shalawat tak lupa pula penulis kirimkan kepada junjungan besar Nabiyyullah Muhammad SAW, yang merupakan teladan bagi seluruh umat manusia.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tugas akhir ini, terdapat berbagai kendala yang dihadapi, namun semuanya dapat dijalani dengan bimbingan, arahan, dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Harpasis S Sanusi, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc atas bantuan serta bimbingannya selama penelitian dan penyusunan tesis. Kepada Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin atas bantuan dan kerjasama yang diberikan selama pelaksanaan penelitian, Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor atas bantuannya selama penulis menempuh perkuliahan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada teman-teman Ilmu Kelautan 2007 yang selalu memberi inspirasi dan motivasi untuk segera meninggalkan dunia kampus, senang menjadi bagian dari kalian. Kepada adik-adik MSDC UNHAS atas bantuannya selama di lapangan dan rekan-rekan di Pondok Rizki untuk semangat yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda serta Ibunda atas perhatian, kasih sayang, bimbingan dan kesabarannya selama ini, dan tak lupa untuk seluruh keluarga.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

IRA


(12)

Drs. Bachari Rachman dan ibu Lena. Penulis merupakan putri ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis banyak menghabiskan masa kecil dan remaja di kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Bau-Bau dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur SPMB. Penulis memilih Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, dan lulus tahun 2005. Selama menempuh jenjang S1, penulis sempat menjadi asisten mata kuliah Dinamika Populasi. Tahun 2006 penulis diterima sebagai staf pengajar jurusan Perikanan di Universitas Haluoleo Kendari sampai sekarang.

Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan terdaftar sebagai mahasiswa program studi Ilmu Kelautan Jurusan Biologi Laut. Beasiswa pendidikan S2 diperoleh dari beasiswa BPPS Dikti. Sebagian biaya penulisan tesis diperoleh dari bantuan COREMAP.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR GAMBAR………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN………. Xv 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Perumusan Masalah………. 2

1.3 Tujuan Penelitian………. 3

1.4 Kegunaan Penelitian……… 3

1.5 Kerangka Pemikiran……… 4

2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2.1 Lamun………... 5

2.1.1 Penyebaran Lamun………... 7

2.1.2 Fungsi dan Peran Lamun………. 9

2.1.2.1 Produktivitas Primer……… 9

2.1.2.2 Mengurangi Gerakan Air……… 11

2.1.2.3 Habitat Organisme………... 12

2.2 Makrozoobentos………. 13

2.3 Faktor Lingkungan………. 15

2.3.1 Suhu………. 15

2.3.2 Salinitas………... 16

2.3.3 Oksigen Terlarut………... 16

2.3.4 pH………. 16


(14)

2.3.6 Ortofosfat………. 17

2.3.7 Total Bahan Organik……… 17

2.3.8 Padatan Tersuspensi ………... 19

2.3.9 Tekstur Sedimen……….. 19

2.3.10 Pasang Surut……… 20

2.3.11 Kecepatan Arus………... 20

2.3.12 Kedalaman Perairan………... 21

3 METODE PENELITIAN……….. 22

3.1 Waktu dan Tempat………. 22

3.2 Alat, Bahan dan Metode Analisis………... 23

3.3 Pengambilan Data……….. 24

3.3.1 Observasi Lapangan dan Penentuan Stasiun……… 24

3.3.2 Sampel Air, Sedimen, dan Makrozoobentos……… 24

3.4 Analisis Data……….. 25

3.4.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun………. 25

3.4.2 Kerapatan Jenis Lamun……… 25

3.4.3 Persen Penutupan Lamun………. 25

3.4.4 Persentase Komposisi Jenis Makrozoobentos……….. 26

3.4.5 Kelimpahan Makrozoobentos………... 27

3.4.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos……... 27

3.4.7 Keseragaman Jenis Makrozoobentos………... 27

3.4.8 Dominansi Jenis Makrozoobentos………... 28

3.4.9 Pola Sebaran Makrozoobentos………. 28

3.5 Analisis Statistik………... 29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN………. 30


(15)

4.2 Faktor Lingkungan………. 31

4.2.1 Fisika dan Kimia Kolom Air……… 32

4.2.2 Fisika dan Kimia Substrat……… 34

4.3 Lamun……….... 36

4.3.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun……….. 36

4.3.2 Kerapatan Jenis Lamun………. 37

4.3.3 Persentase Penutupan Lamun……… 39

4.4 Laju Pemerangkap Partikel Tersuspensi………. 40

4.5 Struktur Komunitas Makrozoobentos………. 41

4.5.1 Persentase Komposisi dan Kelimpahan Makrozoobentos…... 41

4.5.2 Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi dan Pola Sebaran………. 45

4.6 Keterkaitan Faktor Lingkungan dengan Lamun dan Makrozoobentos………. 46

5 KESIMPULAN DAN SARAN………. 52

5.1 Kesimpulan………... 52

5.2 Saran………... 52

DAFTAR PUSTAKA……… 53


(16)

1 Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan………... 23

2 Klasifikasi penutupan lamun……… 26

3 Kategori persen penutupan total………... 26

4 Kategori indeks dispersi………... 29

5 Parameter fisika-kimia kolom air di lokasi penelitian……….. 32

6 Parameter kimia substrat di lokasi penelitian……….... 34

7 Jenis-jenis lamun yang ditemukan di lokasi penelitian………. 36

8 Kerapatan jenis lamun (tegakan/m2) di lokasi penelitian……….. 38 9 Persen penutupan lamun (%) untuk seluruh jenis di lokasi

penelitian...

39

10 Partikel tersuspensi yang terperangkap pada sediment trap

di lokasi penelitian...

40

11 Kelimpahan berdasarkan kelas makrozoobentos (ind/m2)

di lokasi penelitian………..

44

12 Nilai indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E),

dominasi (C) dan pola sebaran (Id) di lokasi penelitan……….


(17)

Halaman

1 Kerangka alur pemikiran………. 4

2 Morfologi lamun……….. 6

3 Distribusi lamun di dunia………. 8

4 Rantai makanan dalam ekosistem lamun……… 10

5 Skema hubungan trofik dalam sistem padang lamun di Teluk Westernport, Australia………. 14

6 Lokasi penelitian dan titik sampling pada stasiun Tenggara dan Timur Laut di Pulau Barrang Lompo………... 22

7 Persentase komposisi jenis lamun di lokasi penelitian……… 37

8 Persentase komposisi kelas makrozoobentos……….. 42

9 Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara lamun, makrozoobentos dan sedimen………. 48

10 Sebaran substasiun di sumbu 1 dan sumbu 2 (F1xF2)……… 48 11 (a) Hubungan kerapatan lamun dan total bahan organik…………...

(b) Hubungan kerapatan lamun dan kelimpahan makrozoobentos…

(c) Hubungan total bahan organik dan kelimpahan

makrozoobentos………


(18)

1 Desain perangkap partikel tersuspensi yang digunakan selama

penelitian………. 58

2 Data pengukuran parameter fisika-kimia air di lokasi penelitian…… 59

3 Data pengukuran parameter kimia substrat di lokasi penelitian………. 60

4 Data pengukuran partikel tersuspensi di lokasi penelitian……….. 61

5 Data struktur komunitas lamun………... 62 6 Arah dan kecepatan arus Pulau Barrang Lompo

bulan Februari, Maret, dan April 2010………..

63

7 Data komposisi makrozoobentos……… 64

8 Data kelimpahan makrozoobentos……….. 65

9 Data klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian………. 72

10 Grafik pasang surut perairan Pulau Barrang Lompo

bulan Februari, Maret dan April 2010………...

75


(19)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem di perairan pesisir yang memiliki produktivitas tertinggi setelah terumbu karang. Produktivitas primer lamun dapat mencapai 2,7 g C/m2/hari, sementara terumbu karang hanya

mencapai 0,8 g C/m2/hari (Hemminga dan Duarte 2000). Tingginya

produktivitas lamun tak lepas dari peranannya sebagai habitat dan naungan berbagai biota, akar dan rhizomanya yang melekat kuat pada sedimen dapat menstabilkan dan mengikat sedimen, daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak sehingga terjadi sedimentasi dari bahan-bahan organik dan mencegah resuspensi zat-zat organik dan inorganik. Selain itu, daunnya mendukung sejumlah besar epifik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lamun dapat berperan sebagai penyumbang bahan oganik dan pelindung garis pantai terhadap erosi di pesisir.

Bahan organik merupakan salah satu unsur pembentuk nutrien yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Makrozoobentos merupakan kumpulan organisme yang sebagian atau seluruh hidupnya di dasar perairan yang dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Sebagaimana pernyataan Hutchings (1998) bahwa hewan bentik (Polikhaeta) dapat mendaur ulang, bioturbasi sedimen dan pemakan bahan organik.

Proses dekomposisi merupakan hal yang penting di lamun. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang langsung dapat dikonsumsi oleh organisme bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam air merupakan makanan pemakan penyaring. Pada gilirannya, hewan-hewan tersebut akan menjadi mangsa dari karnivora yang terdiri atas berbagai jenis ikan dan

invertebrata. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keberadaan

makrozoobentos di lamun dapat memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produktivitas perikanan di wilayah pesisir.


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Lamun merupakan tumbuhan air yang memiliki sistem perakaran dan rhizoma yang intensif. Sistem rhizoma membentuk daun lamun menjadi lebat, sehingga dapat mengurangi gerakan air serta mengendapkan partikel tersuspensi ke dasar perairan. Hasil eksperimen Hendriks et al. (2008) menunjukkan bahwa sekitar 27% momentum partikel tersuspensi hilang atau turun ke dasar perairan ketika bergesekan dengan daun lamun. Partikel yang mengendap ke dasar tersebut mengandung bahan organik. Selain itu, lamun dapat pula menghasilkan bahan organik melalui daun lamun yang telah membusuk serta melalui organisme yang hidup di lamun seperti epifik dan fitoplankton.

Bahan organik yang ada di lamun merupakan salah satu unsur pembentuk nutrien. Nutrien sangat dibutuhkan oleh organisme yang hidup di lamun termasuk makrozoobentos. Selain itu, nutrien sangat dibutuhkan pula oleh lamun itu sendiri. Bahan organik di lamun mengalami dekomposisi menjadi unsur yang lebih kecil, kemudian diuraikan kembali oleh mikroorganisme menjadi unsur yang lebih sederhana. Makrozoobentos dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Dengan demikian, makrozoobentos dan lamun secara bersama-sama dapat berperan dalam meningkatkan produktivitas perikanan di wilayah pesisir.

Pulau Barrang Lompo merupakan salah satu pulau dari Kepulauan Spermonde yang terletak di pantai Barat Sulawesi Selatan yang memiliki padang lamun yang cukup luas. Hamparan padang lamunnya sekitar 44.974 Ha (Citra Satelit Landsat 2009). Kondisi lamun tersebut masih cukup baik. Namun, seiring dengan tingginya aktivitas di perairan dapat menimbulkan tekanan terhadap lamun. Rusak atau hilangnya lamun dapat mengakibatkan menurunnya atau hilangnya fungsi-fungsi ekologi yang mengarah ke penurunan biodiversitas biota laut, khususnya di perairan pantai serta penurunan produktivitas perikanan. Oleh karena itu, penelitian mengenai keterkaitan padang lamun sebagai pemerangkap dan penghasil bahan organik dengan struktur komunitas makrozoobentos perlu dilakukan.


(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sebagai berikut:

1 Menganalisis pengaruh kerapatan dan jenis lamun terhadap total bahan organik di substrat.

2 Menganalisis pengaruh kerapatan dan jenis lamun terhadap kelimpahan makrozoobentos.

3 Menganalisis pengaruh total bahan organik di substrat terhadap kelimpahan makrozoobentos.

4 Mengukur laju pemerangkap partikel tersuspensi (mg/cm2/hari).

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas atas informasi tentang peran padang lamun dalam memerangkap dan menghasilkan bahan organik, mengetahui hubungan lamun dengan struktur komunitas makrozoobentos serta memberikan manfaat dalam penggambilan kebijakan untuk pengelolaan Pulau Barrang Lompo dan usaha perikanan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Lamun merupakan tumbuhan air yang memiliki daun, rhizoma dan akar. Sistem rhizoma membentuk daun lamun menjadi lebat, sehingga dapat membuat perairan menjadi tenang. Kondisi perairan yang tenang mengakibatkan banyak partikel tersuspensi di kolom air turun ke dasar. Partikel tersuspensi tersebut mengandung bahan organik. Selain itu, lamun dapat pula menghasilkan bahan organik melalui daun lamun yang telah membusuk.

Bahan organik merupakan salah satu unsur pembentuk nutrien yang sangat dibutuhkan oleh lamun dan organisme yang berasosiasi dengan lamun termasuk makrozoobentos. Makrozoobentos dapat berperan sebagai penghubung aliran energi dan siklus materi dari produsen ke konsumen tingkat tinggi dalam perairan. Dengan demikian, makrozoobentos dan lamun secara bersama-sama dapat berperan dalam meningkatkan produktivitas perikanan di wilayah pesisir. Secara skematik kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.


(22)

(23)

Gambar 1 Kerangka alur pemikiran Lamun

Daun Perairan Rhizoma & Akar

Tenang Habitat

Meningkatkan Produktivitas Perikanan

Meningkatkan Biodiversity Sumber Nutrien

Mengikat & Mengendapkan Serasah

Partikel Tersuspensi Turun Ke Dasar

Bahan Organik

Makrozoobentos Organisme yang

Berasosiasi

4


(24)

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lamun

Lamun atau disebut juga ilalang laut merupakan tumbuhan yang unik,

karena merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu

beradaptasi sepenuhnya hidup di dalam perairan dengan salinitas yang tinggi. Lamun digolongkan dalam tumbuhan tingkat tinggi karena memiliki akar, batang (rhizoma), daun dan bunga sejati. Beberapa ahli mendefenisikan lamun sebagai tumbuhan air berbunga yang hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.

Klasifikasi lamun dapat dilakukan berdasarkan karakter tumbuhan. Di daerah tropis genera lamun memiliki morfologi yang berbeda, sehingga dapat

dijadikan pembeda antar spesies dengan berdasar pada gambaran morfologi dan anatominya. Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den hartog (1970) sebagai berikut :

Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae

Famili : Potamogetonacea

Subfamili : Zosteroideae

Genus : Zostera, Phyllospadix, Heterozostera

Subfamili : Posidonioideae

Genus : Posidonia

Subfamili : Cymodoceoideae

Genus : Halodule, Cymodoceae, Syringodium, Amphibolis, Thalassodendron

Famili : Hydrocharitacea

Subfamili : Hydrocharitaceae

Genus : Enhalus, Halophila, Thalassia

Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dimana hampir semua genera mempunyai rhizoma yang berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) serta berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang, kecuali genus Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur atau lonjong. Gambaran morfologi lamun dapat dilihat Gambar 2. Keanekaragaman bentuk organ sistem


(26)

vegetatif ini dapat digunakan untuk membedakan antar spesies. Selain itu, perbedaan morfologi dan anatomi akar dapat juga digunakan untuk taksonomi.

Akar lamun merupakan tempat menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Lamun Halophila ovalis dapat mengeluarkan oksigen melalui akarnya, sedangkan Thallassia testudinum terlihat lebih baik di kondisi anoksik. Menurut Larkum et al. (1989) bahwa transpor oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi.

Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan bahwa lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan

tingkat anoksik di sedimen (Enriquez et al. 2001). Pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang

dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan bentuk adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi. Dengan demikian, pelepasan oksigen oleh akar secara tidak langsung dapat mempercepat dekomposisi bahan organik yang terendap dan membantu perkembangan organisme bentik (Herkul dan Kotta 2009).


(27)

Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta berbuku-buku. Di buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga. Buku tersebut pula, tumbuh akar. Akar dan rhizoma berfungsi untuk menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut, sehingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Struktur rhizoma dan batang memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah

herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup di habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup.

Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Namun, genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah. Selain itu, lamun dilengkapi pula dengan ligula. Ligula berfungsi sebagai penyokong dan untuk melindungi daun muda yang baru tumbuh, sehingga tidak mudah kemasukkan air. Anatomi yang khas pula dari daun lamun yaitu ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon, sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut untuk dapat langsung disalurkan kepada sel-sel fotosintesis tanpa harus melalui sistem perakaran.

2.1.1 Penyebaran Lamun

Umumnya lamun tumbuh di perairan dangkal yang tersusun oleh lumpur, pasir, pecahan karang mati, campuran dari dua atau ketiganya, bahkan ada yang

tumbuh di atas batu massive. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang

lebih besar hingga menyerupai padang (seagrass bed) dalam dimensi yang cukup luas. Lamun mempunyai sebaran yang cukup luas mulai dari benua Artik sampai ke benua Afrika dan Selandia Baru. Menurut Kuo dan McComb (1989) bahwa di seluruh dunia ada 58 jenis lamun dengan konsentrasi utama didapatkan di wilayah Indo-Pasifik. Lamun tersebut terdiri atas empat famili yaitu Zosteraceae (17 jenis), Posidonaceae (9 jenis), Cymodoceae (17 jenis),


(28)

Hydrocharitaceae (15 jenis). Gambaran distribusi lamun di dunia dapat dilihat Gambar 3.

Gambar 3 Distribusi lamun di dunia (Sumber: Hemminga dan Duarte 2000).

Di Indonesia dijumpai dua famili, yaitu Potamogetonaceae (6 jenis) dan Hydrocharitaceae (6 jenis) (Kiswara 1997). Adapun jenis-jenis lamun yang ditemukan di Indonesia, yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata,

Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halophila minor,

Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii, Thalasodendron ciliatum. Ada pula jenis lamun yang penyebarannya sangat terbatas yaitu jenis Thallassodendron ciliatum yang hanya terdapat di Indonesia Timur dan Sumatera (Riau), dan jenis Halophila spinulosa hanya terdapat di Kepulauan Riau, Anyer, Baloran Utara dan Irian, serta jenis Halophila decipens hanya terdapat di Teluk Jakarta, Teluk Sumbawa dan Kepulauan Aru (Den hartog 1970). Dua jenis lamun yang diduga ada di Indonesia, namun belum dilaporkan, yaitu Halophila beccarii dan Ruppia maritime (Kiswara 1997).

Pulau Barrang Lompo memiliki padang lamun yang cukup luas dan berada di bagian Barat, Selatan/Tenggara, dan Utara Pulau (Citra Satelit Landsat 2009). Lamun tersebut meliputi 2 famili yakni Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae, dimana terbagi lagi atas 5 genera dan 8 jenis. Persentase penutupan lamun berturut-turut didominasi oleh Thalassia hemprchii, Enhalusacoroides, Halodule uninervis dan Halophila ovalis, sedangkan untuk kerapatan yang tertinggi pada


(29)

2.1.2 Fungsi dan Peran Lamun

Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif, karena dapat berperan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal. Menurut beberapa hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut:

2.1.2.1 Produktivitas Primer

Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi di ekosistem pesisir. Produktivitas primer lamun dapat mencapai 2,7 g C/m2/hari (Hemminga dan Duarte 2000). Di Pulau Barrang Lompo, produktivitas total lamun Enhalus acoroides mencapai 12,083 g/m2/hari dan Thalassia hemprichii sekitar 16,391 g/m2/hari (Supriadi 2002). Tingginya produktivitas lamun berkaitan erat dengan tingginya laju produktivitas organisme yang berasosiasi dengan padang lamun. Di lamun, terdapat sejumlah hewan herbivora atau detrivora. Hal ini didukung oleh pernyataan Supriharyono (2000) bahwa produktivitas primer pada ekosistem padang lamun, selain bersumber dari tumbuhan lamun itu sendiri juga berasal dari alga dan fitoplankton yang menempel di daun lamun (epifit) atau di sekitar perairan tersebut.

Organisme yang berasosiasi dengan lamun memberikan kontribusi yang berbeda-beda. Menurut Asmus dan Asmus (1985) bahwa produktivitas primer kotor lamun sekitar 473 g C/m2/tahun terdiri atas 1,79% berasal dari epifit dan 19% mikrofitobentos. Gacia et al. (2003), partikel tersuspensi yang terendap di lamun rata-rata <200 g/m2/hari dan mengandung bahan organik sekitar <18%.

Danovaro et al. (2002), sedimen di lamun mengandung bahan organik,

konsentrasi kloropigmen dan biomassa bakteri yang tinggi. Lamun dapat memproduksi sekitar 65-85 % bahan organik dalam bentuk detritus dan disumbangkan ke perairan sebanyak 10-20% (Fachruddin 2002).

Di lamun, konsumen umumnya Polikhaeta dan Moluska (kerang-kerangan), yang bertindak sebagai herbivora dan Dekapoda (kepiting) yang bertindak sebagai karnivora. Keberadaan organisme tersebut memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produksi perikanan


(30)

di wilayah pesisir. Dengan demikian, lamun merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis biota laut khususnya nekton, dan merupakan stok bagi daerah

fishing ground. Untuk melihat rantai makanan dalam padang lamun dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Sumber: Fortes 1989).

Mekanisme lamun dalam mempertahankan produktivitasnya yang tinggi di perairan oligotrofik dimulai dengan peningkatan pengendapan dan retensi sedimen, diikuti dengan peningkatan mineralisasi, setelah itu barulah dimulai penyerapan nutrisi oleh lamun (Evrald et al. 2005). Oleh karena itu, peningkatan kepadatan kanopi lamun sangat penting guna meningkatkan kemampuan lamun memerangkap partikel tersuspensi (seston) dan memyiapkan penyimpanan biomassa yang akan digunakan (Baron et al. 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh Hendriks et al. (2008) yang mengatakan bahwa sekitar 27% momentum partikel tersuspensi hilang atau turun ke dasar ketika bertubrukkan dengan lamun. Menurut Agawin dan Duarte (2002) bahwa dari sekitar 70% partikel tersuspensi yang terperangkap di lamun, sekitar 5% secara fisik menempel pada permukaan daun. Partikel tersebut juga berasal dari pencernaan protozoa (ciliata dan amuba) yang tinggal di permukaan daun.


(31)

2.1.2.2 Mengurangi Gerakan Air

Lamun dapat pula berperan untuk mengurangi gerakan air, sehingga di bagian bawah air menjadi tenang. Kemampuan lamun dalam mengurangi gerakan air tergantung pada kepadatan dan ketinggiannya. Sebagaimana pendapat Komatsu et al. (2004) bahwa Enhalus acoroides lebih besar berperan dalam mengurangi gerakan air dibandingkan dengan Thallasia hemprichii. Pendapat tersebut diperkuat oleh Folkard (2005) bahwa bentuk lamun dapat mengurangi gerakan air.

Penelitian untuk melihat pengaruh kerapatan lamun dalam mengurangi gerakan arus telah banyak dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan lamun buatan (artifisial). Jika dibandingkan antara lamun alami dan artifisial, maka padang lamun artifisial mempunyai persamaan dengan padang lamun alami dalam proses sedimentasi, dimana keduanya dapat meredam gerakan air dan menjebak bahan-bahan yang tersuspensi dalam massa air, sehingga dapat mengendapkan bahan tersuspensi tersebut, dan lama-kelamaan pengendapan bahan tersuspensi ini dapat menimbulkan akumulasi sedimen yang berukuran halus pada areal padang lamun. Perbedaan antara padang lamun alami dan padang lamun artifisial dalam proses sedimentasi adalah terletak pada adanya kemampuan padang lamun alami mengakumulasi material-material yang terendapkan menjadi substrat sekaligus menstabilkannya, sebab padang lamun alami mempunyai struktur perakaran yang berkembang dan saling menyilang.

Di Pulau Barrang Lompo, penelitian tentang peran lamun artifisial dalam memerangkap partikel tersuspensi pernah dilakukan. Ternyata kepadatan daun lamun artifisial berpengaruh terhadap kemampuannya memerangkap sedimen, semakin tinggi kepadatan daun lamun artifisial semakin banyak sedimen yang terperangkap (Ukkas et al. 2000). Padang lamun artifisial sekalipun mampu mengakumulasi material-material yang mengendap, tetapi tidak mampu menstabilkannya, karena lamun artifisial tidak mempunyai sistem perakaran, sehingga diduga bahwa akumulasi sedimen pada dasar perairan di padang lamun artifisial lebih kecil, sebab bahan-bahan yang telah mengendap di padang lamun artifisial dapat terangkut lagi oleh gerakan air. Jadi, peran lamun alami dalam


(32)

mengurangi kecepatan arus dan proses pengendapan partikel tersuspensi sangat penting.

Peran lamun dalam mengurangi gerakan air sangat menguntungkan lamun itu sendiri dan organisme yang hidup di dalamnya. Umumnya gerakan air mempunyai pengaruh yang kuat terhadap metabolisme dan daya tahan fisik lamun terhadap lingkungan serta berpengaruh pula pada sedimentasi dan resuspensi (Gacia dan Duarte 2001). Resuspensi berkurang dan perairan menjadi jernih, sehingga dapat dikatakan bahwa lamun dapat mengurangi erosi di wilayah pesisir.

2.1.2.3 Habitat Organisme

Tingginya produktivitas organik dan perairan di sekitarnya menjadi tenang, mengakibatkan banyak organisme yang menjadikan lamun sebagai tempat tinggal sementara (juvenil) maupun dewasa. Adapula beberapa organisme memanfaatkan lamun sebagai tempat mencari makan, tumbuh besar dan memijah. Organisme yang ditemukan di lamun, antara lain berbagai Ikan herbivora, Ikan karang, Penyu, Dugong, Gastropoda, Krustasea, Polikhaeta, dan Ekhinodermata.

Sistem rhizoma dan akar lamun dapat mengikat dan menstabilkan permukaan sedimen, sehingga lamun tumbuh kokoh di dasar perairan. Dasar perairan yang stabil sangat menguntungkan bagi organisme yang hidup di dasar, seperti makrozoobentos. Adapun daun lamun yang ada di kolom air dapat menjadi tempat berlindung dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga) serta dapat menutupi organisme yang ada di lamun dari panas matahari. Betapa besar manfaat yang diperoleh organisme yang hidup di lamun. Hal ini didukung oleh Fredriksen et al. (2010) yang mengatakan bahwa organisme yang ditemukan di padang lamun dua kali lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki lamun.

Keterkaitan lamun dengan populasi ikan menjelaskan tentang peranan lamun sebagai tempat ikan mencari makan, dalam hal ini lamun di lingkungan pesisir dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan plankton yaitu: mensuplai makanan dan zat hara ke ekosistem perairan, membentuk sedimen dan berinteraksi dengan terumbu karang, memberikan tempat untuk berasosiasinya berbagai flora dan fauna dan mengatur pertukaran air (Fortes 1989). Selain ikan


(33)

bernilai ekonomi, banyak pula organisme lain yang ditemukan di lamun. Menurut Putra (2004) bahwa sekitar 18 famili ikan-ikan karang yang berasosiasi dengan lamun di Pulau Barrang Lompo. Sementara Kamri (2004) menemukan sekitar 24 spesies Krustasea yang terdiri atas 16 spesies Udang dan 8 spesies Kepiting yang berasosiasi dengan lamun.

Ikan-ikan karang yang berada di padang lamun sebagai penghuni sementara/transit untuk mencari makan. Sementara ikan-ikan yang merupakan penghuni penuh di padang lamun dan menjadikan padang lamun sebagai tempat tinggal, yaitu jenis ikan dari famili Gerreidae dan Siganidae. Krustasea yang ditemukan di padang lamun Pulau Barrang Lompo baik jenis Udang maupun jenis Kepiting merupakan jenis Krustasea yang menjadikan daerah padang lamun sebagai tempat untuk tumbuh dan mencari makan. Krustasea jenis Udang yang ditemukan lebih banyak berasal dari famili Penaeidae yang kebanyakan bernilai ekonomi dan jenis kepiting yang ditemukan lebih banyak berasal dari famili Portunidae yang juga bernilai ekonomi (Kamri 2004).

2.2 Makrozoobentos

Makrozoobentos merupakan kumpulan banyak organisme yang menjadi bagian dari zoobentos yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Seperti halnya di ekosistem yang lain, makrozoobentos di lamun berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi dari alga planktonik dan lamun sampai konsumen tingkat tinggi. Sebagaimana pernyataan Hutchings (1998) bahwa hewan bentik (Polikhaeta) dapat mendaur ulang, bioturbasi sedimen dan pemakan bahan organik.

Lamun dapat berperan menjadi penghubung antara kolom air dan sedimen. Hal ini terkait dengan akarnya yang berada di sedimen dan daunnya yang berada di kolom air. Menurut Baron et al. (2004) bahwa lamun dapat bertindak sebagai penghubung antara komunitas pelagik dan bentik, yaitu dengan menjebak partikel tersuspensi (karbon organik seston). Terdapat hubungan timbal balik antara lamun dengan beberapa organisme yang hidup di sedimen, contohnya Bivalvia. Menurut Peterson dan Heck (2001) bahwa Bivalvia yang hidup di lamun memiliki ukuran


(34)

tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan yang hidup di daerah tanpa lamun. Manfaat yang diperoleh lamun dengan adanya Bivalvia yaitu perubahan sedimen dan tingkat nutrien, perubahan morfologi dan produktivitas lamun serta perubahan beban epifit pada daun. Skema hubungan trofik lamun dan beberapa organisme yang hidup didalamnya dapat dilihat Gambar 5.

Gambar 5 Skema hubungan trofik dalam sistem padang lamun di Teluk Westernport, Australia (Sumber: Mann 2000).

Makrozoobentos yang termasuk jenis Gastropoda, Bivalvia dan Polikhaeta dapat langsung memanfaatkan detritus yang berasal dari plankton dan tumbuhan lamun yang mati, bakteri, dan bahan organik lain yang terakumulasi dalam sedimen atau terkubur/terjebak di sela-sela butiran pasir dan lumpur sebagai sumber makanan. Makrozoobentos dapat pula memanfaatkan meiofauna sebagai sumber makanan karena ukurannya lebih kecil. Sebagaimana pendapat Mann (2000) yang menjelaskan bahwa sekitar 5-10% produksi lamun diperkirakan diambil oleh Amphipoda dan Isopoda, 10% dikeluarkan dari area, 75% mati dan menghasilkan bahan organik partikel (POM), dan 5% menjadi bahan organik


(35)

terlarut (DOM). Selanjutnya, 20% dari POM diubah bentuknya menjadi DOM selama proses dekomposisi. Bakteri menggunakan 70% POM dan 80% DOM, sedangkan sisanya 10% detritus digunakan oleh pemakan detritus.

Lamun mengandung sejumlah besar detritus. Detritus tersebut membantu dalam mendekomposisi bahan organik. Laju dekomposisi serasah daun lamun berbeda-beda tergantung jenisnya. Di Pulau Barrang Lompo, dekomposisi serasah daun Enhalus acoroides lebih tinggi dibandingkan dengan Thalassia hemprichii

(Supriadi dan Arifin 2005). Daun lamun dapat menyumbang bahan organik melalui serasahnya. Daun lamun yang memanjang seperti pita terjuntai ke bawah dapat pula berperan sebagai jalan bagi makrozoobentos bermigrasi dari sedimen ke daun lamun.

2.3 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dapat menjadi faktor yang membatasi kehidupan lamun dan makrozoobentos. Faktor lingkungan tersebut antara lain, suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, nitrat, ortofosfat, total bahan organik, padatan tersuspensi, tekstur sedimen, pasang surut, kecepatan arus, kedalaman perairan.

2.3.1 Suhu

Suhu merupakan faktor fisik yang berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan dan dapat mempengaruhi sifat fisik-kimia perairan serta fisiologi organisme. Suhu dapat menjadi faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologi organisme seperti migrasi, pemijahan, kecepatan proses perkembangan embrio serta kecepatan bergerak. Suhu air permukaan di perairan Nusantara kita umumnya berkisar antara 28-31 oC (Nontji 2002). Kisaran ini merupakan kisaran yang optimum untuk pertumbuhan lamun dan kehidupan makrozoobentos. Lamun memiliki kisaran pertumbuhan berkisar 28-30 oC (Zimmerman 1987) dan suhu yang kritis bagi makrozoobentos berkisar 35-40 oC (Hawkes 1978), karena dapat menyebabkan kematian.


(36)

2.3.2 Salinitas

Perubahan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosis, sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme osmoregulasi. Lamun memiliki tolerasi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas antara 10-40%o. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis lamun. Perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap perkembangan beberapa jenis makrozoobentos sejak larva sampai dewasa.

2.3.3 Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut berperan dalam proses metabolisme makro dan mikroorganisme dengan memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Sumber utama oksigen terlarut di perairan adalah berasal dari: 1) Aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air (lamun) dan fitoplankton; 2) Difusi oksigen secara langsung dari udara ke dalam air melalui lapisan permukaan, sehingga proses aerasi dapat berlangsung terus; 3) Agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya ombak atau gelombang; 4) Aliran air/arus; dan 5) Melalui air hujan. Sementara, kandungan oksigen terlarut dapat berkurang disebabkan oleh: 1) Respirasi biota perairan; 2) Pemakaian dalam proses dekomposisi bahan organik secara biokimia; 3) Pemakaian dalam proses dekomposisi bahan anorganik secara kimia; 4) Kenaikan suhu dan salinitas terutama pada daerah pasang-surut.

2.3.4 pH

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasahan. Nilai pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer), yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang di kandungnya. Perairan dengan pH kurang dari 6 akan menyebabkan organisme bentik dan larva tidak dapat hidup dengan baik, bahkan jika mencapai pH 4 dapat mematikan organisme yang hidup di perairan


(37)

normal. Menurut Odum (1993) bahwa perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan.

2.3.5 Nitrat

Nitrat merupakan hara makro yang dibutuhkan organisme perairan. Sumber utama nitrat berasal dari erosi tanah, limpasan dari daratan, buangan sampah (Chester 1990). Selain itu, nitrat juga berasal dari permukaan air selama produktivitas primer, ketika tumbuhan mati dan terdekomposisi kemudian nitrat terdegenerasi ke kolom air (Millero dan Sohn 1992).

2.3.6 Ortofosfat

Fosfat yang diserap oleh organisme atau jasad nabati dalam bentuk ortofosfat. Di laut, fosfat berasal dari hasil dekomposisi organisme yang sudah

mati. Fosfat juga banyak terdapat di batu karang dan fosil yang terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Perairan yang

mengandung fosfat tinggi melebihi kebutuhan normal organisme nabati yang ada dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Peranan fosfat yakni: 1) Berperan dalam transfer energi di dalam sel yang terdapat ATP dan ADP; 2) Fosfor dalam bentuk ortofosfat yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan air.

2.3.7 Total Bahan Organik

Bahan organik penting dalam sedimen, karena berpengaruh terhadap kehidupan di lingkungan sedimen. Senyawa organik sebagian besar terdapat dalam jaringan organisme. Bahan organik memainkan peranan yang sangat penting dalam fungsi ekosistem yaitu sebagai sumber makanan dan energi bagi organisme heterotrof, yang pada akhirnya akan berfungsi dalam resiklus nutrien dalam ekosistem.

Bahan organik yang disuplai ke sedimen laut berasal dari dua sumber utama, yaitu berasal dari sistem sedimen itu sendiri (autochthonous) dan berasal dari luar sistem sedimen (allochthonous) yang disuplai dari ekosistem lain. Input


(38)

bahan organik ke sedimen laut dangkal yang berasal dari autochthonous ada dua, yaitu fraksi hidup dan fraksi bukan hidup.

Fraksi hidup terdiri atas mikrofita bentik atau fitoplankton yang mempunyai peran utama dalam menghasilkan bahan organik melalui aktivitas fotosintesis. Makrofita dalam bentuk makroalga atau komunitas lamun (seagrass) dapat membentuk sistem yang produktif untuk menghasilkan bahan organik. Fraksi bukan hidup meliputi organisme yang mati, sisa-sisa hasil metabolisme sel terluar terutama fitoplankton, zat buangan (ekskresi) zooplankton dan organisme besar lainnya, ekskresi tumbuhan, penguraian organisme perairan dan daratan, bangkai, humus, detritus dan debris, kumpulan organik dari berbagai tipe, dan partikel organik kompleks lainnya, baik dalam ukuran partikel besar, kecil maupun terlarut.

Suplai bahan organik ke sedimen yang berasal dari allochthonous yaitu, masukan dari daratan melalui sungai, run-off, dan aktivitas manusia. Selain itu, senyawa organik yang terakumulasi ke dalam sedimen juga dapat berasal dari atmosfer yang ditransfer ke laut melalui hujan dan debu yang jatuh ke dalam laut, yang selanjutnya mengalami proses pengendapan di sedimen (Chester 1990; Millero dan Sonh 1992).

Lamun dapat hidup di daerah yang kaya maupun yang miskin bahan organik. Namun, ada perbedaan morfologi antara lamun yang hidup di daerah yang kaya dengan yang miskin bahan organik. Sebagaimana menurut Wicks et al.

(2009) bahwa lamun yang hidup di sedimen yang kaya bahan organik cenderung lebih mudah terlepas dari substrat dibandingkan dengan lamun yang hidup di sedimen pasir yang miskin bahan organik. Lamun yang tumbuh di sedimen miskin organik secara signifikan memiliki daun yang pendek dan sempit dibandingkan dengan yang hidup di sedimen yang kaya bahan organik (Lee dan Dunton 2000). Akumulasi dan proses pengendapan bahan organik di sedimen berhubungan dengan proses percampuran (mixing process) dari partikel sedimen tersebut pada saat tenggelam. Pada kondisi sedimen yang banyak menerima masukan bahan organik dapat menyebabkan berkurangnya stabilitas sedimen. Hal ini disebabkan oleh pertemuan antara bahan organik dengan lumpur dapat merusak matriks sedimen, sehingga stabilitas sedimen berkurang.


(39)

Detritus dan partikel organik yang terakumulasi ke dalam sedimen, nasibnya bergantung kepada laju penenggelaman dan jumlah oksigen yang tersedia dalam ruang interstisial. Pada area yang cukup konsentrasi oksigen, bahan organik

diasimilasi oleh pemakan suspensi (suspension feeder) dan pemakan

deposit/detritus (detritivores/deposit feeder) atau didekomposisi oleh bakteri heterotrof aerob (dekomposer).

2.3.8 Padatan Tersuspensi

Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat, dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Perairan yang materi tersuspensinya tinggi dapat mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air, kekeruhan air meningkat. Terhalangnya cahaya masuk ke dalam perairan menyebabkan proses fotosintesis fitoplankton dan lamun menjadi terhambat, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser tersebut. Zat tersuspensi dapat pula mengurangi kelarutan oksigen dalam perairan. Oksigen merupakan salah satu faktor penting dalam lingkungan bentik.

2.3.9 Tekstur Sedimen

Tekstur adalah suatu kenampakan yang berhubungan erat dengan ukuran, bentuk butir, dan susunan komponen mineral-mineral penyusunnya. Tekstur sedimen yaitu hubungan bersama antara ukuran butir dalam batuan. Partikel mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar sampai halus. Ukuran butir sedimen sangat penting dalam mengontrol kemampuan sedimen untuk menahan dan mensirkulasi air dan udara. Sirkulasi air melalui ruang pori sedimen adalah penting karena pergerakan air ini dapat memperbaharui suplai oksigen dan suplai makanan serta dapat mencegah kondisi kekeringan bagi makrozoobentos. Ukuran sedimen dapat pula berpengaruh terhadap kandungan bahan organik. Oleh karena itu, karakteristik sedimen mempengaruhi distribusi, morfologi fungsional dan tingkah laku organisme. Karakteristik sedimen dapat pula menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses produksi lamun. Sedimen yang memiliki


(40)

ukuran butiran lebih kecil (liat/lumpur) umumnya mampu menyimpan nutrien lebih besar dibanding pasir/campuran pasir lumpur.

2.3.10 Pasang Surut

Pasang surut dapat berpengaruh terhadap proses produksi bahan organik lamun melalui fotosintesis. Pada saat surut, lamun yang ada di perairan dangkal akan terekspos, sehingga daun yang ada di permukaan air akan terpapar cahaya dengan intensitas yang tinggi, kemudian daun tersebut dapat mengalami kekeringan/terbakar. Selain itu, pada saat surut sebagian besar daun akan terlipat, sehingga tidak memungkinkan berlangsungnya proses fotosintesis secara maksimal.

Pengaruh pasang surut terhadap organisme di daerah intertidal yakni, lamanya terkena udara terbuka ketika surut dapat menyebabkan kemungkinan organisme mengalami kekeringan (kehilangan air), dan dapat mengakibatkan irama tertentu dalam kegiatan organisme misalnya mencari makan, memijah dan kegiatan lainnya.

2.3.11 Kecepatan Arus

Kecepatan arus dapat berpengaruh terhadap tipe sedimen suatu perairan, sehingga dapat mempengaruhi aktivitas makrozoobentos yang ada. Arus yang kuat menunjukkan sedimen batu atau kerikil dan pasir, sedangkan arus yang lemah menunjukkan dasar lumpur atau tanah organik. Arus dapat pula berpengaruh besar terhadap tekanan parsial oksigen di lamun, sehingga

memegang peranan penting pada daerah yang kondisi oksigennya rendah di kolom air (Binzer 2005). Kecepatan arus dapat pula mempengaruhi fotosintesis

dan penyerapan nutrien di sekitar padang lamun (Abdelrhman 2003). Albeson dan Danny (1997) menambahkan bahwa kecepatan arus dapat mempengaruhi sukses tidaknya propagul dan larva menetap.

Kecepatan arus dan ukuran partikel sedimen mempengaruhi kemampuan lamun dalam memerangkap dan mengendapkan partikel-partikel tersuspensi. Menurut van Duin et al. (2001), bahwa partikel pasir dapat mengendap pada


(41)

kecepatan <0,20 m/s, sedangkan partikel kerikil mengendap pada kecepatan yang lebih tinggi yaitu <1 m/s, lanau dan lempung hanya akan mengendap jika kecepatan arus sangat rendah.

2.3.12 Kedalaman Perairan

Kedalaman mempengaruhi sebaran lamun dan makrozoobentos di perairan. Lamun dapat hidup sampai kedalaman dimana sinar matahari cukup untuk membantu melakukan proses fotosintesis. Kedalaman berpengaruh terhadap pengadukan massa air dan proses sedimentasi, kemudian proses sedimentasi akan mempengaruhi karakteristik serta kandungan bahan organik pada substrat atau

sedimen sebagai habitat makrozoobentos. Oleh karena itu, sebaran

makrozoobentos dipengaruhi juga oleh kedalaman suatu perairan.

Kedalaman perairan mempunyai hubungan yang erat dengan stratifikasi suhu secara vertikal, penetrasi cahaya, densitas dan kandungan oksigen terlarutt serta zat-zat hara. Karakteristik kimia fisika perairan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman biota dalam suatu perairan (Nontji 2002).


(42)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan April 2010, lokasi pengambilan sampel di perairan Pulau Barrang Lompo Makassar. Analisis sampel di Laboratorium Oseanografi Kimia dan Laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Gambar 6 Lokasi penelitian dan titik sampling pada stasiun Tenggara dan Timur Laut di Pulau Barrang Lompo (Sumber: Citra Satelit Landsat 2009).

c c c c Î # Y # Y # Y # Y # Y B 1 B 2 B 3 B 4 B 5 # Y # Y #

Y Y#

P . S ul a w e s i

L o k a s i P e n e li t ia n

M a k a s s a r Ke n d a r i

G o r o n t a lo M a n a do

Pa lu

S t . T e n g g a r a S t . T im u r L a u t

P . B a r a n g l o m p o

A C

D B

D 1 D 2

C 1 C 2

# Y # Y # Y # Y # Y A 1 A 2 A 3 A 4 A 5

S u m b e r P e t a :

C i t ra S a t e lit L a n d s a t E T M + 7 T a h u n 2 0 0 9

T u t u p an S u b s t r a t : K ar a n g H id u p La m u n P as ir

R u b b e r/ K a ra n g M a t i G a ris P a nt a i P em u k i m an

Î D e rm a g a

5 ° 3 '1 5 " 5 ° 3 '0 0 " 5 ° 2 '4 5 " 5 ° 2 '3 0 " 5 ° 3 '1 5 " 5 ° 3 '0 0 " 5 ° 2 '4 5 " 5 ° 2 '3 0 "

1 1 9°1 9 '1 5 " 1 1 9°1 9 '3 0 " 1 1 9°1 9 '4 5 " 1 1 9°2 0 '0 0 "

1 1 9°1 9 '1 5 " 1 1 9°1 9 '3 0 " 1 1 9°1 9 '4 5 " 1 1 9°2 0 '0 0 "

N


(43)

3.2 Alat, Bahan, dan Metode Analisis

Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1 Alat, bahan, dan metode analisis yang digunakan

Parameter Alat/Bahan/Metode analisis Ket

a Lapangan

- Sampel makrozoobentos Ekman grab (20x20 cm), sieve net (1 mm), alkohol 70%, coolbox, lup, mikroskop, buku identifikasi

In situ

- Sampel lamun Transek kuadran (50x50 cm), rool meter

In situ - Sampel air laut Botol sampel In situ - Sampel sedimen Corer (10 cm), kantong sampel In situ - Kecepatan dan arah arus Floating dredge, kompas, stop

watch

In situ

- Kedalaman Palem skala In situ

- Pasang surut Tiang pasang surut In situ - Partikel tersuspensi Pipa paralon (5 inci) In situ b Laboratorium

- Kimia dan fisika air

- BOT (mg/l) Titrimetrik Lab

- Ortofosfat (mg/l) Spektrofotometer Lab - Nitrat (mg/l) Spektrofotometer Lab - Salinitas (o/oo) Refractometer In situ

- pH pH meter (Hanna Instrument) Lab

- Suhu (oC) Termometer In situ

- TSS (mg/l) Gravimetrik Lab - Oksigen Terlarut (mg/l) DO meter In situ - Kimia dan fisika substrat

- TOC (%) Titrimetrik Lab

- BOT (%) Titrimetrik Lab

- Nitrat (mg/l) Spektrofotometer Lab - Ortofosfat (mg/l) Spektrofotometer Lab

- pH pH meter Lab


(44)

3.3 Pengambilan Data

3.3.1 Observasi Lapangan dan Penentuan Stasiun

Observasi lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi umum daerah penelitian. Penempatan stasiun berdasarkan keberadaan lamun, dimana waktu surut air laut terendah, lamun masih terendam minimal 50 cm. Dari hasil observasi lapangan diperoleh 2 stasiun yaitu di sebelah Tenggara dan Timur Laut.

3.3.2 Sampel Air, Sedimen, dan Makrozoobentos

Pengambilan sampel air laut menggunakan botol sampel di kedalaman sekitar 20 cm di bawah permukaan air laut. Sampel air dimasukkan dalam coolbox

dan dianalisis ke laboratorium. Pengambilan sampel dilakukan waktu surut di masing-masing stasiun. Parameter yang diukur terdiri atas suhu, salinitas, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi (TSS), total bahan organik (BOT), nitrat, ortofosfat, dan pH. Parameter lingkungan yang diukur terdiri atas pasang surut, kecepatan dan arah arus, serta kedalaman perairan.

Pengambilan sampel di substrat menggunakan corer yang berdiameter 10 cm. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam

coolbox, kemudian dibawa ke laboratorium. Parameter yang diukur terdiri atas pH, C-Organik, BOT, nitrat, ortofosfat, dan tekstur sedimen. Selanjutnya, pengambilan sampel untuk partikel tersuspensi yang terperangkap dalam sedimen trap dilakukan sebulan sekali selama 3 bulan. Parameter yang diukur terdiri atas berat sedimen, nitrat dan ortofosfat.

Pengambilan sampel makrozoobentos menggunakan ekman grab bukaan

20x20 cm pada saat surut terendah. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan pada saat surut terendah. Sampel yang telah diambil, kemudian disaring dengan menggunakan sieve net berukuran 1 mm. Organisme makrozoobentos yang tersaring dimasukkan ke dalam kantong sampel, kemudian diberi pengawet alkohol 70%. Identifikasi makrozoobentos secara langsung di lapangan dengan bantuan lup. Sampel yang sulit diidentifikasi, dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengidentifikasian makrozoobentos ini berdasarkan petunjuk Abbot (1991); Dance (1977); Dharma (1988, 1992); Roberts et al. (1982).


(45)

3.4 Analisis Data

3.4.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun

Persentase komposisi jenis yaitu persentase jumlah individu suatu jenis lamun terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Nilainya dihitung dengan rumus sebagai berikut (Brower et al. 1990):

P = Ni x 100% N

Dimana : P : Persentase setiap lamun (%) Ni : Jumlah setiap spesies i N : Jumlah total seluruh spesies

3.4.2 Kerapatan Jenis Lamun

Kerapatan jenis yaitu jumlah individu lamun (tegakan) per satuan luas. Kerapatan lamun dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Brower et al.

1990):

D = ∑ ni A

Dimana: D : Kerapatan jenis (tegakan/m2) ni : Jumlah tegakan spesies i (tegakan) A : Luas transek kuadran (m2)

3.4.3 Persen Penutupan Lamun

Penutupan lamun merupakan luasan area yang ditutupi oleh lamun. Persen penutupan lamun dapat dihitung dengan menggunakan metode Saito dan Atobe sebagai berikut (English et al. 1994):

C = ∑ (mi.fi) ∑f

Dimana: C : Persen penutupan lamun (%) mi : Persen nilai tengah kelas ke-i

fi : Frekuensi kemunculan jenis (jumlah sub-transek yang memiliki kelas yang sama untuk spesies ke-i)


(46)

Penentuan kategori persen penutupan lamun dan nilai tengah yaitu mengunakan kategori klasifikasi tutupan lamun seperti pada Tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2 Klasifikasi penutupan lamun (English et al. 1994) Kelas Bagian yang tertutupi

lamun

Persentase yang tertutup (%)

Nilai tengah (%) Mi

5 ½ - semua 50 - 100 75

4 ¼ - ½ 25 - 50 37,5

3 1/8 – 1/4 12,5 - 25 18,75

2 1/16 – 1/8 6,25 – 12,5 9,3

1 < 1/16 < 6,25 3,13

0 Tidak ada 0 0

Nilai persen penutupan total digunakan untuk mengetahui kondisi lamun berdasarkan kriteria yang disajikan dalam Tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3 Kategori persen penutupan total (Brower et al. 1990) Persen penutupan total Kategori

C < 5% Sangat jarang

5% ≤ C < 25% Jarang

25% ≤ C < 50% Sedang

50% ≤ C < 75% Rapat

C ≥ 75% Sangat rapat

3.4.4 Persentase Komposisi Jenis Makrozoobentos

Komposisi spesies makrozoobentos ditentukan oleh setiap individu yang didapat dari masing-masing stasiun disusun dalam tabel (tabulasi), kemudian masing-masing dijumlahkan sesuai dengan banyaknya individu yang didapatkan di lapangan. Komposisi makrozoobentos dinyatakan dalam persen, yaitu sebagai proporsi spesies makrozoobentos dalam kelompok taksonomi (kelas) yang terdapat di setiap stasiun.


(47)

3.4.5 Kelimpahan Makrozoobentos

Kelimpahan didefinisikan sebagai jumlah individu per satuan luas atau volume. Menurut Odum (1993), kelimpahan makrozoobentos biasanya dinyatakan dalam satuan meter persegi. Secara matematis kelimpahan makrozoobentos untuk masing-masing stasiun dihitung sebagai berikut:

D = 10000 a/b

Dimana: D : Kelimpahan individu (individu/m2)

a : Jumlah makrozoobentos yang dihitung (individu) dalam b b : Luas bukaan ekman grab (cm2) (1 m2 = 10.000 cm2)

3.4.6 Indeks Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos

Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologinya, dan akan menyatakan struktur komunitasnya. Keanekaragaman makrozoobentos dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon-Wiener (Odum 1993):

H’ = - ∑ Pi ln Pi ; Pi= ni/N Dimana : H’ : Indeks keanekaragaman jenis Pi : ni/N (Proporsi spesies ke-i)

ni : Jumlah individu jenis N : Jumlah total individu

Semakin besar nilai indeks keanekaragaman maka semakin tinggi keanekaragaman jenisnya, berarti komunitas biota di perairan tersebut makin beragam dan tidak didominansi oleh satu atau dua jenis.

3.4.7 Keseragaman Jenis Makrozoobentos

Indeks keseragaman menggambarkan keseimbangan penyebaran spesies dalam suatu komunitas. Indeks ini dihitung dengan rumus Indeks Evennes (Odum 1993) sebagai berikut:

E = H’/ln S

Dimana : E : Indeks keseragaman jenis H’: Indeks keanekaragaman jenis S : Jumlah jenis organisme


(48)

Semakin kecil nilai indeks keseragaman jenis menunjukkan bahwa jumlah jenis antar spesies tidak menyebar merata, dan sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, berarti jumlah antar spesies semakin menyebar merata.

3.4.8 Dominasi Jenis Makrozoobentos

Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan indeks persamaan Simpson (C). Persamaan indeks dominasi Simpson digunakan untuk mengetahui spesies-spesies tertentu yang mendominasi komunitas (Odum 1993), sebagai berikut:

2

N ni C

Dimana : C : Indeks dominansi

ni : Jumlah individu setiap jenis N : Jumlah total individu

Nilai indeks dominansi mempunyai kisaran antara 0-1. Indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi. Semakin mendekati nilai 1 berarti semakin tinggi tingkat dominansi oleh spesies tertentu.

3.4.9 Pola Sebaran Makrozoobentos

Pola sebaran individu makrozoobentos diketahui dengan menggunakan Indeks Dispersi Morisita (Brower et al.1990) sebagai berikut:

X X

X X

n Id

2 2

Dimana : Id : Indeks Dispersi Morisita

n : Jumlah ulangan pengambilan sampel

∑X : Total dari jumlah individu suatu organisme dalam kuadrat (X1 + X2+ …)

∑X2 : Total dari kuadrat jumlah individu suatu organisme dalam kuadrat (X12 + X22 +…)


(49)

Pola dispersi makrozoobentos ditentukan dengan menggunakan kriteria seperti yang tersaji dalam Tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4 Kategori indeks dispersi

Pola Sebaran (Id) Kategori

Id < 1 Seragam

Id = 1 Acak

Id > 1 Mengelompok

3.5 Analisis Statistik

Data yang diperoleh dikelompokkan menurut stasiun dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan dengan lamun, bahan organik dan kelimpahan makrozoobentos menggunakan analisis komponen utama (principal component analysis, PCA). Analisis komponen utama berguna untuk mereduksi data, sehingga lebih mudah untuk menginterpretasikan data-data tersebut.


(1)

Lampiran 8. (Lanjutan data kelimpahan makrozoobentos)

No Spesies

Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2)

Stasiun Tenggara Stasiun Timur Laut

Tot

Lamun Tanpa

lamun Lamun

Tanpa lamun A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2

Ekhinoidae

51 Diadematidae

Diadema setosum 26 34 8,5 8,5 8,5 8,5 93,5

52 Dendrasteridae

Dendraster excentricus 17 17

Total 43 34 8,5 8,5 8,5 8,5 111

Jumlah spesies 2 1 1 1 1 1 7

Krustasea

53 Geneplacidae

Carcinoplax sp 17 26 8,5 51

Total 17 26 8,5 51

Jumlah spesies 1 1 1 3

No Spesies

Kelimpahan makrozoobentos (ind/m2)

Stasiun Tenggara Stasiun Timur Laut

Tot

Lamun Tanpa

lamun Lamun

Tanpa lamun A1 A2 A3 A4 A5 C1 C2 B1 B2 B3 B4 B5 D1 D2

Total keseluruhan 944 646 493 561 375 111 94 450,5 306 519 442 459 85 111 5698

Jumlah total spesies 51 46 36 45 35 12 10 32 28 45 36 49 9 11 113


(2)

Lampiran 9 Data klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian

Kingdom Filum Klas Ordo Famili Genus Spesies

Animal Moluska

Bivalvia

Veneroida

Veneridae

Dosinia

Dosinia derupta Dosinia fibula Dosinia variegata Dosinia victorie Dosinia juvenilis

Placamen Placamen tiara

Placamen calophyllum

Pitar Pitar alabastrum

Pitar (Pitirina) citrinus Calista

Calista (Costacallista) erycina

Lucinidae Condakia Codakia punctata Condakia tigerina

Tellinidae Tellina

Tellina radiata Tellina remies Tellina timorensis Tellina (Laciolina) timorensis Fimbriidae Fimbria Fimbria fimrbiata

Fimbria sowerbyil Carciidae

Fragum Fragum tinedo

Trachycardium

Trachycardium subrugosum Vasticardium

Vasticardium subrugosum Pholadomyoida

Veneridae Lioconcha Lioconcha ornata Chamida Timoclea Timoclea marica Ostreoida Spondlidae

Spondylus

Spondylus multimuricatus Ostreoidae Pectinidae Chlamys Chlayms cloacata

Chlayms albolineata Anomioidea Anomiidae Enigmonia Enigmonia aenigmatica Modulidae Mytilidae Modulus Modiolus micropterus

Gastropoda

Archaeogastrophoda

Fissurellidae Diodora

Diodora sieboldii Diodora sp Diodora lincolnensis Cirridae

Trochus Truchus historio

Trochidae Trochus sp Turbinidae Astraea Astraea rhodostoma

Nerita Nerita insculpta

Neogastropoda Conidae Conus

Conus terebra Conus (Asprella) sulcatus Conus monile Conus coffaea Conus sp Conus magus Conus caracteristicus


(3)

Lampiran 9 (Lanjutan klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian)

Kingdom Filum Klas Ordo Famili Genus Spesies

Animal Moluska Gastropoda

Neogastropoda

Nassariidae Nassaria

Nassarius (Zeunis) complus

Nassarius (Niotha) sp

Nassarius sp

Buccinidae

Phos Phos roseatus

Gari Pisania ignea

Euthria Euthria sp

Nassaria Nassarius pusilla

Costellariidae Vexillum

Vexillum exasperatum Vexillum lyratum Vexillum acupictum Vexillum pacifitum

Olividae

Terebra Terebra babylonia

Terebra sp

Oliva Oliva tersselata

Oliva-oliva Volutidae Melo Melo-melo

Neotaenioglossa

Coralliophilidae Coralliophila

Coralliophora solutistoma

Mitridae

Mitra

Mitra pelliserpentis pellisertentis Mitra doliolum Mitra tabaluna Mitra proscissa Mitra fraga Mitra litterata Domiporta Domiporta filaris Domiporta

praestantissima Columbellidae Euplica Euplica varians Muricidae Maculorithon

Maculotriton serriale

Orania Orania walkeri

Triphoridae

Inifloris Inifloris lifuana

Viriola Viriola sp

Crossopoma Crossopoma nieli Naticidae Natica Natica sp Strombidae Strombus Strombus sp Rissoidae Rissoina Rissoina bruguerei Eulimidae Eulima Eulima porita

Melanella

Melanella teinostoma Epitoniidae Epitonium

Epitonium aculaetum Littorinidae Littoraria

Littoraria intermedia Ariophantidae Xesta Xesta tomiana Cypraeidae Cyprae Cypreas aseilus


(4)

Lampiran 9 (Lanjutan klasifikasi makrozoobentos di lokasi penelitian)

Kingdom Filum Klas Ordo Famili Genus Spesies

Animal Moluska Gastropoda Neotaenioglossa Cerithiidae Cerithium Cerithium balteatum Cerithium salebrosum Cerithium lifuense Cerithium alveolum Rhinoclavis Rhinoclavis vertagus Rhinoclavis aspera Potamididae Cerithidae

Cerithidae cingulata

Naticidae Polinices

Polinices sebae Polinices (Neverito) peselephati Polinices mammila Triphoridae Triphora

Triphora perversa Triviidae Trivia Trivia oryza Cephalaspidae

Hamineidae Atys Atys cylindricus Atys naucum Ringiculidae Ringicula

Ringicula semistriata Heterostropha

Acteonidae Pupa Pupa solidula Pyramidellidae Pyramidella Pyramidella sp

Turbo Turbo coomansi

Stylommatophora Subulinidae Paropeas Paropeas sp Pulmonata Siphonariidae Siphonaria

Siphonaria javanica Vetigastropoda Haliotidae Haliotis Haliotis sp

Skaphopoda Dentaliida

Dentaliidae Dentalium

Dentallium inaequicostatum Dentallium longitosum Laevidentaliidae Laevidentalim

Laevidentalim philippinarum Anelida Polikhaeta Aciculata Nereidae Nereis

Nereis diversicolor

Ekhinodermata Asteroidae

Valvatida Ophidiasteridae Linckia

Linckia laevigata Forcipulatida Asteriidae Asterias Asterias astrubs

Ekhinoidae

Cidaroidea Diadematidae Diadema

Diadema setosum Clypeasteroida Dendrasteridae Dendraster

Dendraster excentricus Krustasea Malakostraka Decapoda Geneplacidae Carcinoplax Carcinoplax sp


(5)

Lampiran 10 Grafik pasang surut perairan Pulau Barrang Lompo bulan Februari, Maret dan April 2010

0

1

2

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

P

as

ang

s

ur

ut

Bulan Februari 2010

0

0.5

1

1.5

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

P

asang

surut

Bulan Maret 2010

0

0.5

1

1.5

1

2

3

4

5

6

7

8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

P

asang

suru

t

Bulan April 2010


(6)

Lampiran 11 Hasil Analisis Komponen Utama

A Semi Matriks Korelasi

Variables

KM

KL

PP

PA

DE

LI

BO

CO

NI

OF

PH

KM

1

KL

0,717

1

PP

0,602

0,933

1

PA

-0,326

-0,099

-0,053

1

DE

0,303

0,590

0,644

-0,190

1

LI

0,169

-0,191

-0,262

-0,879

-0,302

1

BO

0,839

0,876

0,826

-0,422

0,649

0,094

1

CO

0,666

0,957

0,912

-0,150

0,567

-0,130

0,891

1

NI

0,824

0,658

0,635

-0,081

0,172

-0,005

0,687 0,678

1

OF

0,777

0,658

0,603

-0,176

0,174

0,086

0,657 0,685 0,944

1

PH

0,459

0,385

0,271

0,227

0,187

-0,311

0,392 0,395 0,340 0,151

1

B Akar penciri dan Persen Ragam pada dua sumbu utama (F1-F2)

s

F1

F2

Akar ciri

6,098

2,169

Ragam (%)

55,435

19,716