4.3.2 Aktivitas Budaya
Masyarakat Trusmi merupakan suatu masyarakat di Kabupaten Cirebon yang juga memiliki upacara ritual dengan spirit Islam. Berbagai selametan masih
tetap dilakukan oleh penduduk Trusmi dengan sungguh-sungguh. Mengingkari selametan
bagi mereka adalah pengingkaran terhadap leluhur dan itu berarti akan terkena “bendu”. Melakukan berbagai selametan dengan berbgai ketentuan yang
telah ditetapkan saat dan terbentuknya akan semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai wong Trusmi.
Beberapa ritual yang dilakukan masyarakat Trusmi dibedakan berdasarkan ritual tentang hari besar Islam, ritual tentang siklus diri manusia, dan upacara yang
bersifat penghormatan terhadap alam. Ritual tentang hari besar Islam seperti Tradisi Muludan, Tradisi Ruwahan dan Selametan Puasa, Tradisi Syawalan,
Tradisi Saparan, dan Tradisi Suroan. Ritual tentang siklus diri manusia seperti Selametan
Seputar Kehidupan dan Kematian. Upacara yang bersifat penghormatan terhadap alam seperti Memayu dan Ganti Sirap.
Berikut adalah penjelasan ritual-ritual yang berlangsung di masyarakat Trusmi:
1. Tradisi Muludan Muludan adalah sebuah istilah masyarakat Cirebon untuk memperingati
Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai hari lahirnya. Muludan di kawasan ini merupakan rangkaian acara yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan dan
Kanoman Cirebon untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Pertama, muludan dilakukan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Acara
ini berlangsung selama satu minggu. Acara berupa pasar malam yang diadakan di sekitar Keraton Kasepuhan dengan malam puncak yang terjadi pada malam
tanggal 12 bulan Maulud disebut dengan Panjang Jimat. Panjang Jimat adalah acara arak-arakkan yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Kasepuhan. Panjang
Jimat berisi segala macam barang yang berada di Museum Keraton Kasepuhan dan terdapat sego kuning yang berukuran besar. Menurut masyarakat setempat,
cara pembuatan sego kuning tersebut harus dengan perempuan yang masih gadis perawan sunti tidak boleh perempuan yang sudah menikah. Pembuatannya pun
dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikarenakan membuka biji padinya harus menggunakan tangan dengan cara dibuka satu-satu tidak boleh menggunakan
mesin. Untuk barang-barang dari Museum Keraton sebelum diarak harus dibersihkan terlebih dahulu oleh air yang sudah diberi do’a oleh abdi dalem.
Menurut masyarakat setempat, air sisa dari membersihkan barang-barang mempunyai khasiat untuk kesehatan dan kebaikan bagi yang mengambilnya.
Banyak masyarakat yang menunggu air sisa dari membersihkan barang tersebut dan sego kuning. Prosesi Panjang Jimat berlangsung dari Keraton terus bergerak
menuju Langgar Agung di kompleks Keraton Kasepuhan yang diakhiri dengan pembacaan Kitab Barzanji.
Kedua, setelah di Keraton Kasepuhan dan Kanoman muludan di laksanakan di Desa Kajengan, Klangenan dengan puncak tanggal 15 Maulud
selama 3 hari. Ketiga, di Desa Tuk, Kecamatan Cirebon Barat dengan puncaknya pada tanggal 19 Maulud. Keempat, di Desa Gegesik pada tanggal 21 Maulud.
Kelima, acara muludan ini terjadi di Desa Trusmi tepatnya di Situs Keramat Buyut Trusmi dengan puncaknya pada tanggal 25 Maulud. Peringatan Maulud
Nabi Muhammad di Trusmi hampir sama dengan peringatan yang diadakan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Terdapat pasar malam dan hiburan rakyat yang
dilaksanakan dari pagi hingga malam Gambar 36. Pasar malam ini berlangsung dari perempatan Plered Desa Weru Lor hingga pertigaan Desa Panembahan
Gambar 37.
Gambar 36 Suasana di pasar malam
57
Pasar malam ini berlangsung selama satu minggu setelah pasar malam di Keraton Kasepuhan bubar. Para pengunjung yang berasal dari masyarakat Trusmi
dan sekitarnya memanfaatkan pasar malam ini dari sekedar menikmati keramaian pasar malam hingga membeli berbagai macam kebutuhan dengan harga yang
lebih murah dibandingkan dengan harga di hari biasa. Para pedagang memanfaatkan halaman kosong di depan galeri batik. Banyak galeri batik yang
tertutup oleh pedagang kaki lima selama pasar malam berlangsung. Pemanfaatan waktu pasar malam berbeda dengan pengunjung yang berasal dari luar daerah,
seperti Indramayu, Majalengka, Subang, Karawang, Kapetakan, Bondet, dan lainnya. Kehadiran para pengunjung tersebut biasanya untuk mengharapkan
berkah dari Situs Keramat Ki Buyut Trusmi. Para pengunjung biasanya singgah terlebih dahulu di rumah Kunci atau Kiyai, baru kemudian berziarah ke makam Ki
Buyut Trusmi. Selain berziarah, berdo’a dan melakukan tahlil di makam Keramat Ki
Buyut Trusmi, pengunjung juga seringkali melakukan ritual lain seperti mandi di sumur atau di kolam Pekuloan seperti pada Gambar 38. Sepulang dari ziarah
pengunjung berebut oleh-oleh bawaan semacam “jimat” Gambar 39 di samping membawa beberapa botol air yang diyakini memiliki berkah tertentu dan juga
sebagian lainnya ada yang membawa oleh-oleh berupa batik khas Trusmi. Oleh- oleh yang diyakini memiliki berkah adalah minyak jelantah, abu, gabah, dan
batang daun kelapa lidi. Benda-benda ini diperoleh dari sisa kegiatan yang telah berlangsung di kompleks masjid Trusmi.
Gambar 38 Pengunjung yang menceburkan dirinya di Pekuloan
Gambar 39 Berbagai macam “jimat”
Minyak jelantah adalah minyak yang merupakan sisa lampu-lampu tradisional yang dinyalakan setiap malam di komplek masjid Trusmi. Begitu juga
dengan abu adalah sisa pembakaran untuk pemenuhan kebutuhan kegiatan di kompleks masjid. Oleh sebagian orang benda-benda ini diyakini bertuah. Selain
minyak benda-benda itu akan digunakan untuk ikhtiar pada saat menyemai bibit padi di sawah. Gabah dan abu disatukan dengan bibit padi lalu disemaikan
bersama, sedangkan lima batang lidi ditancapkan di sudut-sudut petak sawah. Harapan dan keyakian akan meningkatkan penghasilan dalam bertani.
Menurut Bapak H.Ahmad, pemilihan tanggal 25 Maulud diadakan peringatan ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW merupakan nabi yang ke-25.
Para Kunci, Kiyai, Merbot, dan Kaum diwajibkan membuat berkat pontang untuk selametan
. Selain nasi dan masakan ikan yang bermacam-macam, juga terdapat juwadah
yang diletakkkan pada pontang wadah terbuat dari anyaman sederhana daun kelapa.
Pada malam puncaknya tanggal 25 Maulud terdapat acara seperti Panjang Jimat yang dilaksanakan di Keraton Kasepuhan. Namun, di Trusmi ini acara
tersebut dinamakan Panggung Jimat. Dinamakan Panggung Jimat karena yang diarak adalah 2 panggung yang diusung oleh orang-orang dari komplek Ki Buyut
Trusmi. Arak-arakkan ini dimulai dari rumah Bapak H. Ahmad dan berakhir di komplek Situs Keramat Ki Buyut Trusmi Gambar 40. Panggung 1 Gambar 41
a berisi sego tumpeng sego salam nasi mulya. Sego tumpeng sego salam nasi mulya adalah nasi yang hanya diberi salam dan garam. Tempat pembuatan
60
nasi ini adalah di rumah Bapak H. Ahmad. Panggung kedua Gambar 41 b berisi Kitab Barzanji untuk dibacakan di Masjid Kompleks Situs Keramat Ki Buyut
Trusmi. Awal mulanya perayaan Muludan ini hanya berziarah. Namun, seiring perkembangan zaman acara Muludan berkembang menjadi perayaaan pasar
malam sebelum malam puncaknya.
a Panggung Jimat 1 ; b Panggung Jimat 2 Gambar 41 Panggung Jimat
2. Tradisi Ruwahan dan Selametan Puasa Bulan Ruwah adalah satu bulan menjelang datangnya bulan Ramadhan
bulan puasa. Masyarakat Trusmi melakukan Selametan Ruwahan dalam bentuk bersedekah makanan ketan putih yang di atasnya diberi kelapa. Tujuan dari
selametan ini adalah untuk lebih mengikat hubungan iketan, Jawa Cerbon
dengan sesama. Hubungan ketan dengan “iketan” adalah arti dari kata ketan yaitu sejenis nasi yang cenderung kenyal dan lengket.
Pada bulan puasa setiap malamnya ada berkat caratan, yaitu berkat yang dibuat oleh orang dalam masjid secara bergantian. Caratan artinya penunjukkan
secara bergantian. Bentuk dari berkat ini adalah makanan berbuka puasa. Malam tanggal ganjil setelah tanggal 20 bulan puasa, para petugas dan parat termausk
kepala desa membuat berkat maleman. Bentuknya adalah nasi dan lauk pauk serta kue atau buah seadanya.
3. Tradisi Syawalan Tradisi Syawalan bagi masyarakat Cirebon merupakan hari raya ke dua
setelah Idul Fitri. Mereka menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal biasanya berturut-turut setelah Idul Fitri dan setelah itu mereka berziarah ke Makam Sunan
Gunung Jati dan para leluhur mereka Ki Gede desanya masing-masing, seperti Ki Gede Trusmi bagi masyarakat Desa Trusmi. Pada beberapa desa tradisi ini
dipimpin oleh kepala desanya masing-masing selepas shalat shubuh dengan berjalan kaki dari desanya menuju Astana Gunung Jati.
Para pendahulu Cirebon memberikan anjuran untuk melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal yang pahalanya seperti puasa satahun. Anjuran seperti
ini tampaknya harus terus dilestarikan untuk masa sekarang. Pada masyarakat Trusmi acara Syawalan dilaksanakan dalam bentuk acara tahlilan di masjid
Kompleks Situs Keramat Ki Buyut Trusmi pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Usai tahlilan berkat selametan Syawalan dibagi-bagikan kepada anak-anak.
Berkat ini berbentuk makanan yang terdiri dari nasi dan telur.
4. Tradisi Saparan Tradisi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati bulan Shafar. Bulan
ini diyakini oleh masyarakat Cirebon sebagai bulan yang sering terjadi kecelakaan, bencana, dan kerugian. Oleh karena itu, kemudian di msyarakat
Cirebon mengenal tiga tradisi yang populer pada bulan ini, yaitu ngapem, ngirap, dan rebo wekasan. Tradisi ini lebih banyak berbuat baik, banyak bersedekah, dan
banyak menyucikan diri adalah pangkal dari segala penolak bencana. Ritual ngapem merupakan bentuk ajaran untuk senang bersedekah kepada
fakir miskin seperti wasiat Sunan Gunung Jati, “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”
. Ritual ngapem adalah bersedekah kue apem. Tradisi ngirap merupakan simbolis dari ajaran untuk menyucikan diri. Tradisi rebo wekasan ditandai dengan
malam untuk berbagi harta kekayaan dengan menyantuni fakir miskin. Ada tawurji, doa-doa yang dilantunkan dengan irama tertentu “tawurji tawur selamet
dawa umur”. Masyarakat Trusmi secara umum bagi yang mampu melakukan
Selametan Saparan, yaitu membagi-bagikan kue apem kepada tetangga dan handal
tolan sedulur parek lan sedulur adoh. Kata apem dari kata dalam Bahasa Arab
yaitu afuun yang artinya ampunan. Makna simbolik dari selametan apem adalah sebuah harapan untuk memperoleh pengampunan dari sesama dan Allah SWT.
5. Tradisi Suroan Upacara Suroan di Cirebon ditandai dengan selametan bubur suro, yaitu
bubur yang diracik dari berbagai bahan makanan. Pembuatan bubur seperti ini mengingatkan kepada peristiwa banjir besar yang menimpa umat Nabi Nuh AS.
Di samping itu selametan bubur suro ini dimaksudkan sebagai selametan tahun baru Islam. Bagi masyarakat Cirebon termasuk juga masyarakat Trusmi pada
umumnya melakukan selametan suroan ini juga memperingati peranan Pangeran Walangsungsang mendirikan pedepokan Kebon Pesisir sebagai cikal bakal
Cirebon. Pada malam satu Syuro di Trusmi selalu berlangsung peringatan sekaligus
dengan rembugan tetua desa dan tetua adat untuk membicarakan masalah-masalah yang sedang dan akan dihadapi di tahun depan. Rembugan ini dilaksanakan di
Witana. Bagi masyarakat Trusmi peringatan satu Syuro dianggap sebagai peringatan atas cikal bakal pendukuhan Trusmi. Konon masyarakat Trusmi
meyakini bahwa leluhurnya yakni Ki Buyut Trusmi pada tanggal itu mendirikan Witana dan Pekuloan yang berada di Situs Keramat Ki Buyut Trusmi.
Rembugan ini membahas dua hal, pertama adalah membahas pekerjaan
yang telah dilakukan selama satu tahun yang lalu dan kedua adalah membahas rencana-rencana kegiatan untuk tahun depan, seperti : penentuan jatuhnya
Memayu, Ganti Sirap, dan lainnya. Acara ini dihadiri oleh tokoh masyarakat, sesepuh, Kunci atau Kiyai, mantan Masbok, dan masyarakat yang berminat
menyumbangkan pemikiran. 6. Memayu dan Ganti Sirap
Ritual Memayu adalah mengganti atap bangunan di Situs Keramat Ki Buyut Trusmi yang terbuat welit Gambar 42. Ritual ini dilaksanakan setiap
musim hujan. Perhitungan musim hujan ini berdasarkan Mangsa Jawa Kalender Jawa. Satu tahun yang lalu ritual ini berlangsung di bulan Syawal sedangkan
pada tahun ini diperkirakan berlangsung di bulan Dzulhijjah. Ritual ini di musyawarahkan pada malam 1 Muharram di Witana.
Pada saat yang sama diadakan Ritual Ganti Sirap Gambar 43. Dahulu Ganti Sirap prakteknya diadakan setiap 8 tahun sekali. Namun, sekarang Ganti
Sirap dalam pelaksanaannya setiap 4 tahun sekali dengan melakukannya
setengah-setengah. Melihat gotong-royong masyarakat Trusmi pada acara ini, pengunjung dari luar Trusmi banyak yang ikut membantu.
Gambar 42 Welit
Gambar 43 Sirap
Pengunjung dari luar Trusmi seperti Indramayu sangat tertarik dengan acara ini. Pengunjung berebut atap welit bekas karena diyakini memiliki tuah.
Pengurus Koperasi Batik Budi Tresna mengadakan arak-arakkan yang dimulai dari Masjid Ki Buyut Trusmi menuju Desa Weru, Desa Panembahan, dan berakhir
di alun-alun Trusmi Gambar 44. Arak-arakkan ini selalu dilaksanakan pada hari
65
Minggu pagi. Keesokan harinya barulah dimulai penggantian atap welit bangunan di Komplek Situs Keramat Ki Buyut Trusmi.
7. Selametan Seputar Kehidupan dan Kematian Selametan
seputar kelahiran seseorang bagi masyarakat Trusmi berbentuk selametan
: ngupati, mituingrujaki, nglolosi, puputan, bebersih, nyukur, dan mudun lemo
. Selametan yang berhubungan dengan kematian seseorang berbentuk selametan
: nelung dino, mitung dino, patang puluh dino, nyatus, mendak pisan, mendak pindo,
dan nyewu. Selametan ini berupa pembacaan doa dan pemberian berkat
yang diwadahi pontang yang berisi juwadah, sebungkus nasi, dan sudi. Berkat untuk selametan kehidupan memiliki perbedaan dengan berkat untuk
selametan kematian. Perbedaan terletak di susunan lauk dan masakan pada sudi.
Berkat selametan kehidupan Ikan Petek berhadapan lurus dengan tahu, sedangkan pada berkat untuk selametan kematian Ikan Petek berhadapan lurus dengan
cemplung. Tetangga dan kerabat turut terlibat dalam selametan ini. masyarakat
menyebutnya dengan istilah ngobeng atau rerewang. Orang yang melakukannya disebut pengobeng. Pengobeng di Trusmi memiliki ciri khas tersendiri, baik
pengobeng laki-laki atau pengobeng perempuan. Pengobeng ini memakai lapisan
kain batik dan tidak bersandal. Lapisan kain batik sebagai pelapis pakaian dalam sedangkan tidak bersandal sebagai simbol bahwa pengobeng itu trengginas.
Selametan ngupati yang merupakan selametan tentang kehidupan adalah selametan yang ditujukan kepada ibu hamil yang menginjak usia kehamilan empat
bulan. Selametan ini berupa sedekah ketupat dan pisang raja serta dilengkapi dengan lauk berkuah atau masakan pelengkap lainnya. Ngupati ini dilaksanakan
pada usia kehamilan empat bulan karena pada usia ini mulai ditiupkan ruh dan ditentukannya jodoh, pati, rejeki, dan musibah seseorang. Oleh karena itu,
berharap semua yang diperoleh kelak adalah kebaikan. Ketika usia kehamilan menginjak tujuh bulan maka dilangsungkan selametan mituingrujaki. Selametan
ini dilaksanakan pada hari-hari dengan tanggal 7, 17, atau 27. Waktu pelaksaaan selametan dipilih pada jam 7. Selametan ini diyakini
karena bayi dalam usia 7 bulan di dalam kandungan sudah memiliki bentuk yang
sempurna. Acara ini dimulai dengan pembacaan doa-doa kemudian dilanjutkan dengan memandikan sang ibu dengan air khusus dari tempayan selama tujuh kali
ganti kain panjang batik. Memandikan ini dilakukan di halaman depan rumah di dalam sebuah tempat yang berbentuk joglo sederhana. Setelah itu tempayan yang
berisi air dan perlengkapan lainnya dipecahkan di perempatan jalan. Beberapa anak kecil biasanya mengikuti acara pemecahan tempayan ini karena diikuti
dengan curakan sebagai bentuk shodaqoh dan ungkapan rasa suka cita. Berkat selametan Mitui ini berisi nasi, juwadah, buah, Ikan Petek, makanan, secangkir
rujak buah delima, cermin kecil, jarum, dan benang jahit. Selametan nglolosi dilakukan saat usia kehamilan menginjak bulan ke
delapan. Selametan ini membagi-bagikan bubur lolos abang puti. Bubur lolos adalah bubur yang terbuat dari beras ketan, manis, dikemas ke dalam bentuk
gulungan daun pisang yang sebelumnya diolesi minyak kelapa sehingga saat ingin memakannya licin. Selametan ini dimaksudkan agar dalam proses kelahiran bayi
berlangsung dengan mudah. Beberapa hari setelah puput memutuskan tali pusar, orang tua akan melangsungkan selametan ketan dan serabi abang puti kepada
tetangga terdekat. Selameran bebersih dilakukan setelah 40 hari pasca melahirkan dan diikuti dengan aqiqah bagi yg mampu dan pada sore hari dibacakan
kidungang kidung rararoga. Selametan berikutnya adalah nyukur pisan dan pindo
waktunya tergantung keputusan keluarga. Selametan in berupa pembuatan bubur merah dan bubur putih. Selametan mudun lemo dilakukan pada saat bayi
menginjak umur 9 bulan, seorang bayi mulai boleh menginjak tanah untuk belajar berjalan.Semua ritual yang berada di Trusmi ini penghubung antara dunia dan
akhirat. Ritual ini merupakan ungkapan tertentu yang berhubungan dengan bermacam-macam peristiwa yang penting bagi suatu komunitas dan dapat
berlangsung secara turun-temurun. Tradisi ini memiliki nilai lebih untuk kegiatan wisata. Berbagai tradisi
dapat dijadikan objek wisata yang menarik wisatawan domestik maupun luar kota atau pun luar negeri. Kecenderungan manusia untuk meneliti budaya yang tidak
mereka miliki menjadikan manusia ingin lebih mengetahui budaya tersebut Yoeti, 1985. Tradisi yang berada di kawasan Batik Trusmi yang memiliki
kegiatan yang dapat digunakan sebagai atraksi wisata di kawasan Batik Trusmi
dengan kurun waktu yang ditentukan sesuai tradisi itu berlangsung. Seperti pada Tabel 8 disediakan bahwa tradisi dengan kegiatannya dapat dijadikan sebagai
objek dan atraksi wisata yang berpotensi di kawasan Batik Trusmi.
Tabel 8 Aktivitas budaya kawasan Batik Trusmi
No Upacara Ritual
Aktivitas Budaya 1 Tradisi Muludan
a. Panjang Jimat b. Pasar Malam
2 Tradisi Ruwahan Membagi-bagikan berkat
3 Tradisi Syawalan Selepas sholat shubuh dipimpin kepada Desa Trusmi
ke Astana Gunung Jati 4 Tradisi Saparan
Membuat makanan yang disebut apem 5 Tradisi Suroan
a. Membuat bubur suro b. Memperingati peranan Pangeran Walangsungsang dalam
mendirikan padepokan Kebon Pesisir sebagai cikal bakal Cirebon
c. Adanya 2 musyawarah antara tetua desa 6 Memayu dan Ganti Sirap
a. Pergantian atap di Komplek Situs Keramat Ki Buyut Trusmi b. Arak-arakkan atap welit yang baru
7 Seputar Kehidupan dan a. Seputar Kehidupan : Selametan ngupati, mituingrujaki,
Kematian nglolosi
, puputan, bebersih, nyukur, dan mudun lemo b. Seputar Kematian : Selametan nelung dino, mitung dino,
patang puluh dino, nyatus, mendak pisan, mendak pindo, dan nyewu
Perbedaan waktu yang ditawarkan oleh tradisi ini memang sangat tidak disadari oleh masyarakat di luar kawasan Batik Trusmi. Masih banyak masyarakat
yang tidak mengetahui adanya tradisi tersebut. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah dibuatnya papan interpretasi dimana terdapat informasi tentang keberadaan
tradisi ini. Keberadaan papan interpretasi ini diharapkan dapat memberi pengetahuan lebih dari para pengunjung yang hanya bertujuan membeli batik pada
awalnya. Papan interpretasi ini akan ditempatkan di area selamat datang atau di tempat-tempat yang dapat dilihat pengunjung dengan jelas.
4.3.3 Kesenian