Sejarah Perkembangan Batik di Kawasan Trusmi

mempunyai batik yang sudah agak lusuh. Sunan Gunung Jati meminta Ki Buyut Trusmi untuk pindon kain batiknya yang lusuh. Ki Buyut Trusmi pun menyanggupinya dan mengerjakannya. Ternyata batik yang dibuat oleh Ki Buyut Trusmi sama persis dengan batik yang lusuh milik Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu, di kawasan ini masyarakatnya lebih mengerti tentang batik.

4.1.3 Sejarah Perkembangan Batik di Kawasan Trusmi

Dalam buku Batik Nusantara, secara terminologi, kata batik berasal dari bahasa Jawa, “amba” yang berarti lebar, luas, kain: dan “titik” yang berarti titik atau matik kata kerja membuat titik yang kemudian berkembang menjadi istilah “batik”, yang berarti menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Batik juga mempunyai pengertian segala sesuatu yang berhubungan dengan membuat titik-titik tertentu pada kain mori. Dalam bahasa Jawa, “batik” ditulis dengan “bathik”, mengacu pada huruf “tha” yang menunjukkan bahwa batik adalah rangkaian dari titik-titik yang membentuk gambaran tertentu. Berdasarkan etimologi tersebut, sebenarnya “batik” tidak dapat diartikan sebagai satu atau dua kata, maupun satu padanan kata tanpa penjelasan lebih lanjut. Ada yang mengatakan bahwa batik berasal dari kata “tik” yang terdapat di dalam kata titik, yang berarti juga tetes. Ada juga ahli yang mencari asal kata batik dihubungkan dengan kata tulis atau lukis. Pada tanggal 2 Oktober 2009, badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya UNESCO mengukuhkan batik sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Sejak itulah, tanggal 2 Oktober diperingati sebagai “Hari Batik” di Indonesia. Beberapa alasan yang menyatakan bahwa batik adalah hasil budaya asli Indonesia, adalah sebagai berikut : 1. Teknik dasar batik, yaitu menutup bagian kain tidak berwarna, tidak hanya dikenal di daerah-daerah yang langsung terkena kebudayaan Hindu Jawa dan Bali, tetapi juga dikenal di Toraja, Flores, dan Papua. 2. Pemberian zat warna dengan atau dari bahan-bahan tumbuhan setempat dikenal di seluruh wilayah Nusantara. 3. Penggunaan malam sebagai penutup dalam pembatikan asli dari Indonesia berasal dari Palembang, Sumbawa, dan Timor. 4. Teknik mencelup dengan cairan merah yang dingin beda dengan teknik pencelupan panas yang dilakukan di India. 5. Pola geometris sudah dikenal di seluruh wilayah Nusantara, jauh sebelum terjadi interaksi antara pedagang Nusantara dengan pedagang dari India. 6. Menurut sejarah, batik di Nusantara sudah dikenal dan berkembang pada masa Kerajaan Majapahit di Jawa pada abad XIII. Padahal perkembangan teknik celup di Insia baru mulai abad XVII. Pada masa ini abad XVII, batik Nusantara telah menjadi bagian budaya, baik di kalangan kerajaan maupun rakyat Nusantara. Artinya, jauh sebelum abad tersebut, batik telah hidup dan berkembang subur di wilayah Nusantara dengan adanya Kerajaan Majapahit. 7. Penggunaan batik sebagai busana pada saat itu membuat batik mengalami banyak perkembangan bentuk dan pola. Pola yang ada memiliki perbedaan tersendiri antara batik yang berkembang di keraton dan di luar keraton yang disebut juga batik pesisiran. Selain kedua jenis batik ini, ada juga batik-batik lain yang berkembang dengan bentuk dan pola khas yang berbeda dengan batik keraton atau pesisiran, yang disebut batik pedalaman. Batik telah menjadi bagian keseharian masyarakat Indonesia yang sangat berarti. Batik telah menjadi aset kekayaan Nusantara. Keberadaan batik menjadi sangat penting bagi perkembangan perekonomian di Indonesia. Industri batik di Nusantara telah menampung jutaan tenaga kerja, terutama perempuan dengan industri-industri skala rumah tangga yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Belum terhitung pada jumlah mereka yang menjadi pedagang batik, baik skala kecil, menengah, maupun besar. Kabupaten Cirebon memiliki potensi industri kerajinan batik yang telah dikenal oleh masyarakat luas sejak abad ke-10 Masehi yang merupakan warisan budaya keraton di Cirebon. Pusat pertumbuhan sentra industri kerajinan batik tersebut adalah di Desa Trusmi, Kecamatan Plered, terletak ± 5 km ke arah Barat dari Kota Cirebon. Pada awalnya batik merupakan produk seni, kemudian berkembang lebih luas lagi menjadi produk sandang yang memiliki nilai seni. Di Desa Trusmi terdapat motif batik klasik dan modern yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kategori Keraton dan kategori Pesisiran. Batik pesisiran adalah batik yang umumnya berkembang di Pantai Utara Pulau Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Lasem, Tuban, Gresik, dan Madura. Batik Pesisiran ditandai dengan visualisasi yang lebih dinamis, meriah dengan banyak warna yang sangat ditentukan oleh permintaan pasar. Genre batik ini pada dasarnya adalah batik yang tumbuh dan berkembang dari daerah di luar benteng keraton Motif batik yang dibuat oleh para pengrajin di Trusmi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti lingkungan alam dan keadaan flora dan fauna. Setiap goresan dalam motif batik memiliki makna yang tinggi berupa filosofi- filosofi hidup antara lingkungan dengan masyarakat maupun hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Motif batik Cirebon menunjukkan adanya pengaruh budaya Cina. Hal ini tampak pada bentuk hiasan yang mendatar, seperti lukisan ragam hias khas mega dan wadasan dalam megamendung dan wadasan. Beberapa motif batik klasik yang telah dikenal oleh masyarakat secara luas, baik di dalam maupun di luar negeri antara lain adalah motif Mega Mendung, Wadasan, Gedongan, Liris, Peksi Naga Liman, Cerita Panji, dan Singa Barong Gambar 6. Didesain dengan corak kondisi alam di lingkungan keraton maupun kondisi pesisir pantai, kondisi dua lingkungan yang saling menunjang. Salah satu motif batik yang terkenal di Cirebon adalah batik Mega Mendung. Mega Mendung melambangkan pembawa hujan yang dinanti-nantikan sebagai pembawa kesuburan dan pemberi kehidupan. Motif ini didominasi dengan warna biru, mulai dari biru muda hingga biru tua. Warna biru tua menggambarkan awan gelap yang mengandung air hujan, pemberi penghidupan. Sedangkan biru muda melambangkan semakin cerahnya kehidupan. Batik Trusmi saat ini telah berkembang pesat ke berbagai desa di sekitarnya yang berada di kecamatan Plered, Weru, Tengah Tani bahkan hingga Kecamatan Ciwaringin yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka dan telah menjadi usaha pokok bagi sebagian masyarakat di beberapa desa tersebut. Dengan berkembangnya kerajinan batik di Kabupaten Cirebon, terutama di sentra Trusmi, maka Trusmi pada saat ini dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata industri bagi wisatawan domestik maupun wisatawan dari mancanegara. a Mega Mendung b Peksi Naga Liman c Cerita Panji d Wadasan e Singa Barong f Liris Gambar 6 Motif batik di Cirebon Pewarnaan pada Batik Trusmi awalnya menggunakan pewarna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti dari Pohon Mengkudu untuk warna merah dari buahnya, warna coklat dari batangnya, dan hijau dari daunnya. Pewarnaan alami pada batik ini sudah lama tidak dipakai setelah mengenal pewarna sintetis dan sudah berkurangnya bahan untuk membuat warna alami ini. Menurut Bapak Katura, seorang sejarah dan budayawan batik, pewarnaan alami memiliki beberapa kekurangan, seperti kualitas pewarnaan kurang dan sulit dalam menghasilkan warna yang sesuai dengan permintaan pasar. Oleh karena itu, pewarnaan pada Batik Trusmi sudah menggunakan pewarna sintetis yang disinyalir dapat mengatasi kekurangan pewarna alami, seperti tahan luntur dan warna yang dihasilkan dapat diproduksi kembali serta sesuai dengan permintaan pasar.

4.1.4 Situs Sejarah Kawasan