Kekayaan Seni Budaya Kumpulan Makalah KBI X subtema 3 0 Diplomasi Kebahasaan sebagai Upaya Jati Diri dan Pemartabatan Bangsa

5 Pemasukan kata-kata daerah menjadi istilah nasional merupakan kebanggan bagi penutur bahasa daerah. Mereka merasa bahasa daerah mereka bermakna bagi bangsa Indonesia. Kebanggan itu juga pasti terjadi pada masyarakat Aceh. Dengan adanya bahasa-bahasa daerah Aceh yang menjadi istilah dalam bahasa Indonesia, martabat bahasa Aceh tersa meningkat. Permasalah yang muncul adalah sedikit sekali kata-kata dari bahasa-bahasa daerah Aceh yang sudah dicalonkan diterima menjadi istilah bahasa Indonesia. Dalam KBBI edisi keempat, kata yang diterima menjadi istilah Indonesia yang berasal dari Aceh hanya sekitar 75 kata yang berasal dari bahasa Aceh, 42 dari bahasa Gayo, dan 23 dari bahasa Alas. Dari 1.210 kata yang dicalonkan, hanya 140 kata yang diterima. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan dengan kata yang dicalonkan. Penulis memang sadar bahwa penerimaan istilah tidak sembarangan diterima menjedi istilah bahasa Indonesia. Artinya, harus ada pengkajian yang mendalam dan juga ketelitian yang tinggi dalam analsisisnya. Akan tetapi, ada kata yang kemungkinan tidak menjadi perhatian petugas KBBI sehingga tidak masuk. Contoh, ada kata “seunalin” dalam bahasa Aceh yang artinya hadiah yang diberikan khusus kepada orang yang dihormati. Demikian juga kata “ungus” dalam bahasa Gayo yang artinya “makan tebu” hendaknya masuk karena khusus maknanya. Nah, kata ini seharusnya dapat mengisi istilah bahasa Indonesia karena spesifik. Namun, dengan adanya kata-kata bahasa-bahasa daerah Aceh yang menjadi istilah dalam bahasa Indonesia, martabat bahasa Aceh meningkat sehingga mampu memperkuat jati diri masyarakat Aceh menjadi kuat dan akan bermuara pada penguatan jati diri bangsa Indonesia.

3. Kekayaan Seni Budaya

Di daerah Aceh terdapat beberapa etnik di ataranya Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Jamee, Kluet, Haloban, Julu, Sigulai, dan Devayan. Dalam konteks ini dapat disebutkan setiap suku mempunyai bahasa dan bahasa itu melahirkan seni budaya masing-masing. Bahasa sebagai akar budaya perlu kita lestarikan karena memang dilindungi oleh negara. Hal ini jelas tercermin dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan bahasa daerah sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional perlu dipelihara dan dikembangkan Mahsun, 2003. Selain itu, dalam Politik Bahasa disebutkan bahwa bahasa daerah berfungsi sebagai 1 lambang kebanggan daerah, 2 lambang identitas daerah, 3 alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah, 4 sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, serta 5 pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia Alwi, 2003. Dengan demikian, budaya daerah yang berkembang di Aceh semua mengarah pada budaya nasional. Artinya, seni budaya yang menonjol pada masyarakat akan menjadi budaya nasional. 6 Pengertian kebudayaan dapat dilihat dari pendapat beberapa ahli. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap pengaruh alam dan zaman. Sutan Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar sera keseluruhan hasil budi pekertinya. Takdir Ali Syahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir manusia. Widyosiswoyo, 1996. Dari tiga pendapat ahli terdpat inti yang mengisyaratkan bahwa kebudayaan itu merupakan ciptaan manusia dalam mejalani kehidupan. Jadi, setiap masyarakat menciptakan budaya sesuai dengan pola pikir yang mereka miliki dan didasari pandangan hidup atau filasafat yang mereka anut. Unsur yang ada dalam kebudayaan itu bermacam-macam. C. Kluckhohn mengatakan bahwa kebudayaan universal mengandung tujuh unsur, yaitu sitem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian Widyosiswoyo, 1996. Dari unsur- unsur ini munculah budaya pada masyarakat dan budaya yang lahir itu mungkin saja hanya pada taraf lokal saja. Namun, mungkin saja budaya lokal dari masyarakat bisa mencuat hingga tingkat nasional, dan bahkan sampai pada tingkat internasional. Jika, satu kebudayaan lokal mampu mencuat pada tingkat internasional, budaya itu telah menjadi budaya dunia sehingga martabat budaya tersebut lebih meningkat lagi. Dalam konteks ini, salah satu budaya dari daerah Aceh, tepatnya dari suku Gayo yang mendiami pedalaman Aceh, telah menjadi budaya internasional yaitu tari Saman. Saman adalah kesenian suku Gayo yang sudah turun-temurun dimainkan hanya oleh laki- laki dengan cara duduk berjejer dan menepuk dada dengan gerakan ke kiri dan ke kanan ke depan dan ke belakang dan tepukan tangan serta diiringi dengan sek dan jangin Bahry 2011. Kesenian Saman belum diketahui secara pasti kapan lahirnya. Masyarakat Gayo hanya meyakini dan mengatakan bahwa sejak mereka lahir sudah ada kesenian ini diaminkan oleh pemuda di tanah Gayo. Ada sebuah kisah yang mungkin kebenarannya perlu ditelusuri. Sewaktu Marcopolo dan rombongan singgah di Perlak, dia tidak berani keluar dari tempat penginapan karena ada suara gaduh mungkin dia duga ada orang berkelahi. Namun, penduduk setempat mengatakan tidak perlu takut karena suara gaduh itu adalah suara “orang Gayo” sedang menepuk dada sambil bernyanyi. Setelah itu Marcopolo berani keluar dan melihat pemuda Gayo sedang duduk berjejer sambil menepuk dada dan berdendang. Pada waktu itu tidak disebutkan kesenian apa namanya, namun dapat dipercaya bahwa itu tari Saman yang sekarang karena di daerah Perlak hingga sekarang ada suku Gayo, yakni di daerah Lukup, Kabupaten Aceh Timur. Di daerah ini, sampai sekarang masyarakat Gayo masih mempertahankan saman. Buktinya, pada Pekan Kebudayaan 7 Aceh PKA ke-6 tahun 2013 ini Saman dari Lukup, Aceh Timur, mendapat juara kedua dalam festival tari Saman. Dalam syair saman terdapat nilai budaya dalam hubngan manusia dengan agama, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan dengan diri Bahry, 2005. Nilai yang ada dalam syair Saman minimal menggambarkan pola pikir dari masyarakat Gayo yang tertungkap dalam pelaksanaan Saman. Nilai-nilai tersebut akan diwariskan kepada anak cucu dan menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh kita bersama, terlebih-lebih lagi kesenian ini juga sudah menjadi perhatian dunia. Mungkin saja dunia luar tertarik karena ada susuatu yang dapat dipetik dari budaya tertentu. Misalnya, Saman sangat menarik dari segi sosial karena adanya saman yang diadu antarkampung yang durasinya satu hari satu malam saman serlo sara ingi dan ada dua hari dua malam saman roa lo roa ingi. Dalam kegiatan itu biasanya dijalin persahabatan antarindividu dan jalinan ini berlanjut untuk kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, rasa persatuan dan kesatuan antarmasyarakat erat sekali dalam kesenian Saman. Sejak 24 November 2011 tari Saman telah ditetapkan oleh Unesco sebagai Warisan Dunia Takbenda. Penetapan ini dilakukan Unesco dalam sidangnya di Bali. Dengan penetapan ini, tari Saman merupakan Warisan Dunia Takbenda ke-5 dari enam daftar Warisan Dunia Takbenda dari Indonesia. Warisan Dunia Takbenda dari Indonesia, yaitu Wayang ditetapkan 2003, Kesris ditetapkan 2005, Batik ditetapkan 2009, Angklung ditetapkan 2010, Tari Saman ditetapkan 2011, dan Noken ditetapkan 2012 Wikipedia. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat Indonesia mempunyai kewajiban untuk menjaga budaya bangsa yang telah diakui oleh dunia. Setelah ditetapkan sebagai Warisan Dunia Takbenda, tidak berarti penetapan ini tanpa batas. Kata Arif Rahman BBC, 2011, dalam dokumen Unesco disebutkan setiap empat tahun sekali nanti akan dinilai kembali apakah apa yang diajukan pada empat tahun yang lalu itu konsisten dilakukan atau tidak. Kalau tidak, bisa akhirnya dicoret kembali. Jadi, tari Saman yang sudah bermartabat di mata dunia, mungkin saja akan menjadi biasa-biasa saja jika masyarakat kita lengah dalam memeliharanya. Pada uraian berikut ini akan dijelaskan sedikit tentang Warisan Budaya Takbenda. Pemda Pekalongan 2012 menguraikan bahwa Warisan budaya takbenda meliputi praktik dan ekspresi hidup yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi-tradisi yang hidup terus-menerus diciptakan oleh masyarakat dalam menanggapi lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka. Dimensi budaya ini merupakan hal tepat tentang apa yang membuat budaya menjadi kekuatan untuk dialog, pertukaran dan pengertian antara masyarakat. 8 Menjaga tradisi yang masih hidup akan membantu untuk memanfaatkan kekuatan dari keragaman budaya masyarakat yang lebih kohesif dan dunia yang lebih damai. Selanjutnhya, Direktur Jenderal UNESCO, Irina Bokova, menjelaskan bahwa “warisan budaya tidak berwujud merupakan jembatan kita dari masa lalu ke masa depan. Ini adalah cara kita memahami dunia dan cara kita membentuknya. Ini adalah fondasi kebijaksanaan dan pengetahuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan bagi semua. Warisan budaya takbenda adalah milik berharga dari masyarakat, kelompok dan individu, sehingga perlu untuk menjaga dan menyebarkannya ke generasi yang akan datang Pemda Pekalongan, 2012 Dari kedua kutipan di atas, dapat dilihat betapa perlunya pelestarian buadaya yang dalam masyarakat kita. Tradisi yang masih hidup dapat menjadi kekuatan dalam masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Pada bagian lain Dirjen Unesco bahwa warisan budaya merupakan fondasi kebijaksaaan dan pengetahuan untuk melawujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, kita sepakat bahwa warisan budaya ini perlu dijaga bersama. Permasalahan yang segera diatasi sekarang ini adalah warisan budaya, dalam hal ini Saman, harus disebarluaskan dan dilestarikan. Pihak Unesco mengatakan bahwa penetapan ini kan ditinjau kembali. Jika, ternayata nanti perkembangannya tidak sesuai dengan apa yang diusulkan dalam proposal ke Unesco, penetapan ini akan dicabut kembali. Penulis yakin ini akan menjadi masalah yang besar bagi Saman. Saman yang dikenal sekarang ini, terutama yang berkembang di Jakarta, bukanlah Saman yang diusulkan ke Unesco. Masyarakat Jakarta, terutama di sekolah sudah mengenal tari “Saman” dengan pemainnya perempuan. Padahal, Tari yang diaminkan wanita dengan duduk berderet yang sering disebut “Saman” di Jakarta memang ada di Aceh dan ini berasal dari Aceh Besar. Nama tari tersebut bukan Saman, melainkan MEUSEKAT yang diambil dari nama ulama yang menciptakannya yaitu Ibnu Maskawih. Tari ini dikembangkan oleh Tgk. Di Mata Ie di Aceh Selatan Ishak: 1973. Tari ini juga populer di Aceh Barat dengan nama Ratep Meusekat. Sampai sekarang tari masih ada di Aceh dan sering disebut namanya Tari Ratoh Jaroe. Dengan demikian, jelas bukan Saman, hanya sekolah di Jakarta saja yang menyebutnya tari Saman. Kekeliruan ini sudah begitu meluas bahkan ada beberapa perguruan tinggi bidang seni yang sudah menetapkan “tari Saman” sebagai salah satu mata kuliah, namun materinya bukan Saman, melainkan Meusekat. Begitu juga buku Kurikulum 2013 bidang Bahasa Indonesia Kelas IV dicantumkan foto perempuan untuk tari Saman. Jika kekeluruan ini tidak diluruskan, Saman yang menjadi budaya Gayo akan tidak dikenal sehingga filosofi Saman akan hilang dari masyarakat. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana karena kapan “Saman” Jakarta akan diadu antarkampung dan kapan mereka dapat mengikat rasa sosial dengan menerapkan 9 beserinen? Ini tidak mungkin terjadi karena “Saman” yang di Jakarta hanya untuk hiburan semata tanpa memahami filosifi Saman. Akhirnya harus kita prediksi bahwa tari Saman yang sudah bermartabat di tingkat dunia akan tidak dikenal sehingga jati diri masyarakat pemilik Saman tidak dikenal lagi, padahal Saman sudah dikenal oleh dunia luar. Salah satau solusi untuk pemartabatan Saman adalah dengan cara meluruskan pandangan masyarakat Jakarta, terutama sekolah, yang selama ini menganggap tari yang dibawakan perempuan itu Saman. Tari yang sudah mereka geluti selama ini silakan saja berlangsung, tetapi namanya kembalikan kepada nama asal yaitu tari Meusekat. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu Dinas Pariwisata Aceh dan juga Jakarta membuat pertunjukan tari tradisional seperti yang dilakukan di Yogyakarta. DIY termasuk daerah yang sangat kaya seni pertunjukan tradisional. Kekayaan seni ini dapat dilihat dalam berbagai atraksi yang diselenggarakan Dinas Pariwisata. Tempat pertunjukan seni tradisonal di Yogyakarta ada dua puluh delapan lokasi Sutiyono, 2010. Dengan adanya pertunjukan tradisional ini, masyarakat tau bentuk tari tradisional Indonesia sehingga tidak terjadi kekeliruan yang menyebabkan seni tertentu tidak bermartabat.

4. Kearifan Lokal dalam Kebahasaan dan Kesastraan Aceh