Bahasa Melayu dalam Tradisi Lisan dan Toponim

2 Meng ‐Indonesiakan‐‐Bahasa Melayu, Mengglobalkan Bahasa Indonesia 1 Restu Gunawan 2

A. Bahasa Melayu dalam Tradisi Lisan dan Toponim

Sebelum mulai diskusi ingin saya menyampaikan sebuah kutipan dari pernyataan Soekarno pada tahun yang mengatakan: hendaknya rakyat Marhaen dan kaum bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. endaknya seseorang dari satu pulau dapat berhubungan dengan saudara‐saudaranya di pulau lain dalam bahasa yang sama. Bagi kita yang beranak pinak seperti kelinci untuk menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita harus memiliki satu bahasa persatuan‐bahasa dari ndonesia yang baru. ....ketika aku mengumumkan pemakaian bahasa ndonesia, kami memerlukan satu sebutan yang dapat dipakai secara menyeluruh untuk kalangan tua dan muda, kaya dan miskin, presiden dan rakyat kecil. Di saat itulah kami mengembangkan sebutan Pak atau Bapak, Bu atau bu dan Bung yang berarti Saudara. Selama masa dari zaman revolusi kebudayaan inilah aku mulai dikenal sebagai Bung Karno . Dari kutipan tersebut jelas bahwa dalam memperjuangkan sebuah bangsa yang merdeka, diperlukan alat komunikasi yang sama dan disepakati oleh seluruh pendukungnya. Masalahnya adalah bagaimana bangsa ndonesia yang terdiri dari berbagai bahasa dan etnis dapat membuat kesepakatan bersama, tentu bukan perkara mudah. Bagaimana bahasa ndonesia yang berasal dari bahasa Melayu bisa berproses menjadi alat komunikasi antar bangsa‐bangsa di Nusantara? Tentu peran para petualang dan pedagang yang berdiaspora ke berbagai wilayah sangat besar. al ini dapat ditelusuri dari keberadaan berbagai komunitas Melayu yang ada di ndonesia melalui tradisi lisan dan toponim misalnya. 1 Disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia di Hotel Sahid Jakarta tanggal 28 – 30 Oktober 2013 2 Pegawai di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud dan juga sejarawan, email: restu_gunawanyahoo.com 3 Cindy Adams; Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia; Edisi Revisi; Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2011, hal. 88 3 Ketika kita ke Belu, kawasan paling timur dari Nusa Tenggara Timur ada kisah tentang orang Melaka yang menjadi pendiri kerajaan di wilayah Nusa Tenggara Timur: Dalam sejarah Timor Barat di kenal cerita asal usul pendatang yang berasal dari Malaka yaitu di Belu Selatan dan di Belu Utara. Rombongan dari Malaka, datang secara bergelombang dan berombongan. Rombongan dari Malaka dikenal dengan istilah Sinan Mutin Malaka. Migran dari Malaka membangun beberapa kerajaan di Belu. Di Belu Selatan di kenal kerajaan Wehali yang dalam tradisi dikenal dengan istilah Wesei Wehali. Kerajaan ini merupakan kerajaan terbesar dan terkuat di Timor. Di Belu bagian Utara di kenal kerajaan Lamaknen dan kerajaan Jenilu yang didirikan para migran dari Malaka. Cerita Sinan Mutin Malaka dilansir pertama kali oleh .J. Grijzen, Kontrolir di Belu pada tahun dikutip Parera sebagai berikut: Ada suku hutun rai hat mereka meninggalkan Malaka mencari tempat baru dengan menggunakan perahu layar. Secara berantai mereka berlayar melewati beberapa tempat: Jawa, Bali, Makasar, Larantuka dan akhirnya mendarat di Pantai Selatan, Timor Barat, sampai di Amanatun. Sewaktu mendarat mereka mendaki gunung di pinggir pantai untuk melihat keadaan. Mereka melihat suatu dataran luas yang indah dan hijau dekat pantai. Rombongan suku dari Malaka akhirnya mendarat di Besikama Belu Selatan. Ke‐ suku menempati tempat yang berlainan di dataran tersebut. Tiga suku dari rombongan tersebut memiliki pemimpin, tetapi suku yang ke empat tidak memiliki pemimpin. Rombongan dari Malaka ini membawa berbagai benda pusaka dan anakan pohon. Tiap‐tiap pemimpin menanam salah satu anakan pohon yang dibawa dari Malaka, di depan kediamannya . Rombongan pendatang dari Malaka ini membawa barang pusaka antara lain: tanah, kelewang, meriam, gong, gading dan perhiasan. Selain itu ada kisah rombongan migran lain dari Malaka yang dikenal seorang tokoh bernama Rai Taek Malaka. a kawin dengan seorang putri lokal bernama oar Nai Dahorek. Mereka kemudian melahirkan para raja‐raja di Timor. 4 Munandjar Widyatmika; Makalah Seminar Hubungan Kesejarahan Indonesia – Malaysia disampaikan di Johor tahun 2010; Sinan Mutin Malaka Pendiri Kerajaan Wesei Wehali di Wilayah Belu Selatan, Timor. 4 Cerita lain, bila kita ke Buton maka tradisi lisan di Sulawesi Tenggara akan mengenal cerita Sedjarah Melaju yang bertahun hijriah atau M dikisahkan bahwa raja skandar, anak raja Darab, Rum bangsanja, Makaduniah nama negerinya, Dzu l‐Karnain gelarannya, hendak berjalan ke matahari terbit bertemu dengan kerajaan indi. Rajanya Kida indi menyuruh rakyat menyongsong dan berperang dengan pasukan skandar. Alkisah Raja indi kalah dan masuk slam, skandar dikawinkan dengan anak raja Kida indi, bernama Sjahrul Bariah, beranak Aristun Syah Walad al Malik. Berkahwin dengan puteri dari Raja Turkistan, lahir raja Aftas. Raja Askaniat kemudian menurun raja‐raja sampai pada Tersi Berderas, yang beristerikan anak Raja Sulan di negeri Amdan Negara. Dari perkahwianan itu lahir tiga anak laki‐laki: Raja iran di benua indi , Raja Suran diambil nenenda menjadi raja di Amdan Negara , dan Raja Pandin raja di benua Turkistan . Raja Sulan berkuasa di Amdan Negara yang luas wilayahnya, hanya benua Cina saja yang belum takluk. Dalam upaya untuk menyerang negeri Cina, Raja Suran terlebih dahulu tiba di sebuah negeri bernama Gangga Nagara. Gangga Syah Johan, raja negeri itu dapat dikalahkan setelah diputus kepalanya dengan tebasan parang Raja Suran. Perjalanan diteruskan hingga tiba di negeri Ganggaju. Singkat ceritera anak Raja Suran yang bernama Paldu Tani dijadikan raja di Amdan Negara. Dari sosok Raja Suran sebagaimana kisahnya telah dipaparkan di atas tersebutlah Johor, Tumasek, dan Amdan Negara, yang ada hubungannya dengan ceritera yang masih dikenal dalam tradisi lokal lisan maupun tulisan di Buton. Contoh lain, di Batavia Jakarta , slam dan masjid rupanya telah menjadi salah satu ciri khas dari kampung‐kampung di Jakarta. Untuk itulah ketika Belanda mulai masuk ke Jakarta Batavia banyak menemui masjid yang disebutnya sebagai Gereja Melayu , hal ini setidak‐tidaknya digunakan sampai akhir abad . Begitu juga orang‐orang Melayu, ketika datang ke Jakarta mereka mendirikan masjid untuk menyampaikan syiar‐syiar dan dakwah slam. Orang Melayu mempunyai kedudukan yang tinggi di antara etnis yang lain. Penyebutan wong encik encik= anda merupakan sebutan kehormatan bagi orang Melayu. Selain dalam penyebutan, uang Melayu juga digunakan sebagai 5 Ridwan Saidi; Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta; Jakarta: LSIP, 1994, hal. 210 5 alat tukar misalnya jembatan lima, jembatan tiga dan jembatan dua yang saat ini sudah menjadi nama‐nama kampong di Jakarta, penamaannya berasal dari tarif tol lintas jembatan yang masing‐masing nilainya kepeng dan kepeng. Bahkan mode pakaian Melayu pun sering digunakan etnis lain. Seperti yang dikeluhkan oleh kapten Jawa. Pada tahun misalnya dua orang Kapten Jawa, Naya Gatti dan Suta Wangsa mengeluhkan orang‐orang sesuku mereka yang berpakaian layaknya orang Melayu atau Bali, karena hal itu berarti melepaskan diri dari kekuasaan kedua kapten tersebut. Demikian juga pada kelompok masyarakat Melayu diangkat ketuanya dengan pangkat kapten Melayu. Meskipun berjumlah kecil ada tokoh yang menonjol yaitu Entjik Amat. Entjik Amat berasal dari Phatani Thailand Selatan , ia pulang ke Phatani pada , diganti oleh Entjik Bagus. Entjik Bagus tewas pada perang Banten. Diganti oleh Wan Abdul Bagus . Berdasarkan contoh tersebut, menunjukkan bahwa diaspora orang Melayu ke berbagai penjuru telah berlangsung lama. ni tentu berkaitan dengan tradisi bahari yang mereka lalui. Ketika mereka melakukan migrasi ke berbagai tempat telah menjalani pula tradisi dan penggunaan bahasa sebagai komunikasi. Jadi tidak berlebihan jika Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa pengantar bagi bangsa‐bangsa di Nusantara. Jadi bahasa Melayu selain digunakan sebagai bahasa pengantar telah pula digunakan dalam penulisan karya‐karya sastra, yang beredar di berbagai daerah di Nusantara.

B. Era Pers Berbahasa Melayu: ‘Bangsawan Pikiran’ dan ‘Kaum Muda’