3
substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan berlaku serta menjadi acuan dalam bertingkah laku dalam suatu komunitas Ridwan, 2007.
Upaya penguatan jati diri suatu masyarakat tentu akan bermuara pada penguatan jati diri bangsa. Masyarakat suatu daerah merupakan elemen yang sangat diperlukan dalam setiap
negara sehingga segala sesuatu yang bernilai pada masyarakat tentu juga bernilai bagi negara sebagai suatu lembaga yang lebih besar. Dengan demikian, salah satu usaha penguatan jati diri
bangsa akan dibahas dari sisi pemartabatan bahasa dan budaya daerah serta kearifan lokal. Dalam makalah ini akan dibahas bahasa, kekayaan seni atau budaya, dan kearifan lokal
yang berkembang di Aceh. Pembahasan akan difokuskan pada pemartabatan bahasa dan budaya daerah Aceh sebagai upaya penguatan jati diri bangsa. Apa saja upaya yang sudah dilakukan atau
harus dilakukan agar bahasa di daerah Aceh lebih bermartabat. Selain itu, budaya apa yang menonjol di Aceh yang perlu segera mendapat perhatian oleh pemerintah atau usaha apa yang
sedang atau ditempuh dalam mempertahankan budaya daerah tersebut. Selanjutnya, kerifan lokal apa yang perlu dikedepankan di daerah Aceh agar jati diri orang Aceh dapat dipertahankan dan
dapat dipahami oleh masyarakat lokal, nasional, dan internasional.
2. Bahasa Daerah di Aceh
Bahasa daerah sebenarnya telah mempunyai dasar hukum yang kuat di Indonesia. Dalam penjelasan pasal 32 dan 36 UUD 1945 disebutkan bahwa 1 budaya bangsa adalah buah budinya
seluruh rakyat Indonesia, 2 bahasa-bahasa daerah yang terdapat di seluruh Indonesia termasuk budaya bangsa, dan 3 unsur budaya bangsa tetap dihormati dan dipelihara oleh negara
Anonim, 2002. Akan tetapi, sekarang banyak muncul gejala kurang pedulinya masyarakat terhadap bahasa daerah. Gejala ini juga banyak yang muncul di Aceh. Orang mulai merasa
bahwa lebih bermartabat jika mereka menggunakan bahasa Indonesia di rumah tangga, padahal mereka etnik Aceh. Banyak juga orang sudah mulai merasa martabat meningkat jika
menggunakan bahasa asing. Seharusnya masyarakat sadar akan fungsi bahasa, baik bahasa daerah, bahasa nasional, maupun bahasa asing.
Dendy Sugono 2007 menyatakan bahwa bahasa ibu bahasa daerah menjadi penting karena bahasa itu memiliki peran sebagai sarana pembentukan kepribadian anak-anak bangsa.
Pernyataan ini bermakna bahwa bangsa Indonesia dibentuk pribadinya daerah dan juga sumber munculnya rasa nasional melalui bahasa daerah yang diturunkan dari orang tuanya. Dengan
demikian, dapat dipahami betapa pentingnya bahasa daerah dalam pembentukan karakter anak bangsa. Hal ini memang sudah terbukti dari tokoh-tokoh pemersatu bangsa Indonesia.
4
Selanjutnya, Juti 2000 mengutip pendapat Naisbit yang mengatakan bahwa era globalisasi tidak akan dapat menghapus kehususan suatu bangsa, bahkan justru sebaliknya terjadi yaitu pada
era globalisasi kekhususan akan semakin mengental. Salah satau kekhususan pada bangsa adalah bahasa. Jika kita perhatikan kutipan ini, kita setuju hal ini terjadi jika masyarakat satu bangsa
sadar betul akan makna jati diri bangsanya. Dalam era global kita sebenarnya harus menunjukkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Jika tidak mampu, kita akan akan mejadi
korban era global terebut. Dari pendapat di atas terlihat betapa pentingnya bahasa daerah bagi bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia telah mengakui bahwa bahasa daerah merupakan kebudayaan bangsa Indonesia. Selanjutnya, bahasa daerah lebih terasa penting lagi bila dikaji pembentukan negara
kita yang terdiri atas berbagai suku yang notabene beragam bahasa daerah. Artinya, bahasa daerah masih dipelihara oleh penutur masing-masing, sedangkan sebagai alat perhubungan
antarsuku digunakan bahasa nasional. Salah satu fungsi bahasa daerah adalah sebagai pendukung sastra daerah dan bahasa
Indonesia. Fungsi ini merupakan fungsi yang sangat bermartabat. Artinya, bahasa daerah memang digunakan untuk mendukung sastra daerah, yakni segala yang berkaitan dengan sastra
daerah diungkapkan oleh masyarakat menggunakan bahasa daerah. Jika, ini terus digunakan bahasa daerah tersebut mempunyai martabat yang tinggi di mata penuturnya dan juga di mata
penutur lain. Selanjutnya, bahasa daerah juga dapat mendukung bahasa Indonesia. Hal ini dimungkinkan
terjadi dalam bahasa Indonesia. Pusat Bahasa kini bernama Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa memang mengutamakan konsep yang tidak ada dalam bahasa Indonesia
hendaknya diambil dari bahasa daerah. Tujuannya agar bahasa daerah lebih dekat dengan masyarakat Indonesia dibandingkan dengan bahasa asing. Selain itu, bahasa menjadikan bahasa
daerah bermartabat di negerinya sendiri. Sejak tahun 2006, Pusat Bahasa membuat program pencarian istilah-istilah dari bahasa
daerah yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ini digunakan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Setiap Balai Bahasa dan Kantor Bahasa di Indonesia ditugaskan untuk
menginventaris kata-kata daerah yang akan dicalonkan mperkaya bahahsa Indonesia dan akan dicetak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat. Balai Bahasa Banda Aceh juga
mencari istilah-istilah daerah yang diperkirakan belum ada dalam bahahsa Indonesia. Pada waktu itu telah dikumpulkan kata-kata dari empat bahasa daerah. Bahasa Aceh mencapai 637
kata, bahasa Gayo 387 kata, bahasa Alas 177 kata, dan bahasa Devayan 9 kata Bahry, 2008.
5
Pemasukan kata-kata daerah menjadi istilah nasional merupakan kebanggan bagi penutur bahasa daerah. Mereka merasa bahasa daerah mereka bermakna bagi bangsa Indonesia.
Kebanggan itu juga pasti terjadi pada masyarakat Aceh. Dengan adanya bahasa-bahasa daerah Aceh yang menjadi istilah dalam bahasa Indonesia, martabat bahasa Aceh tersa meningkat.
Permasalah yang muncul adalah sedikit sekali kata-kata dari bahasa-bahasa daerah Aceh yang sudah dicalonkan diterima menjadi istilah bahasa Indonesia. Dalam KBBI edisi keempat,
kata yang diterima menjadi istilah Indonesia yang berasal dari Aceh hanya sekitar 75 kata yang berasal dari bahasa Aceh, 42 dari bahasa Gayo, dan 23 dari bahasa Alas. Dari 1.210 kata yang
dicalonkan, hanya 140 kata yang diterima. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan dengan kata yang dicalonkan. Penulis memang sadar bahwa penerimaan istilah tidak sembarangan diterima
menjedi istilah bahasa Indonesia. Artinya, harus ada pengkajian yang mendalam dan juga ketelitian yang tinggi dalam analsisisnya. Akan tetapi, ada kata yang kemungkinan tidak menjadi
perhatian petugas KBBI sehingga tidak masuk. Contoh, ada kata “seunalin” dalam bahasa Aceh yang artinya hadiah yang diberikan khusus kepada orang yang dihormati. Demikian juga kata
“ungus” dalam bahasa Gayo yang artinya “makan tebu” hendaknya masuk karena khusus maknanya. Nah, kata ini seharusnya dapat mengisi istilah bahasa Indonesia karena spesifik.
Namun, dengan adanya kata-kata bahasa-bahasa daerah Aceh yang menjadi istilah dalam bahasa Indonesia, martabat bahasa Aceh meningkat sehingga mampu memperkuat jati diri masyarakat
Aceh menjadi kuat dan akan bermuara pada penguatan jati diri bangsa Indonesia.
3. Kekayaan Seni Budaya