9
beserinen? Ini tidak mungkin terjadi karena “Saman” yang di Jakarta hanya untuk hiburan semata tanpa memahami filosifi Saman. Akhirnya harus kita prediksi bahwa tari Saman yang
sudah bermartabat di tingkat dunia akan tidak dikenal sehingga jati diri masyarakat pemilik Saman tidak dikenal lagi, padahal Saman sudah dikenal oleh dunia luar.
Salah satau solusi untuk pemartabatan Saman adalah dengan cara meluruskan pandangan masyarakat Jakarta, terutama sekolah, yang selama ini menganggap tari yang dibawakan
perempuan itu Saman. Tari yang sudah mereka geluti selama ini silakan saja berlangsung, tetapi
namanya kembalikan kepada nama asal yaitu tari Meusekat. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu
Dinas Pariwisata Aceh dan juga Jakarta membuat pertunjukan tari tradisional seperti yang dilakukan di Yogyakarta. DIY termasuk daerah yang sangat kaya seni pertunjukan tradisional.
Kekayaan seni ini dapat dilihat dalam berbagai atraksi yang diselenggarakan Dinas Pariwisata. Tempat pertunjukan seni tradisonal di Yogyakarta ada dua puluh delapan lokasi Sutiyono,
2010. Dengan adanya pertunjukan tradisional ini, masyarakat tau bentuk tari tradisional Indonesia sehingga tidak terjadi kekeliruan yang menyebabkan seni tertentu tidak bermartabat.
4. Kearifan Lokal dalam Kebahasaan dan Kesastraan Aceh
Bahasa Aceh BA merupakan salah satu bahasa daerah di Provinsi Aceh. Bahasa ini digunakan secara aktif sebagai sarana komunikasi antarwarga masyarakat Aceh. Sebagaimana
bahasa-bahasa lain di dunia ini, BA mempunyai keunikan-keunikan tertentu. Salah satu keunikannya adalah BA mempunyai khazanah ungkapan yang khas bila dibandingkan dengan
ungkapan bahasa-bahasa lain. Dalam BA, sebagai penguat makna komunikasi tentang suatu konteks sering digunakan
ungkapan, terutama ungkapan-ungkapan yang disandarkan tamsilannya pada berbagai referen, seperti benda-benda, manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang. Ungkapan-ungkapan tersebut
umumnya digunakan untuk mendeskripsikan keadaan, perangai, atau tindakan seseorang yang dipandang positif atau negatif, yang harus diikuti atau dijauhkan. Ungkapan ini sering disebut
Hadih Maja dalam bahasa Aceh. Hadih maja sebenarnya merupakan representasi kristalisasi nilai-nilai sosial budaya orang Aceh yang berkaitan erat dengan nilai-nilai keagamaan. Harun,
2009. Dalam ungkapan BA, penggunaan simbol-simbol verbal yang disandarkan tamsilannya
pada referen benda-benda, manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi dan memperkuat makna suatu konteks. Tanpa menggunakan bentuk-
bentuk tersebut rasanya akan mengurangi kelancaran komunikasi. Sebagai contoh, seseorang yang berbicara mengenai profesional dan proporsional dalam bekerja tidak lupa menambahkan
10
sebuah ungkapan untuk memperkuat tentang apa yang telah dikemukakannya. Ungkapan tersebut adalah, “Geutanyo bèk lagèee bue drop daruet” Artinya, ‘Kita jangan seperti monyet
menangkap belalang’. Maksudnya, dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu orang yang serakah atau tamak terhadap suatu materi. Yang sudah ada belum
sempat ia nikmati, yang lain terus dicari, bahkan dengan cara-cara yang salah. Satu urusan belum sempat ia kerjakan pekerjaan lain ia tangani. Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak
fokus terhadap suatu pekerjaan, banyak pekerjaan ditangani, namun satu pun tak ada yang selesai dikerjakan.
Berdasarkan teori memetik dan sosiolinguistik, bahasa dan sastra mencerminkan masyarakatnya. Karakter, tabiat, perangai, dan prototipe suatu bangsa, antara lain, dapat
ditelusuri melalui rekaman kebahasaan atau kesastraan yang dimiliki bangsa tersebut. Rekaman tersebut merupakan kristalan pengalaman yang terjadi secara berulang-ulang sehingga
terformulasi dalam rangkaian kata, frasa, klausa, atau kalimat yang secara bentuk dan makna mengikat sebuah gagasan yang memiliki nuansa makna yang sangat kuat. Rangkaian kata, frasa,
klausa, atau kalimat yang sarat akan makna itu, antara lain, disebut ungkapan. Secara leksikal, ungkapan dapat diartikan sebagai rangkaian simbol-simbol verbal untuk
merujuk kepada pendeskripsian, penganalogian, dan pengumpamaan suatu karakter, tabiat, perangai, dan prototipe manusia. Jika dikaitkan dengan sastra, ungkapan ini berkongruen dengan
majas, yaitu ungkapan yang mengandung makna tambahan atau mengandung makna berbagai perasaan tertentu, dan nilai rasa tertentu yang lazim disebut dengan makna konotatif; makna
tersebut merupakan makna sebaliknya dari makna denotatif. Fungsinya adalah sebagai penguat nilai rasa komunikasi dalam suatu wacana, baik wacana lisan maupun wacana tulis.
Dalam masyarakat Aceh, para penyampai pesan, baik lisan maupun tulisan sering membumbui pesan-pesannya itu dengan berbagai ungkapan yang sesuai dengan konteks
pembicaraan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memantapkan pemahaman tentang apa yang disampaikannya. Sebagai penguat rasa atau makna komunikasi tentang suatu konteks sering
digunakan ungkapan yang relevan, sebagai “bumbu penyedap”, terutama ungkapan-ungkapan yang disandarkan tamsilannya pada berbagai referen, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan,
manusia, dan benda-benda alam lainnya. Ungkapan-ungkapan tersebut umumnya digunakan untuk mendeskripsikan, menganalogikan, dan mengumpamakan karakter, tabiat, perangai, dan
prototipe atau tindakan seseorang yang dipandang positif yang harus dianut, atau yang dipandang negatif yang harus dijauhkan.
11
Pemakaian Ungkapan Bahasa Aceh dalam Konteks Kearifan Lokal Aceh
Jika kita perhatikan secara cermat, ada kecendrerungan bahwa orang Aceh agak ekstrim dalam hal penggunaan diksi dalam ungkapannya, khususnya ungkapan yang bereferen binatang.
Binatang yang yang dirujuk pun cederung kepada binatang-binatang yang kurang bersahabat dengan manusia. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat bersifat multitafsir, sesuai dengan konteks
pemakaiannya. Artinya, penjabaran tafsiran maknanya dapat dirujuk kepada apa atau siapa saja yang sesuai. Kepada yang disebut uleue atau lhan ‘ular’, bisa bermakna yang suka menelan
sesuatu yang besar-besar yang bukan miliknya. Hal ini biasa ditujukan kepada para koruptor dan sebagainya. Di pihak lain, kepada yang suka kepada sesuatu secara berlebihan atau di luar
kewajaran juga bisa disebut uleue, seperti that uleue-ih keu inöng ‘sangat doyan ia kepada perempuan’. Cermati beberapa pemakaian ungkapan tersebut dalam konteks berikut
Ungkapan Bereferensi Flora Tumbuh-Tumbuhan
Data 1 :
Meunyo ka pakat lampoh jirat tapeugala. Arti
: ‘Kalau sudah sepakat, kompleks perkuburan kita gadaikan’
Makna : Ungkapan ini mengindikasikan bahwa musyawarah dan mufakat merupakan
nilai-nilai kearifan yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Kompleks perkuburan yang dalam norma agama Islam haram diperjualbelikan
pun rasa-rasanya boleh digadaikan jika itu keputusan hasil musyawarah.
Amanat : Demi kenyamanan bersama dalam bermasyarakat, kedepankanlah musyawarah
dan mufakat dalam memutuskan segala perkara
Data 2 :
adat meukoh reubong, hukom meukoh purieh adat jeuet barangkaho takong, hukom hanjeuet barangkaho takieh
Arti : ‘adat
terpotong rebung, hukum terpotong bambu
‘adat boleh sembarangan kita seruduk, hukum tidak boleh sembarangan kita kias’
Makna :
Ungkapan ini mengandung pesan bahwa berkaitan dengan persoalan adat ada kelonggaran atau dispensasi dalam penerapannya, tetapi persoalan hukum tidak
boleh sembarangan, harus sesuai dengan norma hukum yang berlaku, khususnya hukum Islam.
Amanat : Bagi masyarakat Aceh, hukum Islam merupakan prinsip utama dalam menjalani
kehidupan. Maka, jangan bermain-main dengan syariat Islam. Data 3
: meunyo le pade di dalam blang, h’an padup na tulo pajoh
Arti :
‘kalau banyak padi di sawah, tidak seberapa yang pipit makan’ Makna
: Ungkapan ini sasarannya ditujukan kepada orang, khusus orang kaya, agar
jangan takut mengeluarkan sebagian hartanya untuk berinfak atau berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Dari hartanya yang banyak itu, tak akan
membuatnya papa jika ia memyumbangkan sebagian kepada orang lain yang membutuhkan.
Amanat :
Tak akan miskin orang yang gemar menyumbang.
12
Ungkapan Bereferensi Founa Binatang Data 1
: lagè keubiri jikap lé asèe
Arti : ‘seperti
domba digigit anjing’ Makna
: Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang pasrah dengan penganiayaan yang
menimpa dirinya. Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti binatang ini, yaitu cuek atas kemungkaran yang terjadi di depan matanya;
pasrah atas penganiayaan yang menimpa dirinya; tak berani memperjuangkan atau mempertahankan hak-haknya, dan sebagainya. Ibarat seekor domba yang
diburu oleh anjing, tanpa perlawanan, sang domba langsung terpojok, takluk, dan membiarkan tubuhnya dimangsa, dicabik-cabik anjing sampai akhirnya sang
domba mati. Berbeda dengan tabiat kambing, yang berontak sekuat tenaga jika mengalami nasib seperti domba tersebut meskipun akhirnya ia juga menemukan
ajalnya tersebab keberingasan anjing. Matinya domba termasuk mati konyol, sedangkan matinya kambing tergolong “mati syahid”. Orang-orang yang berjiwa
seperti ini dipandang sangat hina; seperti binatang digigit oleh binatang bernajis.
Amanat :
Janganlah kita tergolong orang yang bertabiat seperti domba, cegahlah setiap kemungkaran yang terjadi di sekitar kita sesuai dengan kemampuan,
perjuangkanpertahankan hak-hak yang kita miliki .
Data 2 :
lagè bue drop daruet Arti
: ‘seperti monyet menangkap belalang’
Makna :
Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak fokus terhadap suatu pekerjaan; banyak pekerjaan ditangani, namun satu pun tak ada yang beres dikerjakan.
Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu orang yang serakah atau tamak terhadap sesuatu materi. Ibarat monyet yang
sedang menagkap belalang, ditangkapnya satu belalang, dijepitnya di ketiak kiri; lalu ditangkapnya belalang kedua, dijepitnya di ketiak kanan; kemudian
ditangkapnya lagi belalang ketiga dengan tangan kiri sehingga belalang pertama lepas, dan seterusnya. Monyet tersebut tetap lapar tampa dapat memakan seekor
belalang pun, padahal jika satu dapat satu dimakan, monyet tersebut sudah kenyang. Yang sudah ada belum sempat ia nikmati, yang lain terus dicari bahkan
dengan cara-cara yang keji. Satu urusan belum sempat ia kerjakan pekerjaan lain ia tangani.
Amanat : Sempurnakan suatu urusan sebelum beranjak kepada urusan yang lain. Kerjakan
sesuatu secara profesional dan proporsional sesuai dengan kemampuan kita. Data 3
: uleue beumate, ranteng bek patah
Arti :
‘ular dapat dimatikan, tapi ranting jangan patah’ Makna
: Prinsip damai tercermin dalam proses penyelesaian sengketa, terutama dalam
kehidupan masyarakat Aceh yang memang dilandasi oleh norma dan hukum yang kuat. Hal ini tergambar dalam ungkapan berikut.
Amanat : Selesaikan suatu perkara tanpa mengorbankan suatu perkara
Berdasarkan data yang teramati dapat dikatakan bahwa amanat yang terdapat dalam ungkapan BA khususnya ungkapan yang bereferen binatang adalah bahwa orang Aceh
memosisikan orang-orang yang memiliki moral tercela setara dengan binatang. Jenis binatang
13
yang direpresentasikan sesuai dengan tingkat tabiat atau sifat cela yang dimiliki manusia tersebut. Ada kecendrerungan bahwa orang Aceh agak ekstrim dalam hal penggunaan diksi
dalam ungkapannya. Binatang yang yang dirujuk pun cederung kepada binatang-binatang yang kurang bersahabat dengan manusia. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat bersifat multitafsir,
sesuai dengan konteks pemakaiannya. Artinya, penjabaran tafsiran maknanya dapat dirujuk kepada apa atau siapa saja yang sesuai. Kepada yang disebut uleue atau lhan ‘ular’, bisa
bermakna yang suka menelan sesuatu yang besar-besar yang bukan miliknya. Hal ini biasa ditujukan kepada para koruptor dan sejenisnya. Di pihak lain, orang yang suka kepada sesuatu
secara berlebihan atau di luar kewajaran juga bisa disebut uleue, seperti that uleue-ih keu inöng ‘sangat doyan ia kepada perempuan’.
Dalam bahasa Aceh banyak sekali ungkapan yang dapat menajadi jati diri masyarakat. Ada ungkapan yang positif yang dapat menuntun kita dalam menjalani hidup ini. Ungkapan ini dapat
menjadi renungan atau juga acuan dalam bertindak dan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, tidak jarang didapati ungkapan sindiran yang harus kita jauhi dalam kehidupan dan dalam
hubungan sosial. Kesemua ungkapan ini sangat berguna jika masyarakat masih memahami bahasa dan budaya daerah. Artinya, ungkapan itu akan tidak bermakna jika masyarakat sudah
tidak lagi memelihara bahasa daerah.
5. Penutup