2
bahasa di dunia maya. Hal itu sedikit banyak mencerminkan eksistensi bahasa Indonesia dalam kancah global.
Akan tetapi, dari sisi penerapan dan penggunaan, masih banyak hal-hal yang perlu dicermati dan diperbaiki. Pilihan kata dan pilihan bahasa saat berhadapan dengan
pihak asing menjadi persoalan tersendiri seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi cf. Samuel, 2008. Anggapan masyarakat terhadap pilihan kata atau bahasa
yang dianggap lebih modernmaju pun mulai mewarnai. Anggapan masyarakat secara umum bahwa bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa asing dianggap lebih
“intelek” perlu dikaji ulang lagi. Apalagi jika hal tersebut terkait dengan diplomasi kebahasaan
1
. Saat ini, batas perhubungan antara negara dan negara menjadi semakin kabur
karena komunikasi dan alat transportasi semakin maju. Oleh sebab itu, diplomasi kebahasaan pun meluas, mulai dari bahasa yang digunakan dalam pidato resmi pada
pertemuan antarnegara, nota kesepahaman, papan penulisan nama dan rambu-rambu, sampai pada komunikasi di dunia maya, serta seni dan sastra. Semua itu dapat menjadi
sarana diplomasi kebahasaan yang memadai. Hanya saja, fenomena yang terjadi akhir- akhir ini perlu dicermati kembali.
Menginjak usia 85 tahun bahasa Indonesia, diplomasi kebahasaan—dalam bahasa Indonesia--perlu dicermati lagi dan dikuatkan
untuk menapak usia seabad menuju bahasa Indonesia yang bermartabat.
B. Peraturan yang Mendukung
Saat bahasa Indonesia menginjak usia ke-81, Indonesia seharusnya bangga karena telah disahkannya UU Republik Indonesia no 24 Tahun 2009 tentang “Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.” Butir-butir Bahasa Negara tertuang dalam Bab III pasal 25--45. Dalam UU tersebut, tampak sekali penguatan
eksistensi dan diplomasi bahasa Indonesia. Hal itu secara eksplisit tertoreh dalam pasal 26—39 yang selalu diawali dengan “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam ...” .
Pada pasal 40 disebutkan “Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur
dalam Peraturan Presiden.
1
Kata “diplomasi” dapat dimaknai sebagai ‘pengetahuan dan kecakapan dalam hal perhubungan antara
negara dan negara’ di samping makna formalnya sebagai ‘urusan atau penyelenggaraan perhubungan resmi antara satu negara dan negara yg lain’ atau ‘urusan kepentingan sebuah negara dng perantaraan wakil-wakilnya di negeri
lain’. Bahkan dalam bahasa percakapan, diplomasi dapat dimaknai ‘kecakapan menggunakan pilihan kata yg tepat bagi keuntungan pihak yg bersangkutan’ Depdiknas, 2008.
3
Selanjutnya, dalam pasal ke-41 dan 42 disebutkan bahwa Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa Indonesia merupakan kewajiban pemerintah dan
ketentuannya akan diatur dengan peraturan pemerintah. Bahkan dalam Bagian Keempat, Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional juga
telah diancang dengan baik dan dalam pasal 44 ayat 3 disebutkan “
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 akan diatur dengan peraturan pemerintah. ” Beberapa peraturan pemerintah yang menindaklanjuti UU tersebut memang
belum disahkan, akan tetapi, saat menginjak usia ke-82, pada 1 Maret 2010 berlaku
“ Peraturan Presiden Perpres Republik Indonesia nomor 16 tahun 2010 tentang
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden danatau Wakil Presiden Serta Pejabat Negara Lainnya” sebagai salah satu tindak lanjut atau bentuk penjabaran
UU no 24 tahun 2009. Dalam Perpres tersebut jelas dan tegas disebutkan dalam pasal 1 bahwa
“Presiden danatau Wakil Presiden menyampaikan pidato resmi dalam bahasa
Indonesia di luar negeri. ” Hal yang setara juga terdapat dalam pasal 8 yang berbunyi
“Presiden danatau Wakil Presiden menyampaikan pidato resmi dalam Bahasa Indonesia pada forum internasional yang diselenggarakan di dalam negeri”.
Selanjutnya, dalam pasal 16 disebutkan bahwa “Pidato resmi Presiden danatau Wakil Presiden dan pejabat negara lainnya yang disampaikan dalam Bahasa Indonesia dapat
memuat bahasa asing sepanjang dimaksudkan untuk memperjelas pemahaman tentang makna pidato tersebut. ”
Dalam pasal 6 memang disebutkan bahwa “1 Presiden danatau Wakil Presiden dapat menyampaikan pidato resmi dalam bahasa tertentu selain Bahasa
Indonesia pada forum internasional sesuai dengan Penjelasan Pasal 28 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan. ” Penjelasan pasal 28 berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘pidato resmi’ adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara
atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu. ”
Jadi, di luar negeri pun, sepanjang forum tersebut tidak menetapkan penggunaan bahasa tertentu, Presiden RI wajib menggunakan bahasa Indonesia.
Sebenarnya ada beberapa keuntungan yang dapat dipetik jika presiden atau pejabat
4
negara berpidato dengan bahasa Indonesia di luar negeri karena minimal dari negeri tersebut pasti akan ada orang termasuk intelijen yang dapat berbahasa Indonesia. Ini
berarti, orang dari daerah itu harus belajar bahasa Indonesia dan lebih lanjut hal itu berarti bahasa Indonesia akan dikenal dan dipelajari di luar negeri.
Pada sisi lain, pemerintah juga mengatur pencantuman label berbahasa Indonesia pada kemasan produk pangan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Adapun aturan tentang kewajiban mencantuman label dalam bahasa Indonesia pada barang produk nonpangan diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan No.622009 yang terbit Desember 2009 dan kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22M-DAGPER2010 yang
diterbitkan tanggal 21 Mei 2010. Penerapan aturan yang mewajibkan pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk pangan dan nonpangan ditujukan untuk
melindungi konsumen dari produk yang tidak memenuhi standar mutu dan keamanan. Berbagai aturan yang ada tampaknya belum dapat mengobati gejala lunturnya
rasa kebanggaan berbahasa Indonesia. Hal itu tampaknya juga merebak ke berbagai wilayah. Bahkan ada beberapa pihak yang mengalami krisis kepercayaan diri dalam
berbahasa. Hal ini berpengaruh terhadap menurunnya upaya untuk menghargai budaya dan bahasa sendiri. Seperti halnya anggapan bahwa produk asing lebih baik, lebih
modern, lebih berharga daripada produk Indonesia; bahasa asing pun dianggap lebih maju dan lebih modern daripada bahasa Indonesia. Bahkan dalam beberapa wawancara
terbatas, bahasa asing dianggap lebih bergengsi dan lebih halus daripada bahasa Indonesia. Kasus Vicky yang mencampuradukkan kosakata asing dan berakibat pada
kaburnya makna, yang oleh sebagian orang dianggap “keren” merupakan hal yang memprihatinkan. Sampai sebegitu parahkah kosakata bahasa Indonesia sehingga tidak
dapat mewadahi konsep dan keinginan seseorang dalam mengekspresikan diri? Pemerintah tampaknya perlu menyosialisasikan slogan lama “Aku cinta buatan
Indonesia, aku bangga berbahasa Indonesia”.
C. Fenomena Kebahasaan 1. TIK dan Bahasa Indonesia di Dunia Maya