Politik Bahasa, Sikap Bahasa, dan Pemertahanan Bahasa

3 bahasa Melayu saja? Seberapa beda ia dengan bahasa Melayu? Siapa pemilik bahasa Indonesia itu? Akan dibawa ke mana perkembangan bahasa Indonesia itu kelak? Dan masih banyak pertanyaan lain yang bisa ditujukan kepada situasi kelahirannya tersebut. Sejatinya, sebuah bahasa akan menjadi milik dan identitas para penuturnya. Situasi kelahiran bahasa Indonesia seperti digambarkan di atas tidak memungkinkan ada salah satu pihak yang akan berani menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah milik sebuah kelompok perjuangan atau bahkan milik salah satu suku. Ia melainkan menjadi identitas kelompok yang dinisbatkan kepada seluruh warga bangsa Indonesia. Sebagai identitas dari kelompok yang sangat besar dan luas itu, bahasa Indonesia sangat rentan terhadap kematian atau setidaknya penolakan untuk terus didorong berkembang dan maju. Justru kesamaan visi perjuangan Indonesia merdeklah yang kemudian terus mengokohkan keberadaan bahasa Indonesia di tengah-tengah perjuangan mereka. Alih-alih ia mati muda, bahasa Indonesia memperoleh dukungan sangat kuat dari warga bangsa Indonesia untuk terus berkembang dan memperoleh pengayaan dari unsur-unsur bahasa daerah dan kemudian bahasa asing. Bahkan, pascakemerdekaan, bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa resmi Negara. Namun demikian, ancaman terhadap kematian bahasa Indonesia tidak kemudian surut. Setidaknya, kalau mengamati status bahasa Indonesia di hadapan para pencetus dan para penuturnya, ia bukan merupakan bagian dari inti budaya masyarakat bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sengaja diciptakan untuk kepentingan politik perjuangan. Ia tidak tumbuh dan berkembang dari atau sebagai ciri hakiki para penuturnya. Dalam hal ini, Smolicz Secombe 1985 menyatakan bahwa apabila bahasa bukan merupakan nilai budaya inti sebuah masyarakat, ia akan rentan terhadap penglepasan dan apabila ada upaya pemertahanan, maka upaya itu tidak akan terlalu kuat menopang kekokohan daya hidup bahasa tersebut. Di sisi lain, sikap para penutur terhadap bahasa tersebut pun dikhawatirkan tidak akan terlalu kuatpositif. Ancaman yang bersifat internal inilah yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam perencanaan kebijakan atau politik bahasa nasional.

3. Politik Bahasa, Sikap Bahasa, dan Pemertahanan Bahasa

Wujud nyata pertama dari politik bahasa nasional tercermin pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Penentuan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia sementara bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa pertama etnis manapun merupakan sebuah strategi monumental untuk mencegah terjadinya kecemburuan linguistik di antara bahasa-bahasa etnis yang ada di tanah air Wurm, 2003. Memang benar adanya bahwa bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu dan bahasa Melayu merupakan bahasa salah satu etnis di Indonesia. Namun, kebijakan ini bukan berarti mengistimewakan etnis Melayu seperti yang terjadi di Malaysia. Menurut Rappa Wee 2006, Malaysia memberikan hak istimewa kepada etnis Melayu sedemikian rupa sehingga bahasa mereka secara mulus menjadi bahasa nasional. Namun, pemberian hak istimewa ini kemudian mempengaruhi sikap para penutur bahasa Melayu terhadap bahasa lain terutama bahasa Inggris. Mereka kadang menganggap bahwa penggunaan bahasa Inggris secara meluas di ranah-ranah resmi telah menjadikan bahasa Inggris sebagai ancaman terhadap bahasa Melayu, walaupun pada kenyataannya, pada kehidupan sehari-harinya, mereka banyak menggunakan bahasa Inggris. Berbeda dengan Malaysia, penggunaan bahasa Inggris secara meluas di Singapura tidak menjadi isu sensitif bagi orang Singapura karena tidak satu pun bahasa etnis mendapat porsi istimewa. Status Bahasa Inggris di Singapura lebih dipandang sebagai bahasa yang netral. Selaras dengan keadaan di Singapura, di Amerika Serikat, meskipun negara ini menjadi habitat bagi banyak bahasa, namun 4 hanya satu bahasa yang diakui dengan sangat mulus tanpa konflik yaitu bahasa Inggris Schmid, 2001. Melihat kenyataan ini, politik bahasa nasional diyakini berhasil mengatasi permasalahan kesatuan bangsa. Dalam ekosistem yang penuh ragam bahasa, di negeri ini perkembangan penggunaan bahasa Indonesia terlihat pesat dan cenderung ‘menekan’ eksistensi bahasa-bahasa etnis lokal sehingga mengarah pada monolingualisasi atau Indonesianisasi penutur. Monolingualisasi ini terlihat pada contoh kasus penutur bahasa Sunda yang lebih memilih untuk menggunakan dan mengajarkan bahasa Indonesia pada anak-anak mereka. Sikap pengguna bahasa seperti ini akan lebih cepat memicu hilangnya eksistensi bahasa-bahasa etnis. Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Patji 2011, sebanyak 116 bahasa etnis di Indonesia terancam punah. Selain karena faktor kebijakan pemerintah, faktor desakan dari bahasa yang dominan yang hidup berdampingan dengan bahasa etnis bisa menjadi penyebab punahnya suatu bahasa. Di satu sisi, bahasa Indonesia bisa mendesak bahasa-bahasa lokal sehingga menyebabkan kepunahan. Di sisi lain bahasa Indonesia terdesak oleh bahasa asing baca: Bahasa Inggris karena bahasa tersebut dipandang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Dalam konteks berhadapan dengan bahasa asing, pemertahanan bahasa Indonesia perlu disiasati. Tidak banyak bahasa yang berhasil bertahan ketika dihadapkan kepada bahasa lain yang lebih dominan. Pada kasus para imigran Eritrea berbahasa Tigrinya yang tinggal di Riyadh, Saudi Arabia, generasi kedua para imigran tersebut tidak bisa mempertahankan penggunaan bahasa Tigrinya. Profisiensi bahasa Tigrinya mereka ternyata lebih rendah dibandingkan profisiensi bahasa Arab Habtoor, 2012. Fakta serupa terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh Najafi 2009 terhadap orang Iran berbahasa Persia yang tinggal di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa generasi pertama tidak hanya fasih berbahasa Persia tetapi juga melek bahasa Persia. Hal ini terjadi karena mereka masih mengalami kontak dengan bahasa Persia di antaranya melalui kegiatan membaca teks-teks dalam bahasa Persia dan menonton acara-acara berbahasa Persia. Kondisi pemertahanan ini terindikasi menurun secara drastis pada generasi kedua karena mereka hanya menguasai bahasa Persia pada tingkat bahasa lisan saja. Demikian halnya dengan bahasa Efik di Nigeria. Para penutur bahasa Efik mayoritas ialah bilingual; selain berbahasa Efik mereka pun berbahasa Inggris. Namun, dalam perkembangannya para penutur ini menjadi lebih banyak menggunakan bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa Efik. Kini, bahasa Efik statusnya mendekati punah Offiong Ugot, 2012. Pengamatan yang penulis lakukan terhadap para imigran berbahasa Indonesia di kota Melbourne pada rentang 1994-2000 menunjukkan hal yang sama. Generasi pertama yang jelas-jelas berbahasa Indonesia ternyata lebih sering menggunakan bahasa Inggris kepada anak-anak mereka pada saat berkomunikasi baik di rumah ataupun di luar rumah. Akibatnya, generasi kedua imigran Indonesia di Melbourne ini tidak banyak yang kompeten dalam bahasa Indonesia. Hal yang lebih parah lagi bahkan terjadi kepada bahasa pertama bahasa etnis mereka, yang sudah tidak lagi digunakan untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Penelusuran literatur menunjukkan bahwa masih ada bahasa yang bisa bertahan hidup ketika berdampingan dengan bahasa yang dominan. Hal ini terungkap pada penelitian yang dilakukan oleh Gooma 2011 pada para imigran Mesir berbahasa Arab yang tinggal di Durham, Inggris. Mereka berhasil mempertahankan bahasa Arab Mesir di tengah-tengah komunitas berbahasa Inggris dan mewariskan bahasa Arab Mesir tersebut pada anak-anak mereka. Faktor utama yang melatari pemertahanan bahasa ini ialah bahwa para imigran melihat bahasa Arab Mesir sebagai nilai budaya inti mereka yang terkait erat dengan agama dan identitas. 5 Melihat kasus bahasa Tigrinya di Saudi Arabia, bahasa Persia di Amerika Serikat, dan bahasa Efik di Nigeria, akan sangat memprihatinkan apabila bahasa Indonesia menjadi ‘imigran’ di negerinya sendiri. Dengan kata lain, kompetensi dan profisiensi bahasa Indonesia para generasi awal penutur bahasa Indonesia melebihi bahasa asing, namun menurun pada generasi yang datang kemudian. Bukan hal yang mustahil kalau kebijakan bahasa nasional tidak dilaksanakan dengan konsisten, maka bahasa Indonesia menjadi tak terwariskan dengan baik kepada generasi mendatang.

4. Realitas Kekinian Penggunaan Bahasa Nasional