1
Subtema: 3 PERAN SEKOLAH INDONESIA KUALA LUMPUR SIKL DALAM
MEMPERKUAT JATI DIRI DAN MEMARTABATKAN BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BI
Oleh Alpansyah
Penulis adalah guru Bahasa Indonesia Sekolah Indonesia KBRI Kuala Lumpur dan mahasiswa program Ph.D. pada University Pendidikan Sultan Idris, Malaysia. Posel:
alpansyah2006yahoo.com
Abstrak.
Permasalahan dalam tulisan adalah bagaimanakah peran Sekolah Indonesia Kuala Lumpur SIKL memperkuat jati diri dan memartabatkan
bangsa melalui pembelajaran Bahasa Indonesia BI di kalangan siswa SIKL di tengah kondisi masyarakat warga negara Indonesia di Malaysia yang
terkadang sudah menggunakan bahasa Malindo Melayu—Indonesia. Dalam memperkuat jati diri dan memartabatkan bangsa melalui
pembelajaran BI di kalangan siswa, SIKL—selain melaksanakan kegiatan kurikuler—melaksanakan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler berupa:
1 project based learning PBL; 2 lomba pidato dan puisi berbahasa Indonesia; 3 kegiatan bengkel sastra; 4 penulisan slogan-slogan; 5
memperbaiki secara langsung ‘direct’ katakalimat siswa yang salah; serta 6 pelayanan berbahasa Indonesia untuk siswa homestay. Tentu saja untuk
mencapai tujuan tersebut dukungan semua pihak dan kesungguhan institusi sekolah termasuk seluruh guru bukan hanya guru bahasa Indonesia sangat
diperlukan.
Kata Kunci:
Bahasa Indonesia BI, Bahasa Melayu Malaysia BM, jati diri bangsa, sekolah Indonesia luar negeri SILN, project
based learning PBL, dan homestay.
1. Pendahuluan
Pembicaraan mengenai jati diri dan martabat bangsa merupakan topik yang selalu hangat dan menarik untuk diperbincangkan terlebih lagi bila topik tersebut berkaitan dengan
negara tetangga yaitu Malaysia. Hal itu ini dapat dipahami mengingat Indonesia dan Malaysia adalah negara yang serumpun dan bertetangga, tetapi hubungan hubungan diplomatik
antarkedua negara sering mengalami pasang surut. Beberapa kejadian yang membuat barometer hubungan kedua negera sedikit “memanas” sebagaimana selama ini sudah menjadi
pemberitaan media massa, seperti: 1 perlakuan warga Malaysia terhadap para tenaga kerja Indonesia TKI dan pembantu rumah tangga PRT asal Indonesia kasus Nirmala Bonat dan
lain-lain; 2 masalah-masalah yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan, seperti pembunuhan kerap disinyalir berkaitan dengan penjualan organ tubuh, pemerkosaan baru-
baru lalu berdasarkan informasi media massa justru dilakukan oleh oknum Police Diraja Malaysia, perdagangan manusia sebagaiman yang diungkap Mirgran Care; 3 masalah
tapal batas kedua negara; 4 pengklaiman secara sepihak karya seni dan budaya, seperti tari pendet, tari kecak, lagu rasa sayange, dan motif batik; serta 5 pendiskreditan terhadap
2
tokoh-tokoh bangsa Indonesia Bapak B.J. Habibie dan Bapak Abdurrahman Wahid oleh warga negara Malaysia.
Pembicaraan jauh akan lebih menarik dan menghangat lagi bila konteks jati diri dan martabat bangsa tersebut dikaitkan dengan masalah penggunaan bahasa, yaitu bahasa Melayu
yang merupakan asal usul bahasa Indonesia BI. BI yang dipakai sekarang ini tidak sama lagi dengan bahasa Melayu yang menjadi asalnya. BI telah banyak menerima anasir-anasir
dari bahasa daerah dan bahasa asing. Dibandingkan dengan bahasa Melayu Malaysia dan Melayu Brunei, Penelitian Sugono 2008:4 menunjukkan bahwa—berdasarkan indeks
token—persamaan bahasa Indonesia, sebagai bahasa yang berasal dari rumpun bahasa Melayu, dengan bahasa Malaysia hanya berkisar 31 dan dengan bahasa Brunei hanya 26.
Dalam pekerkembangan selanjutnya persamaan ini diprediksi akan semakin jauh mengingat BI lebih lebih mengutamakan istilah BI itu sendiri dalam perkembangannya, barulah
kemudian bahasa daerah dan bahasa asing terutama bahasa Inggris.
Fauzi sebagaimana dimuat Majalah Tempo 18 Mei 2009 mengatakan bahwa para pekerja Indonesia baik TKI maupun PRT di Malaysia menggunakan bahasa Melayu Malaysia
BM yang terkadang sudah ”bernuansa” Indonesia bercampur dengan gaya, makna, dan intonasi bahasa Indonesia—sederhananya, sebut saja ”bahasa Malindo” atau ”bahasa
campuran Malaysia-Indonesia”.
Tak sebatas itu, Fauzi juga merujuk pada pengalaman pribadinya, “Pengaruh bahasa Melayu itu masih terasa walau majikan pekerja itu adalah orang Indonesia juga. Bukti
nyatanya, ya keluarga saya sendiri. Kedua anak saya, Aji dan Bintang, belajar di dua sekolah: pagi di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, dan petang di sebuah sekolah agama madrasah di
Malaysia. Jadi, bisa dipastikan: betapa bahasa mereka benar-benar ‘bahasa Malindo’ Walau setiap saat kami berusaha berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, sikit-sikit tetap saja
‘berbau’ Melayu. Lucu, rada aneh, tapi seronok,” demikian ungkap Fauzi.
Lebih jauh Fauzi menyimpulkan bahwa kemampuan WNI dalam berbahasa daerah asal mereka ternyata tak berubah. Berapa lama pun mereka tinggal di Malaysia, dengan etnis
apa pun mereka bergaul, mereka tetap fasih berbahasa daerah tatkala berkomunikasi dengan rekan sekampung. Buktinya, di daerah Chow Kit, Kuala Lumpur, misalnya, yang terkenal
sebagai ”mini Indonesia”, sering terdengar antarsesama WNI tengah ber-kumaha-ria atau ber- piye-kabare dalam versi Sunda, Jawa, Minang, Madura, Aceh.
Pada sisi lain, di Kuala Lumpur Malaysia terdapat lembaga sekolah untuk masyarakat Indonesia yaitu sekolah Indonesia Indonesia Kuala Lumpur SIKL yang
pengelolaannya di bawah Kedutaan Besar Republik Indonesia KBRI dalam hal Kemenlu dan Kemendikbud. Sebagai sekolah Indonesia tentu saja kurikulum yang digunakan adalah
kurikulum pendidikan di Indonesia. Tujuan pendidikannya jelas merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tentu saja pemakaian Bahasa Indonesia pada premis sekolah
Indonesia adalah wajib.
Dari uraian di atas dapat diketahui bagaimana kompleksnya permasalahan pemakaian BI dalam konteks pemerkuatan jati diri dan pemartabatan bangsa di luar negeri khusunya di
Malaysia. Permasalahan dalam tulisan adalah bagaimanakah peran SIKL dalam memperkuat jati diri dan memartabatkan bangsa melalui pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan siswa
SIKL? Untuk menjawab permasalahan ini pada tulisan ini akan disampaikan: latar belakang siswa SIKL; pembelajaran BI di SIKL; hambatan-hambatan yang ditemui; serta upaya yang
dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
3
2. Latar Belakang Siswa