3 restoran di Solo Raya, bagi eksistensi bahasa Indonesia sebagai jatidiri dan
kebanggaan bangsa? Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan sikap masyarakat multikultural terhadap bahasa Indonesia, dan latar belakangnya
dalam memilih nama, serta dampaknya terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai jatidiri dan kebanggaan bangsa.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi munculnya kembali semangat bangsa Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam
berbagai aspek kehidupan. Selain itu, dapat menjadi rujukan dan bahan pertimbangan bagi pentingnya upaya dalam menjaga eksistensi bahasa
Indonesia melalui penegakan peraturan perundangan dengan sangsi hukum yang jelas sehingga ada efek jera bagi yang tidak mematuhinya.
B. KAJIAN TEORETIK 1.
Sikap Bahasa Language Attitude
Istilah sikap attitude digunakan pertama kalinya oleh Herbert Spencer 1862, untuk melihat status mental seseorang dan menjelaskan
mengapa seseorang dapat berperilaku yang berbeda dalam situasi yang sama Azwar, 2003:4. Sikap dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan individu
untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan penilaian apakah sesuatu itu berharga atau tidak bagi dirinya. Tokoh bidang pengukuran sikap,
Thurstone dan Likert dalam Azwar, 2003:5, berpendapat, bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung, memihak
favorable, maupun tidak mendukung, atau tidak memihak unfavorable, pada suatu objek yang dihadapinya. Sementara itu menurut Gerung dalam
Sunarto Hartono, 2002:170, sikap dapat diartikan sebagai kesediaan bereaksi dari suatu individu terhadap suatu hal, berkaitan dengan motif yang
mendasari tingkah laku yang berupa kecenderungan, namun belum merupakan aktivitas. Menurut Krech, Crutchfild Ballachey 1962:177,
sikap merupakan sistem penilaian positif atau negatif, perasaan emosi, dan respon terhadap suatu objek. Sikap berperan penting dalam kehidupan,
karena seseorang sering dihadapkan pada suatu pilihan antara senang dan tidak senang.
Sejalan dengan definisi sikap, Kridalaksana 2001:197
menyampaikan bahwa sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan sesorang terhadap bahasa sendiri atau orang lain. Sikap merupakan fenomena
kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Namun berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apa yang tampak
dalam perilaku tidak selalu menunjukkan sikapnya. Begitu pula sebaliknya, sikap seseorang tidak selamanya tercermin dalam perilakunya.
Sebagaimana halnya dengan sikap pada umumnya, sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung.
Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang
4 relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, dan objek bahasa, yang
memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sikap bahasa akan terlihat melalui perilaku berbahasa
atau perilaku tuturnya. Namun tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa penuturnya. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa penutur
tidak selamanya tercermin dalam perilaku tuturnya.
Sikap terhadap bahasa dapat berupa sikap positif dan negatif. Menurut Garvin dan Mathiot 1968 terdapat tiga ciri sikap bahasa yaitu: 1 kesetiaan
bahasa language loyalty yang mendorong masyarakat mempertahankan bahasanya dan mencegah adanya pengaruh bahasa lain. 2 kebanggaan
bahasa language pride yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3 kesadaran adanya norma bahasa awareness of the norm yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun
sebagai faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap penggunaan bahasanya language use.
Ketiga ciri sikap itu merupakan indikator adanya sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif terhadap bahasa ditandai dengan adanya
semangat untuk menggunakan bahasa sebagaimana bahasa tersebut digunakan oleh kelompok masyarakat tuturnya. Adapun sikap negatif
terhadap bahasa ditandai dengan melemahnya semangat anggota masyarakat tutur, untuk menggunakan dan mempertahankan kemandirian bahasanya. Hal
itu merupakan indikasi melunturnya kesetiaan terhadap bahasa yang dapat berujung pada hilangnya kesetiaan terhadap bahasanya sendiri. Sikap negatif
itu akan terjadi apabila penutur tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan kebanggaannya kepada bahasa lain yang bukan
miliknya. Hal itu pada umumnya terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor politis, etnis, ras, prestise, ekonomi, efisiensi,
kepraktisan, kemudahan, dan berbagai alasan lainnya.
Sebagai contoh adalah kasus penggunaan bahasa Jawa di kalangan penutur muda etnis Jawa. Pada umumnya penutur muda bahasa Jawa telah
meluntur semangatnya dalam menggunakan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi dalam lingkungannya. Berbagai alasan yang melatarbelakangi
antara lain karena bahasa Jawa dipandang 1 kurang fleksibel, 2 kurang sesuai dengan perkembangan zaman, 3 kurang berkontribusi terhadap
kebutuhan hidup masyarakat modern yang berbasis teknologi, 4 rumit, dan kurang praktis, 5 tidak demokratis, dan 6 tidak memiliki akses yang luas
dalam pergaulan di era global. Berbagai alasan itu merupakan pertanda bahwa telah terjadi perubahan sikap yang kurang positif terhadap bahasa
Jawa dari kalangan penuturnya.
Contoh lainnya, yaitu munculnya sikap negatif masyarakat Indonesia terhadap bahasa nasional. Sikap negatif itu tampak ketika pengguna bahasa
5 Indonesia tidak memiliki kesadaran untuk bertaat asas kepada kaidah bahasa
yang benar, sehingga menggunakan bahasa Indonesia dengan ‘semau gue’, tidak cermat dan tidak tertib.
2. Pergeseran Bahasa