learning antara siswa putra dan siswa putri serta melihat berapa besar sumbangan yang diberikan persepsi tentang iklim kelas terhadap strategi self-regulated
learning.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam psikologi pendidikan. Bagi pengembangan keilmuan diharapkan hasil penelitian
ini dapat menjadi bahan masukan dan pustaka untuk mengkaji masalah iklim kelas dan strategi self-regulated learning siswa SMA.
Secara praktis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi para pendidik, siswa, serta umumnya bagi masyarakat pemerhati masalah pendidikan.
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisan adalah sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
sistematika penulisan, dan teknik penulisan. BAB II
: Kajian teori yang meliputi self-regulated learning, persepsi tentang iklim kelas, penelitian-penelitian terdahulu, kerangka
berpikir, dan hipotesis. BAB III
: Metode penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, variabel penelitian, definisi variabel dan definisi operasional variabel,
populasi dan sampel, instrumen penelitian, proses uji coba instrumen, prosedur penelitian, dan analisis data.
BAB IV : Presentasi dan analisa data yang meliputi gambaran umum
subjek penelitian, kategorisasi subjek, uji persyaratan, hasil penelitian, dan analisis tambahan.
BAB V : Kesimpulan, diskusi, dan saran.
1.5 Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku panduan penulisan skripsi fakultas psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
BAB 2 KAJIAN TEORI
Dalam bab 2 ini akan dibahas tentang self-regulated learning, persepsi mengenai iklim kelas, penelitian-penelitian terdahulu, kerangka berpikir, dan
diakhiri dengan perumusan hipotesis.
2.1 Self-Regulated Learning
Menurut ahli teori sosial kognitif, self-regulated learning tidak hanya dipengaruhi oleh proses personal saja. Proses personal ini diasumsikan
dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku dalam hubungan timbal balik antara kesemuanya.
Person self
Environment Behavior
Gambar 2.1 tiga aspek yang saling berhubungan dalam proses self-regulated learning diadaptasi dari Zimmerman, 1989.
Self-regulation dalam perilaku digambarkan pada gambar 2.1. Siswa yang secara proaktif menggunakan strategi self-evaluation misalnya memeriksa tugas
matematika, akan menyediakan informasi mengenai keakuratan dan memeriksa tugas diteruskan melalui umpan balik secara langsung. Dalam penggambaran
hubungan timbal balik ini, penyebab utamanya adalah inisiatif dari diri sendiri self-initiated, yang diimplementasikan melalui serangkaian strategi, dan secara
langsung diatur melalui persepsi atas kemampuan. Dengan demikian, self-efficacy memainkan peranan seperti alat pengatur yang mengatur usaha strategi untuk
mendapatkan pengetahuan dan kemahiran melalui umpan balik. Self-regulation dalam hal lingkungan juga demikian, siswa secara proaktif
melakukan strategi manipulasi lingkungan misalnya menyusun area untuk belajar yang tenang guna mengerjakan pekerjaan rumah akan melakukan serangkaian
usaha untuk menghalangi respon dalam ruangan seperti mengurangi kebisingan, mengatur pencahayaan yang baik, dan menyusun tempat untuk mengerjakan
tugas. Self-regulation dalam individu diindikasikan sebagai hubungan timbal balik
yang saling mempengaruhi satu sama lain. Banyak ahli teori sosial kognitif tertarik pada pengaruh proses metakognitif terhadap proses dalam diri seseorang
seperti dasar pengetahuan. Bandura 1986 dalam Zimmerman, 1989 menyimpulkan bahwa proses dalam
diri ini saling berhubungan timbal balik dengan faktor lain dalam self-regulated learning ini. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning
memiliki tiga faktor yang saling berhubungan timbal balik selama proses pencapaian pengetahuan atau kemahiran.
2.1.1 Definisi self-regulated learning
Santrock 2008 mendefinisikan self-regulatory learning sebagai self- generation and self-monitoring of thoughts, feelings, and behaviors in order to
reach a goal mengatur dan memonitor pikiran, perasaan, dan perilaku guna meraih suatu tujuan.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Zimmerman dalam Schunk, dalam Zaenah, 2007 self-regulation self-regulated learning adalah suatu proses
dimana siswa secara aktif dan menopang pikiran, perilaku dan pengaruh yang diarahkan secara sistematis untuk mencapai tujuan.
Jadi, self-regulated learning merupakan sebuah cara yang digunakan siswa dalam mencapai tujuan belajar. Zimmerman 1989 juga menyebutkan bahwa
siswa yang memiliki self-regulated adalah siswa yang secara metakognitif, motivasi, dan perilakunya aktif dalam proses belajarnya.
Zimmerman 1989 menyatakan ada tiga hal mendasar dalam self-regulated learning yaitu strategi self-regulated learning, keyakinan terhadap kemampuan
diri sendiri, dan komitmen terhadap tujuan akademik. Siswa perlu melakukan serangkaian strategi sebagai langkah nyata bahwa
dirinya memang mengatur secara mandiri apa yang harus dilakukannya demi mencapai tujuan belajar dan memiliki self-efficacy atau rasa kesanggupan yang
tinggi. Hal inilah yang dimaksud dengan pengaturan metakognitif, dimana dalam proses metakognitif ini siswa melakukan serangkaian strategi seperti
merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan
melakukan evaluasi diri selama proses mencapai kemahiran berlangsung Zimmerman, 1989.
Menurut Schunk 1998, dalam Zaenah, 2007, self-regulated learning bukan kemampuan mental seperti inteligensi atau kemampuan akademik, tetapi lebih
kepada proses mengarahkan diri untuk mengubah kemampuan mental menjadi kemampuan akademik. Woolfolk 2004 mendefinisikan self-regulated learner
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam belajar dan disiplin diri yang membuat mereka lebih mudah dalam belajar dan motivasinya selalu terpelihara.
Siswa yang memiliki pengaturan diri dalam belajar self-regulated learners melihat kemampuan atau kemahiran sebagai proses yang terkontrol dan
terstruktur, dan mereka menerima tanggung jawab yang lebih demi pencapaian tujuan akademiknya Zimmerman Martinez-Pons, 1990. Dapat dikatakan
bahwa kemahiran itu merupakan tujuan belajar seseorang, sehingga dari pernyataan tersebut dapat diperkuat lagi dengan pernyataan bahwa seseorang yang
self-regulated memiliki karakteristik yang salah satunya memiliki tujuan. Maka, self-regulated learning merupakan suatu aktivitas terstruktur dalam
belajar yang dilakukan oleh siswa guna mencapai tujuan belajar dengan melakukan serangkaian strategi.
2.1.2 Strategi-strategi self-regulated learning
Zimmerman 1989 menyatakan bahwa strategi self-regulated learning adalah aksi dan proses yang diarahkan untuk meraih pengetahuan atau keahlian yang
meliputi aksi, tujuan, dan implementasi persepsi oleh siswa.
Siswa melakukan serangkaian strategi belajar strategi self-regulated learning sebagai langkah nyata mencapai tujuan belajarnya. Zimmerman dan Martinez-
Pons 1988 mengembangkan wawancara terstruktur structured interview untuk melihat strategi self-regulated learning siswa dan menemukan empat belas
strategi self-regulated learning yang biasa dilakukan siswa di kelas ditambah satu respon jawaban yang bukan merupakan strategi self-regulated learning yang
diberi label other . Kelima belas strategi tersebut adalah: 1. Evaluasi diri Self-evaluation
Self-evaluation adalah inisiatif siswa untuk melihat kualitas atau kemajuan pekerjaan yang dikerjakannya, pemahaman akan situasi kerja yang
berhubungan dengan tugas, atau usaha yang terkait dengan tugas. 2. Pengaturan Organizing and transforming
Inisiatif siswa dalam mengatur ulang materi instruksional baik secara overt atau covert untuk meningkatkan proses belajar.
3. Penetapan dan perencaan tujuan Goal setting and planning Siswa menetapkan tujuan atau sub-tujuan dan merencanakan untuk
mengurutkan, memperhitungkan waktu, dan menyelesaikan aktivitas yang berkaitan dengan mencapai tujuan tersebut.
4. Pencarian informasi Seeking information Usaha siswa dalam mencari informasi pada sumber yang tidak biasa ketika
menyelesaikan sebuah tugas. 5. Pencatatan Keeping record and monitoring
Usaha siswa untuk mencatat kejadian atau hasil.
6. Pengaturan lingkungan Environmental structuring Inisiatif siswa dalam usaha untuk mengatur lingkungan belajar dengan cara
tertentu sehingga membantu mereka belajar lebih baik. 7. Konsekuensi diri Self consequences
Siswa membayangkan rewards atau punishment bila ia sukses atau gagal dalam menyelesaikan suatu tugas atau ujian.
8. Pengulangan dan Mengingat Rehearsing and memorizing Peserta didik berusaha mengingat bahan bacaan dengan menggunakan perilaku
yang overt maupun covert. 9-11. Mencari bantuan dari orang sekitar Seeking social assistance
Siswa berusaha meminta bantuan kepada orang lain. Strategi ini berbeda dengan kategori satu yang dimana siswa secara khusus bertanya kepada seseorang untuk
memeriksa tugasnya. 9. Meminta bantuan teman Seek peer assistance
Meminta bantuan kepada teman sebaya jika menghadapi masalah dengan tugas.
10. Meminta bantuan guru Seek teacher assistance Bertanya kepada pengajar di kelas maupun di luar kelas dengan tujuan agar
dapat membantu dalam menyelesaikan tugas. 11. Meminta bantuan orang dewasa Seek adult assistance
Meminta bantuan orang dewasa termasuk orang di luar tutor dan semua orang yang tidak termasuk kedua kategori di atas yang berada di dalam dan
di luar lingkungan belajar jika ada topik yang tidak dipahaminya.
12-14. Peninjauan ulang Reviewing record Siswa berusaha untuk memperbaiki atau meninjau ulang tugas yang
dikerjakannya. 12. Mengulang catatan Reviewing notes
Siswa memeriksa ulang catatan sehingga ia tahu topik yang akan diujikan sebelum mengikuti ujian.
13. Mengulang ujian atau tugas Review testwork Menjadikan ujian-ujian yang telah lewat dan tugas-tugas yang telah
dikerjakan sebagai sumber informasi untuk belajar. 14. Membaca buku teks Review text books
Menjadikan buku teks sebagai sumber informasi dalam belajar. 15. Lain-lain Other
Mengindikasikan penyelesaian masalah yang tetap dilakukan oleh siswa untuk berhasil dalam tugasnya atau untuk menggunakan sumber dari dalam
dirinya. Other merupakan respon non strategi yang muncul berdasarkan beberapa konteks lingkungan belajar dalam penelitian yang dilakukan
Zimmerman dan Martinez-Pons 1988.
Dalam Zimmerman 1989 disebutkan bahwa strategi-strategi di atas digunakan untuk mengatur tiga aspek yang terdapat dalam self-regulated learning.
Sebagai contoh, strategi organizing and transforming, rehearsing and memorizing, dan goal setting and planning berfokus pada pengoptimalan
pengaturan dalam diri. Strategi seperti self-evaluation dan self consequences
didesain untuk meningkatkan fungsi perilaku. Strategi environmental structuring, seeking information, reviewing, dan seeking assistance dimaksudkan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan siswa akan lingkungan belajarnya.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning
Menurut Zimmerman dan Schunk 2001 dan Pintrich dan Schunk 2002 dalam Santrock, 2008 menyebutkan bahwa perkembangan self-regulated
learning dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya modelling dan self-efficacy. Sedangkan jika mengacu pada teori sosial kognitif, self-regulated learning
dipengaruhi oleh tiga faktor besar, yaitu: 1. Faktor individu Personal influences
Personal siswa merupakan salah satu faktor penting dalam self-regulated learning. Salah satu bagian dalam personal siswa ini adalah self-efficacy rasa
mampu diri. Self-efficacy ini sangat berkaitan dengan bagian-bagian lainnya dalam personal siswa, yaitu pengetahuan siswa student’s knowledge, proses
metakognitif metacognitive process, tujuan goals, dan afeksi affects. a. Kemampuan diri Self-efficacy
Para ahli teori sosial kognitif mengasumsikan bahwa self-efficacy merupakan variabel kunci dalam self-regulated learning Bandura, 1986, dalam
Zimmerman, 1989. Zimmerman 1989, mendefinisikan self-efficacy didefinisikan sebagai persepsi akan kemampuan diri dalam mengelola dan
melakukan tindakan-tindakan yang penting untuk mencapai tingkat performa keterampilan dalam suatu tugas. Sementara Bandura 1995, dalam Zaenah,
2007 mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan akan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang
dibutuhkan untuk menghadapi dan mengatasi situasi tertentu yang akan dihadapi serta berpengaruh pada bagaimana seseorang berpikir, merasakan,
dan memotivasi dirinya.
Sedangkan dalam Santrock 2008 Bandura menyebutkan self-efficacy dapat mempengaruhi siswa dalam memilih suatu tugas, usahanya, ketekunannya, dan
prestasinya. Dibandingkan dengan siswa yang meragukan kemampuan belajarnya, siswa yang merasa mampu menguasai suatu keahlian atau melaksanakan suatu
tugas akan lebih siap untuk berpartisipasi, bekerja keras, lebih ulet dalam menghadapi suatu kesulitan, dan mencapai level yang lebih tinggi.
Bandura 1995, dalam Zaenah, 2007 juga mengungkapkan ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan self-efficacy seseorang. Keempat faktor
tersebut adalah mastery experience, vicarious experience, social persuasion, serta physiological and emotional states. Mastery experience adalah pengalaman
keberhasilan seseorang dalam menghadapi tugas sebelumnya. Vicarious experience adalah pengalaman seseorang dalam melihat keberhasilan orang lain
yang memiliki kemiripan ciri dengannya. Social persuasion didefinisikan sebagai suatu cara untuk meyakinkan seseorang bahwa ia memiliki sesuatu yang
diperlukan untuk berhasil, dan faktor yang terakhir adalah physiological and emotional states yang berarti keadaan fisik dan emosi pada saat menghadapi tugas
tertentu dimana dapat mempengaruhi keyakinan seseorang akan kemampuannya
dalam menghadapi tugas tersebut. Tinggi rendahnya self-efficacy seseorang ditentukan oleh keempat faktor di atas. Sedangkan menurut Kurt dan Borkowski
1984, dalam Zimmerman, 1989 mengungkapkan bahwa siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi menunjukkan strategi belajar yang lebih baik.
b. Pengetahuan siswa student’s knowledge Dua jenis pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam self-regulated
learning menurut Zimmerman 1989 yaitu: • Pengetahuan deklaratif declarative knowledge
Menurut Siegler 1982, dalam Zimmerman, 1989 pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang dikelola dalam bagian
subjek dan predikat, memiliki hubungan yang jelas dengan kejadian di dunia luar, terpisah dari struktur pengawasan proses
metakognitif, dan tidak dipengaruhi oleh konteks kondisi. • Pengetahuan regulasi diri self-regulative knowledge
Yaitu pengetahuan yang mengandung pengetahuan procedural dan pengetahuan kondisional. Pengetahuan procedural adalah
pengetahuan tentang bagaimana seseorang memakai strategi sedangkan pengetahuan kondisional berkaitan dengan kapan dan
mengapa strategi yang dipakai dapat efektif. Sebagai contoh yang menunjukkan bahwa kedua pengetahuan ini saling
berhubungan adalah pengetahuan umum siswa mengenai matematika akan memberikan kontribusi terhadap kemampuan mereka untuk membagi tugas
mingguan ke dalam tugas yang dikerjakan setiap hari.
c. Tujuan goal Menetapkan sebuah tujuan, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang
dalam sebuah proses belajar merupakan hal yang sangat penting. Penetapan tujuan jangka panjang merupakan langkah awal dalam mengambil keputusan
metakognitif. Hal ini sesuai dengan Zimmerman 1989 yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan metakognitif ini bergantung pada tujuan
jangka panjang dari siswa. d. Proses metakognitif metacognitive process
Proses metakognitif adalah proses pengambilan keputusan yang mengatur penyeleksian dan penggunaan berbagai bentuk pengetahuan. Pengambilan
keputusan metakognitif ini bergantung pada tujuan jangka panjang dari siswa Zimmerman, 1989. Dalam proses metakognitif, seseorang yang melakukan
pengaturan diri dalam belajar self-regulated learning itu merencanakan, menetapkan tujuan, mengelola, memonitor diri sendiri, dan melakukan
evaluasi diri selama proses kemahiran itu berlangsung Corno, 1986, 1989; Ghatala, 1986; Pressley, Borkowski, Schneider, 1987 dalam Zimmerman,
1990, dalam Zaenah, 2007. e. Afeksi affect
Zimmerman 1989 mengungkapkan bahwa afektif dapat juga mempengaruhi fungsi self-regulated. Misalnya, terdapat sebuah bukti bahwa kecemasan
menghambat proses metakognitif, terutama proses mengontrol tindakan.
2. Faktor perilaku Behavioral influences Tiga kategori tindakan siswa terutama bagian yang relevan dalam melakukan
analisis self-regulated learning adalah: self-observation, self-judgement, dan self-reaction.
a. Observasi diri Self-observation Self-observation merupakan respon siswa yang melibatkan pemantauan yang
sistematis terhadap performanya. Self-observation dipengaruhi oleh beberapa proses dalam diri personal process seperti self-efficacy, penetapan tujuan,
dan perencanaan metakognitif, seperti halnya perilaku mempengaruhinya. Dua metode perilaku self-observation antara lain: a laporan dalam bentuk
lisan atau tulisan dan b data kuantitatif akan aksi dan reaksinya. b. Penilaian diri Self-judgement
Self-judgement adalah respons yang melibatkan pembandingan yang sistematis antara performa hasil kerjanya dengan standar atau tujuan yang ditetapkan.
Dua cara yang dapat digunakan dalam melakukan self-judgement adalah dengan meneliti kembali prosedur dan membandingkan hasil yang diperoleh
dengan hasil orang lain atau dengan standar tertentu. Self-judgement berkaitan dengan proses self-regulated learning personal seperti persepsi akan efficacy.
c. Reaksi diri Self-reaction Self-reaction melibatkan proses dalam diri seperti penetapan tujuan, self-
efficacy, dan perencanaan metakognitif, seperti halnya perilaku mempengaruhinya. Zimmerman 1989 mengungkapkan bahwa berdasarkan
teori sosial kognitif, self-reaction ini terdiri dari tiga jenis: a behavioral self-
reaction yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respons belajar yang spesifik, b personal self-reaction yang digunakan untuk meningkatkan
proses-proses dalam dirinya selama belajar, dan c environmental self- reaction dimana siswa meningkatkan lingkungan-lingkungannya.
3. Faktor lingkungan Environmental influences Para ahli teori sosial kognitif telah banyak memberikan perhatian pada pengaruh
pengalaman sosial dan pengalaman enactive langsung. Dalam Zimmerman 1989 diungkapkan bahwa dua jenis lingkungan yang mempengaruhi self-
regulated learning adalah pengalaman sosial dan struktur dari lingkungan belajar. Salah satu bagian dari pengalaman sosial yang berpengaruh dalam self-
regulated learning adalah belajar melalui pengamatan secara langsung terhadap perilakunya sendiri dan hasil yang diperoleh dari perilaku tersebut.
Bandura 1986, dalam Zimmerman, 1989 mengungkapkan akan pentingnya pengalaman enactive langsung dalam memberikan umpan balik mengenai
kemampuan diri sendiri sekaligus pengetahuan deklaratif dan pengetahuan self- regulative pada siswa. Perasaan mampu untuk mempelajari sesuatu ini
diasumsikan memotivasi pemilihan dari penerapan strategi selanjutnya. Bagian lain dari pengalaman sosial ini adalah modeling.
Modelling merupakan sebuah proses dimana observer menampilkan pemikiran, keyakinan, strategi, dan aksi setelah hal tersebut dilakukan oleh satu
orang atau lebih model Schunk, 1987 dalam Schunk, 1998, dalam Zaenah, 2007.
Model merupakan sumber untuk menampilkan keterampilan dalam self- regulatory. Yang dapat ditiru dari model diantaranya adalah dalam merencanakan
dan mengelola waktu secara efektif, menampilkan dan menetapkan, mengelola dan mengkodekan informasi secara strategis, membangun lingkungan
kerjabelajar yang produktif, dan menggunakan sumber-sumber sosial. Modelling dari strategi-strategi self-regulated learning yang efektif dapat meningkatkan self-
efficacy siswa, baik bagi siswa yang merasa kurang memiliki kemampuan maupun siswa yang yakin akan kemampuannya Zimmerman, 1989.
2.1.4 Peran self-regulated learning dalam belajar
Self-regulated learning memiliki peran yang penting dalam menunjang keberhasilan studi siswa. Peran self-regulated learning dapat dilihat dari batasan-
batasan sebagai berikut ini. Zimmerman 1989 mendefiniskan self-regulated learning sebagai derajat
metakognitif, motivasional, dan perilaku individu di dalam proses belajar yang dijalani untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan Winne dan Wolters dalam
Nugroho, 2003 mengatakan bahwa self-regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam
berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Sementara itu Frank dan Robert 1988, dalam Nugroho, 2003 mengatakan bahwa self-regulation
merupakan kemampuan diri untuk memonitor pemahamannya, untuk memutuskan kapan ia siap diuji, untuk memilih startegi pemrosesan informasi yang adekuat
dan sejenisnya. Dikatakan pula bahwa self-regulated learning mencakup tiga tahap kegiatan yakni sebelum, selama, dan sesudah melaksanakan tugas belajar.
Dari batasan-batasan yang diberikan diatas jelaslah terlihat bagaimana peran self-regulated learning dalam pencapaian tujuan belajar. Dengan melakukan self-
regulated learning serta strategi-strategi self-regulated learning, siswa akan mampu mengoptimalkan kemampuannya dengan mengefektifkan pengalaman
belajarnya. Markus Wurf 1989, dalam Nugroho, 2003 mendeskripsikan bahwa dalam
pandangan umum yang dapat diterima, self-regulated learning selalu mengarah pada beberapa tujuan. Dalam hal ini Markus Wurf 1989 mencatat beberapa
tahapan kerja pencapaian tujuan yang berlangsung dalam konteks self-regulated learning sebagai berikut:
Tahap pertama yakni pemilihan atau penentuan tujuan belajar yang mana ditentukan oleh 1 Harapan tentang self-competencies dan luaran yang
didapat dari pelaksanaan tugas, 2 Faktor-faktor afektif seperti kebutuhan- kebutuhan, motivasi dan nilai-nilai, 3 Keinginan dalam self-conception
sebagai yang digambarkan dalam tujuan umum kehidupan yang telah dirumuskan sesuai selera pribadinya ke dalam tujuan-tujuan sementara dan
perilaku-perilakunya. Tahap kedua dalam self-regulated learning yaitu berupa membuat
perencanaan, dan memilih strategi pencapaian tujuan.
Tahap pelaksanaan dan evaluasi yang berisi self-monitoring, self- evaluation processes untuk membantu memelihara atau mempertahankan
perhatian, membandingkan tujuan-tujuan yang aktual dengan tujuan-tujuan yang diharapkan dan berupaya untuk mengurangi adanya kesenjangan
penampilan bagi keberhasilan individu dalam belajar, memecahkan masalah dan melakukan transfer of learning serta keberhasilan akademik
secara umum Winne, 1997, dalam Nugroho, 2003. Konsep tentang self-regulated learning telah merubah perspektif fokus
analisis keberhasilan belajar dari kemampuan belajar siswa atau potensi belajar siswa dan lingkungan belajar di sekolah atau di rumah sebagai sesuatu yang
“fixed”, kini digantikan oleh kesanggupan siswa secara personal untuk merancang sendiri strategi belajar dalam upaya meningkatkan pencapaian hasil belajar dan
kesanggupannya untuk mengelola lingkungan yang kondusif untuk belajar Zimmerman, 1989.
Konsep self-regulated learning membalikkan semua paradigma lama yang menempatkan potensi belajar siswa dan lingkungan sebagai sesuatu yang “fixed”
serta berperan sebagai determinan faktor dalam menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Sebab, self-regulated learning berasumsi bahwa a Siswa secara
personal dapat meningkatkan kemampuannya untuk belajar melalui penggunaan metakognitif strategi dan motivasional strategi yang selektif, b Siswa secara
proaktif dapat memilih struktur, dan mengkreasi lingkungan belajar yang menguntungkan untuk mencapai tujuan belajar, c Siswa dapat memainkan peran
yang signifikan dalam memilih bentuk dan aktivitas belajar sesuai dengan kebutuhannya.
Teori self-regulated learning berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana siswa-siswa tertentu akan tetap dapat belajar dan berprestasi meskipun
memiliki keterbatasan dalam mental ability, latar belakang lingkungan sosial, atau kualitas sekolah. Teori self-regulated learning juga memberikan penjelasan dan
deskripsi tentang mengapa kadang ada siswa yang mengalami kegagalan dalam studi meskipun mereka memiliki keunggulan dalam mental ability, latar belakang
lingkungan sosial, dan kualitas sekolah yang baik. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bagaimana peran self-regulated learning
dalam belajar. Self-regulated learning merupakan cara siswa meningkatkan keberhasilan belajar dengan melakukan serangkaian strategi yang menuntut siswa
proaktif selama mencapai kemahiran atau keberhasilan yang ditetapkan. Strategi yang dijalankan meliputi pengaturan terhadap diri sendiri, perilaku, dan
lingkungan dimana siswa itu berada.
2.2 Persepsi Tentang Iklim Kelas 2.2.1 Definisi persepsi
Chaplin 2002 menyebutkan bahwa persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Hal ini selaras
dengan Matlin 2002 yang menyatakan bahwa persepsi merupakan penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengolah dan menginterpretasikan
stimulus yang diterima oleh indera. Persepsi terhadap suatu objek dapat dijelaskan melalui teori pemrosesan dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah bottom-up-
top-down processing. Dalam memproses suatu stimulus, seseorang akan mencatat stimulus dalam resptor sensoris. Hadirnya stimulus akan menggerakkan
proses pengenalan objek. Informasi yang diterima oleh reseptor akan “bergerak” dari tingkat pengenalan yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi
dalam korteks sehingga objek dapat dikenali. Bersamaan dengan terjadinya proses bottom-up terjadi juga proses top down. Proses ini menekankan bagaimana konsep
yang sudah dimiliki seseorang dan proses mental tingkat tinggi mempengaruhi pengenalan objek. Dapat dikatakan bahwa konsep yang sudah dimiliki, harapan,
dan ingatan akan membantu seseorang dalam mengidentifikasi suatu objek. Harapan ini terbentuk berdasarkan pengalaman di masa lalu.
Persepsi terhadap stimulus akan berdampak terhadap beberapa hal. Dalam kaitannya dengan iklim kelas, guru merupakan objek yang sangat penting yang
akan dipersepsi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku siswa.
2.2.2 Definisi iklim kelas
Banyak faktor yang berperan dalam keberhasilan seseorang di berbagai bidang. Khususnya di bidang akademis, Winkel dalam Ramelan, 1989
berpendapat bahwa faktor-faktor yang berperan dalam proses belajar individu adalah faktor yang ada dalam diri individu dan faktor yang ada di luar diri
individu. Faktor dalam diri individu adalah faktor fisik antara lain adalah kondisi fisik individu yang memungkinkan untuk belajar seperti misalnya penglihatan,
pendengaran, dan sebagainya. Sedangkan faktor psikisnya adalah inteligensi dan non inteligensi seperti misalnya motivasi, cara belajar, minat, ataupun tingkat
aspirasi. Adapun faktor di luar individu antara lain adalah pengaturan proses belajar di sekolah, faktor sosial maupun iklim belajar mengajar.
Tahun 1970 di Amerika Serikat dilakukan serangkaian studi observasi terhadap lingkungan kelas. Dari studi ini disimpulkan bahwa prinsip pengajaran,
praktek pengajaran dan profil tingkah laku berhubungan dan mempengaruhi prestasi siswa Anderson, 1987, dalam Ramelan, 1989. Dengan demikian,
peristiwa yang terjadi di dalamnya dan iklim psikologis yang tercermin di dalamnya berkaitan erat dengan tingkah laku individu yang berada dalam
lingkungan tersebut. Reilly dan Lewis 1983 memberikan batasan mengenai iklim kelas yaitu yang
mengarah pada dimensi psikologis dan sosial seperti tingkat kedisiplinan, fleksibilitas, kecemasan, kontrol guru, aktivitas dan stimulasi.
Sedangkan Engel dan Tannenbaum 1973 dalam Ramelan, 1989 memberikan batasan mengenai iklim kelas yaitu iklim psikologis yang dapat dijelaskan dalam
istilah harapan, sangsi, dan kode yang terdapat dalam pertukaran individu-sosial, seperti kegiatan belajar yang spesifik, metode pengajaran oleh guru, perlengkapan
dan penilaian evaluasi. Dari dua pendapat tersebut dapat diambil definisi mengenai iklim kelas yaitu
kondisi psikologis yang tercermin dari suatu lingkungan kelas sebagai tempat belajar mengajar sebagaimana yang dipersepsikan oleh individu yang ada
didalamnya. Kondisi psikologis tersebut terbentuk karena adanya faktor-faktor
yang ada dalam lingkungan kelas itu seperti faktor administratif, disiplin, formalitas, emosi, sosial, di mana kesemuanya tidak terpisahkan dan saling
berinteraksi sehingga mempengaruhi individu di dalamnya. Disini terlibat juga proses persepsi yaitu bagaimana seseorang melihat, mendengar atau merasakan
lingkungan di sekitarnya, atau apa saja yang dialami oleh orang tersebut Morgan, King Robinson, 1979, dalam Ramelan, 1989. Dengan demikian bagaimana
iklim kelas dalam suatu lingkungan kelas adalah sebagaimana yang dipersepsi individu.
2.2.3 Karakteristik lingkungan kelas
Woolfolk 1987, dalam Ramelan, 1989 berpendapat bahwa lingkungan kelas dan penghuni lingkungan tersebut, pengajar dan pelajar, saling berhubungan.
Masing-masing aspek dalam lingkungan tersebut saling mempengaruhi dan membentuk karakteristik tertentu dan bagaimana sifat-sifat atau karakteristik yang
ada selanjutnya akan mempengaruhi “atmosphere” atau iklim psikologis lingkungan kelas tersebut.
Doyle dalam Woolfolk, 1987 mengemukakan enam karakteristik yang ada dalam lingkungan kelas yaitu:
a. Lingkungan kelas bersifat multidimensional Suatu lingkungan kelas berisi manusia, tugas-tugas, tekanan-tekanan atau
harapan-harapan tertentu. Masing-masing individu memiliki tujuan yang berbeda-beda, kemampuan yang berbeda-beda dan motivasi yang berbeda-beda.
Demikian pula dengan jumlah dan sifat tugas ataupun derajat kesulitan tertentu.
Dengan demikian tingkah laku-tingkah laku individu yang ada pun dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai faktor.
b. Lingkungan kelas bersifat berkesinambungan Segala sesuatu dalam lingkungan kelas terjadi secara bersamaan. Pengajar yang
menerangkan pelajaran, pelajar yang memperhatikan, menulis atau membaca terjadi dalam waktu berkesinambungan.
c. Lingkungan kelas bersifat “immediacy” kesegeraan Sifat ini berkaitan dengan “langkah-langkah” yang cepat dalam kehidupan di
lingkungan kelas tersebut. Apa saja yang terjadi di lingkungan kelas selalu bersamaan dan cepat. Interaksi pengajar dan pelajar, interaksi antar pelajar itu
sendiri terjadi berpuluh-puluh kali dalam satu hari dan dalam tempo yang cepat. d. Lingkungan kelas bersifat tidak dapat diramalkan unpredictable
Segala kejadian-kejadian dalam lingkungan kelas dapat berlangsung secara cepat dan tidak diduga. Proses belajar mengajar dapat saja terganggu bila ada
pelajar yang datang terlambat atau listrik tiba-tiba padam. Kejadian-kejadian tersebut akan mempengaruhi proses belajar itu sendiri.
e. Lingkungan kelas bersifat umum public Bagaimana pengajar menangani kegiatan belajar mengajar di kelas dilihat dan
dinilai oleh semua pihak karena lingkungan kelas bersifat umum. Pelajar akan selalu memperhatikan bagaimana tingkah laku pengajar. Apa saja yang terjadi
dalam lingkungan kelas tersebut dapat dipersepsi secara sama atau berbeda.
f. Lingkungan kelas memiliki nilai sejarah historis Arti dari tingkah laku pengajar dan pelajar tergantung dari apa yang telah terjadi
pada saat-saaat sebelumnya. Bagaimana tingkah laku individu saat ini adalah juga tergantung dari pengalaman-pengalamannya yang ia dapatkan di
lingkungan itu.
2.2.4 Dimensi-dimensi iklim kelas
Beberapa peneliti motivasi memfokuskan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi orientasi tujuan penguasaan mastery goal orientation. Walaupun
hal tersebut dipengaruhi oleh teori tujuan goal theory, namun relevan dengan struktur di dalam kelas. Epstein 1989 dalam Pintrich dan Schunk, 1996
mengidentifikasi enam faktor yang terdapat di dalam kelas yang mempengaruhi motivasi atau orientasi tujuan siswa, umumnya disingkat TARGET. Keenam
faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tugas yang harus dikerjakan oleh siswa Task
Dimensi Task berfokus pada desain aktivitas belajar dan pemberian tugas. Berbagai strategi motivasi menghasilkan bermacam cara agar aktivitas ini
dapat meningkatkan orientasi tujuan penguasaan. Strategi-strategi tersebut meliputi membuat pembelajaran menjadi menarik, membuat berbagai
macam tantangan untuk siswa, membantu siswa merancang tujuan yang realistik, dan mengembangkan kemampuan siswa dalam manajemen dan
pengorganisasian serta strategi yang efektif.
2. Otonomi yang diberikan pada siswa ketika mereka sedang mengerjakan tugas Authority
Dimensi Authority memperlihatkan kesempatan yang dapat siswa gunakan untuk memainkan peran kepemimpinan dan mengembangkan rasa
kemandirian dan mengontrol aktivitas belajar. Authority sangat menunjang dengan memperbolehkan siswa untuk berparisipasi dalam pengambilan
keputusan, memberikan siswa pilihan-pilihan dan peran kepemimpinan, dan mengajarkan siswa kemampuan agar dapat memiliki tanggung jawab
dalam belajar. Persepsi siswa terhadap kompetensi akan meningkat di dalam kelas yang memberikan kemandirian dalam kadar yang lebih besar.
3. Pemberian penghargaan bagi prestasi siswa Recognition Dimensi Recognition berhubungan dengan penggunaan hadiah, insentif,
dan penghargaan yang memiliki konsekuensi penting terhadap motivasi siswa dalam belajar. Untuk meningkatkan orientasi tujuan penguasaan,
Ames 1992 dalam Pintrich dan Schunk, 1996 merekomendasikan agar guru menghargai usaha, peningkatan, dan hasil belajar siswa; memberikan
kesempatan bagi seluruh siswa untuk mendapatkan hadiah; dan menggunakan bentuk penghargaan yang berbeda.
4. Pengorganisasian kelas sehingga siswa dapat saling bekerja sama dan berinteraksi Grouping
Dimensi Grouping berfokus pada kemampuan siswa untuk bekerja sama secara efektif dengan siswa lainnya. Untuk mengembangkan atmosfer
dimana keberagaman siswa tidak berakibat pada keberagaman motivasi,
guru sebaiknya menyediakan kesempatan bagi siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dan interaksi antar sesama siswa di dalam kelas.
5. Pelaksanaan evaluasi Evaluation Dimensi Evaluation meliputi metode yang digunakan untuk memonitor
dan menghitung pembelajaran yang siswa lakukan. Beberapa strategi evaluasi yang efektif untuk meningkatkan kualitas motivasi siswa adalah
dengan mengevaluasi peningkatan dan penguasaan siswa, memberikan kesempatan bagi siswa untuk meningkatkan pekerjaan mereka, metode
evaluasi yang berbeda, dan menggunakan evaluasi khusus. 6. Penggunaan waktu di kelas yang berkaitan dengan penentuan waktu
penyelesaian tugas oleh siswa dan fleksibilitas jadwal kegiatan Time Dimensi Time mengarah pada ketepatan dari suatu tugas yang harus
dikerjakan, tahapan instruksi, dan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi tugas. Dimensi Time ini berhubungan erat dengan desain dari
tugas itu sendiri.
2.2.5 Persepsi siswa mengenai iklim kelas
Persepsi terhadap stimulus akan berdampak terhadap berbagai hal. Dalam kaitannya dengan iklim kelas, guru merupakan objek yang sangat penting yang
akan dipersepsi. Pengajaran yang diberikan oleh guru akan dipersepsi oleh siswa. Persepsi yang positif terhadap pengajaran akan membuat siswa merasakan
kesenangan dalam belajar, mendorong mereka untuk mempelajari materi lebih
mendalam, dan pada akhirnya akan membuat siswa lebih terlibat dalam proses belajar mengajar.
Church, Elliot dan Gable 2001 menyebutkan dari keenam faktor yang telah disebutkan sebelumnya, ada tiga hal yang paling penting yang sangat
mempengaruhi pembentukan orientasi tujuan. Yang pertama diambil dari “kategori siswa”, yaitu persepsi siswa terhadap kemampuan guru untuk
menyampaikan materi ajar secara menarik, sehingga mendorong siswa melakukan pemikiran kritis dalam belajar dan menunjukkan aktivitas belajar yang
membutuhkan pemikiran tingkat tinggi. Guru yang dipersepsi mampu menyampaikan materi ajar dengan menarik akan mendorong terbentuknya
orientasi tujuan penguasaan. Selain itu, dalam persepsi terhadap pengajaran guru ini juga terlihat adanya metode pengajaran yang bersifat pemusatan terhadap
siswa, yaitu metode yang menjadikan siswa sebagai pusat perhatian, guru memiliki harapan tinggi terhadap siswa, guru mampu menciptakan suasana belajar
yang menarik, dan mendorong peserta didik untuk berpikir sendiri serta melakukan organisasi materi ajar sehingga mendorong siswa untuk lebih
termotivasi dalam belajar. Metode pengajaran ini akan mendorong terbentuknya orientasi tujuan penguasaan. Sebaliknya, metode lain bersifat pemusatan terhadap
guru, yaitu metode yang menjadikan guru sebagai pusat, tidak memiliki harapan tinggi terhadap siswa dan tidak mendorong siswa untuk berpikir mandiri dan
mengorganisasikan materi ajar McCombs Whisler, 1997. Yang kedua diambil dari kategori “evaluasi”, yaitu persepsi siswa terhadap
evaluasi yang dilakukan guru. Evaluasi merupakan komponen integral dari
pembelajaran. Persepsi terhadap evaluasi akan mendorong siswa untuk mengadopsi orientasi tujuan performa. Ames dan Archer 1988 menemukan
bahwa situasi kelas yang terbentuk dapat mempengaruhi orientasi tujuan dan selanjutnya mendorong perilaku yang berbeda pada siswa sesuai dengan orientasi
tujuan yang diadopsi. Berdasarkan evaluasi yang diberikan guru, ada dua macam situasi kelas yang dapat dipersepsi siswa, yaitu situasi kelas yang menekankan
pada perbandingan kemampuan kognitif secara sosial dan situasi kelas yang menekankan pada peningkatan diri, partisipasi, usaha dan pendekatan belajar yang
dilakukan siswa. Persepsi situasi kelas yang menekankan partisipasi, usaha dan pendekatan belajar yang dilakukan peserta didik akan mendorong siswa untuk
mengadopsi orientasi tujuan penguasaan, sedangkan persepsi terhadap situasi kelas yang menekankan perbandingan secara kognitif akan mengarahkan siswa
pada orientasi tujuan performa. Hal ketiga yang diambil dari kategori “pengenalan kembali dan evaluasi”,
yaitu persepsi siswa mengenai pencapaian nilai dalam evaluasi yang diberikan. Persepsi akan sulitnya memperoleh nilai yang baik akan berdampak negatif
terhadap prestasi belajar karena akan mendorong timbulnya orientasi tujuan performa dan menimbulkan kecemasan.
Persepsi mengenai iklim kelas yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan penginterpretasian hal-hal yang diterima siswa di kelas, yang meliputi cara
pengajaran guru dan situasi belajar mengajar yang disebut sebagai persepsi terhadap pembelajaran, serta persepsi terhadap evaluasi yang diberikan guru, yang
secara tak langsung mempengaruhi penggunaan strategi belajar strategi self- regulated learning.
2.3 Penelitian-penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai strategi self-regulated learning yang dilakukan oleh Zimmerman dan Martinez-Pons 1988 pada siswa sekolah menengah
menghasilkan empat belas kategori strategi self-regulated learning yang meliputi self-evaluation, organizing and transforming, goal-setting and planning, seeking
information, keeping records and self-monitoring, environmental structuring, self- consequences, rehearsing and memorizing, seeking peer, teacher, and adult
assistance, and reviewing notes, tests, or textbooks, ditambah satu respon yang tidak termasuk strategi self-regulated learning yang diberi label other.
Dalam Santrock 2008 para peneliti telah menemukan bahwa siswa berprestasi tinggi sering kali merupakan siswa yang juga mampu melakukan
pengaturan diri sendiri Paris Paris, 2001; Pintrich, 2000; Pintrich Schunk, 2002; Zimmerman, 1998, 2000, 2001; Zimmerman Schunk, 2001. Misalnya,
dibandingkan dengan siswa berprestasi rendah, siswa berprestasi tinggi menentukan tujuan yang lebih spesifik, menggunakan lebih banyak strategi
belajar, memonitor sendiri proses belajar mereka, dan lebih sistematis dalam mengevaluasi kemajuan mereka sendiri.
Hasil penemuan-penemuan peneliti menunjukkan bahwa banyak siswa yang berprestasi rendah sekalipun memiliki potensi intelektual yang tinggi. Hal ini
dijelaskan bahwa dibutuhkan faktor lain disamping kecerdasan, yaitu faktor motivasi dan self-regulated learning Hawadi, 2004.
Zimmerman dan Martinez-Pons 1988 menyebutkan bahwa faktor lingkungan dan motivasi mempengaruhi siswa dalam menggunakan strategi self-regulated
learning. Hal ini dikarenakan siswa juga menggunakan strategi self-regulated learning yang didasarkan pada faktor lingkungan seperti environmental
structuring, seeking social assistance from teacher, dan seeking or reviewing information. Karenanya, faktor lingkungan atau dalam penelitian ini lebih
diarahkan pada lingkungan iklim kelas ini memiliki pengaruh tersendiri terhadap strategi yang akan digunakan oleh siswa. Karena dalam teori sosial kognitif,
ketiga faktor yang terdapat di dalamnya saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, meskipun akan berbeda kadarnya sesuai dengan konteks kondisi
yang terjadi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ames dan Archer 1988 dan penelitian
yang dilakukan oleh Church, Elliot dan Gable 2001 menyebutkan bahwa persepsi siswa akan iklim kelas akan mempengaruhi orientasi tujuan belajar siswa
yang selanjutnya mempengaruhi perilaku belajar siswa. Bila siswa memiliki persepsi iklim kelas yang positif maka akan mengadopsi orientasi tujuan
penguasaan dimana siswa dengan orientasi tujuan penguasaan akan melakukan serangkaian strategi belajar yang efektif.
2.4 Kerangka Berpikir