100
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian beberapa bab di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengaturan pemberian kredit perbankan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Kegiatan pemberian kredit perbankan dilakukan oleh bank
umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Pemberian kredit oleh bank umum diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998 tentang Perbankan dan lebih khusus diatur dalam Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 1422PBI2012
tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pemberian kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan dan lebih khusus diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 1426DKBU Tanggal 12 September 2012 perihal
Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat. Pemberian kredit melalui perbankan sudah memiliki payung hukum
yang kuat, akan tetapi kekuatan hukum pengaturan tersebut belum
berdampak langsung bagi masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
2. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengatur dan mengawasi hanya
mencakup kegiatan jasa keuangan, salah satunya di sektor perbankan. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengatur dan mengawasi
perbankan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
adalah Pertama, kewenangan memberikan izin yaitu kewenangan untuk menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank yang meliputi
pemberian izin dan pencabutan izin usaha bank, pemberian izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, pemberian persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan bank, pemberian izin kepada bank untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Kedua, kewenangan untuk
mengatur yaitu menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha perbankan dalam rangka mewujudkan perbankan yang sehat. Ketiga,
kewenangan untuk mengawasi yaitu pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung untuk mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank serta
memantau tingkat kepatuhan bank terhadap ketentuan yang ditetapkan OJK. Keempat, kewenangan untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan maupun Undang-Undang Perbankan. Kelima, kewenangan untuk melakukan
penyidikan untuk melihat tindakan bank apabila ada tindakan yang menyeleweng dari ketentuan yang berlaku.
3. Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam meningkatkan daya saing pemberian
kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat dapat dilihat melalui pengaturan dan
Universitas Sumatera Utara
pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Bank Perkreditan Rakyat dalam melakukan pemberian kredit kepada masyarakat.
Dalam melakukan fungsi pengaturan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tata cara atau prosedur agar nasabah dapat menerima suatu kredit dari Bank
Perkreditan Rakyat. Melalui prosedur yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan maupun dari internal bank itu sendiri, akan meminimalisir
terjadinya pelanggaran atau penyimpangan-penyimpangan kredit yang dapat dilakukan masyarakat sebagai nasabah maupun dari pihak Bank Perkreditan
Rakyat itu sendiri. Dalam hal penanganan penyimpangan kredit yang terjadi di BPR, OJK melakukan pengawasan terhadap bank maupun nasabah yang
diduga melakukan praktik perbankan yang tidak sehat dalam pemberian kredit sesuai dengan wewenang OJK yang diatur dalam Pasal 7 UU OJK
dan Pasal 34 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17POJK032014.
B. Saran