Pengembangan Kompetensi Bank Perkreditan Rakyat

Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif adalah Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang BPR. 6 Perusahaan-perusahaan bukan Bank yang dimiliki oleh pihak- pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya baik individual maupun keseluruhan sebesar 25 dua puluh lima persen atau lebih dari modal disetor perusahaan.

B. Pengembangan Kompetensi Bank Perkreditan Rakyat

Seiring dengan semakin ketatnya persaingan dalam hal pemberian kredit kepada masyarakat, maka perkembangan BPR sesuai dengan amanat UU Perbankan arah pemerintah dalam usaha mengembangkan BPR adalah membentuk BPR sebagai rural bank yang beroperasi dipedesaan dan membantu menyediakan modal bagi masyarakat desa sebagai penggerak roda perekonomian dipedesaan yang telah diubah dengan UU Perbankan dimana misi BPR yang semula ditujukan dalam rangka modernisasi pedesaan menjadi diarahkan untuk mengembangkan usaha kecil dan pengusaha ekonomi lemah. 125 Agar dapat bersaing dengan maksimal, maka kesiapan menghadapi era globalisasi BPR perlu menetapkan cita-cita atau gambaran masa depan yang diinginkan dan disepakati dan upaya-upaya yang diperlukan untuk mewujudkannya berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan dengan 125 Pengembangan dan Pemberdayaan BPR dalam Upaya Peningkatan UKM di Indonesia, http:eprints.unisbank.ac.id1951artikel-31.pdf diakses pada 15 April 2016 Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan potensi dan kendala yang dihadapi yang dituangkan dalam sebuah rencana strategi. 126 BPR sebagai lembaga keuangan sebenarnya memiliki beberapa keunggulan tersendiri. Keunggulan BPR pertama adalah cakupan usahanya yang lebih sempit memungkinkan BPR mengenali usahnya dengan lebih baik sehingga dapat memberikan pelayana yang lebih baik dan menekan credit risk, kedua dengan kegiatan yang terbatas dapat lebih fokus dengan kegiatan yang lebih sempit dan membangun suatu keahlian atau expertise pada bidang usaha tertentu dan terakhir dengan bentuk yang lebih kecil juga memiliki kesempatan untuk menjadi lebih efisien, sehingga memungkinkan lebih unggul dalam segmen pemberian kredit kecil kepada masyarakat. 127 Kebijakan pengembangan BPR tetap diarahkan pada penguatan kapasitas industri BPR, melalui penguatan permodalan, untuk mampu bersaing dengan pelaku bisnis lain di pasar keuangan mikro, serta memelihara kontinuitas kegiatan usaha BPR. Peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan BPR menjadi salah satu fokus upaya pengembangan BPR. 128 1. Model Bisnis BPR Guna mewujudkan upaya tersebut, beberapa langkah kebijakan yang telah diambil otoritas, meliputi: Disusun melalui pengamatan terhadap kinerja dan perilaku industri BPR selama 5 tahun terakhir, terpilih BPR-BPR yang memiliki kinerja terbaik kemudian dijadikan model bisnis dalam pengelolaan BPR. Aspekaspek yang disajikan 126 Strategi Pengembangan BPR, http:skripsi-ilmiah.blogspot.co.id201302strategi- pengembangan-bank-perkreditan.html diakses pada 15 April 2016 127 Abdullah, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, Malang: UMM Press, hlm.190. 128 Booklet Perbankan Indonesia, http:www.bi.go.ididpublikasiperbankan-dan- stabilitasbooklet-biDocumentsBPI20Tahun202014.pdf diakses pada 15 April 2016. Universitas Sumatera Utara dalam model bisnis tersebut dijadikan acuan bagi pendirian BPR baru maupun pengelolaan BPR yang telah beroperasi untuk dapat menjalankan bisnis BPR secara sehat. Model Bisnis BPR terdiri dari 6 aspek utama: a. Pemilik Pemilik BPR idealnya berasal dari daerah di mana bank itu akan didirikan, mempunyai kemampuan dan komitmen dalam memasok modal, serta kesungguhan dalam mendorong pengelolaan bank secara sehat. b. Permodalan ketersediaan tambahan modal dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan operasional BPR. c. Lokasi dan wilayah operasional pendirian BPR perlu mempertimbangkan faktor lokasi dengan memperhatikan potensi ekonomi dan jumlah bank di lokasi tersebut. Di samping itu, sebaiknya BPR didirikan di lokasi yang mudah dijangkau masyarakat kecil terutama di pedesaan dan Usaha Mikro dan Kecil UMK. d. Strategi bisnis agar bisnis BPR terus tumbuh dan berkembang, manajemen BPR harus memiliki Strategi Bisnis yang tepat, seperti : 1 Memfokuskan pada pembiayaan usaha produktif skala mikro dan kecil yang sudah dikenal karakternya, serta penetapan tingkat suku bunga kredit yang kompetitif dan terjangkau. 2 Melayani kebutuhan UMK dengan menetapkan persyaratan dan prosedur bank yang sederhana dan cepat. Menggunakan dukungan Teknologi Informasi TI dalam operasionalnya agar mampu meningkatkan kualitas layanan yang jauh lebih cepat dan efisien. 3 Menambah jaringan kantor sesuai dengan kebutuhan. Universitas Sumatera Utara e. Manajemen dan Kebijakan SDM BPR harus dikelola oleh SDM yang memiliki integritas tinggi, profesional, memiliki pemahaman terhadap potensi usaha, serta karakteristik wilayah dan masyarakat pasar yang dilayani BPR. Pegawai sebaiknya berasal dari daerah lokasi BPR berada karena memahami kebiasaan, budaya, karakteristik masyarakat setempat termasuk potensi wilayahnya. Struktur organisasi BPR minimal terdiri dari 2 orang anggota Dewan Komisaris, 2 orang anggota Dewan Direksi, 7 orang pegawai yang membawahi akuntansi, pelayanan nasabah, pemasaran, administrasi dan umum, kasir, analis kredit, serta keamanan. f. Hubungan dengan Masyarakat Meskipun BPR berorientasi bisnis, namun harus tetap membaur dan menjadi bagian dari masyarakat setempat. Hal ini penting dalam membangun relasi dan ikatan batin melalui keterlibatan BPR dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar. 2. Mendorong Kerjasama APEX BPR APEX dalam bahasa Yunani adalah mengayomi. Dengan demikan, APEX BPR adalah pengayom bagi BPR. Sebagai contoh, Bank Jateng yang telah tergabung dalam APEX BPR akan menjadi pengayom bagi BPR yang mengalami kesulitan likuiditas sementara. Bank Jateng akan menjadi pooling of fund 129 dan lender of the last resort 130 129 Pooling of fund adalah penempatan alokasi dana bank dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan sumber dana, seperti sifat, jangka waktu, dan tingkat harga perolehannya. 130 Lender of the last resort dalah pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik. . Dengan demikian, secara tidak langsung Bank Jateng sudah mendukung industri perbankan, terutama Universitas Sumatera Utara BPR. 131 Secara umum APEX BPR dapat berfungsi untuk: mengelola pooling of funds dan membantu BPR dalam mengatasi kesulitan likuiditas akibat mismatch, melakukan kerja sama pembiayaan seperti link age program, memberikan bantuan teknis berupa pengembangan teknologi informasi, pengembangan produk, pelatihan, dan jasa sistem pembayaran, dan memfasilitasi BPR dalam mencari sumber-sumber dana lain. Yang menjadi latar belakang pembentukan APEX BPR adalah memaksimalkan fungsi intermediasi sehingga dana idle tidak terlalu banyak. Kemudian juga ada pembiayaan UKM bagi BPR yang memiliki pendanaan yang tidak optimal. Hal ini dikarenakan rasio LDR yang tinggi di BPR. Karena BPR tidak dapat melakukan lalu lintas pembayaran, maka APEX sebagai lembaga yang akan memfasilitasi. Di samping itu, ada pendampingan di bidang IT bagi BPR. Dengan adanya APEX BPR ini, akan muncul pula produk turunannya. Produknya dapat berupa kredit Linkage, kerjasama ATM, kerjasama Western Union. Dengan demikian kerja sama tersebut akan mengangkat keistimewaan BPR. Lembaga APEX merupakan bentuk kerjasama antara bank umum yang berperan sebagai bank induk dengan BPR sebagai anggota. Kehadiran lembaga APEX merupakan bentuk sinergi yang ideal untuk bersama-sama melayani UMK, sehingga meminimalisasi terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat antara BU dan BPR. Istilah APEX sendiri diambil dari bahasa Yunani yang berarti “pengayom” yang bermakna pula bahwa APEX BPR harus menjadi pengayom bagi BPR anggota. 131 APEX BPR solusi atasi Persoalan Persaingan BPR dengan Bank Umum, https:bprargo.wordpress.com20111221APEX-bpr diakses pada 15 April 2016 Universitas Sumatera Utara Melalui kerjasama APEX BPR, bank umum dan BPR diharapkan dapat saling bahu membahu dengan mengoptimalkan kekuatan dalam pemberian kredit kepada masyarakat. Karena sebelum adanya APEX BPR, persaingan antara bank umum dengan BPR sangat ketat dalam meraih pasar mikro. Pasar mikro yang menjadi sasaran kerja BPR sudah menjadi sasaran bank umum juga. Dalam hal ini BPR sangat tertinggal oleh bank umum, karena bank umum akan lebih unggul dengan dukungan Sumber Daya Manusia SDM dan infrastruktur layanan. Meskipun BPR harus bersaing dengan bank umum, namun BPR masih unggul dalam hal pemberian kredit kepada masyarakat karena BPR tersebar sampai ke pelosok desa di Indonesia. 132 C. Peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai Regulator dalam Peningkatan Daya Saing Pemberian Kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat Dalam hal pengembangan BPR sampai ke pelosok nusantara, BPR bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah BPD yang membuat kegiatan usaha kedua bank tersebut dapat lebih efisien. Jalinan kerjasama yang dinaungi oleh APEX BPR ini akan menjadikan BPR sebagai bank yang fokus pada kegiatan ekonomi di daerah dengan mendorong BPD menjadi APEX BPR. Setiap model pengawasan memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing, bahkan di dunia ini belum ada sebuah model pengawasan industri keuangan yang sempurna. Setiap model pengawasan memiliki celah untuk lahirnya suatu penyimpangan. UU OJK memberikan kewenangan kepada lembaga independen ini untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan dan perbankan. Oleh karena BPR adalah salah satu lembaga keuangan yang lazim 132 APEX BPR solusi atasi Persoalan Persaingan BPR, http:www.perbarindo.or.idAPEX-bpr diakses pada 15 April 2016 Universitas Sumatera Utara mengalami resiko, tidak mustahil bahwa di dalamnya banyak terjadi penyimpangan- penyimpangan kredit dan adanya kredit macet dari pihak nasabah maupun dari pihak bank. OJK sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di BPR, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran atau penyimpangan yang dapat merugikan pihak bank maupun masyarakat sebagai nasabah. Adapun masalah dalam pemberian kredit yang dibahas dalam penulisan ini adalah penyimpangan kredit dan kredit macet yang dilakukan oleh pihak bank maupun nasabah itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, BPR dalam memberikan kredit harus memperhatikan resiko dikemudian hari karena tidak semua kredit yang dikeluarkan oleh BPR akan kembali tepat waktu seperti perjanjian yang sudah diatur. Pada saat sekarang ini banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hal kredit sampai pada proses pencairan kredit yang tidak sesuai dengan prosedur. Penyimpangan yang terjadi memiliki banyak motif, baik yang dilakukan oleh nasabah maupun dilakukan dari pihak bank itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena tidak diperhatikannya aspek penilaian dan analisis dalam prosedur pemberian kredit, serta kurang diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam perbankan. 133 Selain penyimpangan kredit, OJK juga memiliki peran yang sama dalam hal penyelesaian kredit macet. Dalam menganalisis setiap permohonan kredit oleh analis kredit, kemungkinan kredit tersebut mengalami kemacetan tetap ada. Hal ini disebabkan oleh dua unsur sebagai berikut: 134 1. Dari pihak perbankan 133 Hermansyah, Op.Cit., hlm.126. 134 Thamrin Abdullah, Op.Cit., hlm.179. Universitas Sumatera Utara Artinya dalam melakukan analisisnya, pihak analis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Hal ini dapat pula terjadi akibat kerja sama dari pihak analis kredit dengan pihak debitur sehingga dalam melakukan analisisnya dilakukan secara subjektif. 2. Dari pihak nasabah Kemacetan kredit dapat dilakukan akibat dua hal yaitu: adanya unsur kesengajaan, artinya nasabah dengan sengaja bermaksud tidak membayar kewajibannya sehingga kredit yang diberikan macet. Adanya unsur tidak sengaja, artinya dalam hal ini debitur mau membayar, tetapi tidak mampu. Sebagai contoh kredit yang dibiayai mengalami musibah seperti kebakaran, kena hama, banjir, sehingga kemampuan untuk membayar kredit tidak ada. Salah satu faktor utama penyebab permasalahan perbankan saat ini adalah kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank sehingga kegiatan usaha bank tidak lagi dikelola secara sehat bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para pemilik, pengurus, atau pihak lainnya. 135 135 Melayu Hasibuan, Dasar-dasar Perbankan Bandung: Bumi Aksara, 2007, hlm.156. Kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank dapat tercermin dengan adanya pelanggaran pelayanan dan pemasaran produk jasa bank meskipun tidak dilakukan secara langsung oleh pihak bank seperti penipuan yang dilakukan oleh seorang karyawan bank dengan modus penawaran produk perbankan dengan return yang tinggi, kasus penipuan dengan kedok gadai emas pada perbankan syariah, ataupun tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang sangat menarik masyarakat calon nasabah bank Universitas Sumatera Utara tersebut. Padahal pelayanan jasa dan etika pemasaran produk jasa bank harus dilakukan dengan baik dan benar sehingga mendapat simpatik dan menarik bagi masyarakat calon nasabah bank bersangkutan. Apabila pelayanan dan etika bank dilakukan dengan baik dan benar, maka pemasaran produknya diharapkan akan berhasil baik dan tidak merugikan salah satu pihak. 136 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut dengan UUPK digunakan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak yang sekaligus ditujukan untuk mendapatkan kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya. 137 Perlindungan nasabah ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen merupakan jamianan kepastian hukum terhadap nasabah untuk dilindungi dan mendapatkan pelayanan secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikan 138 Suatu peraturan dan pengawasan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu menjadi salah satu upaya dalam pengantisipasian terjadinya pelanggaran atas produk perbankan. Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain dan dapat melakukan upaya tersebut adalahOJK. OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 adalah lembaga yang didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam 136 https:erlanandard.wordpress.com20141222peran-otoritas-jasa-keuangan-ojk- dalam-perlindungan-konsumen-produk-perbankan diakses pada 15 April 2016 137 Tatik Suryani, Perilaku Konsumen; Implikasi pada Strategi Pemasaran Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm.332. 138 Memi Meilani, Pengaruh Pemberian Kredit Jakarta: Raja Grafindo, 2008, hlm.86. Universitas Sumatera Utara pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan. Visi Otoritas Jasa Keuangan OJK adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum. Sementara misi Otoritas Jasa Keuangan OJK adalah: a. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel b. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; c. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat Sesuai dengan visi, misi, fungsi dan tugasnya, OJK memiliki wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan serta menekankan pada perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat, khususnya konsumen produk jasa keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 1POJK.072013 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen menerapkan 5 prinsip, yaitu: a. transparansi; b. perlakuan yang adill; c. keandalan; d. kerahasiaan dan keamanan datainformasi konsumen dan Universitas Sumatera Utara e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Otoritas Jasa Keuangan dalam peraturannya Nomor 8POJK.032014 pada pasal 6 huruf g menjelaskan bahwa indikator dalam melihat adanya praktik perbankan tidak sehat yang dapat mengganggu aktivitas jasa keuangan terdiri dari: a. capital permodalan Rasio yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kewajiban penyediaan modal minimum terhadap ketentuan yang berlaku. Melalui ini akan diketahui kemampuan menyanggah aktiva bank; b. kualitas asset Merupakan rasio yang mengukur kemampuan kualitas aktiva produktif yang dimiliki bank untuk menutup aktiva produktif yang diklasifikasikan bank; c. manajemen Rasio ini melihat manajemen dalam sektor perbankan yang mencakup manajemen umum, manajemen kepatuhan, dan manajemen resiko; d. profitabilitas Dilakukan melalui adanya dugaan penyimpangan terhadap komponen- komponen return on assets ROA, yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan dari total aktiva yang dimiliki. Universitas Sumatera Utara Indikasi adanya dugaan penyimpangan kredit merupakan langkah awal dari otoritas pengawas untuk menindaklanjuti keadaan perbankan. Sejalan dengan hal itu, OJK mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap semua kelembagaan dan kegiatan perbankan khususnya dalam hal pemberian kredit. Adapun pembinaan dan pengawasan tersebut ditempuh melalui upaya-upaya tertentu yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun represif yang dilakukan melalui tindakan perbaikan. Untuk menindaklanjuti adanya pelanggaran dalam perbankan, OJK melakukan tindakan berupa pengawasan sesuai dengan fungsi yang diamanatkan dalam UU OJK. Bentuk pengawasan terhadap perbankan yang dilakukan OJK adalah pengawasan langsung dan tidak langsung. Secara umum dijelaskan sebagai berikut: 139 a. Pengawasan tidak langsung off site supervision Dengan metode ini, OJK mengawasi kondisi bank secara individual, kelompok, maupun keseluruhan dengan menelaah berbagai laporan yang disampaikan oleh perbankan. Tujuannya adalah untuk menilai apakah peraturanketentuan yang ditetapkan, asas usaha bank dan perkreditan yang sehat itu dipatuhi dan dilaksanakan secara konsisten, diidentifikasi penyimpangan dan pelanggarannya, serta kegiatan yang mengganggu kelangsungan usaha bank ataupun merugikan berbagai pihak. 139 Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm.285. Universitas Sumatera Utara b. Pengawasan langsungpemeriksaan on site supervision Dengan melihat adanya indikasi penyimpangan yang dilkakukan bank melalui metode pengawasan tidak langsung yang dilakukan oleh OJK berdasarkan penganalisisan setiap laporan yang disampaikan bank, tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pengawasan langsung yang meliputi pemeriksaan terhadap bank untuk lebih meyakinkan bahwa memang benar adanya dugaan penyimpangan kredit yang dilakukan bank. Dengan menggunakan metode ini, OJK ingin meyakini kondisi bank secara langsung berdasarkan data dan dokumen yang dipelihara oleh bank, sekaligus menguji kebenaran dan konsistensi pembuatan laporan yang disampaikan kepada OJK. Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, OJK melakukan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 7 huruf d UU OJK. Menurut Pasal 29 ayat 1 dan 2 UU BI menyatakan bahwa: a. bank memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan perbankan. b. bank mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit. Pemeriksaan terhadap pemberian kredit oleh BPR dilakukan baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan juga dapat mencakup pemeriksaan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. 140 140 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000, hlm.276. Pemeriksaan yang dilakukan oleh OJK kepada Universitas Sumatera Utara lembaga jasa keuangan termasuk BPR dilaksanakan sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari pihak bank maupun dari nasabah untuk menjaga keberlanjutan proses jasa keuangan khususnya dalam hal pemberian kredit. Pelaksanaan pemeriksaan BPR oleh OJK meliputi pemeriksaan buku, berkas, warkat, catatan, dokumen dan data elektronis termasuk salinannya 141 a. peringatan tertulis; Adapun bentuk penanganan yang dilakukan OJK terhadap BPR yang diduga melakukan penyimpangan kredit adalah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis yang merupakan sebagai langkah awal. Hal ini dapat dilihat dari dalam Pasal 34 Peraturan OJK Nomor 17POJK032014 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Konglomerasi Keuangan. Adapun sanksi administratif yang tertulis dalam Pasal 34 POJK diatas berupa: b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; d. pembatasan kegiatan usaha; e. perintah penggantian manajemen; f. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; dan g. pembatalan persetujuan, pendaftaran dan pengesahan. 141 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.138. Universitas Sumatera Utara Teguran tertulis merupakan langkah awal yang diberikan OJK kepada bank yang diduga melakukan penyimpangan dalam pemberian kredit. Teguran tertulis yang diberikan oleh OJK adalah suatu Surat Peringatan yang selanjutnya disebut dengan SP yang terdiri dari SP I sampai dengan SP III. Penerapan sanksi administratif langsung diberikan oleh OJK kepada BPR yang melakukan penyimpangan. Tindakan administratif yang diberikan oleh OJK dilakukan untuk meminta komitmen BPR untuk melakukan perbaikan dalam rangka menaati ketentuan perbankan yang dibuat oleh OJK demi menjaga kesehatan bank maupun kepercayaan nasabah terhadap BPR. Selain sanksi administratif yang dapat diterima pihak BPR, sanksi lain yang dapat diterima adalah pencabutan izin usaha BPR. Pencabutan izin usaha BPR merupakan wewenang OJK. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa OJK mempunyai wewenang dalam hal mengatur dan mengawasi permasalahan pemberian kredit dalam hal ini penyimpangan kredit dan kredit macet yang dilakukan oleh BPR. Oleh karena itu, baik nasabah maupun pihak bank telah dilindungi haknya dalam hal pemberian kredit secara hukum. Universitas Sumatera Utara 100 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

0 84 124

Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Regulator dan Pengawas Kegiatan Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal

6 110 111

Tinjauan Yuridis Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Transformasi Badan Kredit Desa yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat

2 35 113

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT OLEH PERUSAHAANDAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) BANK PASAR PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT OLEH PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) BANK PASAR KABUPATEN SUKOHARJO.

0 2 11

Matriks RPOJK Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR BPRS 061216

0 1 31

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

1 3 7

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 0 1

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 0 18

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 1 28

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 0 5