Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

(1)

Abdullah, Thamrin. Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Asikin, Zainal. Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT

Rajawali Pers, 1995.

Astiko. Manajemen Perkreditan. Yogyakarta: Andi Offset, 1996.

Darus Badrulzaman, Mariam. Perjanjian Kredit Bank. Jakarta: Alumni, 1978. Djumhana, Muhamad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2000.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

Gazali, Djoni. Hukum Perbankan. Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

Hasibuan, Malayu. Dasar-dasar Perbankan. Bandung: Bumi Aksara, 2007. Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005. Ismail. Manajemen Perbankan dari Teori Menuju Aplikasi. Jakarta: Kencana

Media Group, 2010.

Kaoma, Kenneth Mwenda. Legal Aspects of Financial Services Regulation and the Concept of a Unified Regulator, the World Bank, 2006.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi VI. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.

__________. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

__________. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012. Meilani, Memi. Pengaruh Pemberian Kredit. Jakarta: Raja Grafindo, 2008.

Muhammad, Kadir. Abdul, Murniati, Rilda. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.


(2)

Panggabean, H.P. Praktik Standard Contract (Perjanjian baku) dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung: Alumni, 2012.

Poerwadarminta, W.JS. Kamus Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Sastradipoera, Komaruddin. Strategi Manajemen Bisnis. Bandung: Kappa-Sigma, 2004.

Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2000. Sinungan, Muchdarsyah. Manajemen Dana Bank. Jakarta : Bumi Aksara, 1993. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Cet. Ketiga. Jakarta: Penerbit

Univeritas Indonesia (UI Press), 2005.

Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Suhardjono. Manajemen Perkreditan Usaha Kecil dan Menengah. Yogyakarta : UPP KMP YKPN, 2005.

Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Perkreditan. Jakarta: Djambatan, 1995.

Suryani, Tatik. Perilaku Konsumen; Implikasi pada Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Sutarno. Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Bandung: Alfabeta, 2008. Suyatno, Thomas. et.al. Kelembagaan. Jakarta : Gramedia, 1997.

Suyatno, Thomas. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Tjoekam, Moehamad. Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersil (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Veithzal, Andria. Kredit Manajemen Hand Book. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.


(3)

B. Peraturan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 7 Tahun1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 26 / DKBU tentang Standar Kebijakan Perkreditan Bank Perkreditan Rakyat.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/18/PBI/2006 tentang Penyediaan Modal Minimum.

Peraturan OJK Nomor 17/POJK/03/2014 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Konglomerasi Keuangan.

C. Jurnal/Makalah

Lady, Frengky. “Pengawasan Perbankan oleh Otoritas Moneter, Studi Mengenai Evaluasi Pemberian Kredit di PT BPR Artha Panggung”, Skripsi Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadyah Malang. 2008.

Nasution, Bismar. “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”, Volume 8, Nomor 3. September 2010.

Rahyani, Wiwin. “Independensi OTORITAS JASA KEUANGAN dalam Perspektif UU No. 21 Tahun 2011 tentang OTORITAS JASA KEUANGAN”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume IX No.3. Januari 2013.

Nasution, Bismar. “Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume III, No.3, November 2014

Sitompul, Zulkarnain. “Fungsi dan Tugas OTORITAS JASA KEUANGAN dalam Menjaga StabilitasSistem Keuangan”. Disampaikan pada Seminar Nasional Keberadaan OTORITAS JASA KEUANGAN untuk Mewujudkan Perekonomian yang Stabil dan Berkelanjutan, dilaksanakan oleh Bina Hukum di Politeknik Negeri Medan pada 25 November 2014.


(4)

D. Website

Peran Sistem Pengaturan, 2016).

Liputan Khusus 05 Februari 2016).

Tinjauan Pustaka, https://ndrabanget.wordpress.com/skripsi/bab-ii-tinjauan-pustaka (diakses tanggal 11 Februari 2016).

Perjanjian Kredi (diakses tanggal 11 Februari 2016).

Wawancara Hamud M. Balfas dengan medianotaris.com yang dimuat dalam http://www.medianotaris.com/otoritas_jasa_keuangan_hatihati_investasi_ bodong_berita155.html (diakses pada 17 Februari 2016).

Pengawasan Bank, http://www.OtoritasJasaKeuangan.go.id/tugas-dan-fungsiOtoritas Jasa Keuangan (diakses pada 17 Februari 2016).

Selamat datang wasit baru industri keuangan,

http://lipsus.kontan.co.id./v2/OtoritasJasaKeuangan/read/86/selamat-datang-wasit-baru-industri-keuangan (diakses pada 17 Februari 2016). Pengertian Independensi, http://id.wikipedia.org/wiki/independensi (diakses

pada tanggal 22 Februari 2016).

Independensi OJK, http://infomoneter.com/struktur-regulasi-independensi-otoritas-jasa-keuangan/ (diakses pada 25 Februari 2016).

Sulisistyo, ” Kajian Akademik”,

ugn.vesi+230810.pdf (diakses pada 4 Maret 2016).

Kebijakan Pemberian Kredit Sehat, http://yosephinsimbolon.blog.com/?p=60 (diakses pada 1 April 2016).

Bank PerkreditanRakyat, http://mynetsingojuruh.blogspot.co.id/2013/12/bank-perkreditan-rakyat.html?m= (diakses pada 1 April 2016).


(5)

Pengembangan dan Pemberdayaan BPR dalam Upaya Peningkatan UKM di Indonesia, http://eprints.unisbank.ac.id/195/1/artikel-31.pdf (diakses pada 15 April 2016).

StrategiPengembangan BPR, http://skripsi-

ilmiah.blogspot.co.id/2013/02/strategi-pengembangan-bank-perkreditan.html (diakses pada 15 April 2016).

Booklet Perbankan Indonesia, http://www.bi.go.id/id/publikasi/perbankan-dan stabilitas/booklet-bi/Documents/BPI%20Tahun%202014.pdf (diakses pada 15 April 2016).

APEX BPR solusi atasi Persoalan Persaingan BPR dengan Bank Umum, https://bprargo.wordpress.com/2011/12/21/APEX-bpr/ (diakses pada 15 April 2016).

PerlindunganKonsumenProdukPerbankan,

https://erlanandard.wordpress.com/2014/12/22/peran-otoritas-jasa-keuangan-ojk-dalam-perlindungan-konsumen-produk-perbankan/ (diakses pada 15 April 2016).

https://www.ojk.go.id/id/page/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx (diakses pada tanggal 11 Mei 2016).

OJK Pengawas Pasar Modal, http://www.fiqhislam.com/index/php (diakses pada tanggal 11 Mei 2016).


(6)

A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

Bank Indonesia dalam posisinya sebagai lembaga tinggi negara mengamanatkan bahwa perlu dibentuknya suatu lembaga yang baru untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan. Sesuai dengan Pasal 34 UU BI mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pension, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.69

Secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan sektor jasa keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan sektor jasa keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa institusi.

70

Lembaga pengawas sektor jasa keuangan tersebut diatas pada hakikatnya merupakan lembaga yang bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada diluar pemerintah. Lembaga ini berkewajiban untuk menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan

69 Ismail, Op.Cit., hlm.124.

70 Bismar Nasution, “Struktur Regulasi Independensi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal


(7)

Perwakilan Rakyat.71 Dan pembentukan lembaga yang independen tersebut bertujuan untuk mewujudkan perekonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, serta menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia. Maka program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Lembaga yang independen tersebut dinamakan lembaga Otoritas Jasa Keuangan .72

OJK didirikan dengan alasan telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi serta inovasi financial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas di berbagai subsector keuangan antar lembaga jasa keuangan didalam sistem keuangan. Permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem

71 Hermansyah, Op.Cit., hlm.216. 72 Ibid., hlm.213.


(8)

keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.73

Praktik moral hazard, di sektor keuangan tidak saja dilakukan oleh lembaga keuangan namun mungkin juga dilakukan oleh nasabah ataupun rumah tangga. Sumber dari praktik moral hazard ini bermuara pada kenyataan lemahnya koordinasi dan tidak adanya pertukaran informasi (data sharing dan data interfacing) antar lembaga pengawas lembaga keuangan.

74

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, dana pensiun dan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi oleh lembaga pengawas jasa keuangan.75

Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.76

73 Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas OTORITAS JASA KEUANGAN dalam

Menjaga StabilitasSistem Keuangan” (Disampaikan pada Seminar Nasional Keberadaan OTORITAS JASA KEUANGAN untuk Mewujudkan Perekonomian yang Stabil dan Berkelanjutan) dilaksanakan oleh Bina Hukum di Politeknik Negeri Medan pada 25 November 2014.

74

Ibid.

75 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan.

76 Ibid.


(9)

semakin kompleks dan bervariasi, seperti produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu salah satu alasan rencana Otoritas Jasa Keuangan adalah karena pemerintah beranggapan bahwa Bank Indonesia, sebagai bank sentral telah gagal dalam mengawasi sektor perbankan. Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997 sebanyak 16 bank dilikuidasi pada saat itu.

Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan lainnya serta Kementerian Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan .77

Hamud M. Balfas mengemukakan bahwa alasan didirikannya Otoritas Jasa Keuangan disebabkan pengawasan atas industri jasa keuangan dengan struktur seperti sekarang dianggap sudah tidak memadai. Dengan adanya Otoritas Jasa Keuangan, pengawasan atas semua industri jasa keuangan akan disatukan dalam satu atap yaitu perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga keuangan non bank. Undang-Undang hanya mengecualikan industri perdagangan berjangka saja dari pengawasan Otoritas Jangka Panjang. Selain itu, latar belakang didirikannya Otoritas Jasa Keuangan ini juga karena semakin rumitnya produk keuangan serta pemasaran atas produk ini jika dilakukan lintas

77 Pengawasan Bank,


(10)

industri seperti produk pasar modal (seperti reksa dana) ditawarkan juga oleh bank atau produk asuransi yang juga ditawarkan oleh bank.78

Jika dilihat sedikit kebelakang, sejarah pembentukan lembaga yang independen ini terbilang sulit dan penuh dengan tantangan. Bahkan untuk melahirkan pengawasan sistem keuangan inipun membutuhkan waktu hingga dua belas tahun sampai lembaga ini lahir.79

1. Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang.

Adapun sejarah lahirnya OJK tahun 1999 pasca krisis ekonomi yang melumpuhkan industri perbankan pada tahun 1997-1998, pemerintah langsung berbenah. Gagasan pembentukan otoritas dimasukkan dan menjadi perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Di dalam Pasal 34 disebutkan bahwa :

2. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002.

Selanjutnya pada tahun 2004, tenggang waktu yang diberikan sampai tahun 2002 dalam pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidak juga lahir di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah dan DPR hanya bisa merevisi UU BI. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa, amandemen UU BI tersebut merupakan sebuah perselisihan pandangan antara Bank Indonesia dan

78 Wawancara Hamud M. Balfas dengan medianotaris.com yang dimuat dalam

http://www.medianotaris.com/otoritas_jasa_keuangan_hatihati_investasi_bodong_berita155.html (diakses pada 17 Februari 2016)

79 Selamat datang wasit baru industri keuangan, http://lipsus.kontan.co.id./v2/Otoritas Jasa

Keuangan /read/86/selamat-datang-wasit-baru-industri-keuangan (diakses pada 17 Februari 2016)


(11)

Departemen Keuangan (Kementerian Keuangan). Objek dari perselisihan ini berupa perebutan wewenang dalam mengontrol industri perbankan. Hal inilah yang mati-matian dilawan oleh Bank Indonesia dan akhirnya berhasil. Dalam rumusan amandemen yang telah disepakati, pemindahan kekuasaan insdustri perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan masih dapat diulur selambat-lambatnya sampai akhir tahun 2010.

Tahun 2010, Undang-Undang ini kembali meleset dari yang diharapkan. Batas waktu kembali terlewati. Sampai tutup buku tahun 2010, UU Otoritas Jasa Keuangan masih belum juga selesai. RUU Otoritas Jasa Keuangan yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada 17 Desember 2010 malah menemui jalan buntu, karena pemerintah dan DPR tidak menemukan kata sepakat terhadap struktur dan tata cara pembentukan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Tahun 2011, tahun ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia, terutama bagi sistem keuangan di Indonesia. Pimpinan DPR, Budi Santoso akhirnya mengetuk palu tanda disetujuinya pengesahan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 27 Oktober 2011. Dalam keputusan tersebut disebutkan supaya panitia seleksi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan harus terbentuk pada awal tahun 2012.

Awal tahun 2012, presiden telah membentuk Panitia Seleksi dalam pemilihan calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang secara keseluruhan terdiri dari 9 (sembilan) orang. Menteri Keuangan terpilih menjadi ketua seleksi sekaligus anggota, sedangkan anggota lainnya adalah Gubernur


(12)

Bank Indonesia, Direktur Jenderal Pajak, Wakil Menteri BUMN, dan Deputi Gubernur, kemudian Komisaris Bank Mandiri mewakili lembaga keuangan/perbankan. Pada pertengahan tahun 2012, anggota sekaligus Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (Ketua DK OJK) terpilih. Seluruhnya berjumlah Sembilan (9) orang dan dengan melewati proses seleksi yang ketat.

Tahun 2013, Bapepam-LK melebur ke Otoritas Jasa Keuangan dan sebagian besar pekerja dari lembaga ini juga akan berubah status kepegawaiannya. Pada tahun ini jugalah, Otoritas Jasa Keuangan akan mulai melakukan penarikan iuran dari industri keuangan non bank.Tahun 2014, setelah masa transisi satu tahun Bapepam-LK melebur Otoritas Jasa Keuangan, pada tahun ini telah dilakukan serah terima pengawasan perbankan dari tangan bank sentral kepada Otoritas Jasa Keuangan.80

Sejak lama pembentukan lembaga Otoritas Jasa Keuangan ini diamanatkan oleh UU BI sudah menghadapi berbagai kontroversi mengenai sudah tepatkah pemindahan fungsi pengawasan perbankan yang semula ditangani oleh Bank Indonesia. Setelah keluarnya UU OJK, pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia telah dialihkan kepada OJK. Dalam UU OJK disebutkan bahwa dibutuhkan lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang lebih terintegrasi dan komprehensif agar dapat dicapai mek/anisme koordinasi yang lebih efektif dalam


(13)

menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.81

B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Lembaga OJK adalah lembaga baru yang didirikan berdasarkan UU OJK.82

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diartikan bahwa OJK adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada dasarnya Undang-Undang tentang OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian tanpa pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan

Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan OJK sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Inodesia perlu untuk diperhatikan dengan baik dalam segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.

Secara yuridis, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 OJK, dirumuskan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

81

Penjelasan Umum UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

82HamudM.Balfas.,Op.Cit.

http://www.medianotaris.com/otoritas_jasa_keuangan_hatihati_investasi_bodong_berita155.html (diakses pada 18 Februari 2016)


(14)

didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, dengan dibentuknya OJK diharapkan agar dapat mencapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif didalam penanganan masalah-masalah yang timbul didalam sistem keuangan.

Adapun yang menjadi visi dan misi dalam pembentukan lembaga OJK ini adalah :

1. Misi

a. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.

b. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil

c. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 2. Visi

Menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar bagi perekonomian nasional yang memajukan kesejahteraan umum.

Dengan terbentuknya lembaga ini, OJK bermaksud agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan tersebut :

a. Terselenggara secara adil, transparan dan akuntabel.

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.


(15)

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengawasi seluruh lembaga jasa keuangan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:83

a. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan dengan tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan. c. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi

kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.

d. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

e. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan dengan


(16)

tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

f. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.

g. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Tujuan lain dari pembentukan OJK adalah agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dalam konsep berkelanjutan (sustainable development). Sebagaimana menurut The World Business Council for Sustainable Development yang menggambarkannya dengan kalimat:

“business commitment to contribute the sustainable economic development, working with employees, their the local community, and society at large to improve their quality in life.”84

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam rangka mengatur dan mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan.

Terjemahan bebas dari kalimat di atas adalah sebagai suatu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.

85

84 https://ilhams1993.wordpress.com/otoritas-jasa-keuangan-ojk/ (diakses pada tanggal 22

Februari 2016).

85 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.


(17)

pengaturan dan pengawasan (audit) yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Berdasarkan itu, seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan tunduk pada sistim pengaturan dan pengawasan OJK. Seperti sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.86

Di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen seperti yang telah dijelaskan pada Pasal 2 ayat (2) UU Otoritas Jasa Keuangan bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.87

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen, maksudnya independen adalah “bebas”, “merdeka”.

Pihak lain tidak diperbolehkan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan agar menjamin terselenggaranya pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang optimal dan mampu meningkatkan daya saing nasional. Dengan demikian, seperti ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa Otoritas Jasa Keuangan harus bebas dari campur tangan pihak lain.

88

86

Bismar Nasution, Op.Cit.,hlm.3.

87 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

88 Pengertian Independensi, http://id.wikipedia.org/wiki/independensi (diakses pada

tanggal 22 Februari 2016)

Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terkait dengan pihak manapun dan darimanapun. Istilah independensi tersebut dapat diartikan sebagai ide untuk tidak dipengaruhi atau dikendalikan oleh pihak lain, independensi setiap badan regulator dapat


(18)

dilihat dari empat sudut yang terkait satu sama lain, yaitu regulasi, pengawasan, institusional, dan anggaran.89

Lembaga pengawasan yang independen (supervisory independence) sangat penting untuk sektor keuangan.90 Menurut penjelasan umum UU OJK, dikemukakan bahwa independensi OJK diwujudkan dalam 2 hal, yaitu : secara kelembagaan OJK tidak berada di sistem pemerintahan Republik Indonesia dan pimpinan OJK memiliki kepastian atas jabatannya. Persoalan lain yang mempengaruhi independensi OJK adalah pembiayaan di OJK yang bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan pada sektor jasa keuangan.91

Pungutan ataupun iuran akan mengurangi independensi OJK, sehingga alangkah lebih baik apabila dana OJK berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Akan tetapi demi perkembangan industri jasa keuangan di Indonesia, pungutan atau iuran dapat saja dilakukan oleh OJK. Independensi OJK tercermin di dalam kepemimpinan OJK itu sendiri. Secara perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan kecuali memenuhi alasan secara tegas yang diatur dalam Undang-Undang ini. Disamping itu, dalam mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang ini mengatur mekanisme seleksi yang transparan, akuntabel dan melibatkan

89 Kenneth Kaoma Mwenda, "Legal Aspects of Financial Services Regulation and the

Concept of a Unified Regulator", the World Bank, 2006, hlm. 20

90 Ibid, hal. 21.

91 Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa


(19)

partisipasi publik melalui suatu panitia seleksi yang unsur-unsurnya terdiri dari pemerintah, Bank Indonesia dan masyarakat sektor jasa keuangan.92

Independensi bagi BI dan OJK juga tidak diserahkan kepada kedua lembaga ini secara mutlak. Hal ini dapat dilihat dari dalam urusan penyehatan perbankan menyangkut persoalan ekonomi sebagaimana yang dapat ditentukan dalam Pasal 39 UU OJK. Sehingga independensi dalam pengaturan dan pengawasan perbankan dilakukan pendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.93

Secara umum, struktur regulasi yang independen dapat diukur dari beberapa faktor sebagai berikut:94

a. Independensi dari segi regulasi (Regulatory Independence).95

92Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan.

93 Wiwin Rahyani, “Independensi OTORITAS JASA KEUANGAN dalam Perspektif

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang OTORITAS JASA KEUANGAN ”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume IX No.3, Januari 2013, hlm.369.

94 Bismar Nasution, Op.Cit.,hlm.12 dan 13. 95 Ibid.,hlm.11.

Regulasi di bidang keuangan haruslah didesain untuk memberi keleluasaan untuk OJK dalam membentuk kebijakan yang tepat. Undang-undang yang ada harus memberi ruang dan fleksibilitas kepada OJK untuk dapat mendesain dan merubah kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. Undang-Undang yang terlalu detail menjadi indirect intervention dimana secara tidak langsung OJK diarahkan dan dikekang untuk mengeluarkan sebuah kebijakan yang belum tentu sesuai dengan kondisi yang ada.


(20)

b. Independensi dari segi pengawasan (Supervisory Independence).96

1) Perlindungan hukum kepada jajaran OJK dalam melakukan tugasnya. Jajaran OJK harus mendapat perlindungan hukum ketika mengeluarkan kebijakannya. Hal ini untuk menghindari adanya keragu-raguan dalam mengambil keputusan karena adanya ancaman tuntutan hukum. Selain itu tuntutan hukum juga dapat menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dimana hal ini dapat mengakibatkan hasil yang negatif mengingat sifat perekonomian yang sangat kontekstual. Di banyak negara, undang-undang melindungi regulator dari kewajiban pelaksanaan tugasyang timbul dari kekuasaan negara, kecuali regulator yang beritikad buruk. Perlindungan regulator penting, agar mereka bekerja dengan rajin, kompeten, mandiri dan profesional.

Tanpa pengawasan yang konsisten dan menyeluruh, regulasi tidak akan menjadi efektif dalam membentuk rezim sistem keuangan yang efisien dan stabil. Ada beberapa aspek dalam membentuk pengawasan yang independen sebagai berikut:

97

2) Adanya sistem dan standar yang jelas dalam peraturan OJK mengenai pengawasaan dan pengenaan sanksi. Sistem dan standar yang jelas dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjadi alat check and balances karena keputusan yang diambil bukanlah berdasarkan kebijakan indvidu tetapi harus mengacu pada peraturan yang ada. Hal ini dapat meminimalisasi adanya kebijakan yang bersifat subjektif dan menjaga konsistensi dalam pengawasan regulasi.

3) Sistem remunerasi yang jelas dan terjamin. Harus ada standar gaji yang cukup dan sistem jenjang karir yang berdasarkan merit. Hal

96 Ibid.


(21)

ini ditujukan untuk meminimalisir potensi korupsi dan juga memastikan bahwa OJK diisi oleh orang-orang yang professional dan kompeten dalam bidangnya.

4) Adanya sistem sanksi dan banding yang jelas. Struktur yang ada harus memberikan kejelasan dalam proses pengenaan sangsi dan upaya hukum yang dapat dilakukan serta jangka waktu dalam prosesnya. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk menjaga kepastian hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa otoritas jasa keuangan dapat mengambil tindakan dan kebijakan yang tepat. c. Independensi dari segi institusi (Institutional Independence) mengacu

pada status dari otoritas jasa keuangan yang terpisah dari lembaga eksekutif dan legislatif. Mengingat fungsinya yang sangat krusial untuk menyeimbangkan keadaan perekonomian dan kegagalan fungsi otoritas jasa keuangan yang tidak independen, menjadi sangat penting untuk menjaga independensi sebuah otoritas jasa keuangan dari pengaruh politik dan pemerintah.

C. Status Otoritas Jasa Keuangan

Indonesia pada awalnya menerapkan sistim pengawasan terhadap sektor jasa keuangan dilakukan oleh beberapa institusi, berubah menjadi sistim pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan oleh satu institusi setelah UU OJKyang berlaku tanggal 22 November 2011. Dengan itu pengawasan keseluruhan sektor jasa keuangan di Indonesia dilakukan oleh institusi tunggal, yaitu OJK. Pasal 5 UU OJK menetukan, bahwa


(22)

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.98

Ketika masih di dalam bentuk RUU, Bismar Nasution dalam artikelnya di Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan menyatakan :

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK, bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur di dalam Undang-Undang ini. Lembaga independen adalah lembaga yang bersifat mandiri, bebas dari kekuasaan lainnya dan tidak memiliki hubungan organic ataupun hubungan secara hirarki dengan lembaga negara/instansi pemerintah lainnya.

99

Status Otoritas Jasa Keuangan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat 2 UU OJK hanya menentukan independen, bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK. UU OJK tidak menentukan bebas dari campur tangan pemerintah, melainkan hanya menentukan bebas dari campur tangan pihak lain seperti yang dijelaskan di atas.

“Amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia dilaksanakan atas akibat tidak efektifnya Bank Indonesia dalam menciptakan stabilitas nilai rupiah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 7 UU BI. Tujuan Bank Indonesia sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 terebut, hanya dapat dilaksanakan secara efektif apabila Bank Indonesia berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 UU BI”.

98 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm. 1 dan 2.

99 Bismar Nasution, “Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan”, Volume 8, Nomor


(23)

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan pada asas independensi. Asas independensi adalah asas yang menyatakan keindependensian dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.100

OJK sebagai pengawas industri keuangan yang baru diharapkan dapat membuat kebijakan dan peranan jauh lebih baik dari saat ini, sehingga bisa mendorong kemajuan industri keuangan nasional. Keberadaan OJK tidak bisa dilepaskan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia membutuhkan akses data perbankan yang cepat dan tepat. Bagi bank sentral, kewenangan menggunakan informasi data dari OJK sangat penting untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat terhadap perbankan nasional Indonesia. Agar lembaga ini kredibel, pelaku industri keuang/an mengharapkan OJK dapat mengupayakan beberapa langkah, antara lain :101

1. Menerapkan secara konsisten prudential regulation yang berlaku secara internasional;

2. Mengulas instrumen keuangan dan pasarnya, bukan hanya institusinya;

3. Mengembangkan transparansi dan membangun pendukung untuk menciptakan market discipline.

Berdasarkan Pasal 9 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai tugas pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6, antara lain :

100

https://www.ojk.go.id/id/page/FAQ-Otoritas-Jasa-Keuangan.aspx (diakses pada tanggal 11 Mei 2016).

101 OJK Pengawas Pasar Modal, http://www.fiqhislam.com/index/php (diakses pada


(24)

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan.

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif.

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan disektor jasa keuagan.

d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu.

e. Melakukan penunjukan pengelola statute. f. Menetapkan pengelolaan penggunaan statute.

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan memberikan dan/atau mencabut :

1) izin usaha;

2) izin orang perseorangan;

3) efektifnya pernyataan pendaftaran; 4) surat tanda terdaftar;

5) persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6) pengesahan;

7) Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8) Penetapan lain.


(25)

Sejalan dengan hal tersebut, OJK berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh OJK, yang di dalam ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank. Pemeriksaan terhadap bank dapat dilakukan baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. Selain dari tugas pengawasan, OJK juga berperan sebagai lembaga pengatur di seluruh sektor jasa keuangan. OJK merupakan lembaga regulator yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dari seluruh sektor perbankan nasional.

Peran regulator dibutuhkan karena krisis keuangan bersifat tidak bisa dihindari. Lembaga keuangan hanya dapat diminimalisasi dampaknya dengan cara membatasi ongkos dan mempercepat pemulihan. Krisis yang terjadi tidak hanya dihadapi oleh masyarakat saja, tetapi juga para pelaku industri keuangan. Sulit membayangkan apabila mengahadapi krisis tanpa kehadiran otoritas atau regulator. Regulator beroperasi menggunakan kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkan dibuat melalui riset atau kajian. Dan dalam proses pengkajian ini, yang harus dihindari adalah terjadinya kelelahan regulasi (regulatory fatigue) yang ditandai dengan surutnya pertumbuhan industri.

Otoritas Jasa Keuangan akan menjadi satu-satunya regulator dibidang jasa keuangan. Artinya, ada kemungkinan jika fungsi pengawasan lembaga yang bergerak dibidang jasa keuangan dan pasar modal akan dikoordinir di bawah satu atap. Disinilah pentingnya peran sebuah struktur regulasi dalam membentuk trust (kepercayaan) dari para pelaku pasar. Kepercayaan dari konsumen dan investor


(26)

akan terbentuk apabila sebuah struktur dapat mengontrol penyalahgunaan pasar seperti penyimpangan penggunaan kredit (money laundering) dan lain sebagainya.102

Fungsi OJK sebagai regulator adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Berdasarkan itu, seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seperti Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.103

Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator tersebut mengharuskan OJK untuk dapat melakukan fungsi pengawasan yaitu mengendalikan penyalahgunaan pasar dengan mencegah tindakan-tindakan perusahaan dan nasabah atau yang berkaitan dengan dokumen-dokumen di dalam sektor jasa keuangan yang berpotensi dapat merugikan kepentingan perusahaan, nasabah atau konsumen, dan investor dari keseluruhan kegiatan yang ada di dalam sektor jasa keuangan. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan diharapkan dapat melakukan kebijakan dengan suatu standarisasi yang mengandung stability and predictability (stabilitas dan prediktabilitas) atas peraturan-peraturan keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan.104

102 Kenneth Kaoma Mwenda, Op.Cit., hlm.3. 103 Bismar Nasution, Op.Cit., hlm.3.


(27)

Dalam hal ini, sejalan dengan apa yang diamanahkan oleh UU OJK, dimana Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan untuk dapat mewujudkan lembaga independen yang memiliki fungsi, tugas dan wewenang dalam pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan serta dapat menjadi lembaga yang terpadu, independen, dan akuntabel.105

Secara umum, regulasi atau peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan harus meliputi beberapa sasaran, antara lain :106

a. Melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar. b. Memastikan bahwa pasar yang tertentu adalah pasar yang fair, efisien,

dan transparan.

c. Mengurangi risiko sistematik.

d. Melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen.

e. Menjaga kepercayaan konsumen dalam sistem keuangan.

Kebutuhan publik terhadap lembaga keuangan saat ini memiliki banyak jenis. Sebahagian orang menganggap lembaga keuangan sebagai penyimpanan dan meningkatkan kekayaan, sebagai juru bayar dan menerima pembayaran, sebagai proteksi atas resiko bisnis maupun perorangan dan sebagai lembaga yang membantu akuisisi asset. Tingkat pemanfaatan dari layanan dan jasa keuangan ini di Indonesia masih rendah, namun seiring meningkatnya pendapatan masyarakat maka diharapkan intensitas pemanfaatan jasa keuangan terus meningkat.

105 Ibid.


(28)

D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam Pemberian Kredit Perbankan

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa dengan terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan maka tugas dan wewenang Bank Indonesia dalam hal pengawasan perbankan otomatis beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 55 UU OJK mengenai ketentuan peralihan tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan.

Ayat (1)

Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2)

Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 34 UU BI menegaskan juga bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-undang. Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2012. Pembentukan OJK ini sudah lama menjadi perbincangan setelah terjadinya krisis ekonomi yang merugikan negara dalam hal sektor keuangan.

OJK mulai melaksanakan tugas dan fungsinya sejak Desember 2012, dengan meleksanakan fungsi sebagai lembaga pengawas Pasar Modal dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) menggantikan tugas dan fungsi Bapepam-LK. OJK juga memulai tugas dan fungsi pengawasan industri perbankan pada


(29)

Desember 2013. Dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 5 UU OJK bahwa OJK berfungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Dan di dalam melakukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, OJK menerapkan sistem pengawasan yang terintegrasi. Artinya, seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh lembaga keuangan tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan OJK. Sistem pengawasan jasa keuangan pada awalnya pertama kali dilakukan di Skandanavia pada pertengahan tahun 1980-an.107

a. Melaksanakan pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan.

Pasal 6 UU OJK telah menjelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di berbagai sektor lembaga jasa keuangan. Terkait tugas OJK yang tercantum dalam Pasal 6 UU OJK yaitu :

Tugas OJK dalam hal pengawasan perbankan hanya berkaitan dengan aspek micro-prudential supervision108

107 Disampaikan di seminar OJK, Op.Cit. 108

Micro-prudential supervision adalah pengaturan stabilitas sistem keuangan secara

keseluruhan dan secara komprehensif mempersiapkan terjadinya risiko sistemik di sektor keuangan dengan upaya membatasi dampak berantai terhadap keseluruhan ekonomi negara. (Raiz Rozali)

yang bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan bank secara individu seperti kelembagaan, aspek kehati-hatian, kegiatan usaha, dan penilaian tingkat kesehatan. Pengawasan bank bertujuan menjadikan bank itu sehat dan bisa bersaing secara individu, menjadikan bank itu sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, dan menjadikannya bank yang efisien dalam melaksanakan fungsi intermfcediasinya. Dengan demikian, bank dapat


(30)

melindungi kepentingan masyarakat (customer protection) melalui industri perbankan yang kuat sehingga pada gilirannya masyarakat dan negara bisa berharap memperoleh stabilitas sistem keuangan sebagai prasyarat pembangunan yang berkelanjutan. Pengawasan terhadap bank meliputi kegiatan pemberian izin, membuat peraturan-peraturan, pengawasan kegiatan usaha dan pengenaan sanksi.109

b. Melakukan pengaturan dan pengawasan di sektor Pasar Modal.

Pasar Modal sebagai tempat bertemunya para penjual dan para pembeli untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual dalam pasar modal (emiten), sehingga mereka berusaha untuk menjual efek-efek di pasar modal. Sedangkan pembeli (investor) adalah pihak yang ingin membeli modal di perusahaan yang menurut mereka menguntungkan. Terdapat lembaga-lembaga yang terlibat di pasar modal antara lain lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga swasta. Lembaga pemerintah terdiri dari BAPEPAM-LK, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Kehakiman. Sedangkan lembaga swasta terdiri dari notaries, akuntan public, konsultan hukum, penilai dan konsultan efek. Pengaturan dan pengawasan pasar modal semula dilakukan oleh BAPEPAM-LK yaitu lembaga di bawah Kementerian Keuangan Indonesia yang bertugas membina, mengatur dan mengawasi sehari-hari kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis

109Sulisistyo,

http://xa.yimg.com//kq/groups/24063110/2095520493/nama/kajianakademik.okl-ui-ugn.vesi+230810.pdf (diakses pada 4 Maret 2016)


(31)

dibidang lembaga keuangan. Namun setelah lahirnya Otoritas Jasa Keuangan, fungsi BAPEPAM-LK ini beralih ke Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan seluruh kegiatan jasa keuangan di bidang pasar modal, termasuk kegiatan pemeriksaan dan penyelidikan dan Otoritas Jasa Keuangan juga berkoordinasi dengan instansi terkait untuk kelancaran tugas, termasuk dengan penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan dalam menindaklanjuti hasil penyidikan. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan pasar modal dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tujuan mewujudkan terciptanya kegiatan Pasar Modal yang teratur, wajar, dan efisien serta melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan usaha perasuransian yang meliputi kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi yang terdiri dari batas tingkat solvabilitas, retensi diri, reasuransi, investasi, cadangan teknis, dan ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan termasuk pengawasan dalam penyelenggaraan usaha yang terdiri dari syarat-syarat polis asuransi, tingkat premi, penyelesaian klaim, persyaratan keahlian dibidang


(32)

perasuransian, dan ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha.

Terkait dengan tugas dan fungsinya, OJK mempunyai wewenang dalam menjalankan tugasnya, antara lain :110

a. Mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang diselenggarakan Lembaga Jasa Keuangan.

Yang termasuk mengatur dan mengawasi pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan yang diselenggarakan Lembaga Jasa Keuangan adalah :

1) Membuat peraturan di bidang jasa keuangan; 2) Melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan;

3) Mewajibkan penyampaian informasi dokumen dan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan;

4) Mengeluarkan perintah tertulis; 5) Melakukan pemeriksaan berkala;

6) Menunjuk Pengelola Statuter dan melakukan tindakan dalam rangka pemberesan;

7) Mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio usaha; dan 8) Melakukan penyidikan.

b. Menegakkan peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan.

110 Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa


(33)

Penegakan peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif, sehingga peraturan tersebut berdaya guna dan berhasil guna.

c. Melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman dan memelihara kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan. Pemahaman publik yang baik terhadap sektor jasa keuangan akan membuat masyarakat dapat lebih mampu mengendalikan dan melindungi diri sendiri dalam bertransaksi di bidang jasa keuangan. Kepercayaan publik terhadap sektor jasa keuangan akan tumbuh dan terpelihara apabila sektor jasa keuangan tersebut menjadi sehat, kompetitif, stabil, dan aman.

d. Melakukan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan yang wajar terhadap konsumen dari sektor jasa keuangan. Pemberian perlindungan kepada konsumen sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja OJK.

e. Mengurangi tingkat kejahatan keuangan.

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berwenang untuk :111

a. Membuat dan menetapkan peraturan sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, OJK dapat membuat peraturan pelaksanaan yang mencakup secara luas mengenai sektor jasa keuangan dan kegiatannya. Peraturan OJK dirancang untuk memenuhi tujuan

111 Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa


(34)

sebagaimana dimaksud peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan, termasuk juga peraturan untuk mengurangi kejahatan keuangan.

b. Memberi dan mencabut izin untuk melakukan kegiatan di bidang jasa keuangan.

Yang dimaksud dengan izin meliputi persetujuan, pengesahan, pendaftaran dan pernyataan pendaftaran kegiatan di bidang jasa keuangan yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan.

c. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan kegiatan sektor jasa keuangan.

d. Melakukan tindakan tertentu untuk mengurangi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan dan tingkat kejahatan keuangan;

Yang dimaksud dengan “melakukan tindakan tertentu untuk mengurangi kejahatan keuangan”, antara lain:

1) Pemberian perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk membuat dan menerapkan sistem pengendalian internal yang mampu mendeteksi, mencegah atau mengurangi kejahatan keuangan, misalnya memonitor nasabah dengan prinsip “know your custumers”;

2) Menunjuk dan menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih pengendalian dan pengelolaan Lembaga Jasa Keuangan


(35)

Prudensial yang terindikasi terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam kejahatan keuangan.

e. Melakukan wewenang lain yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan, dan

f. Mengenakan sanksi atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dibidang jasa keuangan.


(36)

RAKYAT

A. Pemberian Kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan.112

Dalam melaksanakan fungsinya, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) memiliki beberapa jenis pelayanan. Jenis layanan yang diberikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) antara lain menghimpun dana masyarakat dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Fungsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) salah satunya adalah memberikan kredit kepada masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menggunakan prinsip 3T yaitu Tepat waktu, Tepat jumlah, dan Tepat sasaran. Prinsip tersebut dilakukan karena proses kreditnya yang relatif cepat, persyaratan lebih sederhana, dan sangat mengerti akan kebutuhan nasabah.

113

112

Pasal 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

113 Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/26/DKBU tentang Standar Kebijakan Perkreditan

Bank Perkreditan Rakyat.


(37)

Dalam hal pemberian kredit kepada masyarakat, pemerintah membuat persyaratan bagi debitur dan tata cara pemberian kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Persyaratan bagi debitur dan tata cara dalam pemberian kredit atau pembiayaan diatur dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 26 / DKBU Tanggal 19 September Perihal Standar Kebijakan Perkreditan Bank Perkreditan Rakyat yang menyebutkan kebijakan dalam pemberian kredit.114

Kebijakan pemberian kredit yang sehat mencakup :115

1. kebijakan mengenai pemberian kredit yang sehat, paling kurang meliputi: a. prosedur dan kewenangan prkreditan yang sehat termasuk memiliki

prosedur persetujuan kredit, prosedur dokumentasi dan administrasi kredit, prosedur pengawasan kredit. Persyaratan bagi debitur berupa administrasi kredit yang terdiri dari dokumen kredit yang wajib didokumentasikan disesuaikan dengan kredit yang diberikan, antara lain dokumen pengajuan kredit, dokumen analisis kredit, perjanjian kredit, warkat pencarian kredit, dan dokumen yang wajib dipenuhi debitur yaitu berupa dokumen identitas debitur (foto copy Kartu Tanda Penduduk/KTP), Kartu Keluarga (KK), jumlah berapa kali mendapatkan pinjaman dari bank, keterangan pinjaman terakhir, rencana penggunaan, cara pengembalian pinjaman, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), legalitas usaha, dan dokumen terkait dengan agunan serta pengikatannya; b. kredit yang perlu mendapat perhatian khusus;

114 Ibid.

115Kebijakan Pemberian Kredit Sehat, http://yosephinsimbolon.blog.com/?p=60 (diakses

pada 1 April 2016)


(38)

c. prosedur penanganan kredit bermasalah yang terdiri dari penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit;

d. penyelesaian agunan yang telah dikuasai BPR yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit;

2. penilaian agunan paling kurang meliputi:

a. prosedur dan tata cara penilaian agunan dari aspek legalitas dan ekonomis yang mencakup dokumen kepemilikan agunan, pengikatan agunan, penetapan nilai taksasi agunan, dan penetapan batasan jumlah nilai agunan terhadap jumlah kredit yang akan diberikan, dengan memperhatikan perubahan nilai agunan selama jangka waktu kredit. Pedoman Standar Kebijakan Perkreditan BPR DKBU;

b. agunan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang PPAP adalah agunan yang ada dan jelas keberadaannya, serta dapat dieksekusi sebagaimana diatur dalam PBI yang mengatur mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (KAP dan Pembentukan PPAP). Adapun agunan yang tidak ada dan tidak jelas keberadaannya, serta tidak dapat dieksekusi tidak dapat digunakan sebagai faktor pengurang PPAP antara lain:

1) agunan yang telah digunakan untuk fasilitas umum yang tidak dapat dikembalikan fungsinya, misalnya digunakan sebagai tempat pemakaman umum;

2) agunan dalam sengketa;


(39)

4) agunan yang saat ini tidak dapat diketahui keberadaannya misalnya kendaraan yang fisiknya sudah tidak ada;

5) agunan yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis karena sebab tertentu misalnya kebakaran, kecelakaan, dan lain-lain.

c. kewajiban melampirkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) pada satu tahun terakhir untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (Letter C) atau yang dipersamakan dengan itu, termasuk Akta Jual Beli yang dibuat oleh notaris atau pejabat lainnya yang berwenang. Yang dimaksud dengan SPPT pada satu tahun terakhir adalah SPPT satu tahun terakhir (minimal) pada saat debitur mengajukan kredit.

3. Pemberian kredit kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar, kredit yang mengandung risiko tinggi serta kredit yang perlu dihindari, paling kurang meliputi:

a. persentase jumlah maksimum penyediaan keseluruhan fasilitas kredit yang diberikan kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup dan/atau debitur besar terhadap jumlah modal BPR, dengan Pedoman Standar Kebijakan Perkreditan BPR DKBU 5 berdasarkan pada perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPR.

b. persentase jumlah maksimum penyediaan fasilitas kredit kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).


(40)

c . tata cara penyediaan kredit kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar, yang akan disindikasikan dan berbagi risiko (risk sharing) dengan bank lain yaitu minimal harus disetujui oleh 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris.

d. memelihara daftar nama pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar dalam rangka menjamin efektifitas penerapan batas maksimum penyediaan keseluruhan fasilitas kredit yang diberikan oleh BPR kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar.

e. prosedur perkreditan yang disetujui oleh Direksi harus memuat kriteria pihak terkait dengan BPR dan debitur grup dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), serta kriteria debitur besar yang ditetapkan oleh Direksi.

Berdasarkan kebijakan tersebut, maka prosedur pemberian kredit berdasarkan pendapat para ahli terdiri dari beberapa teori, antara lain :

a. Muchdarsyah Sinungan

Prosedur pemberian kredit meliputi permohonan kredit, analisis kredit, keputusankredit,pencairan dan pengawasan kredit sampai kredit lunas. Untuk mendapatkan kredit, terlebih dahulu calon nasabah diharuskan


(41)

mengajukan permohonan kredit. Pengajuan permohonan kredit harus mencantumkan dan melengkapi dokumen administrasi kredit.116

b. Veithzal dan Andria

Langkah-langkah yang lazim dalam prosedur pemberian kredit yaitu persiapan kredit, penilaian kredit, keputusan atas permohonan kredit, pengawasan kredit serta pelunasan kredit.117 Selanjutnya, petugas bank melakukan analisis kredit berdasarkan pedoman yang sudah ditentukan pihak bank.118

c. Kasmir

Prosedur pemberian kredit meliputi pengajuan berkas-berkas, penyelidikan berkas pinjaman, wawancara I, on the spot, wawancara II, keputusan kredit, penandatanganan akad kredit atau perjanjian lainnya, realisasi kredit dan penyaluran atau penarikan dana.119

116

Muchdarsyah Sinungan, Manajemen Dana Bank (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hlm. 31.

117 Veithzal dan Andria, Kredit Manajemen Hand Book (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2007), hlm. 189.

118

Bank Perkreditan Rakyat, http://mynet-singojuruh.blogspot.co.id/2013/12/bank-perkreditan-rakyat.html?m= (diakses pada 1 April 2016).

119 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi VI (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 1998), hlm. 94.

Setelah permohonan kredit diterima oleh bank, calon nasabah diminta untuk memberi keterangan-keterangan tambahan yang dapat menjelaskan isi dari berbagai dokumen yang disampaikannya kepada bank. Keterangan-keterangan tersebut bisa disampaikan secara lisan melalui


(42)

wawancara maupun tertulis sesuai dengan informasi maupun data yang diminta oleh petugas bank.120

d. Thomas Suyatno, et.al

Langkah-langkah yang lazim dalam prosedur pemberian kredit yang harus ditangani oleh bank, yaitu permohonan kredit, penyidikan dan analisis, keputusan persetujuan atau penolakan permohonan, pencairan kredit, administrasi, pengawasan dan pembinaan serta pelunasan kredit.121

e. Suhardjono

Menuliskan bahwa prosedur pemberian kredit dibagi dalam 4 tahapan yaitu: tahapan kegiatan prakarsa dan analisa atas permohonan kredit, tahapan pemberian rekomendasi, tahapan pemberian putusan kredit dan tahapan pencairan kredit.122

Dalam mengalokasikan kredit, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR), antara lain :123

a. Dalam memberikan kredit, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.

b. Dalam memberikan kredit, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum

120 Bank Perkreditan Rakyat,

http://mynet-singojuruh.blogspot.co.id/2013/12/bank-perkreditan-rakyat.html?m= (diakses pada 1 April 2016).

121Thomas Suyatno, et.al, Kelembagaan (Jakarta : Gramedia, 1997), hlm. 69. 122

Suhardjono, Manajemen Perkreditan Usaha Kecil dan Menengah (Yogyakarta : UPP KMP YKPN, 2005), hlm 195.

123 Bank Perkreditan Rakyat,


(43)

pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tersebut. Batas maksimum tersebut adalah tidak melebihi 30% dari modal yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

c. Dalam memberikan kredit, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) wajib memenuhi ketentuan Bank Indonesia mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) kepada pemegang saham (dan keluarga) yang memiliki 10% atau lebih dari modal disetor kepada pihak terkait, antara lain:124

1) Pemegang saham yang memiliki saham 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor.

2) Anggota Dewan Komisaris. 3) Anggota Direksi.

4) Pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal, dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c. 5) Pejabat Eksekutif;

124 Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Batas Maksimum


(44)

Yang dimaksud dengan Pejabat Eksekutif adalah Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang BPR.

6) Perusahaan-perusahaan bukan Bank yang dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya baik individual maupun keseluruhan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari modal disetor perusahaan.

B. Pengembangan Kompetensi Bank Perkreditan Rakyat

Seiring dengan semakin ketatnya persaingan dalam hal pemberian kredit kepada masyarakat, maka perkembangan BPR sesuai dengan amanat UU Perbankan arah pemerintah dalam usaha mengembangkan BPR adalah membentuk BPR sebagai rural bank yang beroperasi dipedesaan dan membantu menyediakan modal bagi masyarakat desa sebagai penggerak roda perekonomian dipedesaan yang telah diubah dengan UU Perbankan dimana misi BPR yang semula ditujukan dalam rangka modernisasi pedesaan menjadi diarahkan untuk mengembangkan usaha kecil dan pengusaha ekonomi lemah.125

Agar dapat bersaing dengan maksimal, maka kesiapan menghadapi era globalisasi BPR perlu menetapkan cita-cita atau gambaran masa depan yang diinginkan dan disepakati dan upaya-upaya yang diperlukan untuk mewujudkannya berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan dengan

125 Pengembangan dan Pemberdayaan BPR dalam Upaya Peningkatan UKM di Indonesia,


(45)

mempertimbangkan potensi dan kendala yang dihadapi yang dituangkan dalam sebuah rencana strategi.126

BPR sebagai lembaga keuangan sebenarnya memiliki beberapa keunggulan tersendiri. Keunggulan BPR pertama adalah cakupan usahanya yang lebih sempit memungkinkan BPR mengenali usahnya dengan lebih baik sehingga dapat memberikan pelayana yang lebih baik dan menekan credit risk, kedua dengan kegiatan yang terbatas dapat lebih fokus dengan kegiatan yang lebih sempit dan membangun suatu keahlian atau expertise pada bidang usaha tertentu dan terakhir dengan bentuk yang lebih kecil juga memiliki kesempatan untuk menjadi lebih efisien, sehingga memungkinkan lebih unggul dalam segmen pemberian kredit kecil kepada masyarakat.127

Kebijakan pengembangan BPR tetap diarahkan pada penguatan kapasitas industri BPR, melalui penguatan permodalan, untuk mampu bersaing dengan pelaku bisnis lain di pasar keuangan mikro, serta memelihara kontinuitas kegiatan usaha BPR. Peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan BPR menjadi salah satu fokus upaya pengembangan BPR.128

1. Model Bisnis BPR

Guna mewujudkan upaya tersebut, beberapa langkah kebijakan yang telah diambil otoritas, meliputi:

Disusun melalui pengamatan terhadap kinerja dan perilaku industri BPR selama 5 tahun terakhir, terpilih BPR-BPR yang memiliki kinerja terbaik kemudian dijadikan model bisnis dalam pengelolaan BPR. Aspekaspek yang disajikan

126 Strategi Pengembangan BPR,

http://skripsi-ilmiah.blogspot.co.id/2013/02/strategi-pengembangan-bank-perkreditan.html (diakses pada 15 April 2016)

127 Abdullah, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, (Malang: UMM Press), hlm.190. 128 Booklet Perbankan Indonesia,


(46)

dalam model bisnis tersebut dijadikan acuan bagi pendirian BPR baru maupun pengelolaan BPR yang telah beroperasi untuk dapat menjalankan bisnis BPR secara sehat. Model Bisnis BPR terdiri dari 6 aspek utama:

a. Pemilik Pemilik BPR idealnya berasal dari daerah di mana bank itu akan didirikan, mempunyai kemampuan dan komitmen dalam memasok modal, serta kesungguhan dalam mendorong pengelolaan bank secara sehat.

b. Permodalan ketersediaan tambahan modal dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan operasional BPR.

c. Lokasi dan wilayah operasional pendirian BPR perlu mempertimbangkan faktor lokasi dengan memperhatikan potensi ekonomi dan jumlah bank di lokasi tersebut. Di samping itu, sebaiknya BPR didirikan di lokasi yang mudah dijangkau masyarakat kecil terutama di pedesaan dan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

d. Strategi bisnis agar bisnis BPR terus tumbuh dan berkembang, manajemen BPR harus memiliki Strategi Bisnis yang tepat, seperti :

1) Memfokuskan pada pembiayaan usaha produktif skala mikro dan kecil yang sudah dikenal karakternya, serta penetapan tingkat suku bunga kredit yang kompetitif dan terjangkau.

2) Melayani kebutuhan UMK dengan menetapkan persyaratan dan prosedur bank yang sederhana dan cepat. Menggunakan dukungan Teknologi Informasi (TI) dalam operasionalnya agar mampu meningkatkan kualitas layanan yang jauh lebih cepat dan efisien.


(47)

e. Manajemen dan Kebijakan SDM BPR harus dikelola oleh SDM yang memiliki integritas tinggi, profesional, memiliki pemahaman terhadap potensi usaha, serta karakteristik wilayah dan masyarakat (pasar) yang dilayani BPR. Pegawai sebaiknya berasal dari daerah lokasi BPR berada karena memahami kebiasaan, budaya, karakteristik masyarakat setempat termasuk potensi wilayahnya. Struktur organisasi BPR minimal terdiri dari 2 orang anggota Dewan Komisaris, 2 orang anggota Dewan Direksi, 7 orang pegawai yang membawahi akuntansi, pelayanan nasabah, pemasaran, administrasi dan umum, kasir, analis kredit, serta keamanan.

f. Hubungan dengan Masyarakat Meskipun BPR berorientasi bisnis, namun harus tetap membaur dan menjadi bagian dari masyarakat setempat. Hal ini penting dalam membangun relasi dan ikatan batin melalui keterlibatan BPR dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar.

2. Mendorong Kerjasama APEX BPR

APEX dalam bahasa Yunani adalah mengayomi. Dengan demikan, APEX BPR adalah pengayom bagi BPR. Sebagai contoh, Bank Jateng yang telah tergabung dalam APEX BPR akan menjadi pengayom bagi BPR yang mengalami kesulitan likuiditas sementara. Bank Jateng akan menjadi pooling of fund129 dan lender of the last resort130

129 Pooling of fund adalah penempatan (alokasi) dana bank dengan tidak memperhatikan

hal-hal yang berkaitan dengan sumber dana, seperti sifat, jangka waktu, dan tingkat harga perolehannya.

130 Lender of the last resort dalah pemberian fasilitas pinjaman kepada bank yang

mengalami kesulitan likuiditas dan berfungsi untuk menghindarkan krisis keuangan yang sistemik.

. Dengan demikian, secara tidak langsung Bank Jateng sudah mendukung industri perbankan, terutama


(48)

BPR.131

Secara umum APEX BPR dapat berfungsi untuk: mengelola pooling of funds dan membantu BPR dalam mengatasi kesulitan likuiditas akibat mismatch, melakukan kerja sama pembiayaan (seperti link age program), memberikan bantuan teknis berupa pengembangan teknologi informasi, pengembangan produk, pelatihan, dan jasa sistem pembayaran, dan memfasilitasi BPR dalam mencari sumber-sumber dana lain.

Yang menjadi latar belakang pembentukan APEX BPR adalah memaksimalkan fungsi intermediasi sehingga dana idle tidak terlalu banyak. Kemudian juga ada pembiayaan UKM bagi BPR yang memiliki pendanaan yang tidak optimal. Hal ini dikarenakan rasio LDR yang tinggi di BPR. Karena BPR tidak dapat melakukan lalu lintas pembayaran, maka APEX sebagai lembaga yang akan memfasilitasi. Di samping itu, ada pendampingan di bidang IT bagi BPR. Dengan adanya APEX BPR ini, akan muncul pula produk turunannya. Produknya dapat berupa kredit Linkage, kerjasama ATM, kerjasama Western Union. Dengan demikian kerja sama tersebut akan mengangkat keistimewaan BPR.

Lembaga APEX merupakan bentuk kerjasama antara bank umum yang berperan sebagai bank induk dengan BPR sebagai anggota. Kehadiran lembaga APEX merupakan bentuk sinergi yang ideal untuk bersama-sama melayani UMK, sehingga meminimalisasi terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat antara BU dan BPR. Istilah APEX sendiri diambil dari bahasa Yunani yang berarti “pengayom” yang bermakna pula bahwa APEX BPR harus menjadi pengayom bagi BPR anggota.

131APEX BPR solusi atasi Persoalan Persaingan BPR dengan Bank Umum,


(49)

Melalui kerjasama APEX BPR, bank umum dan BPR diharapkan dapat saling bahu membahu dengan mengoptimalkan kekuatan dalam pemberian kredit kepada masyarakat. Karena sebelum adanya APEX BPR, persaingan antara bank umum dengan BPR sangat ketat dalam meraih pasar mikro. Pasar mikro yang menjadi sasaran kerja BPR sudah menjadi sasaran bank umum juga. Dalam hal ini BPR sangat tertinggal oleh bank umum, karena bank umum akan lebih unggul dengan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) dan infrastruktur layanan.

Meskipun BPR harus bersaing dengan bank umum, namun BPR masih unggul dalam hal pemberian kredit kepada masyarakat karena BPR tersebar sampai ke pelosok desa di Indonesia.132

C. Peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai Regulator dalam Peningkatan Daya Saing Pemberian Kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat

Dalam hal pengembangan BPR sampai ke pelosok nusantara, BPR bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang membuat kegiatan usaha kedua bank tersebut dapat lebih efisien. Jalinan kerjasama yang dinaungi oleh APEX BPR ini akan menjadikan BPR sebagai bank yang fokus pada kegiatan ekonomi di daerah dengan mendorong BPD menjadi APEX BPR.

Setiap model pengawasan memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing masing, bahkan di dunia ini belum ada sebuah model pengawasan industri keuangan yang sempurna. Setiap model pengawasan memiliki celah untuk lahirnya suatu penyimpangan. UU OJK memberikan kewenangan kepada lembaga independen ini untuk mengatur dan mengawasi seluruh sektor jasa keuangan dan perbankan. Oleh karena BPR adalah salah satu lembaga keuangan yang lazim

132 APEX BPR solusi atasi Persoalan Persaingan BPR,


(50)

mengalami resiko, tidak mustahil bahwa di dalamnya banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan kredit dan adanya kredit macet dari pihak nasabah maupun dari pihak bank. OJK sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di BPR, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran atau penyimpangan yang dapat merugikan pihak bank maupun masyarakat sebagai nasabah. Adapun masalah dalam pemberian kredit yang dibahas dalam penulisan ini adalah penyimpangan kredit dan kredit macet yang dilakukan oleh pihak bank maupun nasabah itu sendiri.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, BPR dalam memberikan kredit harus memperhatikan resiko dikemudian hari karena tidak semua kredit yang dikeluarkan oleh BPR akan kembali tepat waktu seperti perjanjian yang sudah diatur. Pada saat sekarang ini banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hal kredit sampai pada proses pencairan kredit yang tidak sesuai dengan prosedur. Penyimpangan yang terjadi memiliki banyak motif, baik yang dilakukan oleh nasabah maupun dilakukan dari pihak bank itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena tidak diperhatikannya aspek penilaian dan analisis dalam prosedur pemberian kredit, serta kurang diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam perbankan.133

Selain penyimpangan kredit, OJK juga memiliki peran yang sama dalam hal penyelesaian kredit macet. Dalam menganalisis setiap permohonan kredit oleh analis kredit, kemungkinan kredit tersebut mengalami kemacetan tetap ada. Hal ini disebabkan oleh dua unsur sebagai berikut:134

1. Dari pihak perbankan

133 Hermansyah, Op.Cit., hlm.126. 134 Thamrin Abdullah, Op.Cit., hlm.179.


(51)

Artinya dalam melakukan analisisnya, pihak analis kurang teliti, sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Hal ini dapat pula terjadi akibat kerja sama dari pihak analis kredit dengan pihak debitur sehingga dalam melakukan analisisnya dilakukan secara subjektif.

2. Dari pihak nasabah

Kemacetan kredit dapat dilakukan akibat dua hal yaitu: adanya unsur kesengajaan, artinya nasabah dengan sengaja bermaksud tidak membayar kewajibannya sehingga kredit yang diberikan macet. Adanya unsur tidak sengaja, artinya dalam hal ini debitur mau membayar, tetapi tidak mampu. Sebagai contoh kredit yang dibiayai mengalami musibah seperti kebakaran, kena hama, banjir, sehingga kemampuan untuk membayar kredit tidak ada.

Salah satu faktor utama penyebab permasalahan perbankan saat ini adalah kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank sehingga kegiatan usaha bank tidak lagi dikelola secara sehat bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para pemilik, pengurus, atau pihak lainnya.135

135 Melayu Hasibuan, Dasar-dasar Perbankan (Bandung: Bumi Aksara, 2007), hlm.156.

Kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank dapat tercermin dengan adanya pelanggaran pelayanan dan pemasaran produk jasa bank meskipun tidak dilakukan secara langsung oleh pihak bank seperti penipuan yang dilakukan oleh seorang karyawan bank dengan modus penawaran produk perbankan dengan return yang tinggi, kasus penipuan dengan kedok gadai emas pada perbankan syariah, ataupun tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang sangat menarik masyarakat calon nasabah bank


(52)

tersebut. Padahal pelayanan jasa dan etika pemasaran produk jasa bank harus dilakukan dengan baik dan benar sehingga mendapat simpatik dan menarik bagi masyarakat calon nasabah bank bersangkutan. Apabila pelayanan dan etika bank dilakukan dengan baik dan benar, maka pemasaran produknya diharapkan akan berhasil baik dan tidak merugikan salah satu pihak.136

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut dengan UUPK) digunakan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak yang sekaligus ditujukan untuk mendapatkan kepastian atas barang dan atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen, untuk menjamin peningkatan kesejahteraan rakyat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya.137 Perlindungan nasabah ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen merupakan jamianan kepastian hukum terhadap nasabah untuk dilindungi dan mendapatkan pelayanan secara benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikan138

Suatu peraturan dan pengawasan oleh pihak yang memiliki otoritas tertentu menjadi salah satu upaya dalam pengantisipasian terjadinya pelanggaran atas produk perbankan. Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain dan dapat melakukan upaya tersebut adalahOJK. OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 adalah lembaga yang didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam

136

https://erlanandard.wordpress.com/2014/12/22/peran-otoritas-jasa-keuangan-ojk-dalam-perlindungan-konsumen-produk-perbankan/ (diakses pada 15 April 2016)

137 Tatik Suryani, Perilaku Konsumen; Implikasi pada Strategi Pemasaran (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2008), hlm.332.


(53)

pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan.

Visi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah menjadi lembaga pengawas industri jasa keuangan yang terpercaya, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, dan mampu mewujudkan industri jasa keuangan menjadi pilar perekonomian nasional yang berdaya saing global serta dapat memajukan kesejahteraan umum. Sementara misi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah:

a. Mewujudkan terselenggaranya seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel

b. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil;

c. Melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat

Sesuai dengan visi, misi, fungsi dan tugasnya, OJK memiliki wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan serta menekankan pada perlindungan kepentingan konsumen dan masyarakat, khususnya konsumen produk jasa keuangan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen menerapkan 5 prinsip, yaitu:

a. transparansi;

b. perlakuan yang adill; c. keandalan;


(54)

e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Otoritas Jasa Keuangan dalam peraturannya Nomor 8/POJK.03/2014 pada pasal 6 huruf (g) menjelaskan bahwa indikator dalam melihat adanya praktik perbankan tidak sehat yang dapat mengganggu aktivitas jasa keuangan terdiri dari:

a. capital (permodalan)

Rasio yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kewajiban penyediaan modal minimum terhadap ketentuan yang berlaku. Melalui ini akan diketahui kemampuan menyanggah aktiva bank;

b. kualitas asset

Merupakan rasio yang mengukur kemampuan kualitas aktiva produktif yang dimiliki bank untuk menutup aktiva produktif yang diklasifikasikan bank;

c. manajemen

Rasio ini melihat manajemen dalam sektor perbankan yang mencakup manajemen umum, manajemen kepatuhan, dan manajemen resiko; d. profitabilitas

Dilakukan melalui adanya dugaan penyimpangan terhadap komponen-komponen return on assets (ROA), yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh laba secara keseluruhan dari total aktiva yang dimiliki.


(55)

Indikasi adanya dugaan penyimpangan kredit merupakan langkah awal dari otoritas pengawas untuk menindaklanjuti keadaan perbankan. Sejalan dengan hal itu, OJK mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap semua kelembagaan dan kegiatan perbankan khususnya dalam hal pemberian kredit. Adapun pembinaan dan pengawasan tersebut ditempuh melalui upaya-upaya tertentu yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, nasihat, bimbingan dan pengarahan maupun represif yang dilakukan melalui tindakan perbaikan. Untuk menindaklanjuti adanya pelanggaran dalam perbankan, OJK melakukan tindakan berupa pengawasan sesuai dengan fungsi yang diamanatkan dalam UU OJK.

Bentuk pengawasan terhadap perbankan yang dilakukan OJK adalah pengawasan langsung dan tidak langsung. Secara umum dijelaskan sebagai berikut:139

a. Pengawasan tidak langsung (off site supervision)

Dengan metode ini, OJK mengawasi kondisi bank secara individual, kelompok, maupun keseluruhan dengan menelaah berbagai laporan yang disampaikan oleh perbankan. Tujuannya adalah untuk menilai apakah peraturan/ketentuan yang ditetapkan, asas usaha bank dan perkreditan yang sehat itu dipatuhi dan dilaksanakan secara konsisten, diidentifikasi penyimpangan dan pelanggarannya, serta kegiatan yang mengganggu kelangsungan usaha bank ataupun merugikan berbagai pihak.

139 Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),


(56)

b. Pengawasan langsung/pemeriksaan (on site supervision)

Dengan melihat adanya indikasi penyimpangan yang dilkakukan bank melalui metode pengawasan tidak langsung yang dilakukan oleh OJK berdasarkan penganalisisan setiap laporan yang disampaikan bank, tindakan selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pengawasan langsung yang meliputi pemeriksaan terhadap bank untuk lebih meyakinkan bahwa memang benar adanya dugaan penyimpangan kredit yang dilakukan bank. Dengan menggunakan metode ini, OJK ingin meyakini kondisi bank secara langsung berdasarkan data dan dokumen yang dipelihara oleh bank, sekaligus menguji kebenaran dan konsistensi pembuatan laporan yang disampaikan kepada OJK.

Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, OJK melakukan pemeriksaan terhadap bank sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 7 huruf d UU OJK. Menurut Pasal 29 ayat (1) dan (2) UU BI menyatakan bahwa:

a. bank memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan perbankan.

b. bank mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit.

Pemeriksaan terhadap pemberian kredit oleh BPR dilakukan baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan juga dapat mencakup pemeriksaan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank.140

140 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 2000), hlm.276.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus sang Kausa Prima atas berkat, rahmat dan perlindunganNya yang diberikan serta menjadi sumber kekuatan dan pengharapan bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Skripsi ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Skripsi ini diberi judul “PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) SEBAGAI REGULATOR DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) TERHADAP PEMBERIAN KREDIT KEPADA MASYARAKAT”. Dengan adanya penulisan skripsi ini penulis berharap agar pembaca dapat memaklumi kekurangan dari penulis karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Semoga dari skripsi ini, pembaca dapat mengerti,memahami serta dapat memberikan manfaat kepada pembaca.

Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, penulis ingin berterima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis, Bapak yang terkasih Elohim Tarigan, S.H, dan Mamak yang terbaik Dk. Merliana Br Surbakti yang senantiasa memberi dukungan dan doa, serta menjadi penyemangat paling setia sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Dan kepada adik satu-satunya Felik Ronaldo Tarigan yang selalu menjadi sahabat dan penyemangat penulis dalam menjalani hari-hari. Semoga kita sukses dan dapat membanggakan kedua orangtua kita.


(2)

Merekalah sumber inspirasi dan motivasi terbesar penulis dalam hidup dan dalam menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1).

Dan pada kesempatan berbahagia ini dengan penuh kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Dr. O.K Saidin, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I; Ibu Puspa Melati,S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan II; Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Ibu Windha, S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang sangat peduli dan memperhatikan serta memberikan pedoman terhadap penulisan skripsi ini; 4. Bapak Alm. Ramli Siregar, S.H selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan membagikan ilmu pengetahuan dalam proses pengerjaan skripsi ini, dan menjadi salah satu motivator penulis untuk dapat belajar lebih baik lagi karena kerja keras, kecerdasan dan pengalamannya; 6. Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah

membimbing dan mendorong penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik;


(3)

7. Sahabat-sahabat terkasih Nomi Marmitha Sari Pa, S.Ab dan Lia Tamara Manik, S.Ikom yang telah mendahului namun tetap memberi semangat dalam suka dan duka selama masa SMA hingga perkuliahan selesai. Semoga kita dapat sukses dan dapat mewujudkan mimpi-mimpi besar kita;

8. Sahabat-sahabat terkasih yang dipertemukan Tuhan pada awal perkuliahan Dora Virgolin Tambunan, S.H, Bripda. Irayata Gurusinga, Sandra Saurma A. Sinaga, Mardongan Siregar, dan Rendra A. Manalu. Terimakasih untuk kesabaran dan doa selama 4 tahun ini, dan sampai jumpa di gerbang kesuksesan;

9. Sahabat terbaik dan tersayang Irma Melisa Simarmata, S.H, Vanie Dathani Simamora, S.H, Vania Chandra, Paulus Ramotan Sibarani, S.H, Maria Kristina, S.H, dan Anita Nuzula Pohan. Terima kasih untuk setiap doa dan kasihnya, serta telah menjadi penyemangat terbaik dalam penyelesaian skripsi ini. Aku mengasihimu (Amsal 17:17);

10. For my dear spiritual Mother in Philippines, Christine Rose Carillo Nicolas. Thank you for all that you have given to me, I really felt a sincere kindness when you helped me. I cannot pass all these troubles without your help. May your goodness get the best reward from the God. I love you mama;

11. Adik terkasih Ruth Sesilia, Sarti Sonnia, Sarymawati dan seluruh adik stambuk yang selalu ada walaupun tidak dibutuhkan. Terima kasih untuk segala bantuan dan doa, semoga sukses selalu;

12. Sahabat-sahabat organisasi penulis, Permata GBKP Sp.Selayang, GmnI Komisariat FH USU, LifeBox Medan, IMKA Erkaliaga FH USU, Pengurus


(4)

13. Klasis Permata GBKP Medan-Namorambe, Panitia Camp Iman Permata (CIMPA) 2016, dan Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) FH USU stambuk 2012. Terima kasih karena telah memaklumi kesibukan penulis serta memberikan dukungan dan doa dengan caranya masing-masing, semoga kesuksesan menjadi milik kita;

14. Dan untuk setiap orang yang mengenal penulis, yang senantiasa memberikan dukungan serta doanya. Terima kasih banyak.

Demikian penulis sampaikan, kiranya skripsi ini boleh berguna untuk menambah wawasan dan cakrawala berpikir setiap pihak yang membacanya.

Medan, Juni 2016 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN KREDIT MELALUI PERBANKAN ... 19

A. Pengertian Kredit ... 19

B. Jenis-Jenis Kredit ... 27

C. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit ... 32

D. Perjanjian Kredit Bank ... 35

E. Tata Cara Pemberian Kredit menurut Undang-Undang Perbankan ... 40


(6)

BAB III KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN

PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN ... 47

A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ... 47

B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan... 54

C. Status Otoritas Jasa Keuangan ... 62

D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan dalam Kredit Perbankan ... 69

BAB IV PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENINGKATANDAYA SAING PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK PERKREDITAN RAKYAT ... 77

A. Pemberian Kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat ... 77

B. Pengembangan Kompetensi Bank Perkreditan Rakyat ... 85

C. Peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai Regulator dalam Peningkatan Daya Saing Pemberian Kredit oleh Bank Perkreditan Rakyat ... 90

BAB V PENUTUP ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102


Dokumen yang terkait

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

0 84 124

Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sebagai Regulator dan Pengawas Kegiatan Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal

6 110 111

Tinjauan Yuridis Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Transformasi Badan Kredit Desa yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan Rakyat

2 35 113

PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT OLEH PERUSAHAANDAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) BANK PASAR PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT OLEH PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) BANK PASAR KABUPATEN SUKOHARJO.

0 2 11

Matriks RPOJK Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR BPRS 061216

0 1 31

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

1 3 7

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 0 1

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 0 18

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 1 28

Peran Otoritas Jasa Keuangan (Ojk) Sebagai Regulator Dalam Meningkatkan Daya Saing Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Terhadap Pemberian Kredit Kepada Masyarakat

0 0 5