Etika dan kekuasaan: pemikiran niccolo machiavelli atas etika dan kekuaasaan dalam ranah politik

(1)

PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh : Haikal Mujahid

106033201175

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

ETIKA DAN KEKUASAAN:

PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK

Etika adalah sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus hidupdan bertindak. Sedangkan, kekuasaan adalah merupakan usaha seorang individu atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan keinginan si pelaku.

Etika dan Kekuasaan merupakan kedua hal yang amat penting posisinya dalam bingkai politik. bahkan kedua istilah ini sudah dibahas semenjak zaman Yunani kuno, karena keduanya dapat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Karena bila kedua istilah ini dipergunakan tidak dalam kapasitasnya, hal ini akan berakibat pada ketidakstabilan sebuah Negara, atau bahkan melahirkan sebuah pemberontakan.

Machiavelli sebagai tokoh politik zaman Renaissance telah berhasil membuat sebuah karya yang mengelaburasikan antara system kerajaan (monarki) dan Republik, yang dia beri judul The Prince dan The Discaurses, meski pada awalnya kedua literatur itu adalah ditujukan kepada keluarga Medici yang kembali menguasai Florence. Dari kedua bukunya ini bisa diambil pelajaran bagaimana seharusnya seorang leader (Raja) mengontrol, memenej, dan mengurus para staf, serta rakyatnya agar tercipta sebuah negara sejahtera, dan bisa mencapai kejayaan, serta disegani oleh rakyat dan negara-negra lain.

Konsep “menghalalkan segala cara” yang banyak dikenal orang dari Machiavelli ini seolah-olah sudah menjadi lebel baginya. Padahal kita sendiri belum mencoba mempelajari konsep politik Machiavelli secara mendetail. Dan kita pun tidak tahu kenapa banyak para diktator dunia yang memakai konsep Machiavelli dalam merealisasikan politik praktis dalam negaranya, yang diterapkan dengan tangan besi mereka. Apakah mereka sebenarnya mengunakan konsep Machiavelli ini secara kaffah (menyeluruh), ataukah hanya setengah hati demi melestarikan kekuasaan mereka saja? Karena Machiavelli pernah berkata bahwa tujuan dari kekuasaan hanyalah demi keberlangsungan kesetabilan, dan kesejahtraan negaranya, bukan hanya untuk kepentingan individu.


(3)

iii

yang telah memberikan kehidupan dan ilmu kepada seluruh umat manusia yaitu Alloh swt. Karena dengan pertolongan yang begitu besar, perlindungan, dan rahmat, serta taqdirnyalah penulis dapat menyeleseikan proses penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada pahlawan revolusi Islam yang tiada kata lelah, cercaan, serta hinaan yang dilontarkan kepadanya, beliau tetap konsisten dalam perjuangan demi tegaknya Islam yaitu Nabi Muhammad saw.

Alhamdulillah kami ucapkan, meski itu tidaklah sepadan dengan apa yang telah diberikan oleh Alloh swt. Usaha dalam penulisan ini dapat terrelisasi hingga selesei atas pertolongan-Nya, melalui banyak tangan.

Dengan kerendahan hati, penulis akui bahwa penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, kawan-kawan. Oleh karena itu, kami haturkan banyak termakasih atas bantuan serta motivasi saudara-saudara sekalian. Maka pantaslah bila penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu dan Ayah ku tercinta, terimakasih atas bantuannya baik dalam segi moril dan materilnya. Juga kepada kaka (teh Yeni), dan adik-adik ku tersayang Inda, Rika, Imam, dan vivi untuk tawa, canda, dan dukungannya, telah menghibur penulis.

2. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. selaku pembimbing yang selalu mendampingi penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau sebagai kepala jurusan Ilmu Politik.

3. Prof. Dr. Bahtiar Efendi, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik beserta para stafnya.


(4)

iv

memandang dunia khususnya dalam kaca mata politik.

5. Untuk seseorang di hati penulis yang begitu amat spesial, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya. Terimakasih atas pengertian, do’a dan

supportnya kepada penulis.

6. Kepada kawan-kawan KPK (Kosan Pedro dan Kawan-kawan); bang Ham, bang Ubz, bang Pips, bang Pedro, bang Ari, bang Fadli, bang Ipunk, bang Borang, bang Roy, bang Ulmanto, bang Adam, Muso yang telah memberikan kritik dan sarannya kepada penulis.

7. Kepada kawan-kawan KM UIN Jakarta (Komunitas Mahasiswa Universitas Islam Negri); Adit, Barkowi, Oi, Aang, N-Chek, Yandi, Repal, dkk. yang memberikan semangat kepada penulis.

8. Terimakasih banyak kepada kawan-kawan FSC (FISIP Study Club). Teman-teman FISIP; Anwar, Bara, Rif’at, Eko, Yebi, Rikih, Ario, Hawasi, Rido, Yana, Ais, Rahmat, Torik, Ikhwan, untuk dorongannya agar penulis segera menyeleseikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Sang Maha melihat, Pencipta, dan Maha Kuasa yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi, penulis serahkan atas segala jasa orang-orang yang telah membantu penulis. Mudah-mudahan Alloh swt membalas senua jasa mereka, dan ditulis sebagai amal kebaikan dan menjadi bekal mereka di akhirat kelak.

Mudah-mudahan penulisan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis, dan bagi para pembaca umumnya. Dan kami harapkan kritik dan sarannya kepada


(5)

v

Jakarta, 08 Maret 2011


(6)

vi

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

D. Metodologi Penelitian...7

E. Sistematika Penulisan ...9

BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI A. Riwayat Hidup ...12

1. Kondisi Lingkungan ...14

2. Pendidikan ...18

3. Karir dalam Kancah Politik...19

B. Karya Tulis ...21

1. The Prince ...23

2. The Discourses ...27

BAB III DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN A. Asal-usul Etika ...31


(7)

vii

2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara ...38

B. Asal-usul Kekuasaan ...40

1. Definisi Kekuasaan ...41

2. Mempertahankan Kekuasaan ...44

C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan ...46

BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO MACHIAVELLI A. Etika dalam Persepektif Machiavelli ...52

1. Raja Harus Bisa Menyeimbangkan Anatara Ditakuti dan Dicintai ....58

2. Bermartabat dan Memiliki Rasa Nasionalisme ...61

B. Kekuasaan Persepektif Niccolo Machiavelli ...65

1. Metode Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan ...66

1.1. Posisi Agama dalam Negara ...66

1.2. Penguasa dan Korupsi ...68

1.3. Mengelola Tentara ...69

1.4. Memilih Aparatus Negara ...71

C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara ...72


(8)

viii

3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Negara ...76

D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap

Etika dan Kekuasaan ...77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...83

B. Saran ...86

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Niccolo Machiavelli adalah seorang tokoh filsapat dan politikus, yang hidup di era abad ke-18. Tokoh ini sangat terkenal dengan sebutan bapak politik moderen yang berhasil membuka keran belenggu politik dari kungkungan Gereja pada waktu itu. Machiavelli banyak menuturkan tentang etika dalam berpolitik dalam karyanya. Tetapi disisi lain Machiavelli pun dikenal sebagai politikus yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Padahal bila didalami secara objektif, ada faktor-faktor penyebab tokoh ini harus menuangkan idenya seperti itu. Sehingga timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemikiran politik Machiavelli, sehingga dia menulis karyanya The Prince dan The Discourses?

Dalam membatasi ruang kajian tentang karya-karya Niccolo Machiavelli, difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikirannya terhadap etika dan kekuasaan yang dimana ada beberapa alasan yang melatar belakanginya: pertama, proses transisi di Negara Florence yang terjadi di masa Niccolo Machiavelli, melahirkan beberapa gagasannya yang merupakan hasil kajiannya selama menjabat sebagai aparatus di Florence.

Kedua, dalam situasi dan kondisi Negara Florence Machiavelli mengalami beberapa perlakuan poitik dari pemerintahnya yang acap kali terjadi perpindahan kekuasaan antara penguasa pertama dengan keluarga Medici yang memenangkan peperangan. Sehingga posisi Machivelli selalu berubah-ubah kadang menjadi aparatus Negara yang begitu penting, dan kadangkala mengalami perlakuan buruk


(10)

sampai dia sendiri harus diasingkan kesuatu desa yang jauh dari kehidupan kerajaan atau lebih parah lagi dia mengalamai masa tahanan selama beberapa tahun1.

Ketiga, tokoh Machiavelli sendiri sudah terlanjur dikenali oleh dunia politik sebagai bapak kelicikan politik. bahkan pada titik ekstrimnya ia dikenal sebagai par excellence penipuan dan penghianatan politik, sebagai inkarnasi dari kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik, dan sebagai penggagas totalitarianisme moderen2. Padahal bila dibaca secara objektif dan tidak setengah-setengah antara The Prince dan The Discaurses, akan didapat bahwa konsep etika bermartabat dalam politik yang didengungkannya adalah politik yang penuh dengan nilai-nilai etika, dengan tidak digerakan semata-mata oleh nafsu untuk meraih kekuasaan3. Etika menurutnya memancar dari tindakan otentik yang penuh dengan kedaulatan dari seorang pemimpin yang berkarakter. Itulah sesungguhnya ide yang diberikan oleh Machiavelli untuk demi kelangsungan dan kesetabilan negaranya yang mengalami krisis politik. Namun sayang justru konsep etika dan kekuasaan yang bermartabat inilah seringkali kurang dicermati oleh para pembaca karya-karya Machiavelli.

Keempat, kekuasaan memang perlu dipertahankan dan dikokohkan dengan kuat, sedangkan etika itu sendiri tidak perlu dikedepankan dalam politik karena hal itu hanya akan memperlemah negara (menghalalkan segla cara demi kestabilan Negara). Sedangkan menurut para sejarawan politik, Inovasi

1

Ibid., h. 87 2

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 247.

3

F. Budi Hardiman, ”Politik Yang Bermartabat”, Kompas, Edisi Jum’at 15 Oktober 2010, h. 6


(11)

Machiavelli dalam buku The Discaurses dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.

Hal ini senada dengan situasi dan kondisi di Florence, waktu itu mengalami degradasi dan perebutan kekuasaan yang mengakibatkan keadaan negara tidak stabil sehingga akhirnya, efek jera dari perebutan kekuasaan itu menjadikan rakyat tertindas dan Negara pun mengalami krisis multidimensional. Sehingga Florence menjadi Negara yang lemah dan diserang oleh Negara-negara yang ada disekitarnya4.

Maka pantaslah bila Machiavelli menganugrahkan gagasannya bagi penguasa di negrinya yang kala itu di pegang oleh keluarga Medici, dengan tujuan agar Florence tidak hancur dan jatuh. Sekalipun memang ada unsur bahwa dengan menyuguhkan konsepnya itu, Machiavelli pun menginginkan kembali jabatannya di arena politik5.

Namun ide Machiavelli ini terlanjur oleh para intelektual, dan poitisi dianggap sebagai ide yang digunakan oleh para penguasa dunia yang otoriter dan

4

Niccolo Machiavelli, The Prince, (Srabaya: Selasar Publishing, 2008), h. xii 5Ibid.


(12)

bersifat menindas rakyatnya. Ini terindikasi dari berbagai pengakuan mereka, bahwa mereka mengakui memegang dan mempelajari karya The Prince Niccolo Machiavelli. Seperti Hitler pemimpin NAZI di Jerman menyimpan The Prince

disamping tempat tidurnya, Napoleon Bonaparte mengemukakan bahwa hanya karya politik The Prince yang layak dibaca, bahkan Musolini berani secara terang-terangan di depan rakyatnya mengatakan bahwa Machiavelli sebagai godfather

spiritual dan intelektual, dan masih ada lagi para penguasa otoriter selain mereka6. Dan inilah yang menjadi alasan orang-orang yang menganggap Machiavelli sebagai politikus yang jahat.

Berangkat dari itu semua maka penulis berusaha menggali dan membuka kembali literatur-literatur karya Machiavelli, khususnya The Prince dan The Discourses, juga dari buku-buku lain yang memiliki relevansi dengan masalah etika dan kekuasaan Machiavelli, untuk berusaha memahami esensi sesungguhnya bahwa perlu adanya etika bermartabat dalam sebuah negara menurut Machiavelli. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah Etika merupakan problem dunia saat ini, apalagi sesudah masuk ranah kekuasaan. Hal ini tercermin bagaimana seorang kepala negara bisa memimpin sebuah negara, agar negara itu bisa tetap stabil. Sehingga diambilah langkah-langkah yang menurut pikiran mereka bahwa etika yang mereka pakai adalah demi kepentingan negara. Sehingga tidak sedikit manusia yang pernah menguasai sebuah negara dari pasca perang dunia I sampai saat ini mempelajari

6

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 248.


(13)

etika kekuasaan para tokoh terkemuka seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquines, Niccolo Machiavelli, dan yang lainnya.

Tetapi justru kabanyakan orang telah mengenal Machiavelli hanya dengan membaca The Prince. Dan hal ini menjadi kontroversi ketika mendengar atau membaca karyanya The Discourses, bahwa jelaslah Niccolo ini sebagai seorang republikan. Sederhananya bila kita membaca The Prince, maka asumsi yang keluar adalah Machiavelli sebagai seorang politikus yang jahat, bahkan dia disebut juga sebagai old nick atau iblis7. Boleh disebut The Discourses ini sebagai testamen politik Machiavelli yang terlengkap.8 Karena di dalamnya jelaslah bahwa Machiavelli memberikan konsep yang jelas-jelas menunjukan dia adalah seorang republikan.

Namun dalam pembahasaan skripsi ini bukan bermaksud untuk membela Machiavelli, ini dimaksudkan untuk merangsang pembaca agar mempelajari tokoh ini secara lebih mendalam dan objektif. Supaya dalam memandang Machiavelli tidak hanya dari sisi negatif yang sudah umum. Tetapi melihat sisi-sisi positif yang di kandung olehnya.

Berdasarkan acuan tersebut, agar pembahasan skripsi ini tidak melebar dan terjebak pada kurang terfokusnya pembahasan serta kesimpulan, maka penulis membatasi perrmasalahannya pada: konsep etika dan kekuasaan yang dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli.

Pertanyaan yang dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

7

Joseph Losco dan Leonardo Wiliams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005), h. 561.

8


(14)

1. Bagaimana konsep etika dan kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendalami konsep etika dan kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli

2. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan penulis. Adapun manfaat dari penelitian yakni :

A. Manfaat Akademis

Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan strata satu (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Politik pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

B. Manfaat Praktis

1. Menambah Wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi pada khususnya bahwa Etika dan Kekuasaan yang diargumentasikan oleh Niccolo Machiavelli ini memiliki konsep yang masih eksis dan bahkan bisa di realisasikan dengan baik sesuei dengan cita-cita untuk mensejahtrakan kehidupan bernegara, sehingga perlu pengkajian secara mendetail dan objektif tanpa memilah-milah. Meskipun dia sendiri adalah seorang tokoh politik barat, yang berbeda agama dengan kita dan penulis khususnya.

2. Bagi Fakultas, diharapkan memberi sumbangan kepustakaan dalam pengembangan wacana civitas akademika di Jurusan Ilmu Politik.

3. Sebagai Bahan Masukan kepada Pemegang Kebijakan Kampus (Rektorat) guna memformulasikan konsep tersebut agar keberlangsungan kepemimpinan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sesuei dengan kode etik yang


(15)

diharapkan dapat menjadikan mahasiswa yang memiliki peradaban dengan etika yang baik, terlebih untuk pendidikan politik mahasiswa pada umumnya. D. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang di tuju. Namun yang tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang ditemukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut kajian literatur9.

Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan di analisis secara kompherenshif, holistic, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga dideskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.

Menurut Bogdan dan Taylor (1973),10 penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga,

9

Mohamad Kasiram, Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.

10

Burhan Bungin, metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 31.


(16)

atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistic).

Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode yang digunakan untuk meneliti subjek penelitian akan mempengaruhi cara pandang subjek tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa dan menginterpretasi tokoh Machiavelli secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat dikenali secara mendalam bagaimana sang tokoh secara pribadi dengan melihat konsep dia, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan pemikiran, karya, dan prilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba menggeneralisasikan tokoh Niccolo Machiavelli, dari sisi pemikiran politiknya khususnya tentang etika dan kekuasaan.

Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan, merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan data, maupun dalam menafsirkan data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang di peroleh. Jadi, penelaahan ini tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi, memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak. E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan sistematika penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta agar penulisan ini menjadi lebih sistematis, maka


(17)

skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub yang terdiri sebagai berikut:

 BAB I PENDAHULUAN

Penulisan ini dimulai bab pertama, yang menjelaskan latar belakan masalah. Dimana didalamnya berbicara tentang konsep etika dan kekuasaan Niccolo Machiavelli yang harus dimiliki oleh seorang raja dalam sebuah negara republik. Dimana penilaian terhadap Niccolo Machiavelli ini begitu jelek seakan-akan dia adalah seseoran politikus yang mengajarkan kejelekan cara dalam berpolitik, bahkan dia di nilai sebagai seorang old nick. Sehingga sangat disayangkan, karena hal ini sudah melekat dalam jati diri para pembaca karya Machiavelli khususnya The Prince. Padahal bila kita ingin cermat dan menilai Machiavelli secara objektif, maka akan didapatkan bahwa Machiavelli ini adalh seorang republikan yang semata-mata menulis tentang etika dan kekuasaan itu demi kesetabilan negrinya. Hal inilah yang kemudian penulis jadikan sebagai batasan dan rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya isi dari bab ini adalah mengenai tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

 BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI

Selanjutnya dalam bab kedua, berisi mengenai ruang lingkup kehidupan Niccolo Machiavelli mulai dari kondisi lingkungan, latar pendidikannya, sampai kepada keikutsertaannya dalam kancah politik. Dimana itu semua mempengaruhi terhadap karya yang telah ditulisnya itu. Pada bab ini juga ditulis sedikit tentang substansi dari The Prince dan The Discourses, juga


(18)

karakter Niccolo Machiavelli dalam memandang kondisi politik di negrinya yang korup dan sarat dengan konflik politik, sehingga mempengaruhi kondisi fisikologis Niccolo Machiavelli yang membuatnya berpikir untuk tetap mempertahankan kekuasaan dengan konsepnya11. Sikap yang lahir dari Machiavelli ini sebenarnya adalah di dorong oleh rasa cintanya terhadap negara Florence.

 BAB III DESKRIFSI ETIKA DAN KEKUASAAN

Selanjutnya pada bab ketiga, menjelaskan definisi dari etika dan kekuasaan, serta relasi anatar konsep etika dan kekuasaan dalam sebuah republik. Karena sebelum mendalami konsep etika dan kekuasaan Machiavelli ini, perlulah untuk mengetahui apa itu etika dan kekuasaan. Agar ketika beranjak untuk membahas tentang konsep etika dan kekuasaan Niccolo ini, tidak kabur dan salah paham dalam menanggapi konsepnya.

BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO

MACHIAVELLI

Pada bab keempat, masuk pada bab pembahasan masalah, dimana didalamnya penulis menjelaskan tentang konsep etika yang dikenalkan oleh Machiavelli kepada para penguasa, khususnya penguasa Florence. Dimana Machiavelli disini menjelaskan bahwa seorang penguasa seharusnya memiliki dua sifat gabungan antara ditakuti dan dicintai, dan memiliki etika yang bermartabat agar disegani rakyat. Di bab ini ditulis bagaimana Machiavelli juga memberikan siasat agar kekuasaan bisa dipertahankan, dan negara tetap stabil. Machiavelli mengingatkan agar itu

11

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 254-256.


(19)

semua dilakukan jangan semata-mata untuk kepentingan pribadi, tapi itu semua untuk kepentingan negara. Juga dijelaskan tentang sistem negara ideal menurutnya yang dapat menopang kestabilan kekuasaan adalah negara dengan bentuk republik.

 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Selanjutnya dalam bab ke lima adalah bab penutup, dimana dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini, serta tidak lupa menambah saran, agar penulisan skripsi ini lebih bermakna khususnya bagi penulis dan umumnya untuk para pembaca.


(20)

BAB II

BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI A. Riwayat Hidup

Niccolo Machiavelli dilahirkan di Kota Florence di Italia pada 1469, pada zaman renaissance (abad pencerahan)1. Pada masa itu Italia terbagi menjadi lima negara; kerajaan Neples di sebelah selatan, kepangeranan Milan di sebelah barat, republik Venice di timur, Negara Paus di tengah, dan republik Florence yang diduduki Machiavelli2. Machiavelli dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang termasyhur. Ayahnya Bernardo Machiavelli adalah seorang pengacara yang terkadang menangani urusan publik di negara-kota Florence. Ayahnya membantu Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence, karena ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang terkemuka, sehingga pantas bila ayahnya mendidik Machiavelli untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan3.

Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus dengan ide-ide yang konkrit, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas tindakan, bahkan disebut oleh para politikus bahwa Machiavelli adalah seorang politikus realisme. Pada usia 25 tahun, dia telah berkecimpung dengan kehidupan politik. Machiavelli pernah menjabat kedudukan tinggi dalam bidang diplomatik, dalam mengatur organisasi ketentaraan, serta mengurus korespondensi resmi negaranya. Machiavelli pernah dipenjara dan dibuang karena dianggap sebagai

1

Soehino S.H., Ilmu Politik, (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), h.70 2

Dr. Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 105.

3


(21)

komplotan anti pemerintahan tahun 15134. Setelah dibebaskan kembali dia memencilkan diri di sebuah tanah pertanian di luar kota. Disanalah dia menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam bentuk tulisan, mulai dari seri tentang politik, sampai kepada komedi salah satu karya politiknya adalah The Discourses

dan The Prince (Sang Pangeran).

Kejadian-kejadian politik semenjak dia menganyaman pendidikan sampai ketika dia diasingkan oleh keluarga Medici sehingga meninggalkan kesan yang mendalam pada Machiavelli. Tokoh politik ini menyaksikan runtuhnya kekuasaan keluarga Medici yang sudah memerintah Negara Florence selama beberapa generasi sekitar seratus tahun. Dia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan Republik Florence yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa, dan itu semua menjadi pengalaman politik yang berharga baginya, sehingga dia menuangkan kejadian itu semua dalam karya politiknya.

Dalam karya-karyanya, Machiavelli mengakui bahwa dia menggeneralisasikan konsepnya itu berdasrkan fakta, bukan seperti penulis-penulis pada zamanya yang lebih menekankan penulis-penulisan konsep-konsep yang sepenuhnya berdasarkan kajian-kajian kuno warisan dari Plato dan Aristoteles. Machiavelli menulis karyanya berdasarkan situasi dan kondisi Florence kala itu5. Dimana dia menginginkan dari karyanya itu agar Flornce tidak menjadi daerah jajahan negara lain dan berada dalam penindasaan dalam negrinya sendiri.

Ide-ide atau gagasannya lahir tidak semata-mata karena ambisinya untuk menjadi seorang politisi praksis, namun gagasannya lahir karena beberapa sebab.

4

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negri Barat, h. 67. 5

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 258.


(22)

seperti kondisi lingkungan, pengaruh pendidikan, dan juga berdasarkan pengalaman politiknya. Seperti yang dikatakan oleh pakar sosiolog Islam yaitu Ibnu Khaldun, yang menyatakan bahwa watak politik seseorang itu dipengaruhi juga oleh kondisi geografis, seperti cuaca, kondisi politik, dan kondisi lingkungan sekitarnya6. Hal ini pun senada dengan apa yang terjadi pada Machiavelli dimana watak politiknya, hingga bisa melahirkan karya sebesar The Prince, dan The Discourses. Dimana hal ini dipengaruhi beberapa sebab diantaranya:

1. Kondisi Lingkungan

Menulusuri kehidupan Machiavelli, maka pembahasannya pun tidak akan terlepas dari kondisi Italia, dan khususnya Florence, tempat dimana tokoh ini hidup. Kondisi kehidupan masa itu ditandai dengan adanya proses transisi kekuasaan Paus kepada para Raja secara penuh, dalam arti Gereja tidaklah boleh ikut campur terhadap urusan negara. Era ini sering disebut oleh sejarahwan sebagai zaman Renaissance.

Abad Renaissance merupakan periode transisi pemikiran dan tata pemerintahan khususnya di dunia Eropa. Periode ini ditandai dengan terlepasnya segala unsur pemerintahan dari kungkungan Gereja (zaman sebelum

Renaisasance juga sering disebut the Dark Age jaman kelamnya negeri Eropa)7 periode ini juga sering disebut Reformasi di Eropa. Selain itu hal ini juga memberi manfaat pada dunia barat karena selama ini, barat didominasi oleh doktrin Gereja. Maka lahirlah paham kebebasan dan kemauan untuk maju. Era Renaissance ini terindikasi dari manusia-manusianya kala itu yang sudah berpikir mengunakan

6

Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 160. 7

Umar Abdullah, Kapitalisme: The Stanic Of Ideology, (Bogor: El-Moesa Press, 2007), h. 23.


(23)

akal sehatnya tanpa ada pengaruh dari pihak agama, yaitu Kristen, dan terlepasnya mereka dari paham Skolastik.

Selama masa Renaissance inilah hidup seorang Machiavelli. Ketika era itu sedang mengalami titik klimaksnya, kebebasan dan reformasi dari sistem kepausaan menjadi sistem republik Italia, disamping itu terjadi perebutan hegemoni kekuasaan antara Gereja dan para Raja. Para politikus dan filosup waktu itu terlibat untuk memikirkan bagaimana menstabilkan kondisi Italia dan negara-negara kota didalamnya, dan konsep ideal apa yang harus diterapkan dalam negaranya, termasuk Florence.

Namun hal yang sangat disayangkan masa itu adalah pemikiran Niccolo Machiavelli dianggap tidak didasarkan pada asas moral, bahkan tidak ada nilai-nilai etika didalam pemikirannya. Karena pada waktu itu, pemikiran akan etika hanya dikaitkan dengan perilaku manusia tentang hal-hal yang normatif. Padahal secara real pada masa itu, Eropa terfokus pada kemajuan negara yang jauh dari dogmatisme terhadap agama, karena para pemikir dan sarjana kala itu merasa lelah akan konsep etika dan moral yang diajarkan oleh Gereja (relativisme etika) terhadap para raja, yang pada akhirnya menjatuhkan negara dan memasukannya pada kondisi yang buruk. Sehingga menimbulkan ketidakpedulian mereka terhadap etika. Kondisi politik saat itu dipenuhi oleh penghianatan, kecurigaan, nafsu untuk berkuasa, dan sisat-siasat licik pun silih berganti bermunculan demi mendapatkan tampuk kekuasaan8. Menurut Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya

8


(24)

besar. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan9. Maka bisa dimengeri bila saat itu Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil, berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris10.

Machiavelli merupakan salah satu tokoh yang ikut andil didalamnya, dia menginginkan negaranya menjadi negara yang kuat, tanpa ada jajahan dari negara lain. Dan menurutnya, kekuatan ini bisa dibangun dengan memisahkan antara kehidupan gereja dan kehidupan politik. Selain itu tokoh ini pun menganjurkan agar tentara yang dibangun di Florence jangan mengandalkan tentara bayaran, tentara bayaran mudah berhianat, haus akan kekuasaan, tidak memiliki tanggungjawab, tidak memiliki rasa takut kepada Allah, dan tidak memiliki rasa loyalitas terhdap negara. Pemikiran ini dituangkan dalam sebuah tulisan, bahwa Machiavelli memandang dari kejadian Vitelli. Vitelli yaitu seorang komandan tentara yang dibayar Florence untuk menyerang Piza, namun yang terjadi adalah para tentara itu berhianat, karena negara Piza mampu membayar lebih besar. Dan ini merupakan hal yang memalukan bagi republik Florence. Maka Machiavelli berasumsi bahwa sebuah negara harus mampu membuat tentara yang direkrut dari kalangan warga negaranya11.

Masa Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang masyhur, Lorenzo yang terpuji. Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492.

9

Senelson Jhon, “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.

10

Charles Ricahrdodi, “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober 2009 dari http://politiksaman.com/2009/02/15.

11

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 135.


(25)

Beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence, Florence menjadi republik (Republik Florentine) di bawah Soderini pada tahun 1498 sampai 1512. Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan, dan penguasa Medici kembali pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dicopot dari posisinya, dan di tahun berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence. Dari penagsingan ini lah Machiavelli menuangkan pemikiran politiknya dalam beberapa karya yang diantaranya adalah The Discourses dan The Prince.

Dalam kondisi yang sulit dimana Florence mengalami krisis politik yang berupa konflik internal antara berbagai negara kota. Para penguasanya bersaing untuk mengontrol negara. Dan di lain sisipun Italia mengalami situasi yang lebih berat dimana Italia menjadi rebutan antara Prancis, Jerman, dan Spanyol yang berusaha menghegemoni Italia, sehingga demi meraih perlindungan dari negara-negara besar. Sehingga negar-negara-negara kota Italia biasanya bersekutu dengan salah satu negara besar tadi yang pada akhirnya terjadi perpecahan dan peperangan didalamnya12. seperti inilah Machiavelli melahirkan konsep-konsepnya tentang etika dan kekuasaan, sehingga keadaan seperti ini menjadi pola pikir, serta mempengaruhi tindak-tanduk, dan strategi politiknya. Dengan posisi Machiavelli itu maka pantas bila dia menulis karyanya The Prince dan The discaurses. Dengan demikian, pada dasarnya abad Renaissance ini mendorong orang mengelabui atau menipu orang lain. Dalam hubungan dengan penguasa seperti yang digambarkan

12

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 249.


(26)

Machiavelli dalam The Prince, agar penguasa mengelabui rakyat, yang pada akhirnya juga untuk kepentingngan kesejahtraan rakyat dan kemakmuran negara itu sendiri13, karena pada akhirnya rakyat hanya akan peduli dengan hasil akhir yaitu kesejahtraan, sedangkan sedikit kekerasan yang dilakukan oleh raja akan terlupa.

2. Pendidikan

Tidak begitu banyak literature yang membicarakan riwayat pendidikan Machiavelli. Hal ini dikarenakan lebih banyak orang yang memfokuskan pada karya-karyanya. Namun dalam beberapa buku dituliskan bahwa Niccolo Machiavelli mengikuti pendidikan yang diarahkan oleh ayahnya, karena ayahnya menginginkan Machiavelli menjadi seorang terkemuka. Bisa disebut batu pertama yang ditanamkan dalam pendidikan Machiavelli adalah dari ayahnya sendiri. Karena ayahnya, Bernardo Machiavelli adalah seorang pengagum karya-karya klasik Yunani dan Romawi seperti karya Cicero “Phillipus dan On Moral Obligation, dan The Making Of an Orator”, serta karya Livius yaitu “History”

dimana hasil didikan ayahnya ini menjadi peletak batu pertama pemikiran politiknya14. Meskipun di lain sisi diriwayatkan bahwa ibunya menginginkan Machiavelli menjadi seorang rohaniawan.

Selain itu Machiavelli pun menganyam pendidikan formal, dimana pengaruh pertama yang mempengaruhi pola pikirnya adalah pendidikan liberal yang biasanya diberikan kepada angota kelasnya15. Dalam salah satu tulisan

13

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, h. 89. 14

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 126.

15

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 248.


(27)

ayahnya, dalam usia empat belas tahun Machiavelli yang dibwah asuhan Paulo, mampu membuat sebuah karya humnis dengan gaya penulisan klasik16.

Dalam usia mudanya dia telah mempelajari bahasa Latin, dan ilmu-ilmu tentang humaniora melalui seorang guru yang bernama Paulo Ronsiglione dengan pemikiran dan kajian tentang humanisme17. Pada fase berikutnya Machiavelli melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi Universitas Florence.

3. Karir dalam Kancah Politik

Karir politik Machiavelli tergolong cepat. Dia merupakan orang yang memiliki jabatan tinggi di usia mudanya. Hal ini terbukti dengan kepercayaan yang diberikan oleh penguasa Republik Florence di masa Machiavelli muda. Dalam usia 25 tahun, Machiavelli pernah dipercaya dalam salah satu jabatan publik karena kemampuannya menarik perhatian Gorfalonier Piero Soderini sebelum dia diangkat menjadi penguasa dalam Republik Florence. Ketika tampuk kepemimpinan Republik Florence yang di pegang oleh Gorfalonier Piero Soderini pada 1498 sampai 1512, Machiavelli dianggap menjadi orang kepercayaan Soderini, sampai-sampai para musuh Soderini menyebut dia “kacung Soderini”18.

Dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Niccolo Machiavelli pun masuk dalam kelompok kaselir yang terdiri atas majelis sepuluh, yaitu sebuah lembaga penting republik Florence, dimana badan ini memiliki sejumlah kekuasaan diplomasi, masalah peperangan, dan lain-lain. Dan tokoh ini

16

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 127.

17

Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, h. 107. 18

Mirza Gultom, “Peta Politik Niccolo Machiavelli Mengenai Negara,” artikel diakses pada 30 desember 2010 dari http: //www. tokohpolitikmirza.org/2010/1230/machiavelli.html.


(28)

sering terlibat dalam pelbagai missi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke Perancis dan Jerman. Di Florence, dia meraih kesuksesan di mata penguasa. Termasuk ketika berhasil merebut Pisa dan mengembalikannya ke dalam kekuasaan Republik Firenze tahun 1508. Bahkan sebagian sejarawan ada yang menatakan bahwa Machiavelli pernah menjadi sekertaris di republik Florence19. Nicolo Machiavelli menjabat sebagai aparatus negara republik Forence selama empat belas tahun.

Pada waktu menjadi sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine, Machiavelli mendapatkan pengalaman dengan seringnya pergi ke negara-negara lain menemui para penguasa dan tokoh pentingnya, seperti kepada Paus, kaisar dari Jerman dan Raja Perancis, yang mana Machiavelli pernah memberikan stetmen bahwa di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” polity). Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali dapat dieliminasi20.

Dengan jatuhnya pemerintahan republik Florence di bawah Soderini oleh keluarga Medici di bawah Lorenzo II, Machiavelli pun ikut diberhentikan dari jabatan publiknya. Meskipun sebelumnya Machiavelli berusaha untuk tetap

19

Kasman Singodimejo dan Mohamad Saleh, Machiavelli, (Jakarta: Permata Jakarta, 1973), h. 7.

20


(29)

bertahan, dengan meyakinkan keluarga Medici dengan pengalamannya sebagai aparatus negara yang gemilang. Karena Machiavelli sendiri tidak memiliki sifat penjilat ulung atau menurut ahli sejarah Dr. J.F. Oten Machiavelli ini disebut juga

doortrapte vleier21 .

Akhir dari jabatan Machiavelli sendiri tergolong buruk, karena sesudah dia dipenjarakan, dia dituduh sebagai komplotan yang mencoba menggulingkan pemerintah. Namun dia tetap tidak mengakui akan hal itu, dan juga dia tidak terbukti, maka tokoh politik dan penulis ini akhirnya dibebaskan, tetapi pembebasannya ini berupa pengasingan terhadapnya ke wilayah terpencil daerah pertanian di San Casciano.

C. Karya Tulis

Niccolo Machiavelli adalah seorang politikus ulung, lihai, dengan pandangan politik yang tajam. Tetapi karena kejatuhannya dari politik praktis maka, dia menuangkan dan merealisasikan konsep dan keintelektuallannya dari hasil pengalaman diplomasi, dan studi komparasinya di luar negri selama empat belas tahun yaitu dalam bentuk tulisan. Ataupun kalau menurut Ahmad Suhelmi, Machiavelli ketika menghadapi masa pengasingannya itu dia merasa memasuki arena purbakala dengan mencoba berdialog dengan para philosuf dan politikus pendahulunya dengan menanyakan kenapa strategi politik mereka seperti itu, dengan menyerap dan menggeneralisasikannya sehingga terealisasikannya beberapa tulisan darinya22, dimana tujuan penulisan literaturnya ini memiliki dua tujuan.

21

J.F. Otten, Konsep Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 1963), h. 6. 22

Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 129.


(30)

Pertama, tokoh ini menginginkan dari tulisannya itu agar pemerintahan Medici bisa mengelola negara dengan baik jauh dari korupsi, penindasaan terhadap rakyat. Seorang Raja harus mementingkan kehidupan negaranya dibandingkan individu dan keluarganya (nasionalis). Kedua, terlepas dari itu Machiavelli pun adalah seorang manusia biasa yang menginginkan sebuah kehormatan, dan jabatan. Sehingga penulisannya pun tak terlepas, bahwa dia menginginkan kembali jabatan publik di era pemerintahan Medici.

Tetapi selain itu dia juga menulis karya-karya lain baik berupa komedi, strategi perang, sejarah Florence dan karya-karya lain sampai tokoh ini akhirnya meninggal dalam keadaan dikelilingi oleh literatur-literatur hasil karyanya di pengasingan.

Kontribusi Niccolo Machiavelli dalam pemikiran politik sangatlah penting dan berharga. Bahkan tokoh ini disebut-sebut sebagai bapa politik moderen yang mengeluarkan kungkungan area politik dari wilayah kepausan Gereja. Khususnya buku yang dia beri judul The Prince dan The Discourses atau bisa disebut sebagai buku pedoman bernegara khususnya Florence. Tetapi jauh dari pemikiran Machiavelli, justru literaturnya diacuhkan oleh penguasa masa itu, dan juga dilarang penerbitannya oleh Gereja pada berikutnya, justru mendapat sambutan hangat di era moderen. Maka amatlah penting untuk mengetahui apa substansi dan relevansi dari The Prince dan The Discourses itu?

1. The Prince

The Prince yang terdiri dari 26 bab yang berisi beberapa pembahasan tentang macam-macam pemerintahan, ketentaraan, posisi agama dalam negara,


(31)

mempertahankan dan melindungi kekuasaan, dan tatacara memilih aparatus Negara23.

The Prince adalah sebuah literatur pembuka keran liberalisasi politik yang bebas dari kungkungan Gereja, yang isinya menyangkut bagaimana memprtahankan, merebut, dan memperluas kekuasaan. Di mana asumsi-asumsi yang lahir dari padanya adalah aktualisasi dari hasil riset pengalamannya selama empat belas tahun dengan memformulasikannya dengan situasi dan kondisi Italia yang hancur kala itu. Sehingga isi dari The Prince ini menggeneralisasikan metode politik yang lihai, cerdik, penuh dengan strategi untuk mempertahankan kekuasaan demi stabilitas Negara yang sedang mengalami titik rendah kehancurn, yang penuh dengan penindasaan, kekuasaan Gereja yang ingin menghegemoni Negara, korupsi yang merajalela. Sehingga tak heran bila isi dari The Prince yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, karena memang isi dari argumentasi Machiavelli ini ibarat penawar yang ditawarkannya bagi Italia khususnya, dan umumnya dipakai juga oleh para pemimpin dunia.

Karya ini bisa disebut sebagai karya paling fenomenal yang ditulis oleh seorang Machiavelli, menjadi sorotan, serta pertentangan para sejarahwan, kaum intelektual, para politikus, dan akademisi. Dimana dari isi literatur ini menggambarkan konsep realitas politik demi mempertahankan kekuasaan yang ditelitinya secara komparatif anatara kondisi politik dulu dengan masa Italia yang terpecah belah menjadi Negara kota waktu itu. Tidak sedikit orang yang membela isi dari The Prince dan juga ada yang menyalahkannya, sampai-sampai disebutnya tokoh ini sebagai bapak kejahatan politik. Namun yang paling penting isi dari The

23


(32)

Prince ini Tidak seperti apa yang ditulis oleh para pemikikir sebelumnya, atau pemikir yang sejamanan dengan Machiavelli, yang hanya menyandarkan idenya secara dogmatisme berdasarkan penulisaan klasik yunani dan Romawi, tanpa dikritisi dan ditafsirkan secara menyeluruh. Shingga bisa disebut para pemikir yang sejaman dengan tokoh ini hanya melihat karya-karya klasik secara tekstual24. Sedangkan penulis The Prince ini melihat Italia dan sejarah terdahulu adalah dengan metode komparatif kritis. Karena didalamnya menjelaskan berbagai sejarah pemerintahan yang dilakukan oleh raja-raja dengan membandingkan antara Raja yang memperoleh kemenangan, dengan Raja yang mengalami kekalahan seperti yang diceritakan Machiavelli tentang kisah Duke of Ferrara yang mampu bertahan dari serangan kaum Venesia25. Karena menurut Machiavelli sendiri sejarah sebuah negara amat berguna untuk pelajaran bagi seorang penguasa, untuk menjadi bahan komparatif seorang penguasa. agar dalam memainkan perananannya dia harus mampu mengontrol Negara dengan baik, meski harus berbuat yang amoral atau bersifat kikir, atau harus siap setiap saat dengan menyelipkan senjata di dekatnya. Karena itu semua dilakukan hanyalah demi keutuhan Negara.

Dalam menguasai Negara, si penguasa harus mengendalikan dalam melakukan kekejaman dengan tidak melakukannya tiap hari dan siapapun penguasa yang bergerak aktif dalam Negara atau diluar Negara harus siap dengan

24

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 250-251.

25


(33)

pisau ditangan, karena kita tidak tahu hal yang merugikan apa yang bakal menimpa seorang raja dalam tindakan politiknya26.

Dari karyanya itu Machiavelli mengnginkan Florence menjadi Negara yang kuat, sejahtra, dan aman dari penjajahan negara lain. Dan itu semua menurut Machiavelli bisa di dapat dengan cara bagaimana seorang penguasa dalam bersikap terhadap negaranya. Hal ini mengindikasikan bahwa The Prince telah memberikan gambaran kepada para raja dalam sebuah Negara, sehingga dikenal bahwa raja itu haruslah memiliki dua sifat seperti rubah dan seperti singa. karena Rubah pandai bisa menghindar dari jebakan, dan singa memiliki kekuatan untuk melawan, bahkan ditakuti. Statmen ini bukan berarti Machiavelli menganugrahkan buku kejahatan bagi seorang pangeran, tetapi maksud dari karyanya ini adalah demi kepentingan stabilitas negaranya.

Seperti apa yang dia nyatakan dalam bukunya The Prince:

“Saya tahu setiap orang akan mengakui seorang penguasa patut dipuji bila memiliki semua kualitas yang baik. Namun semua itu tidak bisa dimiliki atau dijalankan karena kondisi manusia tidak memungkinkannya. Perlu bahwa manusia harus cukup bijak untuk menghindari sifat-sifat buruk yang bisa membuatnya kehilangan Negara. Namun bila tidak mampu, sang pangeran bisa mengikuti dengan sedikit keberatan. Dan dia tidak boleh keberatan melakukan sifat-sifat buruk itu, tanpa hal-hal yang akan sulit untuk menyelamatkan negara. Karena bila orang menganggap baik, akan ditemukan beberapa hal yang tampaknya baik, bila diikuti akan menuju pada keruntuhan seseorang. Sebaliknya hal-hal yang tampak buruk bisa memberikan keamanan dan kesejahtraan lebih besar27”.

Pemikiran etika dan kekuasaan yang sulit dipisahkan. Machiavelli menekankan bahwa risetnya ini murni bertujuan menciptakan kestabilan kekuasaan yang dimana etika hanyalah alat untuk mempertahankannya karena maksud dari semuanya adalah memberlakukan peraturan yang perlu diandalakan

26

Machiavelli, The Prince, h. 77. 27


(34)

oleh penguasa secara penuh, agar negara Italia bisa bersatu, dan tidak berpecah belah. Pemisahan antara wilayah etika dan kekuasaan yang dilakukan Machiavelli dalam karyanya ini, karena dorongan situasi Italia waktu itu yang berada dalam posisi krisis, serta perpecahan yang melanda negara itu, dengan kondisi itu Machiavelli ingin membebaskan Italia, dan mempersatukannya kembali. Dan ini semua bisa didapatkan dengan cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan oleh sang pangeran demi memajukan kepentingan negara dan rakyat. Metode pertahanan kekuasaan yang dikenalkan Machiavelli ini masihlah relevan dengan konteks politik kekuasaan yang dihadapi saat ini. Karyanya ini menempatkan dia sebagai tokoh pakar politik kekuasaan atau disebut Max Lerner sebagai bapak politik kekuasaan28.

Terlihat dari sekumpulan konsep yang ada didalamnya tokoh ini memberikan agar para pembacanya sekumpulan prinsip atau kaidah nyata bahwa seorang penguasa bila menginginkan keberhasilan dalam memenej negaranya maka dia arus mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi, sehingga tidak salah dalam bertindak, meskipun dengan berprilaku yang agak bejat asalkan yang perlu digaris bawahi jangan sampai merebut hak kebanyakan rakyat, karena itu bakal menjadikan rakyat tidak mendukungnya, karena rakyatlah yang akan selalu mendukungnya asalakan jangan pernah menyakiti dan menindas rakyat, atau harus diusahakan agar rakyat ini dijadiknnya sebagai teman29.

Tidak berhenti sampai disitu, selain strategi mempertahankan kekuasan, merebut kekuasaan, atau menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan, buku

28

Max Lerner, Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses, (New York: Moderen Library, 1950), h. 33.

29


(35)

The Prince ini juga dikenal sebagai buku paling kontroversial, The Prince adalah sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar

Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersama-sama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population

(Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler),

Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin), dan buku-buku hebat lainnya30.

2. The Discourses

Karya ini disebut sebagai sinar bagi para pembaca The Prince, karena dengan membacanya, pembaca The Prince tidak hanya mengtahui bahwa Machiavelli adalah seorang par excellence. Tetapi The Discaurses merupakan jawaban bahwa Machiavelli adalah seorang republikan, yang menginginkan sebuah tatanan negara republik bagi kebaikan warga negaranya, sebagai demokrat besar, dan sebagai pemikir yang memberi sumbangsih besar pada kebebasan politik dari belenggu Gereja31. Dimana rakyat dan penguasanya saling bekerjasama, sehingga terciptalah negara yang beretika.

Karya ini menggeneralisasikan tentang ungkapan Machiavelli yang dia ketahui tentang sejarah politik khususnya tentang berdirinya sebuah republik dan juga hasil pengalamannya yang telah dia pelajari dalam waktu yang lama. Karya ini terbagi menjadi tiga buku; Buku Kesatu terdiri dari enam puluh bab berisi tentang analisis urusan-urusan dalam negeri bangsa Romawi; Buku Kedua berisi tiga puluh tiga bab berbicara tentang urusan-urusan militer dan luar negeri; Buku

30

Bruce Warner, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.

31


(36)

Ketiga berisi empat puluh sembilan bab menjelaskan tentang sumbangan bagi kebesaran Romawi yang diberikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sejumlah warga negaranya yang terkemuka.

Judul asli karya ini adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, judul ini sesuai dengan bahasa asli Machiavelli sendiri yaitu Italia atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai The Discourses on Livy, diskursus yang berarti Sebagai seorang penasehat rezime pemerintahan republik yang saat itu tengah menghadapi berbagai ancaman politik, Machiavelli memberikan nasehat-nasehat realistik terhadap pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan ditengah gempuran dan ancaman intrik-politik. Nasehat-nasehat inilah yang banyak tertuang dalam risalahnya The Prince kemudian diinterpretasikan sebagai akar pemikiran mazhab realis32. Sedangkan karya diskursusnya ini menampilkan wajah yang berbeda dengan The Prince dalam konteks pandangannya untuk menjaga spirit dari pemerintahan republik, mendorong gairah patriotisme dari warga negara untuk mencintai dan membela tatanan politik Republik Roma yang tertuang dalam karyanya The Discourses on Livy yang menempatkannya sebagai filsuf besar pendiri mazhab pemikiran Civic Republicanism.

Dalam bukunya ini, justru Machiavelli terlihat sebagai seorang pemikir politik yang mencita-citakan negara ideal yang penuh dengan kearifan, kedamaian, dan kesejahtraan. Sehingga tokoh ini secara jelas menempatkan posisi rakyat dalam perpolitikan negara yang dia sebut Republik, Machiavelli menguraikan bahwa partisipasi warga dalam arena politik untuk menentukan yang baik dalam kehidupan bersama adalah aktivitas termulia dari setiap warganegara.

32


(37)

Dalam irama argumentatif yang positif, Machiavelli menuangkan argumentasinya, bahwa tujuan dari tatanan politik republik adalah menghadirkan keadaban publik, sehingga disinilah pemerintahan oleh rakyat lebih luhur daripada pemerintahan monarkhi yang dipimpin oleh seorang raja. Selanjutnya dengan paparan negatif, ia menegaskan bahwa keruntuhan kehidupan republik bermula ketika setiap warganegara mulai meninggalkan dan mencibir kearifan (dalam pandangan politik Machiavelli, kearifan merupakan sentral dari pemikiran politiknya) yang telah menjadi tradisi dari para pendiri republik.

Oleh karena itu, maka pantaslah jika substansi dari The Discourses

memposisikan kehidupan publik di Negara Republik memang menempati wilayah yang utama bagi Machiavelli, tidak saja dalam pikirannya bahkan dalam spiritualitasnya. Dalam karyanya ini, Machiavelli mengkritik berbagai bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang hanya mengejar asketisme penyelamatan diri. Menurutnya spiritualistik seperti ini akan membawa individu pada karakter egoistik yang tersamar dalam bentuk pemujaan kepada yang transendental. Bagi Machiavelli, keutamaan pandangan keagamaan justru terletak pada ekspresi kegairahan untuk menjaga keadaban diwilayah publik, kearifan warganegara untuk hadir dalam wilayah politik. Dalam arti pentingnya posisi agama adalah eksistensi fondasinya, dimana agama yang dipercaya oleh masyarakat dapat menjadikan mereka beretika yang merupakan respon dari titah Ilahi dan para Nabi33.

Karena sangat pentingnya etika dalam sebuah tatanan republik dalam pandangan Machiavelli, sehingga ketika virtu (kearifan) telah ditinggalkan dan

33


(38)

dianggap sebagai tradisi zaman lampau oleh warganegara, maka karakter yang bersemai dalam tatanan republik diambang keruntuhan. Watak apakah yang menjadi virus yang menyebar diantara warganegara pada senjakala republik. Menjawab pertanyaan ini, Machiavelli memberikan tekanan pada karakter koruptif yang menyebar baik dalam tindakan para elite pemimpin maupun warganegara, setelah kearifan publik meredup sebagai pintu pembuka bagi kehancuran republik34. Machiavelli memiliki pandangan menarik tentang korupsi yang menarik untuk diulas, tokoh ini mengartikan korupsi dalam perspektif yang luas sebagai tindakan apapun yang menempatkan kepentingan personal diatas kepentingan publik. Perspektif Machiavelli tentang korupsi ini lebih luas dan lebih radikal daripada pengertian modern tentang korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau menggunakan uang negara untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain.

34

Iseult Honohan, Civic Republicanism: Negara Republik (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 73.


(39)

BAB III

DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN A. Asal-usul Etika

Kajian etika memang sudah dibahas sejak zaman Yunani Kuno, yang di mulai Aristoteles. Akan tetapi meskipun sudah dibahas, masalah etika ini masih menjadi pertentangan. Karena istilah etika yang dikemukakan oleh para ahli filsafat masih dalam tataran mengenai prinsip-prinsip moral dasar. Sehingga Moore menyebutnya sebagai fallacy (kekeliruan)1.

Etika dan kekuasaan memang berasal dari kata yang berbeda. Dan kata ini memiliki disiplin ilmu tersendiri. Namun krisis yang telah melanda dunia saat ini salah satunya adalah tidak diindahkannya masalah etika di dalam segala urusan, khususnya urusan kekuasaan. Problem Etika dan Kekuasaan sangat sensitif karena dua unsur ini selalu melengkapi satu dengan yang lainnya. Banyak literature yang menuliskan tentang etika, baik itu berupa etika politik, pilsafat etika, etika bisnis, ataupun relativisme etika, bahkan tentang etika pemerintahan atau juga etika kekuasaan.

Dengan mengglobalnya masalah etika, bukan berarti menambah kapasitas manusia-manusia yang menjunjung tinggi etika. Justru masalah etika di dunia saat ini semakin kompleks. Hal ini dikarenakan istilah etika sendiri kadang hanya dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan, ini terlihat dari berbagai tindak- tanduk para elit politik dalam merealisasikan politik praksisnya.

Etika dan kekuasaan sudah menjadi dua istilah identik dalam tatanan kehidupan bernegara. Dimana etika menjadi salah satu mata pengontrol dalam

1


(40)

merealisasikan kekuasaan. Namun cara pandang etika inilah yang justru banyak perbedaan para philosuf dalam memberikan definisi istilah etika. Karena, etika seringkali menjadi baik di sebuah komunitas, atau Negara, tetapi belum tentu Negara lain menganggap baik hal tersebut2. Etika pun sering diartikan sebagai tata kesopanan yang timbul dalam hati nurani manusia yang melahirkan prilaku baik atau buruk dalam jati diri seseorang termasuk penguasa, yang sering juga disebut peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dalam bernegara3.

Masalah etika ini termasuk pada masalah relatif yang masuk pada ranah normatif, dimana etika itu dipandang dari berbagai sudut yang kesemua sudut itu memiliki argument tersendiri4. Menurut George Edward Moore bahwa teori etika itu dipaparkan oleh masing-masing para ahli mulai dari Aristoteles sampai pada David Hume hanya bersifat menerapkan kata etika yang disesuaikan dengan sifat atauciri tertentu. Sehingga moore menyatakan hal itu dengan disebut fallacy

(kekeliruan)5. Jadi apabila etika ini disandingkan dengan kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa Moore melihatnya dari segi bagaimana sang penguasa itu melakukan tindakan etika dalam arti kebaikan primer (simple)6

Cara pandang para pemikir pun berbeda dalam mengartikulasikan antara etika dan kekuasaan, karena ada pihak yang berargumen bahwa dalam pemerintahan sebuah Negara, etika yang dimaksud adalah kesopanan, kejujuran, atau prilaku baik yang dituntut dalam berkuasa, teori ini senada dengan apa yang

2

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 12. 3

Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. viii.

4

Mohammad Ali, Relativisme Etika, (Bandung: Serambi, 2005), h. 33. 5

Franz Magnis Suseno, Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 17.

6


(41)

di tulis oleh Aristoteles, Plato, dan pemikir-pemikir Yunani lain. Dimana kala itu mereka memandang Negara kota (city state) sedang dalam keadaan stabil. Pemikir lainnya juga ada yang berpikir bahwa etika dalam sebuah Negara sudah di atur oleh Tuhan yang diwahyukan lewat kitab-Nya kepada ummatnya, ini bisa dilihat dari etika Negara yang di pegang oleh Paus , sperti yang ditulis Agustinus dalam literaturnya “decivitate Dei”, yang diterjemahkan “The City of God”7.

Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua imu yang terpisah8, namun selalu identik dalam hal praksis politik. Karena tokoh ini menganggap etika sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan kekuasaan. Asumsi etika dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. etika merupakan bagian dari strategi kekuasaan, yang tidak selamanya terkait dengan persoalan baik dan buruk namun bersifat realistik dan obyektif serta tidak universal, ia bisa saja berubah-ubah setiap waktu tergantung pada kondisi masyarakat9. Penguasa yang berlaku baik kepada rakyat dalam membangun tatanan sosial dan politik yang baru terbentuk, dianggap sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Tujuannya adalah agar legitimasi kekuasaan bisa tercapai.

Sementara pemikiran lain, seperti Russell dan Kant memposisikan etika sebagai landasan berpikir penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Hal ini juga berarti bahwa hubungan etika dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi, namun kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral tidak harus mengarah pada asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal, yakni kemanusiaan.

7

Mushadi Mundiri, dkk., Membangun Negara Bermoral, (Semarang: Pustaka Rizki Putra Semarang , 2004), h. 1.

8

Machiavelli, The Prince, h. 18. 9


(42)

Konsep kekuasaan dan etika senantiasa mengemuka dalam kajian filsafat politik, sehingga kekuasaan tetap memiliki kaitan dengan ketinggian budi pekerti manusia10. Di satu sisi kekuasaan memiliki nilai ideal sebagai sarana perwujudan aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, kekuasaan identik dengan praktek politik penguasa yang melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuaasaan terlibat dalam perdebatan nilai dan praktek. Nilai ideal terkait dengan tuntutan etika yang seharusnya dimiliki oleh penguasa. Sementara pada prakteknya, kekuasaan menghadirkan fenomena yang sulit dan kompleks, riil dan bergerak dalam kebutuhan pribadi sang penguasa sendiri.

Pemikiran Niccolo Machiavelli identik dengan kondisi tersebut. Situasi sosial dan politik yang belum stabil menuntut penguasa untuk melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan, karena pada waktu itu Florence sedang berada dalam ancaman kehancurannya11. Pilihannya adalah kekuasaan tanpa stabilitas hanya menyisakan suasana tidak menentu bagi negara. Akibatnya program program penguasa sulit berjalan, sementara kekuasaan harus mengakomodasikan berbagai perbedaan kepentingan dalam masyarakat.

Menurut tokoh ini nilai etika yang paling tinggi adalah Negara yang bijak yang disebut olehnya dengan nama virtu, stabil, dan tindakan yang dilakukan penguasa adalah untuk melindungi Negara, sehingga dia membenarkan tindakan kejam seorang penguasa. Namun yang terpenting adalah sang penguasa berusaha agar tidak dibenci12.

10

A. Rahman Zinuddin, Kekuasaan dan Negara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 139.

11

Machiavelli, The Prince, h. 167. 12


(43)

Tentang kualitas-kualitas lain sebelum diangkat, saya katakan, setiap penguasa harus bisa dianggap penuh belas kasih dan tidak kejam. Namun ia tidak boleh menyalahgunakan rasa belas kasih itu. Cesar Borgia dianggap bengis, namun kebengisannya membawa ketertiban bagi Romagna, menyatukannya dan membawanya kedalam perdamaian13.

Maka dari itu untuk memahami substansi dan relevansi antara etika dan kekuasaan ini diperlukan usaha mendalam, agar dalam menilai para tokoh filsafat politik itu tidak terjebak pada sisi negatifnya, karena mereka pun memiliki argumen yang kuat sehingga memaksa mereka untuk mengkolaburasikan definisi istilah etika dan kekuasaan khususnya dalam ranah politik demi cita-cita kesejahtraan dan kesetabilan Negara .

1. Definisi Etika

Kata ini berasal dari Yunani asalnya ethos, secara etimologis artinya tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Secara jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dan kata ini lah yang menjadi titik dasar lahirnya nama etika yang disebut oleh Aristoteles. Definisi etika pun sering disamakan dengan moral, dimana kata moral ini berasal dari bahasa latin mos (mores) artinya kebiasaan atau adat14.

Secara terminologis arti etika yang disuguhkan oleh Bertens ada tiga unsur yaitu:

“Pertama, etika adalah nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya jika seseorang menyebutkan etika agama protestan, agama Budha, etika suku Indian, dan ini berlaku berfungsi bagi individu maupun taraf social. Kedua, etika berarti asas atau

13

Ibid., h. 119. 14


(44)

nilai moral disebut juga kode etik misalnya kode etik rumah sakit. Ketiga, etika yaitu ilmu tentang baik dan buruk15”.

Jadi dapat dipandang bahwa K. Bertens, telah memberikan arti kata etika ini yang menyangkut hal-hal aturan dalam sebuah wilayah yang memiliki nilai-nilai dan menjelaskan antara yang baik dan buruk sehingga jelas keadaannya, yang dimana definisi ini didapatkannya dari pengertian yang berasal dari kamus besar bahasa Indonesia.

Tokoh lain pun tidak jauh berbeda dengan definisi etika dalam kamus besar bahasa Indonesia, seperti yang disadur oleh Ahmad Charris dia memberikan definisi etika sebagai berikut. Etika merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat dengan memberikan keterangan antara baik dan buruknya sebuah tindakan atau tingkah laku manusia16.

Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip setiap tindakan manusia.

Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.

15

Ibid., h. 6. 16


(45)

Sedangkan Moore memberikan definisi etika bahwa etika bukan lah hal yang hanya membahas mana baik dan buruk, karena pengertian itu menurutnya masih terjebak pada pengertian keadaan fisik, pisikis, dan metafisik yang dipengaruhi oleh pemahaman seseorang terhadap agama tertentu atau adat tertntu. Menurutnya etika adalah merupakan sifat yang primer (simple) yang tidak lagi terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur dan oleh karena itu juga tidak dapat dianalisa17.

Dari kesemuanya definisi, maka jelas apa yang dikatakan Moore bahwa para philosoph telah terjebak pada pengertian etika yang menurutnya masih keliru. Dan ini tidak hanya terjadi dijaman dulu justru bila diperhatikan secara seksama, maka tidak ada perbedaan dengan para tokoh etika saat ini. Ini terlihat dimana definisinya masih saja menggunakan etika itu pada tataran normatif.

Padahal bila dicermati etika itu memiliki makna dan cakupan yang begitu luas, sehingga kata-kata kasar itu bukan berarti tidak beretika, tetapi dalam kondisi seperti apa kata itu digunakan. Dan bukan berarti seorang kepala Negara itu tidak beretika ketika dia membunuh beberapa orang pemberontak, atau melakukan peperangan demi kepentingan kesejahtraan rakyatnya. Tetapi etika itu adalah bagaimana manusia itu menggunakan situasi dan kondisi demi kebaikan dan kepentingan yang lebih utama.

Franz Maginis Suseno memberikan definisi yang lebih tepat dibandingkan tokoh etika yang lainnya. Beliau memberikan definisi etika yaitu sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus hidup dan bertindak. Maka para manusia

17


(46)

akan belajar untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu18. 2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara

Kehidupan bernegara terjadi diawali karena adanya hubungan sosialisasi manusia, dimana mereka merasa saling membutuhkan anatara satu dengan yang lainnya. Tetapi karena sifat alamiah manusia tamak, jahat, dan haus akan kekuasaan, seperti apa yang disebut oleh Thomas Hoobs sebagai selfish

(mementingkan diri sendiri)19.

Maka hal ini memberikan sebuah sinthesis bahwa perlulah adanya peraturan untuk mengatur tata kehidupan manusia, atau barangkali yang disebut Ibnu Khaldun bahwa manusia itu memiliki watak kehewanan yaitu menyerang dan menindas yang lain,20 agar dalam komunikasi diantara mereka bisa terjalin dengan baik, perlulah seorang pemimpin berkarakter yang mampu menjaga, dan mengamankan manusia lain. Karena itu kepemimpinan demikian haruslah diberikan oleh yang memegang kekuasaan dan mempunyai keibawaan, serta kecerdasan emosional tinggi, sehingga mampu mencegah siapapun menyerang dan menindas orang lain. Oleh karena itu, disinalah tempatnya dimana etika harus mengambil posisi strategisnya dalam Negara.

Machiavelli pun tidak melupakan hal terpenting ini seperti apa yang ditulisnya dalam The Prince:

“Sekarang kita bicara soal yang terpenting dari sifat-sifat. Seperti yang disebutkan, penguasa harus menghindari hal-hal yang akan

18

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), h. 13.

19

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 310.

20

Charles Issawi. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu Khaldun. (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976), h. 137.


(47)

membuatnya dibenci atau dipandang rendah. Bila berhasil, berarti dia telah melakukan bagiannya dan tidak menemui bahaya dalam sifat-sifat buruk lain. Dia akan dibenci bila tamak/serakah dan merampas harta milik warganya serta kaum wanita mereka yang mestinya tak boleh dlakukan. Bila dia tidak menyerang harta milik atau kehormatan mereka, mereka akan hidup senang21”.

Maka jelaslah dari pernyataan Machiavelli ini, tokoh ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam sebuah Negara, bahkan dia adalah seorang yang sangat tidak membolehkan adanya korupsi. Terlepas dari apakah ini strategi atau bukan, yang terpenting adalah substansi yang ada dalam ajarannya itu adalah mengandung akan kebutuhan nilai-nilai etika untuk menegakan sebuah Negara.

Perwujudan konsep etika adalah demi tegaknya sebuah kekuasaan Negara yang sejahtara baik itu berbentuk republic yang didalamnya diberlakukan system demokrasi, monarki, ataupun aristokrasi. Apalagi bila yang terjadi adalah kebalkan dari system yang tiga tadi, yaitu dimana demokrasi menjadi mobokrasi, monarki menjadi tirani, dan aristokrasi menjadi oligarki22. Sehingga menjadikan Negara dalam situasi yang cheos, maka sangat urgenlah posisi etika didalamnya. Menurut Paul Ricour hal ini bisa ilihat dari tiga pandangan23. Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas.

Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak

21

Machiavelli, The Prince, h. 127. 22

Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, h. 51.

23

Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 30.


(48)

adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan “perubahan harus konstitusional”, menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

B. Asal-usul Kekuasaan

Manusia adalah mahluk sosial yang tidak akan pernah bisa hidup secara individual, namun manusia juga tidak bisa lepas dari sifat hewaninya yang sering meramaikan dunia ini dengan pertumpahan darah, penindasan, tangisan, dan mengembangkan kekacauan diantara mereka sendiri. Sehingga dari realitas inilah maka manusia menempatkan akal pikirannya agar dalam proses kehidupan yang saling membutuhkan ini, agar terjalin keharmonisan, kedamaian dan kesejahtraan diantara mereka.

Ini semua bisa didapat dengan cara mengkoordinir, dan meminij kehidupan manusia, dan disinilah posisi penting adanya seorang penguasa. Dimana dengan adanya kekuasaan yang dipegang oleh seorang penguasa dengan efektif, maka kehidupan manusia bisa dikontrol dengan baik24. Ibnu Taimiyah, seorang tokoh politik Islam pernah berkata bahwa lebih baik dipimpin oleh seorang penguasa yang jahat seribu tahun, dari pada tidak ada seorang penguasa

24


(49)

didalamnya. Hal ini mengindikasikan betapa pentingnya kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah komunitas manusia.

Seorang tokoh politik Islam, Ibnu Khaldun pun mengakui akan adanya eksistensi kekuasaan. Karena menurutnya kekuasaan adalah sesuatu hal yang alamiah.

Kekuasaan Negara itu adalah sesuatu yang alami bagi manusia. Sebagaimana telah kami jelaskan, manusia tidak mungkin hidup dan ada tanpa berkumpul dan bekerjasama untuk menghasilkan makanan pokok dan kebutuhan primer meraka25.

Tetapi yang menjadi permasalahan dunia saat ini adalah bagaimana merealisasikan kekuasaan dalam sebuah Negara, dan harus seperti apa, agar Negara itu berada pada posisi yang teratur, kekuasaan bisa bertahan, dan yang paling penting bagaimana agar cita-cita kekuasaan ini bisa menstabilakan kehidupan bernegara. Untuk itu maka perlulah diketahui mulai dari definisi kekuasaan itu sendiri.

1. Definisi Kekuasaan

“Dalam pemerintahan mempunyai makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi “kewenangan” ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati26”. Definisi ini sedikitnya sudah dilaksanakan di era demokrasi saat ini. Tetapi

25

Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 171. 26

Wikipedia, “Kekuasaan, artikel diakases pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.com/2011/01/05.


(1)

85

Dalam The Prince dan The Discaures juga, ada dua hal yang penting perlu diperhatikan yaitu: kepangeranan (principality) dan republik. Machiavelli memberi nasihat bagaimana mendapatkan dan mempertahankan sebuah kepangeranan. Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan dan kebaikan negara, Penguassa harus memadukan machismo (semangat keprajuritan) dengan pertimbangan politik. The Prince menjelaskan akan watak-watak penguasa bijak diantaranya:

a. memiliki kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun ditakuti,

b. watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri,

c. sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya dan tulus. Machiavelli menasihati penguasa untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yakni kebaikan negara. Dia dinilai sebagai ‘nmachiavellian” karena memisahkan antara perilaku politik dari seluruh hubungannya dengan keadilan dan moralitas

d. penguasa harus menjalankan pemerintahan dengan cara atau watak manusia dan binatang. Cara manusia dengan humanismenya, cara binatang dengan power. Manusia harus belajar meniru singa dan rubah yang licik.

Kedua literatur ini memiliki balance dalam bingkai politik seorng Raja. Karena konsep didalamnya menuntut seorang kepala negara untuk cerdas memilih alur apa yang seharusnya dipilih dalam mengelola negara. Karena negara tidak


(2)

86

membutuhkan seorang pemimpin yang lemah lembut dalam situasi dan kondisi negara yang cheos. Begitupun negara tidak membutuhkan kekejaman dan kebengisan seorang kepala negara yang menindas rakyatnya, karena itu akan menimbukan pemberontakan dalam negara.

Oleh karena itu, substansi dalam kedua literatur itu perlulah untuk dicerna dengan baik. Karena akan berakibat patal bila konsep ini direalisasikan hanya dengan pemahaman tekstual.

B. Saran

Saya pribadi sangat menyayangkan bahwa tokoh sejarah politik besar ini mempunyai konotasi yang negatif. Nama ini selalu dihubungkan dengan kejahatan atau persekongkolan yang tidak mengindahkan moral atau dengan istilah lain “mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara”. Penilaian demikian sama sekali tidak adil, karena tujuan utama Machiavelli menulis buku yang memuat pengamatannya ialah sekedar menganalisa tindakan-tindakan yang telah memberikan keberhasilan politik yang gemilang di masa lampau dan menarik kesimpulan atau pelajaran dari tindakan tersebut prinsip-prinsip apa yang harus diikuti agar dapat memperoleh keberhasilan politik yang cemerlang di masa sekarang ini.

Pendapatnya semata-mata diperoleh melalui pengamatan ilmiah yang cermat. Dengan kata lain, Machiavelli sekedar mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi di balik keberhasilan politik itu dan bukan mengada-ada atau memberikan hasutan. Namun kesalahpahaman orang terhadap konsep politik Machiavlli mengakibatkan ia dikenal sebagai seorang yang mendukung tindakan-tindakan tidak berprikemanusiaan dan tidak beretika.


(3)

87

Dan tokoh inipun menuliskan bahwa tujuan dari kekuasaan bukanlah hanya untuk keuntungan pribadi, akan tetapi untuk kepentingan kesejahtraan dan ketentraman rakyatnya.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak pada konotasi negatif tentang teori Machivelli maka akan lebih bijak bila para pembaca khususnya akademisi, atau para pemimpin dunia, untuk mendalaminya dengan seksama.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Umar. Kapitalisme: The Stanic Of Ideology. Bogor: El-Moesa Press, 2007.

Ali Abdul Mu’ti, Muhammad. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Bing, Satanly. Tujuan Menghalalkan Segala Cara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1977.

Bungin, Burhan. Metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Charris Zubair, Ahmad. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Honohan, Iseult. Civic Republicanism: Negara Republik. Jakarta: Erlangga, 2002. Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Issawi, Charles. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976.

J. Schmandt, Henry. Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Jay, Antony. System Menejemen Machiavelli. Bandung: PT Iqra Bandung, 1983. Kasiram, Mohamad. Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman

dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Press, 2008.

Lerner, Max. Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses. New York: Moderen Library, 1950.

Losco, Joseph dan Wiliams, Leonardo. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005.

Machiavelli, Niccolo. The Discourses. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003. Machiavelli, Niccolo. The Prince. Srabaya: Selasar Publishing, 2008.

Magnis Suseno, Franz. Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.


(5)

Magnis Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010.

Mansyur Sema, Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. Mundiri, Mushadi. dkk. Membangun Negara Bermoral. Semarang: Pustaka Rizki

Putra Semarang, 2004.

Mohamad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.

Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan Media Utama, 2001.

Nurtjahjo, Hendra. S.H. Filsafat Demokrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008. Otten, J.F. Konsep Machiavelli. Jakarta: Rajawali Press, 1963.

P. Huntington, Samuel. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam Press, 2003.

Peter Calvert, Proses Suksesi Politik, (Jogjakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995. Rahman Zinuddin, A. Kekuasaan dan Negara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1992.

Rode, Carlton dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1988. Singodimejo, Kasman dan Saleh, Mohamad. Machiavelli. Jakarta: Permata

Jakarta, 1973.

Soehino, Ilmu Politik. Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Widjaja. Etika Pemerintahan: Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Artikel

Hardiman, F. Budi. “Politik Yang Bermartabat,” Kompas, 15 oktober 2010.


(6)

Gultom, Mirza. “Peta Politik Niccolo Machiavelli Mengenai Negara,” artikel diakses pada 30 desember 2010 dari http:

//www.tokohpolitikmirza.org/2010/1230/machiavelli.html.

Jhon, Senelson. “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.

Mohamad Irfan, “Beberapa Teori Kekuasaan Dan Pengaruhnya Oleh Para Pakar ,”artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari

http://mohamad.blog.ac.id/2010/12/12.

Ricahrdodi, Charles. “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober 2009 dari http://politiksaman.com/2009/02/15.

Sanjaya, Andika. “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.ac.id/2010/09/12/pemikiran-niccolo-machiavelli.

Warner, Bruce. “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.

Wikipedia, “Kekuasaan, artikel diakases pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.com/2011/01/05.