Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara

akan belajar untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu 18 .

2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara

Kehidupan bernegara terjadi diawali karena adanya hubungan sosialisasi manusia, dimana mereka merasa saling membutuhkan anatara satu dengan yang lainnya. Tetapi karena sifat alamiah manusia tamak, jahat, dan haus akan kekuasaan, seperti apa yang disebut oleh Thomas Hoobs sebagai selfish mementingkan diri sendiri 19 . Maka hal ini memberikan sebuah sinthesis bahwa perlulah adanya peraturan untuk mengatur tata kehidupan manusia, atau barangkali yang disebut Ibnu Khaldun bahwa manusia itu memiliki watak kehewanan yaitu menyerang dan menindas yang lain, 20 agar dalam komunikasi diantara mereka bisa terjalin dengan baik, perlulah seorang pemimpin berkarakter yang mampu menjaga, dan mengamankan manusia lain. Karena itu kepemimpinan demikian haruslah diberikan oleh yang memegang kekuasaan dan mempunyai keibawaan, serta kecerdasan emosional tinggi, sehingga mampu mencegah siapapun menyerang dan menindas orang lain. Oleh karena itu, disinalah tempatnya dimana etika harus mengambil posisi strategisnya dalam Negara. Machiavelli pun tidak melupakan hal terpenting ini seperti apa yang ditulisnya dalam The Prince: “Sekarang kita bicara soal yang terpenting dari sifat-sifat. Seperti yang disebutkan, penguasa harus menghindari hal-hal yang akan 18 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010, h. 13. 19 Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 310. 20 Charles Issawi. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976, h. 137. membuatnya dibenci atau dipandang rendah. Bila berhasil, berarti dia telah melakukan bagiannya dan tidak menemui bahaya dalam sifat-sifat buruk lain. Dia akan dibenci bila tamakserakah dan merampas harta milik warganya serta kaum wanita mereka yang mestinya tak boleh dlakukan. Bila dia tidak menyerang harta milik atau kehormatan mereka, mereka akan hidup senang 21 ”. Maka jelaslah dari pernyataan Machiavelli ini, tokoh ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam sebuah Negara, bahkan dia adalah seorang yang sangat tidak membolehkan adanya korupsi. Terlepas dari apakah ini strategi atau bukan, yang terpenting adalah substansi yang ada dalam ajarannya itu adalah mengandung akan kebutuhan nilai-nilai etika untuk menegakan sebuah Negara. Perwujudan konsep etika adalah demi tegaknya sebuah kekuasaan Negara yang sejahtara baik itu berbentuk republic yang didalamnya diberlakukan system demokrasi, monarki, ataupun aristokrasi. Apalagi bila yang terjadi adalah kebalkan dari system yang tiga tadi, yaitu dimana demokrasi menjadi mobokrasi, monarki menjadi tirani, dan aristokrasi menjadi oligarki 22 . Sehingga menjadikan Negara dalam situasi yang cheos, maka sangat urgenlah posisi etika didalamnya. Menurut Paul Ricour hal ini bisa ilihat dari tiga pandangan 23 . Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak 21 Machiavelli, The Prince, h. 127. 22 Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, h. 51. 23 Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, h. 30. adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation terusik dan protes terhadap ketidakadilan. Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan “perubahan harus konstitusional”, menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

B. Asal-usul Kekuasaan