98
7.2 Metode Penelitian
7.2.1 Pengumpulan data
Pengumpulan data dalam rangka analisis kebijakan pengembangan industri surimi dilaksanakan pada rentang waktu antara Bulan Maret sampai dengan April Tahun 2007.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner terhadap stakeholder perusahaan penangkapan dan pengolahan surimi, pengambil kebijakan serta pakarahli
dibidang penangkapan dan pengolahan surimi.
7.2.2 Analisis data
Analisis kebijakan dalam pengolahan surimi dilakukan melalui penggabungan antara metode SWOT dengan Analytical Hierarchy Process AHP. Langkah pertama yang
dilakukan adalah mengindetifikasi komponen SWOT melalui wawancara kuesioner terhadap responden yang merupakan pengambil kebijakan pada suatu instansi ataupun yang dianggap
pakarahli pada bidang pengolahan surimi. Adapun jumlah responden yang diwawancarai yang terdiri dari pengambil kebijakan, pakar dan pelaku bisnis bidang penangkapan dan
pengolahan. Selanjutnya, setelah komponen SWOT teridentifikasi, maka komponen tersebut diolah lebih lanjut dengan metoda AHP. Dalam analisa melalui AHP digunakan software
Expert Choice dan dilakukan melalui beberapa proses yakni sebagai berikut: 1 Matriks pendapat individu
Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas masalah yang merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan menerapkan penilaian para pakar
berdasarkan skala komparasi berpasangan, sehingga membentuk matriks segi nxn. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai
eigen vector dan untuk mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value.
Jika C1, C2, C3,….Cn adalah set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemennya
akan membentuk matriks pendapat individu: A yang berukuran n x n. eleven Ci, dibandingkan dengan elemen Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi
99
yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci, terhadap Cj, Nilai matriks aij = 1aij, yaitu nilai kebalikan dari matriks aij, jika 1=j, maka nilai matriks aij=aji.
Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C2, …….Cn untuk ij = 1,2,3…….n dan ij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi berdasarkan nilai tingkat
kepentingan Ci,Cj untuk ij = 1,2,3…n 1 a2 a3 a4……………….an
1a2 1 a23 a24……………….a2n 1a3 1a22 1 a34……………….a3n
. . . . . . . . . .
1an 1a2n 1a3n 1a4n…………….1
2 Matriks pendapat gabungan Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang eleven matriknya
gij berasal dari rataan geometrik atau “geometric means” elemen matriks pendapat individu aij yang rasion konsistensinya CR memenuhi persyaratan. Persamaan untuk mendapat nilai
rataan geometriks dinyatakan dengan rumus:
Keterangan: gij
=
elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j
aij k
=
elemen matriks pendapat individu dengan rasion konsistensi CR yang memenuhi persyaratan ke-k
1,j
=
1,2,3………………..n k
=
1,2,3……………….m m
=
jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan
100
3 Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven keputusan
pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukan pada persamaan berikut :
1 Perkalian baris Z dengan rumus berikut:
k = 1
2 Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen dengan rumus berikut:
i=1 k=1
VP = VPi untuk 1 =1,2,3…………….n 3 Perhitungan Nilai Eigen maksimum
λmaks dengan rumus berikut: VA =
a
ij X VP, dengan VA = vai VB =
VP VA
dengan VB = Vbi λ maks = 1n ∑ vbi, untuk 1 = 1,2,3,….n
4 Perhitungan Indeks Konsistensi CI dengan rumus sebagai berikut: CI =
1 max
− −
n n
λ
5 Perhitungan Rasio Konsistensi CR dengan rumus sebagai berikut : CI =
RI CI
Keterangan : RI adalah random indeks
101
Nilai indeks acak bervariasi dengan ordo matriks yang telah dilakukan Oak Ridge laboratory dari matriks berordo 1 – 15 ditunjukkan dalam Tabel 24.
Tabel 24 Nilai indeks acak matriks berordo 1 – 15, dengan contoh 100 Orde n
Indeks Acak RI Orde n
Indeks Acak RI 1
0.00 8
1.41 2
0.00 9
1.45 3
0.58 10
1.49 4
0.90 11
1.51 5
1.12 12
1.54 6
1.24 13
1.56 7
1.32 14
1.57 15
1.59
Sumber : Oak Ridge laboratory yang diacu dalam Saaty 1993
4 Pengolahan vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap eleven pada
tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama ultimate goal. Jika Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh eleven ke-j, pada tingkat -1, terhadap fokus
utama dengan humus sebagai berikut: CV
ij
= 1
, 1
,
1
− −
∑
=
i t
VW x
i t
s t
ij
CH
Untuk i = 1,2,3,…….n j = 1,2,3,…….r
t = 1,2,3…….s Keterangan:
CH ij t,i-1
= Nilai prioritas pengaruh eleven ke-j pada tingkat ke-i terhadap eleven ke-t pada tingkat di atasnya i-1 yang
diperoleh dari hasil pengolahan horizontal VW
t,i-1 = Nilai prioritas pengaruh eleven ke-j pada tingkat ke-i
terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal
p = Jumlah tingkat hirarki keputusan
r = Jumlah eleven yang ada pada tingkat ke-i
s = Jumlah eleven yang ada pada tingkat ke-j
102
Apabila di dalam hirarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak berhubungan keduanya tidak saling mempengaruhi, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas
untuk tingkat ke-i CV didefinisikan dengan rumus sebagai berikut : sCV = Cvij, untuk j =123……………..r
5 Revisi pendapat Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi CR pendapat cukup tinggi, dan
dianggap konsistensi jika mempunyai nilai sama dengan 0.1, sedangkan nilai akurasi data ditunjukkan dengan nilai RMS dari baris
a
ij dan perbandingan nilai bobot baris terhadap kolom WiWj dengan rumus sebagai berikut:
7.3 Hasil Penelitian
7.3.1 Identifikasi komponen SWOT Tahap awal dalam melakukan analisis kebijakan menyangkut pengembangan industri
surimi di Provinsi Papua Barat adalah melalui identifikasi komponen SWOT StrengthsKekuatan, WeaknessesKelemahan, OpportunitiesPeluang, ThreathsAncaman.
Komponen kekuatan dan kelemahan merupakan hasil analisis lingkungan internal, sedangkan komponen peluang dan ancaman adalah hasil analisa lingkungan eksternal yang sifatnya
tidak bisa dikendalikan.
1 Komponen S Kekuatan
1 Kebijakan dan legalitas
Pemanfaatan HTS menjadi Surimi mendapatkan dukungan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 24, menyebutkan bahwa
pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produksi hasil perikanan dan sekaligus akan membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan
baku di dalam negeri. Hasil riset yang dilakukan kerjasama antara Dinas Perikanan dan
103
Kelautan Provinsi Papua dan Sucofindo yang dituangkan dalam pedoman umum “Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil tangkap sampingan Pukat Udang di Laut
Arafura” menggambarkan bahwa urutan prioritas pengembangan jenis pengolahan yang dikaji secara menyeluruh adalah surimi, tepung ikan, fillet beku, ikan segar dan tradisional. Analisis
tersebut mengindikasikan bahwa pengolahan ikan HTS menjadi surimi merupakan alternatif terbaik ditinjau dari segi teknologi, pemasaran, bahan baku, investasi dan sumberdaya
manusia. Berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF article 11
menyebutkan bahwa negara harus mendukung berlangsungnya pengolahan, distribusi dan pemasaran ikan agar dapat meningkatkan pemanfaatan HTS dengan tetap konsisten pada
praktek pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai institusi nasional yang bertanggung jawab dalam bidang kelautan dan perikanan telah
mengeluarkan Peraturan Menteri nomor PER.05MEN 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Salah satu pasal pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa ijin penangkapan ikan
diberikan kepada perusahaan penangkapan ikan yang memiliki unit pengolahan ikan di dalam negeri. Hasil tangkapan yang dihasilkan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan
kecuali ikan hidup, tuna untuk sashimi atau ikan lain yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Peraturan tersebut ditindak lanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan nomor KEP 033DJ-P2HP2008 tentang Jenis Ikan Laut Hasil Tangkapan Yang Menurut Sifatnya Tidak Memerlukan Pengolahan. Pada
peraturan tersebut dijelaskan kembali bahwa seluruh ikan hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan atau
konsumsi dalam negeri serta wajib mengalami penanganan dan atau pengolahan. Kedua peraturan tersebut menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi
membangun industri pengolahan ikan, dan secara tidak langsung membuka peluang bagi perkembangan industri surimi yang memanfaatkan hasil tangkap sampingan.
2 Bahan baku by-catch melimpah
Rasio HTS yang dihasilkan oleh kapal pukat udang adalah 1 : 12, artinya untuk setiap 1 satu ton udang akan menghasilkan 12 lima ton HTS. Adapun produksi udang per tahun
diperkirakan sebesar 60.000 ton per tahun, sehingga HTS yang dihasilkan diperkirakan sebesar 300.000 ton per tahun. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ikan
HTS pukat udang di Laut Arafura diperkirakan sebesar 399.082 tontahun Purbayanto et al. 2004.
104
3 Daya serap tenaga kerja tinggi
Pengolahan HTS menjadi surimi mengindikasikan terbukanya lapangan kerja baru yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat pengangguran di Provinsi Papua
Barat dikarenakan industri surimi tergolong industri padat karya, sehingga akan melibatkan banyak tenaga kerja baik pada pengolahan HTS menjadi surimi maupun pada tahap
pembuatan produk-produk olahan berbahan baku surimi. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah provinsi Papua Barat dalam mengurangi tingkat pengangguran yang mencapai
88.165 orang tahun 2002.
4 Nilai tambah bagi pelaku usaha dan masyarakat
Kendala keterbatasan palka dan rendahnya nilai ekonomis apabila HTS dibawa ke darat menyebabkan pemanfaatan HTS tidak optimal, selama ini HTS yang dimanfaatkan
hanya sebesar 3,71, yang terdiri dari jenis ikan ekonomis penting, yaitu kakap, tenggiri, kerapu, dll, sedangkan selebihnya dibuang ke laut. Pemanfaatan tersebut hanya terbatas
sebagai bonus bagi ABK sekaligus dimanfaatkan untuk konsumsi ABK, sehingga tidak memberikan nilai tambah. Melalui pengolahan HTS menjadi surimi, HTS yang sekiranya
dibuang ke laut, pada akhirnya memiliki nilai tambah yang dapat menjadi sumber pendapatan baru baik bagi pengusaha maupun masyarakat. Bagi pengusaha pengolahan HTS menjadi
surimi merupakan sumber investasi baru yang dapat menghasilkan sumber pendapatan yang baru pula. Peraturan menteri ini didukung oleh keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Nomor : KEP.033DJ-P2HP2008 tentang jenis ikan laut hasil tangkapan yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan, dimana jenis-jenis ikan yang
merupakan HTS dan sesuai untuk bahan baku surimi dilarang untuk diekspor dalam bentuk utuh dan harus diolah.
2 Komponen W Kelemahan
1 Infrastruktur lemah
Infrastruktur pendukung masih lemah dan belum sepenuhnya tersedia, seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang termasuk untuk
mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang berpengaruh
105
dalam proses distribusi dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang merupakan komponen penting dalam dan lain sebagainya. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana
pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan.
2 Keterampilan SDM lokal terbatas
Mengingat pengolahan surimi masih tergolong sedikit di Indonesia, sehingga pengetahuan akan hal tersebut juga masih terbatas, terlebih bagi masyarakat di Provinsi Papua
Barat yang banyak bermukim di daerah pedalaman.
3 Manajemen pengumpulan bahan baku terbatas
HTS yang pada umumnya dibuang ke laut disebabkan oleh terbatasnya palka kapal sebagai tempat penyimpanan di atas kapal sehingga pengusaha pada umumnya
memerintahkan kepada ABK untuk membuang HTS di laut. Hal ini mengindikasikan bahwa manajemen pengumpulan HTS sebagai supply bahan baku akan terhambat.
4 Teknologi pengolahan surimi terbatas
Pengolahan surimi yang umum dilakukan saat ini adalah untuk bahan baku yang terdiri dari satu jenis ikan HTS saja, sehingga untuk pengolahan lebih dari 1 satu jenis ikan
belum dilakukan dikarenakan teknologi yang masih terbatas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa HTS terdiri atas campuran antara ikan ekonomis dan non ekonomis baik
yang dalam keadaan utuh maupun yang tidak utuh.
3 Komponen O Peluang
1
Potensi pasar luas
Perkembangan surimi saat ini sangat pesat, mengingat surimi merupakan bahan baku untuk olahan fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk
olahan lainnya. Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah
Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Namun
106
permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai 18.000 hingga 20.000 ton per tahun. Permintaan tersebut tidak hanya terbatas pada
surimi saja tetapi juga pada produk lanjutanturunan dari surimi.
2 Peningkatan devisa ekspor
Potensi pasar surimi yang masih didominasi oleh pasar luar negeri sangat memungkinkan untuk dilakukannya ekspor ke negara pengimpor. Hal ini berarti pemanfaatan
HTS untuk memproduksi surimi merupakan peluang besar untuk menambah devisa negara.
3 Kebiasaan konsumsi masyarakat lokal
Masyarakat Papua Barat merupakan masyarakat yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis dari kelompok udang, tuna, tongkol dan cakalang,
sedangkan ikan-ikan ekonomis lainnya cenderung kurang diminati terlebih lagi ikan rucah, sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat lokal Papua Barat bukan merupakan pesaing bagi
industri surimi.
4 Komponen T Ancaman
1
Investasi teknologi relatif mahal
Selain padat karya, industri surimi juga tergolong padat modal yakni untuk membangun teknologi pengolahannya dibutuhkan modal atau imvestasi yang besar. Hal ini
merupakan ancaman dikarenakan alternatif pengolahan HTS yang lain seperti ikan asin tidak memerlukan modal yang besar. Faktor penyebab mahalnya teknologi adalah teknologi
pengolahan surimi masih harus diimpor dan belum diproduksi di dalam negeri. Mahalnya teknologi pengolahan surimi dapat mengakibatkan kurangnya minat investor untuk bergabung
dalam usaha surimi tersebut.
2 Kebiasaan resistensi pelaku usaha dan masyarakat
Resistensi yang dimaksud adalah kecenderungan pelaku usaha dan masyarakat untuk bertahan pada satu bidang usaha saja yang selama ini dirasakan cukup menguntungkan, dan
akan menimbulkan kesan tertutup pada usaha lain. Hal ini merupakan ancaman karena akan menimbulkan efek kurang diminatinya usaha pengolahan surimi oleh pelaku usaha. Dengan
107
kata lain, akan ada kemungkinan industri surimi tidak diminati sebagai akibat kurangnya informasi dan pengetahuan tentang surimi.
3 Kompetitor pengolah surimi
Produsen surimi terbesar adalah Thailand yang secara teknologi dan kualitas surimi yang dihasilkan adalah berstandar internasional. Selain Thailand, beberapa negara penghasil
surimi lainnya adalah Singapura. Di Indonesia, baru terdapat 5 lima industri surimi dengan dengan kegiatan berada di Indonesia barat 4 empat buah dan Indonesia timur 1 satu buah.
Keberadaan pelaku usaha tersebut merupakan ancaman bagi pengembangan industri surimi apabila tidak diiringi dengan kemampuan bersaing.
7.3.2 Penentuan alternatif strategi Berdasarkan hasil identifikasi komponen SWOT, diperoleh beberapa alternatif
strategi terkait dengan upaya pengembangan industri surimi yakni sebegai berikut:
1 Diversifikasi surimi SO
Strategi diversifikasi surimi merupakan strategi yang dihasilkan dalam upaya memanfaatkan kekuatan strengths yang dimiliki guna mengisi peluang opportunities yang
ada. Strategi ini memanfaatkan bahan baku dan kebijakan pemerintah serta potensi pasar dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja, peningkatan konsumsi dan nilai tambah
bagi pelaku usaha. Diversifikasi surimi adalah upaya dalam proses pengolahan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal berarti diversifikasi dilakukan dalam hal proses
pembuatan surimi dilakukan dengan memanfaatkan bahan baku yang berasal dari berbagai jenis ikan terutama ikan-ikan hasil tangkap sampingan by-catch pukat udang, yang
komersial maupun non komersil. Adapun diversifikasi secara vertikal berarti pengolahan surimi menjadi berbagai macam produk olahan seperti baso, sosis dan lain sebagainya.
2 Peningkatan infrastuktur dan ketrampilan SDM WO
Strategi peningkatan infrastruktur dan keterampilan sumberdaya manusia merupakan strategi yang digunakan dalam menyiasati kelemahan yang dimiliki agar tetap dapat mengisi
atau memanfaatkan peluang usaha yang ada. Hal ini berarti adanya infrastruktur yang masih
108
lemah serta ketrampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan yang juga masih terbatas harus dapat dimanfaatkan sedemikian rupa agar dapat
mengisi potensi pasar yang ada sekaligus guna meningkatkan devisa. Selain itu, peluang lain yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kebiasaan masyarakat lokal yang memiliki
kecenderungan menyukai ikan ekonomis penting, sedangkan ikan non ekonomis penting kurang diminati. Mengingat peralatan mesin yang masih diimpor dengan harga yang sangat
tinggi, maka pengembangan permesinanan surimi dalam negeri harus dipacu untuk mengurangi bagian investasi yang besar.
3 Clean technology ST
Clean technology adalah upaya pemanfaatan ikan secara keseluruhan dalam bentuk bahan baku atau seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang sehingga dapat
dijadikan komoditi yang bernilai tambah. Strategi clean technology merupakan strategi yang dilakukan dalam upaya mengatasi
ancaman yang ada melalui pengoptimalan kekuatan yang ada. Hal ini berarti perlu adanya pemanfaatan bahan baku, dukungan kebijakan dan legalitas serta adanya perolehan nilai
tambah guna mengatasi tingginya nilai investasi teknologi, adanya kompetitor pengolah surimi serta kecenderungan resistensi pelaku usaha.
4 Pemberdayaan masyarakat, efisiensi serta efektivitas usaha WT
Pemberdayaan masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan tentang pengolahan surimi serta membangun etos kerja yang bertujuan meningkatkan ketrampilan dan
bermuara pada efisiensi dan efektifitas usaha merupakan strategi yang perlu dilakukan dalam mengelola kelemahan yang dimiliki guna mengatasi berbagai ancaman yang dihadapi.
7.4 Pembahasan Hasil identifikasi komponen SWOT yang selanjutnya menghasilkan 4 empat strategi
yang tersusun dalam suatu hirarki strategi pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi Papua Barat seperti yang terlihat pada Gambar
14, dianalisa menggunakan Analytical Hierarcy Process AHP.
109
7.4.1 Analisis prioritas faktor