Pembahasan Analisis pengembangan industri pengolahan surimi dalam pemanfaatan by catch pukat udang

65

4.4 Pembahasan

Usaha perikanan tangkap di Provinsi Papua Barat yang dilakukan oleh 12 perusahaan seperti PT Alfa Kurnia Fish Enterprise AKFE, PT Dwi Bina Utama, PT Irian Marine Product Development IMPD dan PT West Irian Fishing Industries WIFI pada umumnya mengoperasikan kapal pukat udang dengan target tangkapan utama adalah udang. Kapal pukat udang tersebut umumnya beroperasi di Laut Arafura dan berpangkalan di Sorong, Papua Barat. Adapun jumlah kapal pukat udang yang berpangkalan di Sorong dan beroperasi di Laut Arafura adalah sebanyak 102 unit armada, sedangkan jumlah kapal pukat udang yang beroperasi di LautArafura secara keseluruhan adalah sebanyak 502 unit armada. Kapal-kapal pukat udang yang ada rata-rata berukuran antara 91 GT hingga 303 GT, dengan kekuatan mesin berkisar antara 425 PK hingga 1200 PK. Kapal-kapal tersebut melakukan penangkapan di Laut Arafura, Samudera Pasifik, Laut Timor ZEEI, Perairan Irian Barat serta di Teluk Cenderawasih, seperti yang terlihat pada Gambar 16. Daerah penangkapan tersebut telah sesuai dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP kapal-kapal tersebut. Gambar 16 Wilayah pengelolaan perikanan kapal penangkapan pukat udang. Kapal-kapal pukat udang dalam melakukan operasi 1 satu trip atau selama 51 hari, melakukan hauling sebanyak 301 kali dengan jumlah hasil tangkapan untuk setiap hauling rata-rata sebesar 46,05 kg, sehingga diperoleh total tangkapan utama berupa udang banana sebesar 13.861 kg atau 13,86 ton per trip Tabel 8. Hasil tangkapan tersebut relatif sama 66 dengan kapal lainnya yang beroperasi di Laut Arafura yakni untuk KM Aman PT IMPD sebesar 17 ton per trip 54 hari, KM Binama PT Dwi Bina Utama sebesar 16 ton per trip 50 hari dan KM Kurnia PT AKFE sebesar 20 ton per trip 52 hari pada tahun 2005. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sejak tahun 2003 hingga 2005, jumlah hasil tangkapan utama pukat udang untuk setiap trip- nya cenderung sama. Berdasarkan hasil hauling terhadap kapal-kapal penangkap pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura dan berpangkalan di Sorong, terlihat bahwa dari 301 kali hauling diperoleh hasil tangkap sampingan sebanyak 158.997 kg atau 158,997 ton per kapal per trip yang terdiri dari berbagai jenis ikan dan diperkirakan HTS yang dihasilkan kapal penangkap udang yang berpangkalan di Sorong sebesar 81.090 ton per tahun Tabel 8. Jumlah kapal yang beroperasi dengan alat tangkap pukat udang di perairan Laut Arafura adalah sebanyak 502 unit Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2006 sehingga dapat diperkirakan bahwa jumlah hasil tangkap sampingan dalam waktu 1 satu tahun adalah sebesar 399.082 ton. Nilai tersebut diperoleh dengan asumsi bahwa dalam banyaknya trip adalah 5 lima kali untuk setiap kapal dalam setiap tahunnya. Berdasarkan hasil penelitian pada beberapa kapal yang beroperasi di Laut Arafura, terlihat bahwa dalam 1 trip akan dihasilkan hasil tangkapan utama udang rata-rata sebesar 14 ton 8 dan HTS 159 ton 92. Dari data tersebut diperkirakan dalam 1 tahun per 1 unit kapal akan menghasilkan HTS rata-rata sebesar 795 ton sehingga jumlah HTS yang dihasilkan dari 502 unit kapal yang beroperasi di Laut Arafura adalah sebesar 399.000 ton per tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purbayanto, et al. 2004 yang menyatakan bahwa HTS diperkirakan mencapai 332.186,40 ton per tahun. Rasio hasil tangkapan utama dengan sampingan yakni berkisar antara 1 : 12 Tabel 9. Hal ini berarti untuk setiap 1 kg udang yang diperoleh, maka akan diperoleh hasil tangkap sampingan ikan lain sebesar 12 kg. Menurut data statistik perikanan tangkap 2006, produksi udang sepanjang tahun 2002 – 2006 sebesar 26.834 ton, apabila digunakan rasio 1 : 12 maka sepanjang tahun 2002 sd 2006 akan tersedia HTS 322.048 ton per tahun. Berdasarkan data hasil tangkap sampingan Tabel 12, 10,96 dari total HTS adalah jenis- jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk utuh maupun fillet kakap, kerapu, tenggiri, layur, dll sebagai bahan baku produk ekspor, sebesar 54,79 merupakan jenis-jenis ikan yang hanya dapat diolah sebagai ikan asin dan tepung ikan peperek, lemuru, bulu ayam, dll, sedangkan 34,25 lainnya merupakan jenis HTS demersal yang laik diolah menjadi surimi ikan sebelah, biji nangka, pisang-pisang, kurisi, dll. Apabila total hasil tangkap sampingan yang dihasilkan rata-rata sebesar 399.082 ton, 67 maka akan tersedia bahan baku surimi rata-rata sebesar 136.685 ton per tahun atau setara dengan surimi 43.739 ton per tahun rendemen 32. Besarnya hasil tangkap sampingan yang dihasilkan oleh kapal penangkap pukat udang, tidak sebanding dengan pemanfaatannya. Berdasarkan survei terhadap kapal-kapal penangkap yang berpangkalan di Sorong Tabel 9, pemanfaatan hasil tangkap sampingan hanya sebesar 3,71 persen dari total HTS, sedangkan 96,29 persen lainnya tidak dimanfaatkan. Menurut Letelay dan Malawat 1995, HTS yang dibuang kembali ke laut dapat mencapai 65,56 persen dari total tangkapan ikan HTS setiap tahun dan yang dibawa ke darat hanya 34,44 persen. Hasil tangkap sampingan yang dimanfaatkan adalah jenis ikan ekonomis penting yang biasanya dijadikan bahan konsumsi anak buah kapal ABK selama pelayaran, dijadikan buah tangan ABK buat keluarga atau bahkan dijual oleh ABK baik ditengah laut maupun setelah berlabuh sebagai sumber pendapatan sampingan bagi ABK. Terlihat bahwa hasil tangkap sampingan pukat udang di Indonesia khususnya di wilayah perairan Arafura belum dikelola dengan baik. Sementara itu, di Thailand pengelolaan hasil tangkap sampingan pukat udang sudah diatur dengan baik. Industri penangkapan udang mengatur jadwal dan lokasi pertemuan antara kapal penangkap dan pengumpul Kungsuwan 1996. Kesediaan bahan bahan baku HTS pukat udang di Laut Arafura sebesar 399.082 tontahun dan belum termanfaatkan secara maksimal bahkan mayoritas dibuang kembali ke laut sehingga memerlukan perhatian semua pihak untuk upaya pemanfaatannya dan di sisi lain perlu diupayakan mengurangi jumlah HTS yang demikian besar. Operasi pukat udang di Laut Arafura diduga belum sepenuhnya mematuhi Keppres No. 85 tahun 1982, dimana pengoperasian pukat udang hanya diperbolehkan di Laut Arafura dan dilengkapi dengan TED. Menurut Monintja dan Sudjastani 1985, penggunaan pukat udang yang dilengkapi TED akan meloloskan 42,5 HTS dibandingkan bila tidak menggunakan TED dengan kemampuan yang sama dalam penangkapan udang. Apabila sistem pengawasan penggunaan TED pada pukat udang dilakukan dengan baik dan dipatuhi oleh industri penangkapan udang di Laut Arafura, maka ketersediaan bahan baku HTS akan menjadi 229.472,2 tontahun dan bahan baku yang laik untuk surimi sebesar 66.546,92 tontahun. Minimnya pemanfaatan hasil tangkap sampingan tidak seiring dengan dukungan pemerintah melalui penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Pertanian dan Kelautan Pemerintah Kota Sorong tahun 2004 tentang ketentuan pembongkaran ikan hasil tangkap sampingan kapal pukat udang untuk konsumsi masyarakat Kota Sorong. Bahkan surat 68 Keputusan tersebut didukung pula melalui instruksi Walikota Sorong tahun 2004 yang mengatur setiap perusahaan pukat udang untuk menjual hasil tangkap sampingan yang diperoleh sebesar 10 persen kepada masyarakat lokal. Meskipun demikian, pemanfaatan hasil tangkap sampingan masih tetap minim disebabkan oleh beberapa kendala yakni kapasitas palka kapal yang terbatas hanya untuk udang sebagai tangkapan utama, mahalnya biaya operasional untuk pengangkutan hasil tangkap sampingan dari fishing ground ke daratan, belum tersedianya industri pengolahan dalam upaya pemanfaatan hasil tangkap sampingan ke dalam bentuk olaha. kurangnya minat masyarakat di Provinsi Papua Barat untuk melakukan pengolahan ikan serta pemanfaatan hasil tangkap sampingan sebagai bahan baku untuk olahan dianggap terlalu mahal dan tidak efisien. 69 5 ANALISIS TEKNOLOGI PENGOLAHAN SURIMI

5.1 Pendahuluan