110
ada  yakni  mahalnya  nilai  investasi  teknologi,  resistennya  pelaku  usaha  serta  adanya kompetitor surimi.
7.4.2  Analisis prioritas subfaktor
Selain prioritas faktor terhadap fokus, maka terdapat pula prioritas subfaktor terhadap keempat  faktorkomponen  SWOT  yang  ada.  Subfaktor  pada  faktorkomponen  kekuatan
Gambar 19 memperlihatkan bahwa dari keempat subfaktor, maka subfaktor bahan baku by- catch melimpah menjadi prioritas utama dengan bobot 0,456 dalam memanfaatkan kekuatan
guna  pengembangan  industri  surimi  di  Provinsi  Papua  Barat.  Prioritas  berikutnya  adalah subfaktor  nilai  tambah  bagi  pelaku  usaha  bobot  0.243,  daya    serap    tenaga    kerja    tinggi
bobot 0,151   serta   kebijakan dan  legalitas dengan  bobot  0,149.  Bahan   baku   by-catch yang   melimpah   dijadikan   sebagai  subfaktor  utama dikarenakan adanya fakta
Gambar 19 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kekuatan.
bahwa  kurang  lebih  300.000  ton  per  tahun  hasil  tangkap  sampingan  by-catch  alat  tangkap pukat udang di perairan Arafura, belum termanfaatkan dan sebagian besar dibuang kembali ke
laut. Oleh karena itu, besarnya kuantitas hasil tangkap sampingan by-catch tersebut telah
membuka jalan bagi pengembangan industri surimi. Hal ini dikarenakan pengembangan awal suatu  industri  surimi  juga  bergantung  pada  ada  atau  tidaknya  bahan  baku  yang  akan  diolah
menjadi surimi dan dapat menjamin keberlangsungan industri surimi dalam hal bahan baku. Selain  itu,  ikan-ikan  yang  merupakan  hasil  tangkap  sampingan  by-catch  pukat  udang
merupakan ikan-ikan  yang dapat diolah menjadi surimi seperti ikan kurisi, swanggi, pisang- pisang, bambangan, beloso, biji nangka dan beberapa jenis ikan lainnya.
Adanya nilai tambah bagi pelaku usaha menjadi kekuatan kedua dalam pengembangan industri
surimi, dikarenakan
pengolahan ikan-ikan
by-catch menjadi
surimi, jelas  akan  memberikan  suatu  tambahan  pendapatan  bagi  pelaku  usaha  dari  ikan  yang
Kebijakan dan Legalitas .149
Bahan Baku by-catch Melimpah .456
Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi .151
Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha .243
I nconsistency =  0.01 with 0  missing judgments.
111
terbuang  percuma  menjadi  surimi  yang  diminati  pasar  domestik  dan  internasional.  Adapun daya  serap  tenaga  kerja  yang  tinggi  merupakan  dampak  yang  diharapkan  dari  pemanfaatan
bahan  baku  yang  melimpah  serta  adanya  nilai  tambah  bagi  pelaku  usaha.  Kebijakan  dan legalitas  merupakan  pendukung  dari  pengembangan  industri  surimi  di  Provinsi  Papua  Barat
sebagai payung hukum dalam mengatur segala hal yang terkait dengan industri surimi. Selanjutnya, Gambar 20 memperlihatkan bahwa prioritas utama subfaktor pada faktor
kelemahan  yang  perlu  dibenahi  adalah  infrastruktur  yang  lemah  atau  kurang  dengan  bobot 0,604.  Prioritas  kedua  yakni  subfaktor  manajemen  pengumpulan  bahan  baku  yang  terbatas
dengan  bobot  0,225  dan  prioritas  ketiga  serta  keempat  adalah  subfaktor  keterampilan  SDM lokal dan teknologi pengolahan surimi yang terbatas  dengan  masing-masing  bobot  sebesar
0,095 dan 0,076.
Gambar 20 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kelemahan.
Infrastruktur    yang  lemah  dijadikan  prioritas  pertama  dikarenakan  sarana  dan prasarana pendukung pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat masih tergolong
kurang  seperti  kebutuhan  energi  listrik  untuk  mesin-mesin  industri  yang  masih  kurang termasuk untuk mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang
berpengaruh  dalam  proses  distribusi  dan  pemasaran,  kurangnya  suplai  air  bersih  yang merupakan  komponen  penting  dalam  industri  surimi,  serta  prasarana  pelabuhan  yang  masih
kurang  memadai.  Infrastruktur  tersebut  merupakan  prasarana  pendukung  berlangsungnya industri  pengolahan  HTS  menjadi  surimi,  sehingga  apabila  ketersediaannya  terbatas  maka
proses industri akan mengalami hambatan.
I nfrastruktur Lemah .604
Keterampilan SDM Lokal Terbata .095
Manajemen Pengumpulan Bahan Ba .225
Teknologi Pengolahan Surimi Te .076
I nconsistency =  0.02 w ith 0  missing judgments.
112
Gambar  21  Struktur strategi pengembangan industri surimi di Sorong – Provinsi Papua Barat. Fokus
Faktor
Subfaktor
Alternatif Strategi Strategi Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan
By-catch Pukat Udang di Provinsi Papua Barat
Kekuatan L:0,490
1. Kebijakan dan Legalitas L:0,149
2. Bahan Baku Melimpah L:0,456
3. Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi L:0,151
4. Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha dan Masyarakat
L:0,243
Diversifikasi Surimi
1. Potensi Pasar Luas L:0,671
2. Peningkatan Devisa Ekspor L:0,230
3. Kebiasaan Konsumsi Masyarakat Lokal
L:0,098 1. Investasi Teknologi Relatif
Mahal L:0,484 2. Kebiasaan Resistensi
Pelaku Usaha dan Masyarakat L:0,407
3. Kompetitor Pengolah Surimi L:0,109
1. Infrastruktur Lemah L:0,604 2. Keterampilan SDM Lokal
Terbatas L:0,0,95 3. Manajemen Pengumpulan
Bahan Baku Terbatas L:0,225
4. Teknologi Pengolahan Surimi Terbatas L:0,076
Peningkatan Infrastruktur dan
Keterampilan SDM Pemberdayaan
Masyarakat, efisiensi dan efektifitas Usaha
Kelemahan L:0,292
Peluang L:0,117
Ancaman L:0,101
Clean technology
113
Manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas merupakan kelemahan yang harus segera dicarikan solusi dikarenakan selama ini, bahan baku surimi yang berasal dari by-catch
pukat udang tersebut hanya dibuang ke laut karena adanya keterbatasan kapasitas palka kapal. Adapun keterampilan SDM lokal  yang terbatas  menjadi prioritas ketiga  dikarenakan apabila
infrastruktur telah dibenahi dan manajemen pengumpulan bahan baku telah dilakukan, maka tahap  selanjutnya  adalah  pemberdayaan  SDM  lokal  melalui  pemberian  pengetahuan
pelatihan  tentang  pengolahan  ikan    menjadi  surimi.  Kelemahan  yang  menjadi  prioritas terakhir  adalah  teknologi  pengolahan  surimi  yang  masih  terbatas,  namun  keterbatasan  ini
bukanlah  tidak  teratasi,  dikarenakan  teknologi  tersebut  dapat  dibeli  dan  sudah  merupakan wacana umum, bahkan telah dapat dilakukan dalam skala kecil. Oleh karena itu, keterbatasan
teknologi dikategorikan kelemahan pada prioritas keempat. Adapun  untuk  prioritas  subfaktor  terhadap  faktor  ancaman  dalam  pengembangan
industri  surimi  melalui  pemanfaatan  by-catch  di  Provinsi  Papua  Barat  yaitu    investasi teknologi  yang  relatif  mahal  adalah  prioritas  pertama  dengan  bobot  0,484,  diikuti  subfaktor
kebiasaan  resistensi  pelaku  usaha  bobot  0,407  dan  kompetitor    pengolah    surimi  diurutan ketiga dengan bobot 0,109 Gambar 22.
Gambar 22 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman.
Mahalnya  investasi  dalam  bidang  teknologi  pengolahan  surimi  merupakan  subfaktor ancaman  yang  harus  diatasi  terlebih  dahulu  dikarenakan  untuk  mengembangkan  industri
surimi, teknologi merupakan syarat mutlak  yang harus dimiliki karena sangat terkait dengan kualitas  pengolahan  ikan-ikan  by-catch  menjadi  surimi.  Selain  itu,  teknologi  pengolahan
surimi  erat  kaitannya  dengan  daya  kreasi  seseorang  atau  sebuah  perusahaan  dalam menciptakan  suatu  bentuk  olahan  termasuk  didalamnya  pengolahan  surimi.  Oleh  karena  itu,
nilai mahal dalam hal investasi teknologi tidak hanya seputar fisik dari teknologi namun juga penciptaan teknologi tersebut.
I nvestasi Teknologi Relatif Ma .484
Kebiasaan Resistensi Pelaku Us .407
Kompetitor Pengolah Surimi .109
I nconsistency =  0.00 with 0  missing judgments.
114
Ancaman  prioritas  berikutnya  yakni  kebiasaan  resistensi  pelaku  usaha,  jelas  akan menghambat  pengembangan  industri  surimi  dikarenakan  kecenderungan  pelaku  usaha  untuk
melakukan  pengolahan  ikan  yang  lebih  sederhana  seperti  ikan  asin,  pindang  dan  lain sebagainya  dan  memiliki  kecenderungan  untuk  menutup  diri  dari  bentuk  usaha  olahan  yang
lain.  Hal  ini  dapat  disebabkan  kurangnya  informasi  mengenai  pengolahan  ikan  terutama informasi  pengolahan  ikan  menjadi  surimi  yang  meliputi  teknologi  dan  cara  pengolahan.
Selain  itu,  minimnya  informasi  mengenai  potensi  pasar  surimi  juga  akan  menjadi  ancaman dalam  pengembangan  industri  surimi.  Hingga  saat  ini,  usaha  pengolahan  ikan  di  Provinsi
Papua  Barat  hanya  terbatas  pada  produk  ikan  beku  dan  itu  pun  hanya  untuk  ikan-ikan ekonomis penting yang memiliki pasar ekspor seperti udang dan tuna. Adapun untuk ancaman
dalam  hal  kompetitor  pengolah  surimi  menjadi  subfaktor  prioritas  ketiga  dikarenakan pengolah  surimi  masih  dalam  jumlah  kecil  yakni  di  Indonesia  hanya  ada  5  lima  pengolah,
dan dari kelima pengolah tersebut hanya ada 1 satu di kawasan timur Indonesia, sedangkan 4 empat lainnya di kawasan barat Indonesia.
Selanjutnya, urutan prioritas subfaktor terhadap faktor peluang pengembangan industri surimi  dengan  memanfaatkan  hasil  tangkap  sampingan  by-catch  di  Provinsi  Papua  Barat
yakni prioritas pertama dengan bobot 0,671 adalah subfaktor potensi pasar yang luas, diikuti peningkatan devisa ekspor dengan bobot 0,230 dan yang terakhir adalah subfaktor kebiasaan
konsumsi  masyarakat  dengan  komposisi  bobot  0,098  seperti  yang  terlihat  pada  Gambar  23. Potensi  pasar  yang  luas  dijadikan  prioritas  pertama  dikarenakan  langkah  pertama  dalam
melakukan suatu usaha dalam bidang apapun adalah melihat potensi pasar yang ada, dan hal ini  berlaku  pula  pada  upaya  pengembangan  industri  surimi  di Provinsi Papua  Barat.  Potensi
pasar  surimi  saat  ini  sangat  terbuka  mengingat  surimi  merupakan  bahan  baku  untuk  olahan fish  jelly  seperti  seperti  imitation  crab  meat,  fish  ball,  fish  cake  dan  bentuk  olahan  lainnya.
Surimi  sudah  merupakan  produk  internasional  dengan  tingkat  permintaan  yang  setiap  tahun mengalami  peningkatan  dan  tidak  hanya  terbatas  pada  surimi  saja  tetapi  juga  pada  produk
lanjutanturunan  dari  surimi.  Adapun  negara-negara  pengimpor  surimi  adalah  Jepang, Amerika  Serikat,  Eropa,  Korea  Selatan,  Taiwan,  Asia  Tenggara  dan  Rusia.  Namun
permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai 18.000 hingga 20.000 ton per tahun FAO 2007.
Peningkatan  devisa  ekspor  menjadi  prioritas  kedua  karena  terkait  dengan  prioritas pertama  yakni  apabila  potensi  pasar  yang  luas  dimanfaatkan  terutama  untuk  ekspor  surimi,
maka secara otomatis devisa ekspor akan mengalami peningkatan. Untuk  subfaktor prioritas ketiga  yakni kebiasaan konsumsi masyarakat di sekitar perairan Arafura pada umumnya dan
115
di Provinsi Papua Barat pada khususnya, yang cenderung mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis penting  dan  kurang  menyenangi  ikan-ikan  non  ekonomis.  Oleh  karena  itu,  peluang
ketersediaan  bahan  baku  semakin  tinggi  dan  adanya  kompetitor  pengguna  bahan  baku semakin  kecil  yang  berdampak  positif  pada  upaya  pengembangan  industri  surimi  dalam
rangka pemanfaatan by-catch  di Provinsi Papua Barat.
Gambar 23 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang.
7.4.3  Analisis dan rekomendasi prioritas strategikebijakan