42
untyuk tempat tidur di rumahnya yang masih tradisional, sehingga banyak yang memilih tidur di luar, di berugak seke nem, atau di bale-bale yang tidak berdinding.
4.3 Hubungan dengan Kampung atau Desa Tetangga
Terkait dengan hubungan Dusun Sade dengan desa tetangganya, sebagian besar narasumber menjelaskan bahwa hubungan tersebut berjalan baik dan kondusif. Mereka
menjelaskan bahwa mereka sebagai orang Sasak begitu solid dan sulit terpecahkan. Para pemuda atau dalam istilah Sasak Truna atau Jejaka yang bersedia menjadi narasumber
mengatakan bahwa mereka adalah generasi ke-15 yang mewarisi darah daging dan budaya suku Sasak. Sebagai generasi penerus mereka berperan menjaga eksistensi dengan menjaga
hubungan antar orang Sasak walaupun berbeda desa sekali pun. Atas dasar tersebut mereka menegaskan tidak ada konflik yang intens hingga berujung dengan kekerasan. Mereka juga
tidak mengetahui perihal tentang ada atau tidaknya konflik di masa lalu yang melibatkan orang-orang tua mereka. Jawaban mereka pun senada, dari generasi ke generasi suku Sasak
selalu solid. Menurut Kepala Dusun, hubungan eksternal memanglah harmonis. Bahkan kini mulai sudah biasa terjadi pernikahan eksogami dusun dan desa. Jika pun terjadi
permasalahan, biasanya itu timbul karena belum adanya kesepakatan tentang mahar dalam pernikahan. Hal tersebut dengan mudah diselesaikan dengan diadakannya musyawarah yang
dipimpin kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Warga desa satu dengan yang lainnya akhirnya dapat kembali saling bersilaturahmi.
Setelah diwawancarai lagi, ternyata sebenarnya ada konflik di masyarakat, namun memang kebanyakan adalah pertengkaran kecil yang terjadi karena salah paham, kekurangan
beretika dan masalah anak muda. Menurut Kepala Dusun, sebelum bulan puasa hampir terjadi keributan peluk-penyadik untungnya bisa dilerai. Pada tahun 2010 juga sebenarnya
ada konflik dan banyak yang meninggal. Konflik tersebut terjadi antara Desa Penyali dengan Desa Rembitan. Hal tersebut membuat setiap warga dan kepala desanya saling mengontrol
keamanan di daerah masing-masing selama satu minggu. Di Dusun Sade juga pernah hampir terjadi konflik dengan dusun Teluk Bulan. Saat itu semua warga hingga wanitanya juga ikut
berjaga sambil membawa parang, ada pula yang membawa alat tenun berupa galih asam. Permasalahannya yaitu ada anak muda yang mabuk, dan saat dia akan pulang malah ditusuk.
Untuk mengatasi konflik tersebut maka awalnya dipakai cara damai, kemudian baru dibawa ke Polres, di Polres sempat ditahan beberapa bulan, kemudian diadakan lagi perjanjian damai
antara dua belah pihak.
43
Setelah diperdalam lagi akhirnya Kepala Dusun mengatakan juga bahwa sebenarnya ada konflik yang memperebutkan tanah. Awalnya diselesaikan dengan dimediasi oleh adat,
namun jika tidak terjadi kesepakatan maka dapat dialihkan ke meja hijau. Saat dikonfirmasi juga ke warga lainnya dinyatakan penyebab intinya yaitu perebutan sumber daya. Konflik ini
dapat terjadi hingga berbentuk kekerasan yang berbuntuk kematian. Perebutan tanah ini merupakan hal yang sudah sejak dahulu kala terjadi. Seorang warga meceritakan bahwa
konflik ini konflik kambuhan atau musiman. Terjadi di saat tertentu, dan selesai dengan tidak adanya titik klimaks. Menurut informan lain, penyelesain konflik ini dibantu oleh campur
tangan roh leluhur atau lebih tepatnya para pihak yang bermasalah meminta bantuan roh leluhur untuk menjelaskan kebenaran. Selain itu juga digelarnya musyawarah yang dihadiri
oleh pihak-pihak yang bertikai beserta pihak yang netral. Status Dusun Sade yang kini menjadi kawasan strategis pariwisata membuat
warganya kompak menjaga citra Dusun Sade dan Desa Rembitan umumnya sebagai tempat yang aman, sehingga informasi mengenai konflik dan kekerasan adalah hal yang tabu untuk
mereka bicarakan secara gamblang. Seorang informan mengatakan bahwa kemajuan pariwisata budaya di Dusun Sade tidaklah membuat kecemburuan sosial di antara warga
desa. Mereka sama-sama bersyukur dan saling mendukung pengembangan pariwisata di daerahnya. Karena jika pariwisata terus berkembangan maka peningkatan ekonomi tetap
dapat mereka nikmati. Menjaga keamanan, melestarikan adat dan budaya serta bersikap ramah kepada wisatawan yang adalah hal yang sudah mereka tanamkan kepada anak-anaknya
sejak kecil. Berkaitan dengan mitos atau legenda mengenai permusuhan atau perang antar
kampung tidaklah ada. Yang ada yaitu pepatah Sasak yang berbunyi “Lemak kana aya telaik semeton seilik Jawa Malaka”. Jawa Malaka adalah generalisasi wilayah orang dari luar
Sasak. Arti dari pepatah itu yaitu “besok anak-anak akan didatangi saudara kami dari luar”. Leluhur orang Sasak menggambarkan bahwa jika anak cucunya dapat mempertahankan
budaya dan tradisi maka suatu saat nanti saudara dari luar yang akan mendatangi mereka. Hal-hal yang berbau magis juga tidak banyak terdapat di Dusun Sade, masyarakat
percaya apabila berbuat baik maka baiklah pula hasilnya. Pastilah kebaikkan yang akan menang. Yang selalu perlu diingat adalah sebagai manusia maka bantuan dan kekuatan
terbesar bersumber dari Tuhan, jadi dekatkan diri dengan Tuhan agar selalu dilindungi. Jika pun ada yang melakukan ritual dan berziarah biasanya dilakukan di Makam Wali Nyato yang
hanya boleh didatangi setiap hari Rabu, dan ke Gunung Khiangan yang hanya boleh didaki
44
setiap hari Sabtu, selain hari tersebut adalah pamali untuk dilakukan. Dua tempat tersebut merupakan tempat bersemayamnya leluhur orang Sade.
Hal-hal tabu yang harus diperhatikan saat berada di Dusun Sade yaitu : 1
Tidak boleh memakai celana di atas lutut dalam pertemuan umum. 2
Dalam keseharian, wanitanya menggunakan kain, sedangkan lelakinya menggunakan sarung. Sebagai pendatang, akan sangat baik jika bisa mengikuti. Jika belum bisa,
pakailah celana panjang yang sopan. 3
Perempuan dilarang berkeliaran di jalan setelah maghrib. 4
Tidak boleh membawa perempuan dari Dusun Sade keluar hingga malam. Toleransi waktunya hanya sampai jam 10 malam. Jika lewat maka mau tidak mau harus
dinikahi secara adat. 5
Perempuan Dusun Sade dilarang pergi keluar dusun kecuali ditemani oleh bapak, ibu, dan saudara laki-laki kandung. Perempuan juga tidak boleh merantau saat masih
lajang ataupun jadi TKW. 6
Perempuan yang belum menikah dilarang naik ke lumbung, karena dipercaya akan mempersulit mendapatkan keturunan.
7 Perempuan di Sade memiliki rentang usia menikah dari umur 13-18 tahun. Jika sudah
berumur 20 tahun maka disebut perawan tua dan tidak ada yang mau menculik. 8
Cara menikah di Dusun Sade yaitu pihak laki-laki harus menculik pacaranya, dan harus disembunyikan dari keluarga perempuan sampai satu malam. Waktu untuk
menculik adalah saat malam. Jika menculik saat siang, maka akan dikenakan denda. Jika melamar baik-baik, maka dianggap sebuah penghinaan terhadap orang tua
perempuan. 9
Wanita yang sedang haid atau datang bulan tidak diperkenankan menaiki Gunung Khiangan atau berziarah ke makam Wali Nyato.
10 Menggunakan kata permisi tabek jika ingin menyela atau lewat di depan orang.
11 Saat bertamu ke rumah orang Sade, sebaiknya memberi salah terlebih dahulu,
memanggil dengan sopan dan menunggu di depan rumah sampai orang tersebut mempersilahkan masuk. Jika tidak dipersilahkan, jangan langsung masuk seenaknya.
Sebaiknya menunggu dan berdiri sebentar sampai diizinkan masuk. Jangan duduk di barugak sejenis bale bengong di Bali jika belum diperkenankan.
45
Gambar 18 Barugak, Tempat Menerima Tamu
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014
46
BAB V SISTEM PELAPISAN SOSIAL