34
BAB IV PEMERINTAHAN ADAT
4.1 Sistem Pemerintahan Adat
Nama lembaga adat di tingkat dusun adalah Pengemban Adat, sedangkat di tingkat desa ada Majelis Pamusungan Adat. Majelis Pamusungan Adat berperan juga terhadap
pengambilan keputusan jika ada konflik atau pelanggaran terhdap nilai dan norma adat di Desa Rembitan. Berkaitan dengan tingkat pengambilan keputusaan saat konflik maka untuk
perkara di dusun akan diselesaikan oleh Pengemban Adat, jika di tingkat dusun tidak bisa diselesaikan maka perkara adat tersebut akan dimusyawarahkan di tingkat desa oleh Majelis
Pemusungan Adat. Layaknya lembaga tinggi yang berdomisili di desa, maka ketua umumnya adalah kepala desa, sedangkan yang mengetuai Pangemban Adat adalah kepala dusun di
masing-masing dusun. Pengemban Adat memiliki posisi strategis di dalam masyarakat dan sangat dituakan
atau dihormati karena merangkap jabatan dinas dan adat. Secara dinas dia disebut kepala dusun, secara adat dia disebut dewan adat atau jero klian. Persyaratan untuk menjadi kepala
dusun yaitu haruslah baik bibit, bebet dan bobotnya. Harus memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala dusun sebelumnya karena masyarakat yakin trah atau keturunan dari golongan
kepala dusun memiliki sikap yang ungguh, salah satunya tingkat kejujuran dan kepedulian yang tinggi. Calon juga harus memiliki kepribadian yang baik dan bijaksana dan sudah cukup
umur sudah akil balik. Pengetahuan tentang budaya, adat dan agama, serta fasih berbahasa Indonesia adalah syarat penting lainnya. Hal itu karena seorang kepala dusun haruslah
menjadi contoh atau teladan bagi masyarakatnya dan dapat berhubungan baik atau berkomunikasi dengan masyarakat luar yang ingin mengetahui seluk-beluk Dusun Sade.
Seorang kepala dusun dipilih dengan cara musyawarah. Pertama-tama para penglingsir atau tetua adat yang merupakan penasehat Pangemban Adat kepala dusun akan
mengajukan satu nama yang dirasa paling berkualitas di antara pemuda di Desa Sade, kemudian di dalam forum calon tunggal ini diundang, dihadiri pula oleh kepala dusun,
penglingsir adat, serta semua kepala keluarga sebagai perwakilan krama adat. Saat itulah dilaksanakan musyawarah untuk mencapai mufakat, kemudian apabila semua krama atau
masyarakat sejutu maka disahkanlah dia menjadi kepala dusun yang baru. Saat dilantik atau di simbik ada upacara kecil sebagai simbolis pelantikannya secara adat.
35
Perempuan tidak dapat menjadi kepala dusun karena di Dusun Sade menganut sistem patrilineal, dimana pihak laki-laki yang memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Anak laki-laki disekolahkan sampai setinggi-tingginya hingga perguruan tinggi kalau bisa dan boleh merantau keluar. Sedangkan pihak perempuan hanya memiliki
pendidikan SMA, itulah yang paling tingggi. Biasanya setelah tamat SMA pihak perempuan akan langsung menikah. Perempuan juga dilarang keluar dusun jika tidak ditemani oleh
keluarga atau saudara kandung. Jika kepala dusun sudah terlalu tua atau pikun maka jabatannya akan segera
digantikan, dan diadakan musyawarah untuk pemilihannya. Kepala dusun juga akan diganti jika sudah tidak layak menjabat melanggar norma adat atau tidak dapat melakukan tugas
dan kewajibannya dengan baik. Seorang pemimpin adat bukanlah keturunan pahlawan masa lampau atau dewa,
masyarakat menganggap bahwa seorang kepala dusun memiliki kepribadiaan yang unggul, memiliki pengetahuan dan akhlak lebih tinggi dari pada masyarakat biasa sehingga patut
diteladani. Terdapat mitos tentang kepemimpinan adat. Orang tua atau leluhur Dusun Sade selalu
merindukan kemunculan pimpinan yang disebut Emban Pejanggik Datu Pejanggik, pemimpin yang berjiwa arif bijaksana. Seperti layaknya di Jawa terdapat Satrio Piningit atau
Ratu Adil, dan di ajaran agama ada Imam Mahdi. Saat sosok itu muncul maka dunia akan damai, aman, dan sejahtera. Datu Pejanggik dianggap figur yang belum waktunya datang ke
dunia, sosok ini dianggap masih dalam masa penempaan sehingga kelak siap menerangi dunia. Masyarakat belum tahu apakah sosok yang seperti itu hanya ada di mitos atau benar-
benar akan terlaksana. Pemimpin adat memiliki keistimewaan khusus untuk memutuskan perkara. Keputusan
ini selalu berdasarkan musyawarah dan mufakat. Karena sosoknya yang dianggap unggul dan patut diteladani, maka setiap warga selalu mendengar dan menuruti keputusan dari kepala
dusun. Seorang pemimpin adat atau kepala dusun tidak memiliki hak istimewa terhada istri dan perempuan yang disukainya. Jika berpoligami atau selingkuh maka kepala dusun akan
tercoreng kehormatannya, dan dianggap tidak layak lagi menjadi kepala dusun. Tidak terdapat pemimpin adat yang berbeda untuk masa damai dan masa perang. Semua urusan
dinas dan adat merupakan tanggung jawab kepala dusun untuk mengkoordinirnya. Di Dusun Sade tidak ada perselisihan di antara anggota keluarga karena
memperebutkan posisi pemimpin adat, masyarakat akan menilai sendiri siapa sosok yang
36
memang pantas untuk jabatan tersebut. Mereka tidak ada berkeinginan untuk memperebutkan jabatan vital tersebut karena tahu, tanggung jawab yang akan diemban sangatlah berat.
Berkaitan dengan ibu atau kakak-kakak perempuannya tidaklah menduduki posisi yang berarti, karena dalam pembagian tugasnya urusan eksternal adalah urusan lelaki, wanita
hanya mengurus urusan domestik. Tugas seorang pemimpin adat atau kepala dusun terhadap komunitasnya yaitu
mengatur administrasi, mengatur rapat adat, memutuskan saat ada konflik atau pelanggaran. Secara dinas dan adat patut melayani masyarakat. Fungsi lainnya yaitu dalam fungsi religius
sebagai hotib setiap hari Jumat di mushola Dusun Sade, selain itu beliau juga menjadi imam saat sholat, memandikan pengantin dengan air banyu mas, serta menjadi koordinator
konsumsi dari inan beras saat ada upacara. Seorang kepala adat yang di sini dijabat oleh kepala dusun juga diharapkan menyumbang untuk setiap upacara keagamaan. Bukanlah suatu
keharusan, tetapi dilihat dari sudut keikhlasannya. Biasanya sumbangan pribadi berkisar antara Rp. 500.000 – Rp 1.000.000. Jika ada orang yang tidak mampu secara ekonomi maka
bantuan dilakukan dengan mengkoordinir pembagian zakat dan fitrah.
Gambar 16 Uang Kepeng
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014 Seorang pemimpin adat atau kepala dusun dianggap sebagai hakim dalam urusan
hukum, dimana keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat. Bagi pelanggar ada beberapa jenis sanksi, seperti sanksi bedende atau bendosa dikenakan sanksi finansial
37
atau membayar sejumlah uang. Ada klasifikasi, denda utama, madya, nista. Denda utama adalah senilai seket kuang siu atau 50.000 keping uang kepeng – 1000 keping. Kalau
dirupiahkan sama dengan Rp 500.000 – Rp 1000 = Rp 499.000. Denda utama lainnya yaitu denda pati merupakan denda atau sanksi yang diberikan kepada seseorang yang akibat
perbuatan dan ucapkannya membuat kematian orang lain. Misalkan istrinya si A dan lelaki B selingkuh, maka dalam sidang adat yang dipimpin oleh Pangemban Adat akan dikumpulkan
dan dibeberkan bukti dan saksinya. Jika tidak terbukti atau tidak ada barang bukti dan fakta secara adat maka laki-laki B akan dikenakan denda uang, kalau terbukti lain lagi ceritanya.
Keluarga lelaki B akan membunuh atau memenggal kepala si B, untuk melindungi kehormatan keluarga dan rasa tanggung jawab terhadap si wanita, istri si B.
Selanjutnya ada denda yang bersifat madya, denda sebanyak 24 kepeng atau pat likur, sedangkan yang bersifat nista, dendanya sebanyak 12 dualos kepeng. Jadi jika sanksi uang
ada 3 macam yaitu utama, madya, dan nista; Seket kuang siu , pat likur 24, duaolas 12. Pelanggaran yang sering terjadi adalah saat terjadi hubungan muda-mudi atau truna dara.
Seperti contohnya jika ada perempuan dan lelaki sedang bersamaan, tiba-tiba si perempuan menangis. Jika kejadian itu terjadi di siang hari maka hal tersebut masuk pelanggaran nista
atau kecil, denda 12 kepeng. Jika kejadiannya malam maka termasuk pelanggaran madya atau sedang, denda 24 kepeng. Semua sesuai waktu pelanggarannya. Kalau seorang mangambil
calon istrinya di siang hari atau menikah saat bulan puasa, maka akan didenda 24 kepeng, terdapat pula banyak aturan hukum adat mengenai sanksi lainnya.
Ada juga sanksi dibuang, diasingkan, atau dikucilkan istilahnya denda sedasa warsa 10 tahun. Orang yang terkena sanksi tersebut adalah orang yang melanggar aturan
adatawig-awig yang berhubungan dengan perkawinan, seperti menikahan dengan bibi atau keponakan. Hal tersebut disebut salah dalam menculik, “salah carun merarik”. Setelah
menjalani sanksi 10 tahun mereka kembali ke keluarga dan masyarakat dengan gratifikasi pemulihan melalui upacara Roah Rapah, dengan membuat pancak aji 44. Hal tersebut
merupakan upaya pemulihan reputasi – nama baik seseorang, sehingga eksistensinya bisa dikembalikan secara utuh oleh keluarga dan masyarakat, seolah-olah mereka sudah terhapus
dari kesalahannya. Saat ada sengketa, yang menjadi penentu adalah musyawarah dilihat dari intensitas
masalah, baru kemudian diambil keputusan. Wewenang untuk memustuskan – pemimpin adat, berdasarkan musyawarah. Apabila petinggi yang melanggar maka hukumannya lebih
berat, tidak kebal hukum. Hukum adalah milik sang pemilik hukum itu sendiri, bukan milik
38
siapa-siapa. Apabila pemimpin adat sendiri melanggar hukum maka hukuman tetap diberikan oleh adat. Menurut perkataan kepala dusun, pelanggaran yang paling dia hindari
adalah selingkuh. Di Dusun Sade kebanyakan masyarakatnya masih monogami atau menikah satu kali. Jika sampai kepala dusun selingkuh atau menikah dua kali atau poligami
maka hal tersebut akan mecoreng reputasinya dan tidak layak lagi menjadi pemimpin. Jika di Dusun Sade ada masalah maka cara mereka mengendalikan ketegangan atau
perselisihan yang ada dalam masyarakat yaitu dengan memberi hukuman berupa sanksi uang nista, madya, utama dan hukum tematik digorok. Cara untuk mengembangkan rasa malu
dan rasa takut yaitu dengan mengosipkan seorang yang disangka bersalah. Gosip ini biasanya berhubungan dengan perselingkuhan. Orang yang sudah digosipkan selingkuh dengan istri
orang lain maka dia hanya punya dua pilihan pergi atau mati. Pergi dari desa atau nantinya jika ketahuan secara nyata sedang berselingkuh maka akan digorok kepalanya oleh
keluarganya sendiri. Cara lainnya lagi yaitu tradisi begarap yang erat kaitannya dengan istilah setekot daun bunut. Semua warga diundang dalam pertemuan yang diadakan di
berugak saka nem sebuah balai besar untuk pertemuan dusun. Ritual ini sangat sakral hanya mangku yang menangani persiapan ritual ini. Satu minggu sebelum dilaksanakan sumpah
pembuktian kesalahan itu diadakan ritual kecil oleh jero mangku menyendiri. Selanjutnya saat acara dimulai dengan menghidangkan racikan dari air yang dicampur dengan tanah
makam Wali Nyato dan diminum dengan cara menggunakan daun beringin sebagai pengganti sendok. Orang yang bersalah dalam suatu perkara namun tidak dapat dibuktikan secara nyata,
dapat dibuktikan secara adat dan religi dengan cara ini. Orang yang bersalah akan didatangi oleh lalat-lalat yang sangat besar dan sakit beberapa hari setelahnya kemudian mati.
Begitulah cara adat yang mereka lakukan dan yang berwenang melakukan hal itu adalah keputusan adat yang diakomodir oleh Pemusungan Adat kepala desa. Jika cara adat tidak
cukup atau tidak mempan maka akan dibawa ke yang berwajib seperti polisi. Hukum tematik atau penggorokkan terakhir terjadi tahun 2006 tempatnya di Dusun
Sela, sebelah Dusun Sade. Orang tersebut mati digorok karena dia meniduri istri seseorang yang suaminya sedang bekerja di Malaysia. Mengingatkan kita lagi bahwa di Dusun Sade
hanya laki-laki yang boleh merantau dan sekolah tinggi, sedangkan perempuan tidak boleh sekolah keluar desa, dan tidak diizinkan menjadi TKW. Berlanjut ke cerita tersebut, begini
ceritanya. Laki-laki A tidur dengan istri B maka keluarga A menghukum laki-laki A dengan tematik-digorok. Yang melakukan pembunuhan lari ke polisi melaporkan dirinya sendiri,
39
entah sekian tahun dihukum bukanlah masalah bagi pembunuhnya. Harga diri dari mempertahankan kehormatan keluarga adalah nomor satu bagi mereka.
Di Dusun Sade hanya terdapat satu macam bentuk kepemimpinan dalam masyarakat. Tidak ada pimpinan kadang kala, terbatas, mencakup, atau pucuk. Semua tanggungjawab
untuk melayani masyarakat dan mengakomodir pendapat mereka serta hak untuk mengambil keputusan baik dinas ataupun adat ada di tangan satu orang yaitu di tangan kepala dusun yang
juga menjadi Pangemban Adat. Terkait dengan pemimpin bawahan yang mengawasi kelompok tertentu seperti pertanian juga tidak ada. Berbeda dengan di Bali terdapat kelihan
subak, pertanian di Dusun Sade, Desa Rembitan, Lombok tengah tidaklah mengenal sistem organisasi serupa. Hal tersebut karena tidak ada sistem irigasi, tidak ada hujan sepanjang
tahun. Masyarakat mengairi ladangnya dengan air tadah hujan. Berkaitan dengan air yang baru dibangun di dekat Sade hanyalah DAM, belum ada bendungan. Kalaupun ada air
masyarakat memanfaatkannya untuk dibuat embung sejenis kolam tempat ikan kecil. Permasalahan air adalah salah satu hal yang menyebabkan pertanian di Dusun Sade kurang
berkembang. Dalam konteks adat tidak ada pembagian kasta, hanya saat di pemerintahan saja yang
menggunakan perbedaan status achieved. Pemimpin adat yang juga sebagai kepala dusun memiliki berbagai jenis kewajiban seperti menangani bidang administrasi, dinas,dan adat.
Dalam bidang religi sebagai hotib memberikan kotbah, memandikan pengantin dengan air banyu mas, imam, kalau ada upacara beliau juga yang membantu menangani konsumsi. Yang
memiliki kewajiban penuh sebagai koordinator konsumsi saat upacara adalah inan beras, jika tidak ada inan beras maka upacara belum bisa dimulai.
Banjar di Lombok, klususnya di Dusun Sade merupakan sebuah perkumpulan sebagai wadah untuk membantu masayarakat saat upacaraa tertentu seperti begawi, kematian,
kithanan, dan pernikahan. Melalui banjar semua perlenggkapan upacara dapat dikumpulkan. Di banjar yang paling tinggi posisinya adalah sebagai berikut. dari yang tertinggi kemudian
terendah : Sana Krana Iting Gawi inan beras agan inan lekas inan senganan.
Setiap kelompok memiliki anggota anggota inti 5 orang, dibantu dengan yang lain. Agan dibantu oleh Era yang berjumlah 30 orang menangani sayur. Inan Senganan
menangani perihal rokok, sembako, jajan-jajan dan kopi. Inan Lekas menangani bahan- bahan untuk tradisi mengunyah dengan sirih pinang. Ada pula anak-anak muda yang
40
membantu melayani tamu dengan memberikan jamuan, mereka disebut Ancangin. Bentuk fisik dari stratifikasi sosial dalam adat dapat dilihat saat upacara berlangsung.
Bagan 1: Stuktur Pemerintahan Adat Dusun Sade
4.2 Dewan Adat dan Pejabat Lain