Kegiatan produktif merupakan kegiatan yang menghasilkan uang, sedangkan kegiatan reproduktif merupakan kegiatan yang tidak menghasilkan uang. Kegiatan
produktif menurut Hubeis 2010 merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, contohnya berdagang, bertani, karyawan
industri, dan sebagainya, sementara kegiatan reproduktif dijelaskan oleh Hubeis 2010 adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan pemeliharaan sumberdaya insani SDI dan kerumahtanggaan, seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja,
memelihara kesehatan dan gizi keluarga, serta mengasuh dan mendidik anak. Kegiatan ini sangat penting dalam melestarikan kehidupan keluarga, akan tetapi pekerjaan ini
jarang dipertimbangkan sebagai pekerjaan yang konkret. Pekerjaan reproduktif oleh Edholm 1977 dalam Beneria 1979 dibagi menjadi
tiga aspek, yaitu reproduksi sosial, reproduksi biologis, dan reproduksi tenaga kerja. Reproduksi
sosial menunjuk
pada pereproduksian
keadaan-keadaan yang
mempertahankan suatu sistem sosial, sementara itu reproduksi biologis atau pengembangbiakan yang pada intinya adalah pelahiran dan perkembangan fisik umat
manusia. Adapun reproduksi tenaga kerja yang tidak hanya melulu perawatan sehari- hari pekerja dan calon tenaga kerja, tapi juga alokasi pelaku-pelaku ke dalam berbagai
posisi di dalam proses pekerjaan. Terdapat ketumpangtindihan dalam kerja produktif dan reproduktif. Seseorang
yang melakukan pekerjaan rumah, seperti memasak, dapat sekaligus melakukannya untuk dikonsumsi oleh dirinya sendiri dan keluarganya maupun untuk dijual dan
menghasilkan uang. Seseorang yang melakukan pekerjaan di rumah belum tentu melakukannya untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya sendiri, demikian pula
orang yang bekerja di luar rumah belum tentu bekerja untuk menghasilkan uang. Sulit untuk memisahkan pekerjaan atas dasar tujuan karena seseorang dapat memasak untuk
dijajakan sekaligus untuk dikonsumsi keluarganya Saptari dan Holzner 1997.
2.1.4 Struktur Pelapisan Sosial
Sorokin 1959 dalam Prasodjo dan Pandjaitan 2003 menjelaskan pelapisan atau stratifikasi sosial sebagai suatu pembedaan masyarakat dalam bentuk kelas-kelas
yang bertingkat karena ketidakseimbanganketidaksamaan pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial dan pengaruhnya dalam masyarakat. Menurut Davis
dan Moore 1945 dalam Prasodjo dan Pandjaitan 2003, pada umumnya manusia
menghendaki adanya suatu pembedaan peranan dan kedudukan dalam masyarakat sebagai konsekuensi adanya pembagian kerja, sehingga setiap individu berusaha
menempatkan dirinya pada posisi atau kedudukan tertentu dalam struktur sosial, yang mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari
penempatan tersebut. Lapisan masyarakat menurut Soekanto 1990 merupakan pembedaan posisi
seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal dan dasar dari pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian
hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Selanjutnya Soekanto menyebutkan dasar pelapisan tersebut
adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, serta ilmu pengetahuan. Sajogyo 1983 menunjukkan bahwa perempuan dari rumahtangga kaya bukan
saja mempunyai akses lebih mudah kepada pekerjaan yang lebih menguntungkan, tetapi juga tidak perlu bekerja berjam-jam seperti perempuan miskin. Perempuan kaya
mungkin memiliki modal untuk diinvestasikan dalam kios yang baik di pasar, tetapi mereka seringkali tidak melakukannya karena dianggap lebih pantas bagi mereka untuk
mempunyai sebuah warung yang terletak di rumah mereka sendiri daripada duduk di sebuah tempat terbuka seperti pasar Nieuwhof 1988 dalam Grijns dkk 1992.
2.1.5 Industrialisasi Pedesaan
Industrialisasi adalah suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi. Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi Agustin dan
Perdani 2011. Salah satu bentuk industrialisasi yaitu industrialisasi pedesaan.
Menurut Tambunan 1990 industrialisasi pedesaan dalam konteks ekonomi Indonesia dilihat dalam pengertian yang luas, yakni sebagai usaha transformasi
masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial. Industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi yang
dapat diukur dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Selanjutnya, Tambunan 1990 menyebutkan fungsi industrialisasi pedesaan secara luas, yaitu:
1. Mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan
2. Meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu
daerah 3.
Meningkaatkan kesempatan kerja baru 4.
Mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sektor industri 5.
Meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri 6.
Mengurangi kemiskinan Suatu perbedaan yang dapat dilihat antara industrialisasi pedesaan dengan
industrialisasi perkotaan adalah karakteristik industrialisasi pedesaan yang bersifat padat karya, berbeda dengan industrialisasi perkotaan yang padat modal. Selain itu,
industrialisasi pedesaan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan pasar Prasetyo 2007.
Saptari dan Holzner 1997 menyebutkan tiga pendekatan yang mempengaruhi industrialisasi pedesaan, yaitu pendekatan sistem, model-model pengambilan keputusan,
dan materialisme historis. Pendekatan yang pertama, yaitu pendekatan sistem, merupakan pendekatan yang memperhatikan faktor lingkungan, teknologi, dan
demografi dalam sistem agraris. Boserup 1970 dalam Saptari dan Holzner 1997 menggunakan pendekatan ini untuk mengidentifikasi adanya sistem pertanian
perempuan dan sistem pertanian laki-laki. Di Afrika, pertanian subsisten dengan teknologi yang sederhana menjadi bagian dari kerja perempuan, sehingga para petani
perempuan menanggung beban kerja yang berat. Selain itu, di Asia terdapat sistem pertanian laki-laki, dimana pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan bajak,
yang bersesuaian dengan pertanian permanen, dimana partisipasi perempuan relatif rendah. Pendekatan kedua yaitu model-model pengambilan keputusan. Perempuan di
Jawa seringkali terlibat dalam keputusan-keputusan manajemen berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja upahan atau keputusan untuk berinvestasi, berlawanan dengan
ideologi yang berlaku, perempuan tidak begitu mengendalikan keputusan mengenai persoalan domestik. Pendekatan yang terakhir yaitu materialisme historis yang berfokus
pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan antara manusia dengan proses produksi. Pendekatan ini mempelajari perubahan-perubahan pada struktur agraris
sebagai konsekuensi perubahan-perubahan dalam pengendalian atas sumber-sumber daya produksi yang terdiri dari tanah, modal, dan tenaga kerja.
Adanya sejumlah perubahan yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan, membawa perubahan pula pada pekerjaan-perkerjaan perempuan. Kelas sosial
merupakan salah satu penentu penting dari adanya perubahan tersebut. Perempuan miskin yang bekerja sebagai buruh tani kehilangan pekerjaannya karena adanya
mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau. Sebaliknya, bagi perempuan kelas menengah yang menanami tanahnya sendiri cukup diuntungkan, mekanisasi yang
dibawa oleh Revolusi Hijau telah membebaskan mereka dari pekerjaan pertanian. Perempuan dari rumahtangga kaya jarang melakukan pekerjaan-pekerjaan pertanian
karena lebih memusatkan diri pada pekerjaan rumahtangga Saptari dan Holzner 1997.
2.2 Kerangka Pemikiran