Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

(1)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta orang terdiri dari 119,6 juta orang laki-laki dan perempuan sebanyak 118,0 juta orang. Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk 2000, telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak 32,5 juta orang atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun (BPS 2012). Hal tersebut secara langsung menyebabkan terjadinya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

Dalam UU No. 7 tahun 1996 pasal 1, pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Untuk itu, kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pangan bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau telah diamanatkan dalam UU No. 7 tahun 1996. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011 juga telah menargetkan pada tahun 2010-2014 terjadi peningkatan ketahanan pangan sejalan dengan peningkatan produksi per tahun yang rata-rata padi 5,22 persen, jagung 10,02 persen, kedelai 20,05 persen, kacang tanah 10,20 persen, kacang hijau 4,55 persen, ubi kayu 5,54 persen, dan ubi jalar 6,78 persen.

Salah satu solusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan penganekaragaman produk makanan, namun tidak hanya berfokus pada hal itu saja, melainkan juga harus mengubah ketergantungan masyarakat terhadap salah satu jenis makanan pokok


(2)

2 saja seperti beras (BKP 2010). Suyastiri (2008) menyatakan bahwa diversifikasi pangan merupakan hal yang sangat penting karena (1) dalam lingkup skala nasional pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap ketergantungan impor beras, (2) dapat mengubah lokasi sumberdaya ke arah yang efisien, fleksibel, dan stabil jika didukung dengan pemanfaatan potensi lokal, dan (3) diversifikasi konsumsi pangan penting dilihat dari segi nutrisi untuk dapat mewujudkan Pola Pangan Harapan.

Cara yang dapat dilakukan dalam mencapai diversifikasi pangan salah satunya dengan memanfaatkan pangan lokal yang ada seperti umbi-umbian. Hal ini sesuai dengan Permentan No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kedua kebijakan tersebut ditujukan untuk mendorong terwujudnya penyediaan aneka ragam pangan dan peningkatan pangan berbasis potensi sumber daya lokal.

Saat ini masyarakat sayangnya belum memahami benar penganekaragaman pangan berbasis potensi lokal. Masyarakat saat ini sering kali beranggapan bahwa mengkonsumsi makanan pokok selain beras diidentikkan sebagai masyarakat golongan rendah1. Hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap beras tetap tinggi. Bahkan, masyarakat di wilayah Timur Indonesia yang semula tidak mengkonsumsi beras sebagai pangan pokoknya sudah beralih mengkonsumsi beras.

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa konsumsi beras lebih tinggi daripada bahan pangan sumber karbohidrat alternatif, seperti umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Konsumsi pangan ideal untuk padi-padian adalah 275 gram per kapita per hari, namun pada tahun 2008, konsumsi padi-padian melebihi ideal sebesar 326 gram dan pada tahun 2009 pun masih melebihi keadaan idealnya walaupun sudah menurun dibanding tahun 2009 yakni sebesar 314,4 gram. Bahkan skor PPH tahun 2009 menurun jumlahnya

1

Roadmap Penganekaragaman Pangan:Memadukan Sumber Daya Pemerintah, Swasta, Perguruan Tinggi dan Swasta [http://www.journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/view/50/148]


(3)

3 dibandingkan skor PPH tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penganekaragaman pangan masyarakat masih rendah dilihat dari skor PPH masih dibawah 100. Ini disebabkan karena pola pikir yang berkembang di masyarakat bahwa dikatakan belum makan jika belum mengkonsumsi nasi. Diketahui pula bahwa terjadi penurunan terhadap konsumsi beras, namun secara bersamaan konsumsi bahan pangan lainnya juga ikut menurun seperti umbi-umbian. Jumlah konsumsi pangan umbi-umbian idealnya yaitu 100 gram per kapita per hari, namun pada tahun 2008 hanya 51,7 gram dan pada tahun 2009 hanya 40,2 gram (BPS diolah BKP 2010).

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam Renstra tahun 2010-2014 menetapkan tujuh komoditas yang menjadi unggulan nasional, yaitu: padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar. Berdasarkan Lampiran 2, produksi tanaman pangan selama periode 2005-2010 mengalami pertumbuhan yang positif untuk lima komoditas unggulan nasional. Selain itu, sub-sektor tanaman pangan juga menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan dengan sub-sektor pertanian lainnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian tahun 2005-2008

Sub-sektor

Tahun Rata-rata Laju

Pertumbuh an (%)

2005 2006 2007 2008

Tan. Pangan

22,961,255 22,765,897 22,311,310 23,382,721 22,547,778 2,44

Hortikultu -ra

2,728,861 2,686,072 2,637,874 2,574,835 2,666,165 -1,20

Perkebun-an

10,412,037 10,309,700 10,116,582 9,281,711 10,229,909 -4,18

Total Pertanian

41,561,987 41,229,716 41,907,617 42,689,635 41,599,395 1,27

Sumber: Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 2010-2014

Sub-sektor tanaman pangan rata-rata menyerap 22,5 juta orang atau 54,19 persen dari angkatan kerja di sektor petanian dengan laju pertumbuhan terbesar yaitu 2,44 persen per tahun. Lampiran 3 juga menunjukkan bahwa tanaman pangan merupakan sumber penghasilan utama sebagian besar rumah tangga pertanian di Indonesia yaitu sebesar 32,24 persen.

Salah satu komoditas tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan adalah ubi jalar. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) merupakan salah satu dari dua puluh jenis


(4)

4 pangan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar berpotensi dikembangkan untuk mendukung program penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal, karena: (1) sebagai salah satu sumber karbohidrat, (2) produktivitasnya tinggi, (3) potensi diversifikasi produk beragam, (4) zat gizi beragam, dan (5) potensi permintaan pasar lokal, regional, dan ekspor yang terus meningkat (BPPP 2011). Selain itu, ubi jalar pun memiliki beberapa keunggulan dibanding tanaman pangan lain yaitu risiko kegagalan relatif kecil, biaya produksi relatif rendah, pemasaran mudah, daya adaptasi luas, dan hasil olahannya sangat beragam2.

Sentra produksi ubi jalar di Indonesia dengan luas areal di atas 10.000 ha berturut-turut adalah Jawa Barat, Papua, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara (Zuraida 2009). Tingkat produksi ubi jalar paling tinggi di Indonesia adalah Jawa Barat yaitu sebesar 422.3 ton. Begitu pun dengan luas panen ubi jalar di provinsi Jawa Barat menempati peringkat kedua sebesar 28 Ha (Lampiran 4). Namun, produktivitasnya menempati peringkat lebih rendah dari peringkat luas panen dan produksi yaitu 150,6 kw/ha (BPS 2012). Karakteristik sistem produksi ubi jalar di Indonesia saat ini dicirikan oleh skala usaha dan penggunaan modal kecil, penerapan teknologi usahatani belum optimal, masih ditempatkan sebagai tanaman samping, kurang tersedianya bibit bermutu menurut agroekosistem, dan belum adanya sistem pewilayahan produksi komoditas ubi jalar3.

Pertumbuhan produksi dan produktivitas ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011 terhadap 2010 bernilai positif jika dibandingkan dengan beberapa komoditi lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa pertumbuhan 2011 terhadap 2010 produksi ubi jalar sebesar 5.92 persen yaitu dari 2.051 ton menjadi 2.172 ton. Produktivitas ubi jalar pun tumbuh sebesar 7.99 persen dari 113.27 ton pada tahun 2010 menjadi 122.32 persen (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011).

2

http://cybex.deptan.go.id [06 Februari 2012] 3

Dr. Handewi P. S. Rachman 2010. Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan, dan Konsumsi Ubi jalar.[http://km.ristek.go.id/assets/css/reset.css" rel="stylesheet" type="text/css"]


(5)

5 Tabel 2. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi dan Palawija di

Indonesia

No. Jenis Komoditi

Tahun Pertumbuhan 2011

terhadap 2010 (%)

2010 2011

ARAM-III 1. Padi

Produksi (000 Ton) Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Kw/Ha) 66,469 13,253 50,15 65,385 13,224 49,44 -1,63 -0,22 -1,42

2. Jagung

Produksi (000 Ton) Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Kw/Ha) 18,328 4,132 44,36 17,230 3,870 44,52 -5,99 -6,34 0,36

3. Ubi Jalar

Produksi (000 Ton) Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Kw/Ha) 2,051 181 113,27 2,172 178 122,32 5,92 -1,92 7,99 Keterangan: ARAM-III = Angka Ramalan-III

Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementrian Pertanian, 2011

Di provinsi Jawa Barat pun dapat dilihat baik dari sisi produksi dan produktivitas ubi jalar dari tahun 2007-2011 memiliki trend yang terus meningkat seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 5. Produktivitas ubi jalar pada tahun 2007 sebesar 133,73 Kw/Ha meningkat menjadi 150.62 Kw/Ha pada tahun 2011. Begitu pun dengan produksi ubi jalar meningkat dari 375.714 ton tahun 2007 menjadi 422.228 ton tahun 2011.

Di beberapa negara, ubi jalar sudah merupakan produk komersial yang cukup diminati. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan ubi jalar sebagai produk olahan bernilai gizi tinggi dan secara ekonomis memiliki peluang pasar yang besar (Hasyim 2008). Beberapa varietas unggul seperti Cilembu, Sari, Cangkuan memiliki produktivitas antara 15-30 ton/hektar (Destialisma 2009).

Namun, disaat produksi ubi jalar sangat melimpah yakni saat musim panen raya, nilai jual komoditas ini akan menurun. Hal tersebut sesuai dengan hukum ekonomi yaitu ketika supply meningkat maka harga jualnya akan turun. Untuk itu, perlu dilakukan terobosan agar nilai jual komoditas ini tetap stabil sepanjang tahun. Salah satunya dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi serta metode pengolahan hasil atau pasca panen yang lebih baik.

Banyak hal telah dilakukan dalam pengolahan pasca panen ubi jalar seperti membuat tepung ubi jalar dan pemanfaatannya dalam pembuatan beberapa produk (Destialisma 2009). Selain itu, tepung ubi jalar juga telah dikembangkan menjadi


(6)

6 bahan baku pangan seperti mencoba pemanfaatan tepung ubi jalar dalam pembuatan produk-produk roti, cookies dan biskuit dengan hasil yang cukup memuaskan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa bahan baku berupa ubi jalar diperlukan oleh industri sehingga perlu adanya kesinambungan bahan baku. Namun, budidaya yang selama ini dilakukan oleh petani ubi jalar diindikasikan masih belum efisien. Hal tersebut dilihat dari penggunaan sumber daya yang tidak sesuai anjuran, tingkat pendapatan petani yang rendah, dan produksi ubi jalar masih di bawah potensi produksi (Khotimah 2010).

Dari kedua sudut pandang tersebut, baik dari segi produksi maupun pengolahannya, ubi jalar memiliki prospek yang baik dan sesuai dengan konsep diversifikasi yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.

1.2. Perumusan Masalah

Jawa Barat merupakan provinsi sentra produksi ubi jalar terbesar di Indonesia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu Kabupaten yang berada di dalamnya. Kontribusi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Bogor terhadap PDRB Jawa Barat merupakan yang terbesar yaitu 9,57 persen dari total PDRB Wilayah Bogor4.Tingginya angka PDRB di Kabupaten Bogor dipacu oleh pertumbuhan indusri khususnya industri yang berada di bagian utara Kabupaten Bogor. Di Kabupaten Bogor terdapat 40 buah kecamatan, 409 desa, 17 kelurahan, dan 426 desa.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu sentra ubi jalar. Hal ini dapat dilihat dari segi luas tanam, luas panen, produksi, dan hasil per hektar. Ubi jalar di Kabupaten Bogor menempati posisi tertinggi kedua setelah Kabupaten Kuningan, seperti yang ditunjukkan di atas (Tabel 3).

4


(7)

7 Tabel 3. Luas Tanam, Luas Panen, Produksi, dan Hasil per Hektar Ubi Jalar

di Jawa Barat Tahun 2010

Kabupaten

Tahun 2010 Luas Tanam

(Ha)

Luas Panen (Ha)

Produksi (ton)

Hasil per Hektar (Kw/Ha)

Bogor 3,965 3,881 59,555 153,45

Sukabumi 1,441 1,443 21,270 147,40

Bandung 3,258 2,524 29,122 115,38

Tasikmalaya 2,145 2,123 23,388 110,16

Kuningan 5,553 5,592 96,857 173,21

Sumedang 1,591 1,539 18,974 123,29

Sumber: BPS Jawa Barat, 2010

Salah satu wilayah penghasil ubi jalar di Kabupaten Bogor adalah Desa Cikarawang. Desa Cikarawang terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Produktivitas ubi jalar di Kecamatan ini pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 14,57 ton/ha dan 14,32 ton/ha (Lampiran 6). Di Desa Cikarawang terdapat enam buah kelompok tani yang bergerak di komoditas padi atau palawija. Kelompok tani tersebut antara lain kelompok tani Hurip, Setia, Mekar, Subur Jaya, Andalan, dan KWT Melati.

Ubi jalar merupakan salah satu dari tujuh komoditas yang menjadi unggulan nasional. Untuk itu, selama tahun 2010-2014 komoditas tersebut menjadi perhatian pemerintah dalam rangka peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011). Hal ini akan dapat terlaksana dengan baik jika komoditas tersebut dapat memberikan keuntungan bagi petani sehingga petani mau untuk mengusahakan komoditas tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang untuk mengetahui apakah usahatani ubi jalar di daerah tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.

Potensi ubi jalar di Desa Cikarawang tersebut sayangnya dihadapi dengan permasalahan produktivitas ubi jalar yang rendah. Rata-rata produktivitas ubi jalar di Desa Cikarawang adalah 9,5 ton per hektar (wawancara dengan ketua kelompok tani). Sedangkan menurut BPS (2012), produktivitas ubi jalar nasional sebesar 12,232 ton per hektar. Ini menunjukkan bahwa produktivitas ubi jalar di Desa Cikarawang masih rendah di bawah produktivitas nasional. Hal tersebut diduga terjadi karena ketidakefisienan teknis dalam usahatani ubi jalar di Desa


(8)

8 Cikarawang sehingga diperlukan analisis efisiensi teknis usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang untuk mengetahui apakah usahatani ubi jalar di desa tersebut sudah efisien.

Oleh karena itu, mengingat ubi jalar merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang dapat meningkatkan ketahanan pangan maka diperlukan pencapaian efisiensi teknis agar menghasilkan output yang optimal. Efisiensi teknis dalam hal teknik budidaya yang benar akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang dihasilkan petani sehingga diperlukan informasi mengenai keragaan budidaya untuk mengetahui pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ubi jalar. Pencapaian efisiensi teknis juga sebagai upaya peningkatan tingkat kompetitif dan keuntungan usahatani. Untuk itu dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapatan usahatani petani ubi jalar di Desa Cikarawang?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi ubi jalar di Desa Cikarawang ?

3. Bagaimana efisiensi teknis serta faktor apa yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani di Desa Cikarawang?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang. 2. Menganalisis faktor - faktor apa saja yang mempengaruhi produksi

ubi jalar di Desa Cikarawang.

3. Menganalisis efisiensi teknis serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani ubi jalar di Desa Cikarawang.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan, masukan, dan tambahan informasi bagi petani ubi jalar dalam upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang.

2. Sebagai tambahan informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian yang lebih baik. 3. Sebagai informasi bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian


(9)

9 1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Komoditas yang akan diteliti adalah ubi jalar. Petani yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah petani ubi jalar di dusun Carang Pulang dan Cangkrang Desa Cikarawang yang menanam ubi jalar pada musim tanam akhir tahun 2011. Analisis kajian dibatasi untuk melihat bagaimana pendapatan usahatani petani ubi jalar di Desa Cikarawang, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi ubi jalar dan efisiensi teknis usahatani, dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani ubi jalar di daerah penelitian.


(10)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Empiris Ubi Jalar

Ubi jalar memiliki peranan yang cukup besar dalam pembangunan pertanian. Prospek ubi jalar pun sangat cerah jika dikelola baik dengan sistem agribisnis yang terintegrasi dari subsistem hulu hingga hilir. Ubi jalar mudah dibudidayakan di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan bahwa komoditas ini dikenal dan diterima masyarakat sebagai bahan pangan atau digunakan untuk substitusi pangan pokok. Pengolahan ubi jalar juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan diversifikasi pangan.

Ubi jalar mempunyai potensi dan peluang besar untuk dimanfaatkan dalam agroindustri sekaligus diversifikasi pangan (Harwono et.al. 1994 diacu dalam Zuraida 2009). Dengan produktivitas 35 ton/ha umbi, ubi jalar mampu menghasilkan 48 x 106 kalori/ha/hari sedangkan padi menghasilkan 33 x 106 kalori/ha/hari atau dengan kata lain ubi jalar menghasilkan kalori 45 persen lebih tinggi dari padi (De Vries et al. 1976 diacu dalam Zuraida 2009).

Potensi ubi jalar yang beragam memungkinkan ubi jalar menjadi salah satu komoditi ekspor Indonesia seperti ke Singapura, Belanda, Amerika Serikat, Jepang dan Malaysia. Ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku bagi industri seperti yang telah dilakukan di negara-negara maju. Selain itu, bercocok tanam ubi jalar pun dapat mengisi potensi lahan kering di Indonesia dan pemenuhan kebutuhan pangan pada masa datang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia.

Adapun petunjuk teknologi budidaya ubi jalar menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2012 sebagai berikut:

1) Syarat Tumbuh

Daerah yang paling ideal untuk budidaya ubi jalar adalah daerah yang bersuhu 21-27oC dan mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari. Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk usahatani ubi jalar tercapai pada musim kering (kemarau). Di tanah yang kering (tegalan) waktu tanam yang baik untuk tanaman ubi jalar yaitu pada waktu musim hujan, sedang pada tanah sawah waktu tanam yang baik yaitu sesudah tanaman padi dipanen. Tanaman ubi jalar dapat ditanam


(11)

11 di daerah dengan curah hujan optimal antara 750-1500 mm/tahun dan berada pada ketinggian 0-1.500 m dpl.

2) Penyiapan Bibit

Teknik perbanyakan tanaman ubi jalar yang sering dilakukan petani adalah dengan stek batang atau pucuk. Bibit yang berupa stek harus memenuhi syarat: tanaman telah berumur 2 bulan atau lebih, panjang stek antara 20-30 cm, disimpan ditempat teduh selama 1–7 hari. Jumlah bibit yang dibutuhkan untuk areal penanaman 1 hektar tergantung pada jarak tanam. Untuk jarak tanam 75x30 cm maka kebutuhan bibitnya sekitar 32.000 stek.

3) Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan sebaiknya dilakukan pada saat tanah tidak terlalu basah atau tidak terlalu kering, lengket atau keras. Cara penyiapan lahan dimulai dengan mengolah tanah terlebih dahulu hingga gembur, kemudian dibiarkan selama satu minggu, selanjutnya dibuat guludan-guludan, tanah diolah langsung bersamaan dengan pembuatan guludan, lebar guludan bawah 60 cm, tinggi 30–40 cm, lebar atas 40 cm, dan jarak antar guludan 80–100 cm.

4) Penanaman

Penanaman ubi jalar di lahan kering (tegalan) biasanya dilakukan pada awal musim hujan (Oktober) atau akhir musim hujan (Maret). Di lahan sawah, waktu tanam yang paling tepat adalah setelah padi rendengan atau padi gadu, yakni pada awal musim kemarau. Stek ditanam miring dengan kedalaman tanam 10-15 cm (4-6 ruas) dengan jarak tanam 10-15 cm.

5) Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan tanaman terdiri atas lima bagian yaitu penyulaman, pengairan, penyiangan dan pembumbunan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit.

a) Penyulaman

Penyulaman merupakan suatu kondisi dimana terdapat bibit yang mati atau tumbuh abnormal sehingga harus segera disulam (ditanam kembali) dan dilakukan sesegera mungkin.


(12)

12 b) Pengairan

Pemberian air dilakukan selama 15–30 menit hingga tanah (guludan) cukup basah, kemudian airnya dialirkan ke saluran pembuangan. Pengairan berikutnya masih diperlukan secara rutin hingga tanaman berumur 1-2 bulan. Pengairan dihentikan pada umur 2 – 3 minggu sebelum panen.

c) Penyiangan dan Pembumbunan

Penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan kored/cangkul pada umur 2,5 dan 8 MST (Minggu Setelah Tanam). Setiap satu bulan sekali dilakukan pembalikan tanaman untuk menghindari menjalarnya tanaman ke segala arah. Pembumbunan dapat dilakukan pada umur 2–3 minggu setelah tanam.

d) Pemupukan

Pemupukan ubi jalar dilakukan dua kali, pemupukan pertama saat tanam dengan 1/3 dosis pupuk nitrogen, 1/3 dosis kalium ditambah seluruh dosis fosfor. Pemupukan kedua, pada saat tanaman berumur 45 hari setelah tanam, dipupuk dengan 2/3 dosis nitrogen dan 2/3 dosis kalium. Dosis pupuk yang dianjurkan dalam usahatani ubi jalar adalah 45-90 kg N/Ha (100-200 kg urea/Ha) ditambah 25 kg P2O5/Ha (50 kg TSP/Ha), dan 50 kg K2O/Ha (100 kg KCl/Ha).

e) Pengendalian Hama dan Penyakit

Perlindungan tanaman dari OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dilakukan secara terpadu seperti berikut:

- Secara kultur teknis, diantaranya mengatur waktu tanam yang tepat, rotasi tanaman, sanitasi kebun, dan penggunaan varietas yang tahan hama dan penyakit. - Secara fisik dan mekanis, yaitu dengan memotong atau memangkas atau mencabut tanaman yang sakit atau terserang hama dan penyakit cukup berat, dikumpulkan dan dimusnahkan.

- Secara kimiawi yaitu dengan menggunakan pestisida secara selektif dan bijaksana.

6) Panen

Ubi jalar berumur pendek (genjah) dapat dipanen pada umur 3-3,5 bulan, sedangkan varietas berumur panjang (dalam) dipanen pada umur 4,5–5 bulan. Tahap-tahap panen ubi jalar adalah dengan memotong (pangkas) batang ubi jalar


(13)

13 dengan sabit atau parang, kemudian disingkirkan dan dilanjutkan menggali guludan dengan cangkul hingga terkuak ubinya, ubi tersebut diambil dan dikumpulkan ke tempat pengumpulannya, selanjutnya ubi dibersihkan dari tanah atau kotoran dan akar yang masih menempel, dan terakhir dilakukan seleksi dan sortasi.

Berdasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya, pemilihan lokasi penelitian mengenai ubi jalar dilakukan secara purposive karena lokasi tersebut merupakan sentra produksi ubi jalar (Khotimah 2010; Herdiman 2010; Defri 2011). Dikatakan sebagai sentra produksi ubi jalar karena baik dari segi luas areal, produksi, dan produktivitasnya tinggi.

Masyarakat di daerah penelitian membudidayakan ubi jalar karena faktor budaya dimana bercocok tanam ubi jalar sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka. Selain itu, kesesuaian agroklimat di daerah penelitian pun menjadikan ubi jalar banyak ditanam. Input yang digunakan dalam usahatani ubi jalar antara lain bibit, pupuk, obat-obatan, lahan, tenaga kerja, dan modal. Ubi jalar termasuk salah satu tanaman pangan yang mudah dibudidayakan bahkan di lahan kering masam. Usahatani ubi jalar di lahan kering masam mempunyai tingkat keuntungan, efisiensi ekonomi, dan daya kompetitif yang tinggi daripada usahatani kacang hijau, kacang tanah dan kedelai tetapi lebih rendah dari jagung (Krisdiana dan Heriyanto 2011).

Indikator yang penting untuk diperhatikan dalam budidaya ubi jalar adalah penggunaan sarana produksi, teknik budidaya, dan pemasaran (Herdiman 2010). Namun, selama ini budidaya ubi jalar masih dilakukan secara tradisional dan belum menerapkan teknik budidaya yang sesuai dengan teori dan anjuran penyuluh serta pola tanam yang dilakukan dalam usahatani ubi jalar adalah sistem monokultur (Khotimah 2010; Defri 2011). Budidaya yang dilakukan hanya berdasarkan pengalaman usahatani pada masing-masing petani. Budidaya ubi jalar dapat dilakukan secara organik ataupun konvensional seperti pada umumnya. Kelebihan budidaya ubi jalar secara organik adalah umbi lebih keras sehingga lebih cocok jika disalurkan ke pabrik keripik dan masa panennya pun dapat ditunda sampai usia tujuh bulan tanpa kebusukan pada umbi. Sedangkan budidaya ubi jalar secara konvesional dengan menggunakan pupuk kimia kelebihannya


(14)

14 adalah umbi cepat besar dan masa panen lebih cepat namun umbi cepat membusuk jika tidak segera dipanen (Herdiman 2010).

Bibit yang digunakan dalam usahatani ubi jalar dapat berasal dari hasil produksi sebelumnya, produksi petani lain, dan hasil pembibitan sendiri. Penentuan varietas tertentu yang ditanam di daerah penelitian karena varietas tersebut memiliki rasa yang manis, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama penyakit, harga jual tinggi, dan permintaannya di pasar selalu ada sepanjang tahun (Khotimah 2010; Defri 2011).

Ubi jalar dapat dipanen saat umur tanaman 4,5-6 bulan. Umur panen ubi jalar dipengaruhi oleh kebutuhan petani, harga jual, dan orientasi usahatani. Di Kabupaten Kuningan yang merupakan sentra ubi jalar terbesar di Jawa Barat, rata-rata produksi total ubi jalar sebesar 20.117,23 kg/ha (Khotimah 2010).

Hasil panen petani berupa ubi jalar segar langsung dijual kepada pedagang pengumpul, industri yang membutuhkan bahan baku ubi jalar atau dipasarkan langsung ke pasar induk setempat (Khotimah 2010; Defri 2011) dan juga kepada tengkulak seperti di Desa Gunung Malang (Defri 2011). Hal ini dikarenakan produk turunan dari ubi jalar belum banyak dilakukan oleh petani. Sistem penjualan ubi jalar terdiri atas dua jenis yaitu sistem borongan dan sistem bukti (Herdiman 2010; Defri 2011). Sistem borongan merupakan sistem penjualan per luas lahan, seperti yang dilakukan di Desa Purwasari sedangkan sistem bukti meupakan sistem penjualan dimana pembeli yang melakukan pemanenan seperti di Desa Gunung Malang.

Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usahatani ubi jalar adalah biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) seperti usahatani di Kecamatan Cilimus sebesar 49,40 persen dari biaya total (Khotimah 2010) dan sebesar 54,65 persen di Desa Purwasari (Defri 2011). Jumlah HOK yang digunakan dalam usahatani ubi jalar terdiri dari 54,75 HOK Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan 235,02 HOK Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) (Khotimah 2010).

Dilihat dari daya saingnya, budidaya ubi jalar menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi (Nurmala 2011; Khotimah 2010). Berbeda halnya dengan jenis umbian lain seperti talas misalnya. Penerimaan usahatani talas di Kecamatan Bogor Barat yaitu Rp. 18.250.592 per hektar dengan harga jual di


(15)

15 petani Rp. 1.448/umbi. Hal tersebut menyebabkan produksi talas mulai menurun karena kecilnya penerimaan yang diterima dan harga jual yang rendah. Pendapatan usahatani talas secara monokultur atas biaya total di Kecamatan Bogor Barat tidak menguntungkan atau rugi sebesar Rp 4.163.962 (Sari 2012). Hal ini disebabkan jumlah biaya yang diperhitungkan lebih besar dari jumlah biaya tunai. Jumlah biaya diperhitungkan yang besar dikarenakan penggunaan TKDK yang besar. Nilai R/C rasio atas biaya tunai usahatani talas sebesar 3,73 namun R/C rasio atas biaya total sebesar 0,81 artinya usahatani talas tidak menguntungkan untuk diusahakan.

Hasil analisis pendapatan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus menunjukkan bahwa pendapatan usahatani atas biaya tunai maupun biaya total lebih besar dari nol. Selain itu, nilai rasio R/C atas biaya tunai sebesar 1,67 dan rasio R/C atas biaya total 1,24 (Khotimah 2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar di lokasi penelitian menguntungkan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga dan di Desa Gunung Malang yang menguntungkan dilihat dari nilai rasio R/C atas biaya tunai ataupun biaya total lebih dari satu (Herdiman 2010; Defri 2011).

Berdasarkan peramalan yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu, diketahui bahwa produksi kuartalan ubi jalar nasional tiap musim dan tahun mengalami fluktuasi mengikuti fluktuasi produksi padi yang berkorelasi negatif, sama halnya juga dengan konsumsi ubi jalar. Artinya disaat produksi padi menunjukkan trend yang meningkat justru produksi ubi menunjukkan hasil sebaliknya yakni trend yang cenderung menurun. Sama halnya dengan konsumsi tahunan ubi jalar nasional yang mempunyai pola dengan trend cenderung menurun. Diramalkan produksi dan konsumsi ubi jalar sampai tahun 2016 belum bisa memenuhi target yang diharapkan (Aji 2008). Dari segi permintaan, petani dan konsumen pada umumnya lebih menyukai ubi jalar dengan varietas yang mempunyai tekstur kering, namun hingga saat ini belum dapat dipenuhi dikarenakan produktivitas yang masih rendah5.

5

Agusman. Prospek dan Potensi Ubi Jalar. http ://258-prospek-dan-potensi-ubi-jalar.htm. [Maret 2011].


(16)

16 2.2. Tinjauan Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Pendekatan stochastic frontier merupakan salah satu metode yang digunakan untuk melihat efisiensi dari suatu usahatani. Fungsi produksi stochastic frontier menggambarkan hubungan antara input yang tersedia dan output maksimum yang dapat dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam usahatani.

Pendekatan Stochastic Production Frontier telah digunakan oleh Aisah (2003) usahatani tomat di Desa Karawang Kecamatan Sukabumi; Astuti (2003) usahatani kentang di Desa Margamulya Kecamatan Pangalengan; Brahmana (2005) usahatani padi lahan kering di Desa Tanggeung Cianjur; Maryono (2008) usahatani padi program benih bersertifikat di Karawang; Hutauruk (2008) untuk usahatani padi benih bersubsidi di Karawang; Khotimah (2010) usahatani ubi jalar di Kuningan; Defri (2011) usahatani ubi jalar di Desa Purwasari Kabupaten Dramaga.

Pendekatan ini dipilih karena sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk linier (Maryono 2008; Hutauruk 2008; Khotimah 2010). Fungsi produksi

stochastic frontier dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor produksi yang mempengaruhi efisiensi teknis, dapat melihat efisiensi teknis usahatani dari sisi input, dan efek inefisiensi yang berkaitan (Maryono 2008; Hutauruk 2008). Dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier peneliti dapat mengetahui faktor produksi apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani serta bagaimana pengaruhnya terhadap usahatani.

Model yang digunakan adalah model fungsi Stochastic Production Frontier

Cobb-Douglas menggunakan parameter pendugaan Maximum Likelihood Estimated (MLE) (Haryani 2009; Khotimah 2010; Prayoga 2010). Salah satu keuntungan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale) (Maryono 2008). Parameter MLE digunakan untuk menggambarkan hubungan antara produksi maksimum yang dapat dicapai dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang ada. Faktor-faktor produksi yang dimaksud antara lain lahan, modal, tenaga kerja, dan manajemen atau


(17)

17 pengelolaan. Selain itu, fungsi produksi yang diestimasi menggunakan parameter pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) dapat mengidentifikasi faktor produksi juga dapat melihat efisiensi teknis petani dan efek inefisiensi yang berkaitan (Sukiyono 2005; Hutauruk 2008; Haryani 2009).

Untuk menduga output produksi suatu usahatani, diperlukan variabel-variabel faktor produksi tertentu. Beberapa variabel-variabel yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain luas lahan, jumlah benih/bibit, jumlah pupuk urea, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, jumlah tenaga kerja luar keluarga, pestisida (Sukiyono 2005; Hutauruk 2008; Maryono 2008; Haryani 2009; Nurmala 2011), pupuk daun, pupuk kandang (Sukiyono 2005; Khotimah 2010), dan nilai pengeluaran untuk irigasi pompa (Haryani 2009).

Menurut Hutauruk (2008); Maryono (2008); dan Haryani (2009), variabel yang berpengaruh nyata terhadap fungsi produksi usahatani padi antara lain luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk KCl, jumlah tenaga kerja luar dan dalam keluarga. Untuk obat hama penyakit menunjukkan hasil berbeda. Hasil penelitian Maryono (2008) menunjukkan obat hama penyakit berpengaruh nyata namun pada penelitian Hutauruk (2008) jumlah obat cair tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi.

Pada usahatani cabai merah oleh Sukiyono (2005), faktor penduga fungsi produksi frontier Cobb-douglas yang berpengaruh positif nyata adalah lahan, urea, KCL, dan pupuk kandang, sedangkan pupuk TSP dan tenaga kerja berpengaruh negatif nyata, serta pestisida dan benih tidak berpengaruh nyata. Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi ubi jalar adalah pupuk kandang, tenaga kerja, dan penggunaan pupuk KCL. Sedangkan yang tidak berpengaruh nyata adalah bibit, pupuk urea, dan TSP ( Nurmala 2011).

Penggunaan model stochastic frontier dimungkinkan untuk menduga ketidakefisienan suatu proses produksi tanpa mengabaikan galat dari modelnya (Sukiyono 2005). Dengan menggunakan model stochastic frontier, tidak diperlukan pembagian sampel. Pengukuran inefisiensi teknis dilakukan regresi secara terpisah. Dalam interpretasi hasil pengukuran dengan model stochastic


(18)

18

frontier, nilai tingkat inefisiensi merupakan nilai inefisiensi relatif yang diasumsikan paling efisien6.

2.3. Tinjauan Empiris Efisiensi dan Inefisiensi Teknis

Efisiensi merupakan hal penting dalam pengukuran keberhasilan pelaksanaan proses produksi. Efisiensi teknik yang tinggi berperan penting dalam upaya peningkatan keuntungan suatu usahatani. Farrell (1957) diacu dalam Tasman (2010), mengajukan pengukuran efisiensi yang terdiri dari dua komponen yaitu efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis merupakan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang tersedia sedangkan efisiensi alokatif merupakan kemampuan dari perusahaan menggunakan input dalam proporsi yang optimal sesuai dengan harga masing-masingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan menyediakan ukuran total efisiensi ekonomi.

Salah satu komponen dari pengukuran efisiensi ekonomi adalah efisiensi teknis. Suatu usahatani baru dapat dikatakan efisiensi ekonomi jika sudah mencapai efisiensi teknis (Sukiyono 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani tersebut sudah menggunakan input produksi yang dimiliki secara optimal. Haryani (2009) melakukan penelitian mengenai efisiensi usahatani padi sawah pada program pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa penyebab usahatani padi sawah efisien secara teknis adalah karena penggunaan input sudah optimal. Tujuan pengoptimalan penggunaan input tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan maksimal.

Namun, pada usahatani yang telah efisien secara teknis, belum tentu secara alokatif efisien. Penggunaan input meskipun efisien secara teknis tetapi tidak secara alokatif dapat dilihat dari nilai produk marjinalnya yang lebih rendah dibandingkan harga input (Hutauruk 2008). Menurut Bakhsoodeh dan Thomson diacu dalam Hutauruk (2008), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input untuk memproduksi sejumlah output pada

6

Jasmina dan Goeltom dalam Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia : Metode Pengukuran Fungsi Biaya Frontir. 2010


(19)

19 tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu.

Identifikasi efisiensi penggunaan sumberdaya merupakan isu penting berbagai peluang dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rumah tangga tani (Weersink, Turvey & Godah 1990 diacu dalam Adiyoga 1999). Untuk melihat efisiensi penggunaan faktor produksi dapat dilihat dari rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) yang harus sama dengan satu (Dumaria 2003).

Penelitian tentang efisiensi teknis usahatani yang telah dilakukan sebelumnya umumnya terdapat multikolineritas atau korelasi antar variabel, terutama lahan sehingga mereka merestriksi modelnya dengan mengelompokkan variabel yang ada menjadi variabel bebas dan variabel terikat. Seperti dalam Rachmina dan Maryono (2008) bahwa variabel luas lahan menimbulkan multikolinearitas pada model sehingga variabel luas lahan dijadikan pebobot pada variabel dependen maupun independen. Setelah model direstriksi, terbentuklah model baru, kemudian jika pada model tersebut masih terdapat multikolinier maka diretriksi kembali hingga didapatkan nilai R2 yang besar dan VIF lebih kecil dari 10 (Astuti 2003; Aisah 2003; Hutauruk 2008).

Variabel faktor produksi yang berpengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis adalah luas lahan, tenaga kerja, pupuk, dan insektisida (Astuti 2003, Aisah 2003, Brahmana 2005, Hutauruk 2008). Hal lain yang dapat mengindikasikan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani adalah dengan melihat faktor inefisiensi teknis usahatani. Beberapa penelitian mengenai efisiensi teknis menggunakan metode efek inefisiensi teknis. Metode efek inefisiensi teknis yang digunakan mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1998) (Hutauruk 2008; Maryono 2008; Khotimah 2010). Dalam model tersebut terdapat variabel µi yang berfungsi untuk menghitung efek inefisiensi.

Faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis beberapa komoditi dalam usahatani adalah pengalaman berusahatani, pendidikan, pendapatan di luar usahatani, dan kepemilikan lahan (Sukiyono 2005; Hutauruk 2008; Maryono 2008; Haryani 2009; Khotimah 2010). Hutauruk (2008) dan


(20)

20 Maryono (2008) menambahkan variabel umur bibit sedangkan Khotimah (2010); Haryani (2009); Sukiyono (2005) menambahkan umur petani sebagai variabel tingkat inefisiensi teknis. Selain itu, Khotimah (2010) juga menggunakan variabel pekerjaan petani di luar usahatani dan penyuluhan dalam analisa efisiensi teknis usahatani ubi jalar dan Maryono (2008) menambahkan rasio urea dan TSP, bahan organik, dan legowo.

Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya mengenai faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis beberapa komoditi dalam usahatani antara lain ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Faktor yang Diperkirakan Mempengaruhi Tingkat Inefisiensi Teknis Beberapa Komoditi dalam Usahatani

Peneliti Komoditas Variabel Produksi Pengaruhnya

terhadap Inefisiensi

Sukiyono (2005) Cabai merah

pendidikan formal umur

pengalaman

(+); nyata (-); tidak nyata (-); tidak nyata

Hutauruk (2008) Padi Benih Bersubsidi

umur bibit

pengalaman berusahatani pendidikan

status kepemilikan lahan pendapatan di luar usahatani

jarak tanam

(-); tidak nyata (-); nyata (-); tidak nyata (-); nyata (-); tidak nyata (-); tidak nyata Maryono (2008) Padi program benih bersertifikat pengalaman petani pendidikan formal petani umur bibit rasio urea-TSP bahan organik legowo (+); nyata (-); nyata (+); tidak nyata (+); nyata (+); nyata (+); tidak nyata Khotimah,H (2010) Ubi Jalar umur petani

pengalaman berusahatani pendidikan

pekerjaan petani di luar usahatani

pendapatan di luar usahatani kepemilikan lahan penyuluhan (-); nyata (+); nyata (-); nyata (+); nyata (-); nyata (+); nyata (-); tidak nyata Prayoga (2010) Padi

Organik lahan sawah

jumlah anggota keluarga usia produktif

frekuensi mengikuti penyuluhan

(-); nyata (-); nyata


(21)

21 Suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh positif (+) terhadap inefisiensi diartikan bahwa setiap peningkatan penggunaan variabel tersebut dalam usahatani menyebabkan tingkat inefisiensi semakin meningkat. Sebaliknya, suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh negatif (-) terhadap inefisiensi diartikan bahwa setiap peningkatan penggunaan variabel tersebut dalam usahatani menyebabkan penurunan terhadap tingkat inefisiensi.

Suatu variabel dikatakan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi diartikan setiap perubahan yang terjadi pada variabel tersebut baik berupa peningkatan atau penurunan akan berpengaruh pada peningkatan atau penurunan ketidakefisienan teknis suatu usahatani. Sebaliknya, jika suatu variabel dikatakan berpengaruh tidak nyata terhadap inefisiensi diartikan setiap perubahan yang terjadi pada variabel tersebut tidak akan berpengaruh pada peningkatan atau penurunan ketidakefisienan teknis suatu usahatani. Hal tersebut bisa terjadi karena penggunaan variabel tersebut dalam suatu usahatani sudah berlebihan sehingga peningkatan atau penurunan jumlahnya tidak mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani.


(22)

22

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Konsep Usahatani

Usahatani dapat diartikan sebagai kegiatan onfarm dari sistem agribisnis. Mosher (1966) diacu dalam Soeharjo (1973) menggambarkan istilah farm sebagai bagian dari permukaan bumi dimana seorang petani, suatu keluarga tani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Sejalan dengan hal tersebut, Rifai (1960) diacu dalam Soeharjo (1973) mendefinisikan ilmu usahatani sebagai ilmu yang mempelajari kesatuan organisasi dari alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan untuk mendapatkan produksi di lapangan pertanian.

Ilmu usahatani menurut Hernanto (1989) adalah ilmu yang mempelajari dengan lebih terperinci tentang masalah-masalah yang relatif sempit. Sedangkan menurut Daniel (2001), usahatani merupakan kegiatan mengorganisasi (mengelola) aset dan cara dalam pertanian. Diartikan pula sebagai suatu kegiatan yang mengorganisasi sarana produksi pertanian dan teknologi dalam suatu usaha yang menyangkut bidang pertanian. Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah 2009).

Usahatani terbagi menjadi dua, yakni usahatani subsisten dan usahatani komersial. Usahatani subsisten hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan usahatani komersial sudah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak. Secara umum, sebagian besar petani masih menerapkan pola subsisten yakni usahatani dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau belum sepenuhnya ditujukan untuk dijual ke pasar (pola komersial). Soekartawi (1986) mengatakan pola subsisten ini biasanya dilakukan oleh petani kecil. Usahatani tersebut memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya seperti kekurangan modal, pendapatan yang rendah, namun cara kerjanya tidak sama.


(23)

23 Tujuan petani kecil melakukan usahatani adalah menggunakan seefisien mungkin sumberdaya yang dimiliki.

Soeharjo (1973) membuat klasifikasi usahatani menjadi empat hal yaitu: (1) menurut bentuknya yaitu berdasarkan cara penguasaan unsur-unsur produksi dan pengelolaannya, dibedakan atas penguasaan faktor-faktor produksi oleh petani seperti usahatani perorangan, kolektif, dan koperatif. Usahatani perorangan merupakan usahatani yang penyusunan unsur-unsur produksi dan pengelolaannya dilakukan oleh seseorang. Usahatani kolektif merupakan suatu bentuk usahatani yang unur-unsur produksinya dimiliki organisasi secara kolektif baik dengan cara membeli, menyewa, menyatukan milik perseorangan, atau berasal dari pemberian pemerintah. Usahatani kooperatif merupakan bentuk peralihan antara usahatani perorangan dengan kolektif. Pada usahatani koperatif, tidak semua unsur-unsur produksi dikuasai bersama seperti lahan yang masih milik perseorangan.

(2) menurut coraknya yaitu berdasarkan tujuan ingin mencapai sesuatu dari hasil kegiatan usahanya, seperti usahatani yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (subsisten) dan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya (komersil).

(3) menurut polanya yaitu pola usahatani ditentukan menurut banyaknya cabang usahatani yang diusahakan. Berdasarkan hal tersebut, maka usahatani dapat dibedakan menjadi usahatani khusus yaitu apabila usahatani hanya mempunyai satu cabang usaha, usahatani tidak khusus saat petani mengusahakan beragam cabang usahatani, dan usahatani campuran yaitu suatu bentuk usahatani yang diusahakan secara bercampur baik sesama tanaman maupun tanaman dengan ternak. Usahatani campuran dikenal pula dengan istilah tumpang sari.

(4) menurut tipenya yaitu usahatani yang digolongkan dalam beberapa tipe jenis tanaman atau hewan yang diusahakan. Setiap daerah mempunyai kondisi yang berbeda satu sama lain baik perbedaan fisik, ekonomi, maupun perbedaan yang tidak termasuk pada keduanya.

Ilmu usahatani pada dasarnya memerhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya atau faktor produksi yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Menurut Daniel (2001) faktor produksi merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar proses produksi dapat berjalan. Faktor produksi dalam usaha


(24)

24 pertanian mencakup tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen. Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lain. Jika salah satu faktor produksi tidak tersedia, maka proses produksi tidak dapat berjalan. Hernanto (1989) menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatani :

1) Tanah

Tanah menjadi faktor kunci dalam usaha pertanian. Tanah diartikan bukan hanya terbatas pada wujud nyata tanah saja, namun juga diartikan sebagai tempat dimana usahatani dijalankan. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, kandang, kolam, dan sebagainya. Dengan mengetahui keadaan mengenai tanah, usahatani dapat dilakukan dengan baik. Faktor produksi tanah terdiri dari beberapa faktor alam lainnya seperti air, udara, temperatur, sinar matahari, dan lainnya. Keberadaan faktor produksi ini tidak hanya dilihat dari segi luas atau sempitnya, namun juga dari segi jenis tanah, jenis pengunaan lahan, topografi, kepemilikan/penguasaan lahan, fragmentasi lahan, dan konsolidasi lahan.

2) Tenaga kerja

Dalam ilmu ekonomi, kerja diartikan sebagai daya manusia untuk melakukan usaha atau ikhtiar yang dijalankan untuk memproduksi benda-benda (Soeharjo 1973). Tenaga kerja merupakan pelaku dalam usahatani untuk menyelesaikan beragam kegiatan produksi. Tenaga kerja dianggap sebagai faktor mutlak karena keberadaan dan fungsinya. Tenaga kerja adalah alat kekuatan dan otak manusia yang tidak dapat dipisahkan dari manusia dan ditujukan pada usaha produksi. Soeharjo (1973) membagi tenaga kerja dalam usahatani berdasarkan sumbernya menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK merupakan tenaga kerja dalam terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak sedangkan TKLK merupakan tenaga kerja luar keluarga yang dibayar.

3) Modal

Modal menjadi faktor produksi yang mutlak diperlukan dalam usahatani. Modal merupakan aset berupa uang atau alat tukar yang akan digunakan untuk pengadaan sarana produksi. Modal dapat dibagi dua, yaitu modal tetap dan modal


(25)

25 bergerak. Modal tetap adalah barang-barang yang digunakan dalam proses produksi yang dapat digunakan beberapa kali seperti mesin, pabrik, dan gedung. Modal bergerak adalah barang-barang yang digunakan untuk sekali pakai atau barang-barang yang habis digunakan dalam proses produksi seperti bahan mentah, pupuk, dan bahan bakar. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain atau kontrak sewa. Keberadaan modal sangat menentukan tingkat atau jenis teknologi yang akan digunakan serta dapat berakibat positif dan negatif bagi usahatani. Penggunaan modal berfungsi membantu meningkatkan produktivitas dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani.

4) Pengelolaan atau Manajemen

Manajemen/pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani bertindak sebagai pengelola atau manajer dengan menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dari usahanya. Faktor manajemen berfungsi untuk mengelola faktor produksi lain seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Pengelolaan faktor produksi yang dimaksud adalah memaksimalkan produk dengan mengombinasikan faktor produksi yang tersedia atau meminimal- kan faktor produksi tersebut dengan jumlah produk tertentu.

3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani. Soeharjo (1973) menyebutkan terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani, analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Soekartawi et al. (1986) mendefinisikan beberapa ukuran arus uang tunai, diantaranya sebagai berikut: 1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan

produk usahatani. Nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani.

2. Pengeluaran tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Nilai kerja yang dibayarkan dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani.


(26)

26 3. Selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani

disebut pendapatan tunai usahatani.

Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara harga jual yang diterima petani per satuan dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Penerimaan usahatani meliputi dua hal yaitu penerimaan tunai dan tidak tunai. Penerimaan tunai didapatkan dari hasil yang dijual sedangkan penerimaan tidak tunai adalah hasil yang dikonsumsi sendiri oleh petani. Penerimaan tunai usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai.

Soeharjo (1973) menjelaskan penerimaan usahatani berwujud tiga hal, yaitu hasil penjualan tanaman, ternak, ikan, atau produk yang akan dijual, produk yang dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan kegiatan, dan kenaikan nilai inventaris.

Istilah lainnya dalam penerimaan usahatani adalah pendapatan kotor usahatani. Pendapatan kotor usahatani merupakan nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual, mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit ataupun makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun (Soekartawi et al. 1986).

Pengeluaran atau biaya dalam usahatani terdiri atas dua hal yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan atau tidak tunai (Soekartawi et al. 1986). Biaya tunai merupakan pengeluaran uang tunai yang dikeluarkan secara langsung oleh petani. Biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran petani berupa faktor produksi tanpa mengeluarkan uang tunai. Soekartawi et al. (1986) juga menyatakan bahwa apabila dalam usahatani itu digunakan mesin-mesin pertanian, maka harus dihitung penyusutannya dan dianggap sebagai pengeluaran.

Penyusutan merupakan penurunan nilai inventaris yang disebabkan karena hilang, rusak, dan pengaruh umur atau karena digunakan (Soeharjo 1973). Untuk menghitung penyusutan didasarkan pada harga perolehan (cost) sampai dengan modal tersebut dapat memberikan manfaat (Suratiyah 2009). Soeharjo (1973) menyebutkan terdapat empat cara untuk menghitung penyusutan, yaitu (1) menghitung selisih antara nilai penjualan pada awal tahun dengan nilai penjualan pada akhir tahun, (2) menggunakan sistem garis lurus dimana penyusutan


(27)

27 dianggap sama besarnya untuk setiap saat. Besarnya penyusutan sama dengan harga pembelian dikurangi harga tidak terpakai dibagi dengan lamanya pemakaian, (3) menggunakan sistem penyusutan yang menurun, yaitu dengan menentukan persentase tertentu terhadap nilai pembelian yang telah dipotong penyusutan tahun sebelumnya, (4) menggunakan sistem sebanding dengan jumlah angka-angka tahun.

Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga. Pengeluaran total usahatani dipisahkan menjadi pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap. Pengeluaran tetap merupakan pengeluaran usahatani yang besarnya tidak bergantung kepada besarnya produksi. Pengeluaran tidak tetap atau variabel merupakan pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak dan jumlahnya berubah sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut.

Soekartawi et al. (1986) menyatakan selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usahatani. Soekartawi et al. (1986) mendefinisikan pendapatan usahatani sebagai kelebihan uang tunai usahatani ditambah dengan penerimaan tunai rumah tangga seperti upah kerja yang diperoleh dari luar usahatani.

Pendapatan bersih usahatani juga dapat diketahui melalui analisis R/C rasio. R/C rasio menunjukkan penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. Semakin besar nilai R/C menunjukkan bahwa semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.


(28)

28 Kegiatan usahatani dikatakan layak jika nilai R/C rasio menunjukkan angka lebih dari satu, artinya setiap penambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa tambahan biaya setiap rupiahnya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Jika nilai R/C rasio sama dengan satu artinya usahatani memperoleh keuntungan normal.

3.1.3. Konsep Fungsi Produksi

Fungsi produksi merupakan hubungan fisik atau hubungan teknik antara macam dan jumlah korbanan yang digunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan (Soeharjo 1973). Menurut Daniel (2001), fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan hasil fisik (output) dengan input. Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan cara menambahkan jumlah salah satu atau lebih dari input yang digunakan. Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fisik antara produksi/variabel yang dijelaskan (Y) dengan masukan/variabel yang menjelaskan (Xi). Variabel yang dijelaskan (Y) berupa produksi dan (Xi) berupa input produksi i, sehingga besar kecilnya Y bergantung dari besar kecilnya X1, X2, X3,.., Xm yang digunakan. Pengertian lain dari fungsi produksi adalah menunjukkan berapa output yang dapat diperoleh dengan menggunakan sejumlah variabel input yang berbeda. Secara aljabar hubungan Y dan X ditulis sebagai berikut :

Y = f {X1, X2,...,Xn} dimana : Y = produksi

X1 = input X1 X2 = input X2

Xn = input X yang ke-n

Masukan X1, X2, X3,...,Xm dikelompokkan menjadi dua yaitu input yang dapat dikuasai seperti luas tanah, jumlah pupuk, tenaga kerja, dan lainnya serta input yang tidak dapat dikuasai seperti iklim. Input yang digunakan dalam suatu fungsi produksi belum tentu digunakan pula pada fungsi produksi lainnya. Hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh input tersebut terhadap produksi.


(29)

29 Dalam memilih bentuk fungsi produksi sebaiknya secara teoritis model tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dapat diduga dengan baik dan mudah serta analisisnya memiliki implikasi ekonomi (Soekartawi 2002). Kurva produksi juga dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

B

Sumbu X menunjukkan besaran faktor produksi dan sumbu Y mengukur produksi total yang dihasilkan. Pada saat kurva PT (produksi total) berubah ke titik B maka saat itu kurva PM mencapai titik maksimum. Pada saat itu, law of diminishing returns mulai berlaku. Titik M menunjukkan titik dimana kurva PT mencapai maksimum. Pada saat bersamaan, kurva PM memotong sumbu X yaitu pada saat PM menjadi negatif. Produk marginal (PM) adalah tambahan satu satuan produksi atau hasil yang diperoleh akibat penambahan satu satuan input. Produk marginal dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Gambar 1. Hubungan antara produk total, produk rata-rata, dan produk marginal dalam proses produksi.

Sumber: (Coelli, et. al. 1998)

PTI

[y=f(x1| x2=x20]

Y

X1

0

0 X1

AP, MP

AP1

MP1


(30)

30 Produk marginal =

Namun, penambahan input tidak selamanya menghasilkan penambahan output. Apabila sudah jenuh (melewati titik maksimum) maka pertambahan hasil akan semakin kecil (law of diminishing returns). Artinya setiap penambahan satu unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut. Kemudian produk total (PT) adalah jumlah produk atau hasil yang diperoleh dalam proses produksi. Sedangkan produk rata-rata (PR) adalah perbandingan antara produk total dengan input produksi.

3.1.4. Konsep Efisiensi

Efisiensi merupakan faktor penting dalam menentukan produksi. Menurut Soekartiwi (2002), efisiensi diartikan sebagai upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Suatu hal dikatakan efisien jika dapat menghasilkan output lebih tinggi dengan penggunaan sejumlah input yang sama atau penggunaan input lebih rendah untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.

Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative efficiency), dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis tercapai saat sejumlah faktor produksi yang ada menghasilkan output yang tinggi, sedangkan efisiensi harga terjadi saat keuntungan tinggi yang diperoleh dari suatu usahatani disebabkan oleh pengaruh harga. Kemudian, efisiensi ekonomis merupakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Efisiensi ekonomis terjadi jika peningkatan hasil dari usahatani diperoleh dengan menekan harga faktor produksi dan menjual hasil tersebut dengan harga yang tinggi.

Pengukuran efisiensi yang diajukan oleh Farrell (1957) diacu dalam Coelli

et al. (1998) terdiri dari dua komponen: efisiensi teknis yang merefleksikan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang tersedia, dan alokatif efisiensi yang merefleksikan kemampuan dari perusahaan menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan

∆ Y


(31)

31 harga masing-masingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan menyediakan ukuran total efisiensi ekonomi. Ia juga menyarankan bahwa fungsi diestimasikan dari data sampel menggunakan non-parametric piece-wise-linear technology atau fungsi parametrik, seperti bentuk Cobb-Douglas.

Efisiensi teknis atau inefisiensi teknis usahatani ke-i diduga dengan menggunakan persamaan yang dirumuskan oleh Coelli et al. (1998) sebagai berikut:

TEi = = = exp(-Ui)

dimana yi adalah produksi aktual dari pengamatan dan yi adalah produksi frontier yang diperoleh dari fungsi produksi frontier stochastic.

3.1.5.Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Pendekatan stochastic frontier merupakan salah satu metode yang digunakan untuk melihat efisiensi dari suatu usahatani. Coelli et al. (1998) menyatakan terdapat dua metode pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi dari usahatani yaitu Stochastic Frontier dan Data Envelopment Analysis. Kedua metode tersebut dapat digunakan untuk mengukur perubahan teknis dan perubahan efisiensi jika panel data tersedia.

Perbedaan antara kedua metode tersebut adalah pada stochastic frontier

menggunakan metode parametrik yang berkaitan dengan pengukuran kesalahan acak dan menggunakan model ekonometrik sedangkan Data Envelopment Analysis menggunakan metode non parametrik dimana tidak mempertimbangkan adanya kesalahan acak dan menggunakan linier programming. Suliyanto (2005) mendefinisikan metode parametrik sebagai statistik inferensia yang membahas parameter-parameter populasi, digunakan jika data yang dianalisis berskala interval atau rasio dan distribusi datanya normal atau mendekati normal sedangkan metode non parametrik merupakan statistik inferensia yang tidak membahas parameter-parameter populasi, digunakan jika data yang dianalisis berskala nominal atau ordinal dan distribusi data populasinya tidak normal.

Fungsi produksi terdiri dari dua konsep yaitu fungsi produksi batas (frontier production function) dan fungsi produksi rata-rata. Beberapa fungsi produksi yang sering digunakan dalam penelitian antara lain fungsi produksi Cobb-Douglas,


(32)

32 fungsi produksi linier berganda, dan fungsi produksi transendental. Fungsi produksi stochastic frontier merupakan fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi. Karakteristik yang cukup penting dari model produksi frontier untuk mengestimasi efisiensi teknis adalah adanya pemisahan dampak dari goncangan/shok peubah eksogen terhadap output dengan kontribusi ragam/variasi dalam bentuk efisiensi teknis (Giannakas et al. 2003 diacu dalam Prayoga 2010). Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Jadi apabila suatu usahatani berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisiensi secarateknis.

Coelli et al. (1998) mengemukakan fungsi stochastic frontier merupakan perluasan dari model asli deterministik untuk mengukur efek-efek yang tidak terduga (stochastic frontier) di dalam batas produksi. Dalam fungsi produksi ini ditambahkan random error, vi, ke dalam variabel acak non negatif (non-negative random variable), ui, seperti dinyatakan dalam persamaan seperti berikut:

Yi = Xi + (Vi - Ui) dimana i = 1,β,γ….n

dimana :

Yit = produksi yang dihasilkan petani-i pada waktu-t

Xit = vektor masukan yang digunakan petani-i pada waktu-t it = vektor parameter yang akan diestimasi

Vit= variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal sebarannya simetris dan menyebar normal (Vit N(o, σv2|))

Uit= variabel acak non negatif dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis serta berkaitan dengan faktor-faktor internal dan sebaran U it bersifatsetengah normal (U it N(o, σv2|)

Random error, vi, berguna untuk menghitung ukuran kesalahan dan faktor acak lainnya seperti cuaca, iklim, hama penyakit, bersama-sama dengan efek kombinasi dari variabel input yang tidak terdefinisi di fungsi produksi. Variabel vi merupakan variabel acak yang bebas dan secara identik terdistribusi normal (independent-identically distributed atau i.i.d) dengan rataan bernilai nol dan ragamnya konstan. Variabel ui diasumsikan i.i.d eksponensial atau variabel acak


(33)

33 setengah normal (half-normal variables). Variabel ui berfungsi untuk menangkap efek inefisiensi teknis.

Model produksi frontier stochastic didasarkan pada model yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1991) yaitu TE effect model. Model ini menetapkan efek inefisiensi teknis dalam model bentuk frontier stochastic yang diformulasikan sebagai berikut:

µi = δ0 + ∑ Ziδ +Wi

µi adalah salah satu kesalahan baku yang menyusun error term dalam model yang menggambarkan ketidakefisienan teknik suatu usahatani dan bernilai positif, sehingga semakin besar nilai µi maka makin besar pula ketidakefisienan suatu usahatani, dimana Zi adalah variabel penjelas, δ adalah parameter skalar, dan Wi adalah variabel acak.

Spesifikasi asli mencakup fungsi produksi stochastic frontier dispesifikasi untuk data silang (cross-sectional data) yang mempunyai error term yang mempunyai dua komponen, satu disebabkan oleh random effects dan yang lain disebabkan oleh inefisiensi teknis. Data cross section merupakan data yang dikumpulkan dalam satu waktu tertentu pada beberapa objek untuk menggambarkan keadaan (Suliyanto 2005).

Jumlah observasi terpilih yang dihilangkan secara alami, diberi nama pendekatan probabilistic frontier. Metode ini dikenal sebagai stochastic frontier approach. Dalam model stochastic frontier, output diasumsikan dibatasi dari atas oleh suatu fungsi produksi stokastik.

Struktur dasar dari model stochastic production frontier dapat dilihat pada Gambar 2.


(34)

34 Gambar 2. Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Sumber: (Coelli, et. all. 1998)

Frontier output (yi*) merupakan hasil output batas (frontier) dari petani i

yakni melampaui nilai dari fungsi produksi f(x ). Penyebabnya adalah aktivitas

produksi yang dipengaruhi oleh kondisi menguntungkan, dimana variabel vi bernilai positif. Sebaliknya, Frontier output (yj*) merupakan hasil output batas (frontier) dari petani j yakni berada di bawah fungsi produksi f(x ). Penyebabnya

adalah aktivitas produksi yang dipengaruhi oleh kondisi tidak menguntungkan, dimana variabel vi bernilai negatif (Coelli et al.1998).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Menurut BPS (2012), laju pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya meningkat sebesar 1,49 persen. Hal tersebut secara langsung menyebabkan terjadinya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Untuk itu, kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pangan bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu solusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan. Namun, masyarakat saat ini belum memahami benar penganekaragaman pangan

Frontir output (Yi*), exp (xi + vi). If vi > 0

Production function,

Y = exp(x )

Frontir output (Yj*), exp (xj + vj). If vj < 0


(35)

35 berbasis potensi lokal. Hal ini dibuktikan dengan tingkat konsumsi pangan ideal untuk padi-padian masih melebihi kondisi ideal.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam Renstra tahun 2010-2014 menetapkan tujuh komoditas yang menjadi unggulan nasional, salah satunya adalah ubi jalar dimana produksinya selama periode 2005-2010 mengalami pertumbuhan positif. Ubi jalar berpotensi dikembangkan untuk mendukung program penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Potensi tersebut antara lain partisipasi masyarakat dalam mengkonsumsi ubi jalar tinggi, pertumbuhan produksi dan produktivitas ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011 terhadap 2010 bernilai positif, dan ubi jalar berpotensi menjadi komoditi ekspor Indonesia.

Salah satu daerah penghasil ubi jalar terbesar di Kabupaten Bogor adalah Desa Cikarawang. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam usahatani ubi jalar antara lain belum diterapkannya teknik budidaya dan penggunaan faktor produksi yang sesuai dengan teori dan anjuran, sehingga tingkat efisiensi teknis petani diduga belum optimal.

Mengingat ubi jalar merupakan salah satu komoditas unggulan nasional yang dapat meningkatkan ketahanan pangan maka diperlukan pencapaian efisiensi teknis agar menghasilkan output yang optimal. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi ubi jalar. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi produksi ubi jalar antara lain luas lahan, jarak tanam, tenaga kerja, penggunaan pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, dan jumlah pestisida. Kemudian akan dilihat nilai efisiensi teknis tiap individu petani dan serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis individu petani. Faktor yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis antara lain usia petani, tingkat pendidikan formal, pengalaman, keikutsertaan dalam kelompok tani, varietas yang ditanam, status petani dalam rumah tangga, status usahatani, status kepemilikan lahan, dan pola tanam. Adapun bagan kerangka pemikiran operasional disajikan pada Gambar 3.

Berdasarkan referensi yang ada maka penelitian ini menggunakan fungsi produksi stochastic frontier yang diestimasi menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE) untuk mengidentifikasi faktor produksi yang mempengaruhi


(36)

36 efisiensi teknis, melihat efisiensi teknis usahatani dari sisi input, dan efek inefisiensi yang berkaitan. Selain itu, fungsi produksi stochastic frontier

digunakan karena sederhana, dan dapat dibuat dalam bentuk linier. Variabel yang akan digunakan pada penelitian ini untuk menduga produksi ubi jalar luas lahan, jarak tanam, tenaga kerja, penggunaan pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, dan jumlah pestisida. Sedangkan variabel yang akan digunakan untuk menduga inefisiensi teknis ubi jalar adalah usia petani, tingkat pendidikan formal, pengalaman, keikutsertaan dalam kelompok tani, varietas yang ditanam, status petani dalam rumah tangga, status usahatani, status kepemilikan lahan, dan pola tanam.


(37)

37 Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional

Usahatani Ubi Jalar

1. Berpotensi menjadi komoditas pendukung program diversifikasi pangan berbasis potensi lokal

2. Ubi jalar termasuk 7 komoditas unggulan nasional 3. Produktivitas masih di bawah produktivitas nasional 4. Tingkat efisiensi teknis petani diduga belum optimal

Perlu Informasi Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Ubi Jalar

1.Faktor-faktor yang

mempengaruhi Produksi:

luas lahan, jarak tanam, tenaga kerja, jumlah pupuk kandang, pupuk N, pupuk P, dan pestisida.

Pendapatan Usahatani 1. Pendapatan Besih

Usahatani

2. R/C rasio atas Biaya Tunai dan R/C rasio atas Biaya Total

Efisiensi Teknis Usahatani Rekomendasi Usahatani yang

Efisien secara Teknis dan Memberikan Keuntungan Maksimum bagi Petani

Usahatani

1. Budidaya: pembibitan-panen 2. Penggunaan Sarana Produksi

Stochastic Production Frontier

P r o d u k s i

2.Faktor-faktor yang

mempengaruhi Efisiensi dan Inefisiensi Teknis:

usia petani, tingkat pendidikan formal, pengalaman, keikutsertaan dalam kelompok tani, varietas yang ditanam, status petani dalam rumah tangga, status usahatani, status kepemilikan lahan, dan pola tanam. Penerimaan Biaya


(38)

38

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan Kabupaten Bogor dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bogor merupakan sentra produksi ketiga ubi jalar di Jawa Barat (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011). Pemilihan Desa Cikarawang sebagai lokasi penelitian karena sebagian besar masyarakat di desa tersebut merupakan petani ubi jalar. Sedangkan pemilihan dusun lokasi penelitian dilakukan secara acak (random sampling) dari tiga dusun yang berada di Desa Cikarawang terpilih dua dusun yaitu Dusun Carang Pulang dan Dusun Cangkrang. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2012.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden yakni petani ubi jalar di dusun Carang Pulang dan Cangkrang di Desa Cikarawang. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuesioner. Data primer yang dikumpulkan adalah karakteristik responden dan karakteristik usahatani. Karakteristik responden yang dikumpulkan seperti nama, usia, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, keikutsertaan dalam kelompok tani, dan sebagainya. Data tersebut digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang kondisi petani ubi jalar di Desa Cikarawang. Adapun karakteristik usahatani ubi jalar digunakan untuk menganalisis efisiensi teknis penggunaan faktor produksi dan pendapatan usahatani. Karakteristik usahatani ubi jalar meliputi luas lahan yang ditanami ubi jalar, input-input produksi yang digunakan, serta produksi ubi jalar selama satu musim tanam pada akhir tahun 2011.

Data sekunder yang berhubungan dengan luas panen, produktivitas, produksi ubi jalar, dan hal lainnya diperoleh melalui buku, jurnal, skripsi, tesis, internet, instansi pemerintah terkait seperti Biro Pusat Statistik (BPS), BP3K Kabupaten Bogor, Badan Ketahanan Pangan (BKP), dan Pemerintah Desa Cikarawang.


(1)

100 Lampiran 7. Output Frontier 4.1 Cobb-Douglas

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal

data file = b-dta.txt the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.15646305E+01 0.63238341E+00 0.24741802E+01 beta 1 0.77955046E+00 0.11651197E+00 0.66907329E+01 beta 2 0.47402077E-02 0.43662874E-01 0.10856380E+00 beta 3 0.95086622E-01 0.16515517E+00 0.57574113E+00 beta 4 0.20910603E-01 0.35892061E-01 0.58259687E+00 beta 5 -0.67089973E-01 0.32809789E-01 -0.20448158E+01 beta 6 -0.76976047E-01 0.39488253E-01 -0.19493404E+01 beta 7 0.28053361E-01 0.29886929E-01 0.93864985E+00 sigma-squared 0.20197388E+00

log likelihood function = -0.17128106E+02 the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.22932925E+01 0.62809119E+00 0.36512095E+01 beta 1 0.79904093E+00 0.10999768E+00 0.72641619E+01 beta 2 -0.10633516E-02 0.31867162E-01 -0.33368257E-01 beta 3 0.18192212E+00 0.13922626E+00 0.13066653E+01 beta 4 0.61482233E-01 0.31699894E-01 0.19395091E+01 beta 5 -0.63903571E-01 0.29937151E-01 -0.21345909E+01 beta 6 -0.99588106E-01 0.35987243E-01 -0.27673169E+01 beta 7 0.21225518E-02 0.29337534E-01 0.72349359E-01 delta 0 0.12349210E+01 0.81411721E+00 0.15168836E+01 delta 1 -0.22024088E-01 0.10696798E-01 -0.20589421E+01 delta 2 -0.94417290E-02 0.25227724E-01 -0.37426004E+00 delta 3 0.84595768E-02 0.87830439E-02 0.96317141E+00 delta 4 0.66160053E+00 0.22411848E+00 0.29520124E+01 delta 5 -0.13323815E-01 0.25247062E+00 -0.52773723E-01 delta 6 0.26232518E+00 0.19160583E+00 0.13690877E+01 delta 7 -0.13666066E+00 0.15374437E+00 -0.88888232E+00 delta 8 0.90337597E-01 0.17140481E+00 0.52704235E+00 delta 9 0.23246404E+00 0.25732509E+00 0.90338663E+00 sigma-squared 0.95146750E-01 0.28309083E-01 0.33609972E+01 gamma 0.99999999E+00 0.42489306E-04 0.23535334E+05 log likelihood function = -0.79730133E+01


(2)

101 Lampiran 8. Output Frontier 4.1 Linier Berganda

Output from the program FRONTIER (Version 4.1c) instruction file = terminal

data file = a-dta.txt the ols estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 -0.45404992E-01 0.48189339E+00 -0.94222069E-01 beta 1 0.16182887E+02 0.15607741E+01 0.10368501E+02 beta 2 -0.51594744E-02 0.23416878E-01 -0.22033144E+00 beta 3 0.39958029E-01 0.12870683E-01 0.31045773E+01 beta 4 -0.76191003E-04 0.61867954E-03 -0.12315100E+00 beta 5 -0.10476762E+00 0.13788879E-01 -0.75979791E+01 beta 6 -0.23066665E+00 0.53178122E-01 -0.43376231E+01 beta 7 0.12502479E-01 0.84923740E-02 0.14722007E+01 sigma-squared 0.14818430E+01

log likelihood function = -0.52003917E+02 the final mle estimates are :

coefficient standard-error t-ratio

beta 0 0.58478542E+00 0.43504038E+00 0.13442095E+01 beta 1 0.15866282E+02 0.13320080E+01 0.11911552E+02 beta 2 -0.13346385E-01 0.18296637E-01 -0.72944470E+00 beta 3 0.36270559E-01 0.10782128E-01 0.33639516E+01 beta 4 0.46774556E-03 0.71302204E-03 0.65600435E+00 beta 5 -0.10471485E+00 0.11659904E-01 -0.89807645E+01 beta 6 -0.20899118E+00 0.49069053E-01 -0.42591239E+01 beta 7 0.13983410E-01 0.78310321E-02 0.17856407E+01 delta 0 0.56057301E+01 0.20176402E+01 0.27783597E+01 delta 1 -0.12222414E+00 0.39619305E-01 -0.30849643E+01 delta 2 -0.13877245E+00 0.11571339E+00 -0.11992774E+01 delta 3 0.73845877E-01 0.28428411E-01 0.25976083E+01 delta 4 -0.10117960E-01 0.86291313E+00 -0.11725352E-01 delta 5 -0.29344096E+00 0.10783107E+01 -0.27213025E+00 delta 6 0.80775514E+00 0.75184726E+00 0.10743607E+01 delta 7 -0.91948044E+00 0.65368281E+00 -0.14066156E+01 delta 8 0.11259729E+01 0.70635991E+00 0.15940499E+01 delta 9 -0.14551309E+00 0.99242179E+00 -0.14662424E+00 sigma-squared 0.74412895E+00 0.22678952E+00 0.32811434E+01 gamma 0.12498623E+00 0.34529814E+00 0.36196612E+00 log likelihood function = -0.43141106E+02


(3)

102 technical efficiency estimates :

firm year eff.-est. 1 1 0.60688775E+00 2 1 0.93108641E+00 3 1 0.95279773E+00 4 1 0.35201988E+00 5 1 0.47857353E+00 6 1 0.83299569E+00 7 1 0.19241129E+00 8 1 0.41374286E+00 9 1 0.41009902E+00 10 1 0.65233257E+00 11 1 0.13105300E+00 12 1 0.48312822E+00 13 1 0.47333914E+00 14 1 0.91350980E+00 15 1 0.79473209E+00 16 1 0.16678930E+00 17 1 0.73408890E+00 18 1 0.17034694E+00 19 1 0.19389374E+00 20 1 0.20707499E+00 21 1 0.95494074E-01 22 1 0.60495389E+00 23 1 0.83184963E+00 24 1 0.17838283E+00 25 1 0.92166984E+00 26 1 0.81293210E+00 27 1 0.28056510E+00 28 1 0.91998186E+00 29 1 0.15907751E+00 30 1 0.73151873E+00 31 1 0.89741584E+00 32 1 0.96603533E+00 33 1 0.39501732E+00 34 1 0.93047508E+00 35 1 0.93290755E+00


(4)

103 Lampiran 9. Foto Beberapa Kegiatan Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang


(5)

ii

RINGKASAN

FARAH RATIH. Efisiensi Teknis Usahatani Ubi Jalar di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan HARMINI).

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 persen per tahun menyebabkan terjadinya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pangan bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Salah satu solusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan dengan memanfaatkan pangan lokal yang ada seperti umbi-umbian.

Umbi-umbian termasuk dalam sub-sektor tanaman pangan. Sub-sektor tanaman pengan menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan dengan sub-sektor pertanian lainnya. Salah satu komoditas tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan adalah ubi jalar. Pertumbuhan produksi dan produktivitas ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011 terhadap 2010 bernilai positif jika dibandingkan dengan beberapa komoditi lainnya. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan ubi jalar sebagai produk olahan bernilai gizi tinggi seperti tepung ubi jalar dan secara ekonomis memiliki peluang pasar yang besar. Namun, budidaya yang selama ini dilakukan oleh petani ubi jalar diindikasikan masih belum efisien. Hal tersebut dilihat dari penggunaan sumber daya yang tidak sesuai anjuran sehingga menyebabkan tingkat pendapatan petani rendah.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang, (2) menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi ubi jalar di Desa Cikarawang, dan (3) menganalisis efisiensi teknis serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis petani ubi jalar di Desa Cikarawang.

Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Waktu pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2012. Responden penelitian ini sebanyak 35 orang petani ubi jalar yang menanam ubi jalar pada musim tanam akhir tahun 2011. Analisis dilakukan menggunakan pendekatan fungsi produksi Stochastic Frontier dengan metode pendugaan MLE.

Efisiensi biaya dapat diperoleh dari luasan lahan yang lebih besar. Pendapatan usahatani petani di daerah penelitian dengan luas lahan lebih dari 0,5 Ha lebih besar daripada luas lahan kurang dari 0,5 Ha baik atas biaya tunai maupun biaya total. Analisis R/C rasio pun menunjukkan nilai yang lebih besar pada luasan lahan lebih dari 0,5 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar di daerah penelitian menguntungkan untuk dilaksanakan karena nilai R/C rasio menunjukkan nilai lebih dari satu. Faktor – faktor yang mempengaruhi produksi ubi jalar di daerah penelitian adalah adalah luas lahan, tenaga kerja, penggunaan pupuk N, pupuk P, dan pestisida. Nilai rata-rata efisiensi teknis petani responden hanya sebesar 0,564 artinya rata-rata produktivitas ubi jalar yang dicapai petani adalah 56,4 persen dari produktivitas maksimum yang dapat dicapai dengan sistem pengelolaan yang terbaik. Hal ini berkaitan dengan sumber-sumber inefisiensi teknis yang berpengaruh terhadap inefisiensi teknis yaitu usia petani dan pengalaman.


(6)

iii Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat disampaikan antara lain (1) Sebaiknya petani yang belum bergabung dalam kelompok tani dapat bergabung dengan kelompok tani setempat agar dapat mempermudah pemerolehan input produksi, meningkatkan pengetahuan petani melalui penyuluhan, mempermudah pemasaran produk, dan memperkuat posisi tawarnya terhadap harga jual ubi jalar, (2) Disaat supply ubi meningkat di pasaran, petani sebaiknya memberikan nilai tambah pada ubi jalar dengan mengolahnya menjadi produk lain seperti tepung dan keripik ubi jalar sehingga petani dapat memperoleh tambahan pendapatan, (3) Sebaiknya pemerintah melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan dapat lebih mensosialisasikan teknologi budidaya ubi jalar sehingga dapat meningkatkan efisiensi teknis usahatani ubi jalar, (4) Untuk mengatasi hama lanas yang banyak menyerang ubi sebaiknya dilakukan pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis tanaman lain selain ubi jalar, (5) Pemerintah daerah sebaiknya mengatur sistem irigasi pertanian di wilayah penelitian terlebih setelah adanya pembangunan wisata setempat sehingga tidak berdampak pada produktifitas komoditas pertanian, dan (6) Penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis tingkat efisiensi alokatif dan ekonomis sehingga diperoleh analisis efisiensi yang lebih komprehensif.