Kerangka Pemikiran Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan (Studi di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Adanya sejumlah perubahan yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan, membawa perubahan pula pada pekerjaan-perkerjaan perempuan. Kelas sosial merupakan salah satu penentu penting dari adanya perubahan tersebut. Perempuan miskin yang bekerja sebagai buruh tani kehilangan pekerjaannya karena adanya mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau. Sebaliknya, bagi perempuan kelas menengah yang menanami tanahnya sendiri cukup diuntungkan, mekanisasi yang dibawa oleh Revolusi Hijau telah membebaskan mereka dari pekerjaan pertanian. Perempuan dari rumahtangga kaya jarang melakukan pekerjaan-pekerjaan pertanian karena lebih memusatkan diri pada pekerjaan rumahtangga Saptari dan Holzner 1997.

2.2 Kerangka Pemikiran

Industrialisasi pedesaan yang terjadi di Indonesia membawa sejumlah perubahan dalam masyarakat. Perubahan tersebut terutama dirasakan oleh perempuan. Munculnya industrialisasi pedesaan telah mempersempit peluang bagi perempuan dalam sektor pertanian karena adanya mekanisasi sistem pertanian Saptari dan Holzner 1997. Akan tetapi, sempitnya peluang di sektor pertanian tersebut mendesak perempuan untuk memasuki sektor non pertanian yang membutuhkan tenaga kerja perempuan, misalnya dalam sektor industri makanan, industri tekstil, dan industri kayu, rotan, bambu, dan gabus, serta perdagangan makanan dan minuman. Peluang pada sektor non pertanian tersebut telah meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan antara tahun 1961 dan 1985 Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992. Munculnya peluang kerja dan peluang usaha yang disebabkan oleh industrialisasi pedesaan turut mempengaruhi pola alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga. Perempuan tidak hanya mengerjakan pekerjaan reproduktif mengurus anak dan mengurus rumahtangga, tetapi juga perempuan memiliki kesempatan yang besar untuk masuk ke dalam sektor produktif menghasilkan uang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyingkiran perempuan dalam sektor produktif tidak terjadi dalam industrialisasi pedesaan. Masuknya perempuan dalam sektor produktif tidak terlepas dari pembedaan- pembedaan terhadap laki-laki. Perempuan yang bekerja dalam sektor produktif seringkali dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga ditempatkan sebagai buruh dengan curahan waktu yang tinggi, namun imbalannya rendah Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992. Dengan demikian, perempuan yang memasuki sektor produktif dapat dikatakan mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja. Selain itu, perempuan yang bekerja produktif seringkali bekerja pada pekerjaan- pekerjaan yang dianggap pantas dilakukan oleh perempuan, sesuai dengan stereotype yang ada dalam masyarakat. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian yang tinggi tetapi tidak membutuhkan tenaga yang besar, pengetahuan yang tinggi, dan pendidikan yang tinggi. Perempuan yang dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya karena adanya stereotiype tersebut menyebabkan perempuan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Dalam industrialisasi pedesaan, dimana teknologi pertanian telah mengalami mekanisasi, penumbukan padi dengan tangan yang biasanya dilakukan oleh perempuan, digantikan oleh penggilingan dengan menggunakan mesin, sehingga jutaan perempuan Jawa kehilangan pekerjaannya Saptari dan Holzner 1997. Sebelum terjadinya industrialisasi pedesaan, perempuan memiliki akses yang terbatas untuk memasuki sektor produktif, yang dapat terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang rendah pada tahun 1961 Wahyuni 1992 dalam Grijns dkk 1992. Rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor produktif tersebut telah membuat ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Rumahtangga laki-laki merupakan rumahtangga yang dominan laki-laki yang bekerja, sedangkan rumahtangga perempuan adalah rumahtangga yang dominan perempuan yang bekerja. Akan tetapi, setelah munculnya industrialisasi pedesaan, dimana perempuan memiliki peluang yang lebih besar untuk masuk ke sektor produktif, perempuan tetap mengalami pembedaan berupa pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja dan feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Pembedaan tersebut pada akhirnya tidak menghilangkan ketimpangan ekonomi yang dialami oleh rumahtangga laki-laki dan perempuan, justru menimbulkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan rumahtangga perempuan. Dalam mayarakat Indonesia sering dijumpai adanya struktur pelapisan sosial dalam masyarakat. Pelapisan tersebut didasari dalam konteks ekonomi. Pelapisan sosial membedakan seseorang berdasarkan status kekayaan yang dimiliki yang dapat dilihat dari kepemilikian benda-benda berharga. Pelapisan tersebut dibagi menjadi lapisan atas yang memiliki status kekayaan tinggi karena kepemilikan benda berharganya tinggi, lapisan menengah yang memiliki status kekayaan yang biasa saja karena kepemilikan benda berharganya yang lebih rendah dari lapisan atas tetapi lebih tinggi dari lapisan bawah, sementara lapisan bawah memiliki status kekayaan yang rendah karena rendahnya kepemilikan benda berharga yang dimiliki. Adanya struktur pelapisan dalam masyarakat tersebut memunculkan suatu pola alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga. Fakih 1996 menjelaskan hal tersebut menurut perspektif Feminisme Marxis, dimana menurut perspektif ini penindasan perempuan merupakan bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural, sehingga diperlukan penyelesaian yang bersifat struktural yaitu dengan melakukan perubahan struktur kelas. Perspektif ini meyakini bahwa emansipasi perempuan hanya terjadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti melakukan kegiatan reproduksi, dimana proses ini hanya dapat terjadi melalui industrialisasi. Berdasarkan perspektif tersebut diketahui adanya pembagian kerja menurut lapisan. Perempuan lapisan atas tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah karena segala kebutuhannya mampu dicukupi oleh kepala keluarganya, sehingga perempuan pada umumnya bekerja pada kegiatan reproduktif. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa perempuan lapisan atas mengalami penyingkiran dari pekerjaan produktif. Dengan adanya penyingkiran dari pekerjaan produktif tersebut menjadikan perempuan lapisan atas tergantung pada laki-laki kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga pengambilan keputusan dalam rumahtangga dilakukan oleh laki-laki. Penyingkiran dari pekerjaan produktif yang dialami oleh perempuan tersebut pada akhirnya menyebabkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara perempuan dan laki- laki, dimana perempuan tidak memiliki pengahasilan secara ekonomi sementara laki- laki yang boleh bekerja pada sektor produktif memiliki penghasilan secara ekonomi dari pekerjaannya tersebut. Pada lapisan menengah, yang memiliki aset benda berharga yang rendah, tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja karena pada umumnya setiap orang maupun rumahtangga memiliki kebutuhan tambahan sekunder dan tersier yang juga ingin dipenuhi. Oleh karena itu, perempuan memasuki sektor produktif untuk dapat memenuhi kebutuhan tambahan rumahtangganya tersebut. Akan tetapi, perempuan tetap mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja karena rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh perempuan lapisan menengah ini. Hal ini dapat terlihat dari penempatan perempuan dalam pekerjaan yang berstatus rendah dengan upah yang rendah pula jika dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, perempuan lapisan menengah juga mengalami pembedaan berdasarkan jenis pekerjaan. Stereotype yang ada dalam masyarakat menempatkan perempuan pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian tinggi dengan tenaga yang sedikit, berbeda dengan laki-laki yang ditempatkan pada pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan pendidikan yang tinggi, serta tenaga yang banyak. Adanya pembedaan ini menyebabkan perempuan mengalami feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin. Adanya pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja dan feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin yang dialami oleh perempuan lapisan menengah menimbulkan ketimpangan ekonomi antara rumahtangga laki-laki dan perempuan. Ketimpangan tersebut disebabkan oleh pembedaan yang dialami oleh perempuan dan laki-laki dalam sektor produktif. Perempuan memiliki akses yang rendah pada jenis pekerjaan tertentu yang memiliki status yang tinggi dengan imbalan yang tinggi, sehingga menyebabkan pendapatan rumahtangga perempuan memperoleh pendapatan yang lebih rendah dari rumahtangga laki-laki Perempuan lapisan bawah, yang tidak memiliki aset berupa benda berharga, mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya karena penghasilan laki-laki sebagai kepala keluarga tidak mencukupi kebutuhan rumahtangganya, sehingga perempuan sebagai sumberdaya tenaga kerja rumahtangga terdorong untuk memasuki sektor produktif dan memiliki kontribusi ekonomi bagi rumahtangganya. Akan tetapi, seperti yang juga dialami perempuan lapisan menengah, perempuan lapisan bawah pun mengalami pemusatan pada pinggiran pasar tenaga kerja karena terbatasnya keterampilan dan pendidikan mereka. Selain itu, perempuan lapisan bawah ini mengalami marginalisasi berupa feminisasi sektor produktif dan segregasi berdasarkan jenis kelamin dengan penempatan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang tinggi, tetapi dengan tenaga sedikit. Dengan marginalisasi yang dialami perempuan tersebut pada akhirnya menimbulkan pelebaran ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan karena upah yang diterima perempuan lebih rendah dari laki-laki. Penjelasan tersebut digambarkan dalam Gambar 1 berikut: Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : : Memiliki hubungan : Variabel yang dideskripsikan dan diuji hubungannya : Variabel yang memiliki kaitan tetapi tidak diuji hubungannya

2.3 Hipotesis Penelitian