Latar Belakang Marginalisasi Perempuan dalam Industrialisasi Pedesaan (Studi di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada September 2000, Indonesia turut menandatangani Deklarasi Milenium yang berisi komitmen untuk mencapai delapan tujuan pembangunan dalam milenium ini, atau yang disebut sebagai Millenium Development Goals MDGs. MDGs adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksakan kedelapan tujuan pembangunan. Salah satu dari tujuan MDGs adalah mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan Galus 2010. Adanya komitmen MDGs membuka peluang bagi perempuan untuk menyetarakan posisinya terhadap laki-laki, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan bagi perempuan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang juga turut meningkatkan peluang dalam memasuki sektor produktif seperti halnya laki-laki. Selain itu menurut Tambunan 1990, pembangunan Indonesia juga ditandai dengan munculnya industrialisasi pedesaan yang turut menyumbang bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa dan membuka lapangan kerja. Industrialisasi pedesaan merupakan usaha transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial Tambunan 1990. Salah satu bentuk industrialisasi adalah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau di Indonesia muncul pada tahun 1960-an. Munculnya Revolusi Hijau sebagai suatu cara untuk meningkatkan produksi padi telah meminggirkan perempuan. Peminggiran tersebut disebabkan oleh penggantian alat panen ani-ani menjadi sabit dan penggunaan mesin dross untuk perontokan padi telah membuat perempuan kehilangan pekerjaannya di sektor pertanian. Oleh karena itu, perempuan yang terpinggirkan tersebut menempuh strategi bertahan hidup dengan cara melakukan perubahan profesi menjadi pedagang, merantau ke luar negeri menjadi TKI, atau bekerja pada industri rumahan Tahir 2010. Dengan adanya Revolusi Hijau telah menggeser perekonomian masyarakat di Jawa Barat yang semula dominan hidup dari sektor pertanian, mengalami transisi menuju masyarakat yang hidup dari sektor industri BPS 1987. Transisi tersebut semakin membuka kesempatan bagi masyarakat desa untuk bekerja di sektor non pertanian yang juga berarti membuka peluang bagi perempuan untuk bekerja di sektor produktif non pertanian. Peluang bagi perempuan ini meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan di sektor non pertanian, sebagai contoh adalah di sektor industri pengolahan. Sajogyo 1983 menyebutkan adanya faktor yang menyebabkan peningkatan partisipasi perempuan di sektor industri pengolahan, yaitu faktor stereotype. Stereotype tersebut menganggap perempuan tekun dan teliti. Pada sektor industri seperti industri rokok, tekstil, konfeksi, dan industri makanan serta minuman sebagian menuntut ketelitian dan ketekunan yang sesuai dengan sifat perempuan. Selain itu, terdapat stereotype yang menganggap perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sehingga dapat dibayar murah dan mendorong pilihan pengusaha pada tenaga kerja perempuan. Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan menyebutkan empat hal pokok yang ingin dicapai: 1 laki-laki dan perempuan memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan, 2 laki- laki dan perempuan berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, 3 laki-laki dan perempuan memiliki kontrol yang sama atas sumberdaya pembangunan, dan 4 laki-laki dan perempuan memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan. Dengan kata lain, tercipta suatu kondisi kesetaraan gender. Akan tetapi hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Sakernas Tahun 2009, menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK laki-laki 85.93 persen yang lebih tinggi daripada TPAK perempuan 50.68 persen. Hal ini menunjukkan masih adanya pembatasan akses perempuan pada sektor produktif. Di sektor produktif, perempuan desa mengalami marginalisasi, dimana sebagian besar buruh pabrik adalah perempuan, khususnya yang berpendidikan rendah, sementara hampir tidak ada perempuan yang bekerja sebagai mandor. Di samping itu, upah yang diberikan untuk tingkat pekerjaan yang sama antara perempuan dan laki-laki diberikan secara berbeda, dimana laki-laki memperoleh upah yang lebih tinggi daripada perempuan dengan anggapan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama, padahal kondisi ekonomi rumah tangga di Indonesia, khususnya sejak dilanda krisis pada tahun 1997 lalu, memaksa perempuan tidak sekedar sebagai pencari nafkah tambahan, tetapi bahkan menjadi tulang punggung keluarga Kusdiansyah 2008. Dari data yang diperoleh Organisasi Pekerja Dunia ILO Tahun 2002 memperlihatkan pekerja perempuan di kebanyakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia mendapatkan bayaran yang lebih rendah dari laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama de Vries 2006. Kusdiansyah 2008 menyatakan bahwa terdapat pembagian kerja menurut gender yang juga berperan dalam marginalisasi perempuan. Kerja-kerja yang dianggap bersifat perempuan seperti mengetik sekretaris, menjahit, pembantu rumahtangga dan sebagainya dianggap lebih rendah derajatnya daripada pekerjaan laki-laki. Selain itu, perempuan yang bekerja tersebut mendapat perlakuan serta imbalan yang berbeda, sedangkan pekerjaan seperti mandor, manajer, direktur dan sebagainya dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki akses untuk menempati posisi-posisi pekerjaan tersebut. Selain adanya pembedaan yang dilakukan terhadap laki-laki dan perempuan, pembedaan sosial pun seringkali dialami oleh lapisan masyarakat tertentu. Lapisan masyarakat menurut Soekanto 1990 merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal dan dasar dari pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Selanjutnya Soekanto menyebutkan dasar pelapisan tersebut adalah ukuran kekayaan, kekuasaan, kehormatan, serta ilmu pengetahuan. Perempuan kaya memiliki modal untuk diinvestasikan dalam kios yang baik di pasar tetapi mereka lebih memilih mempunyai sebuah warung yang terletak di rumahnya sendiri daripada berjualan di tempat umum seperti pasar Nieuwhof 1988 dalam Grijns dkk 1992. Dengan adanya fakta-fakta yang telah dijelaskan di atas, perlu dikaji apakah selalu terjadi marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan dan bagaimana terjadinya marginalisasi perempuan pada setiap lapisan sosial.

1.2 Perumusan Masalah