UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari hasil absorbansi yang diperoleh, maka akan didapatkan nilai inhibisi, dan IC
50
dari ekstrak umbi talas jepang. Hasil absorbansi, inhibisi, dan IC
50
dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Nilai Absorbansi, Inibisi, dan IC
50
Ekstrak Talas Jepang Sampel
Konsentrasi
ppm Absorbansi
Inhibisi IC
50
ppm
Ekstrak Talas Jepang
100 0,472
13,075
1745,909 300
0,440 18,969
500 0,407
25,046 700
0,383 29,466
1000 0,357
34,254
Berdasarkan nilai pada tabel di atas, dapat diketahui nilai IC
50
dari ekstrak umbi talas jepang sebesar 1745,909 ppm.Berdasarkan literatur Bois, 1958 dalam
Angela, 2012, aktivitas antioksidan ekstrak umbi talas jepang termasuk dalam golongan lemah karena memiliki IC
50
200 ppm. Nilai tersebutjauh lebih tinggi dibandingkan estrak lain seperti ekstrak air kentang kuning 82,18 ppm yang juga
digunakan sebagai zat aktif dalam formulasi kosmetika anti-aging Angela, 2012. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak umbi talas jepang memiliki kemampuan
antioksidan yang jauh lebih rendah.Hasil tersebut mungkin disebabkan oleh kandungan polifenol yang terdapat pada sampel telah lebih banyak teroksidasi
sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivitas anti-aging dari ekstrak talas jepang bukan berasal dari kemampuannya sebagai antioksidan.
4.6 Formulasi Mikroemulsi
Mikroemulsi merupakan sediaan yang transparan, isotropik, dan stabil secara termodinamik yang terbuat dari surfaktan, minyak, dan air dengan atau
tanpa kosurfaktan. Mikroemulsi dipilih karena memiliki sifat termodinamis dan mendukung partisi ke dalam kulit serta dapat mengurangi penghalang difusi dari
stratum korneum dan menunjukan peningkatan dan efisiensi dalam penetrasi melalui kulit dibandingkan sediaan topikal lainnya Zhu dan Gao, 2008; Shetye
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dkk, 2010. Diperlukannya karakter ini dalam formulasi dikarenakan ekstrak umbi talas jepang yang digunakan sebagai zat aktif bersifat hidrofilik sehingga akan
sulit untuk berpenetrasi sebab kulit memiliki pertahanan yang sulit ditembus oleh molekul obat yang bersifat hidrofil Tranggono dan Latifah, 2007.
Mikroemulsi ekstrak umbi talas jepang dibuat dengan menggunakan minyak zaitun sebagai fase minyak.Minyak zaitun memiliki khasiat dan manfaat
bagi kesehatan kulit.Minyak zaitun dapat memberikan kelembaban untuk kulit. Minyak zaitun sangat kompatibel dengan pH kulit dan kaya akan vitamin dan zat-
zat bernutrisi lainnya yang dapat melembutkan dan melindungi kulit Smaoui, 2012.
Penentuan formula mikroemulsi dilakukan melalui uji pendahuluan menggunakan kombinasi surfakatan tween 80 dan span 80 dengan berbagai
variasi konsentrasi.Pada uji pendahuluan juga dilakukan penentuan jenis kosurfaktan propilen glikol, gliserin, etanol, dan PEG 400 serta konsentrasinya
yang dapat membentuk mikroemulsi yang jernih dan transparan.Uji pendahulan juga dilakukan untuk menentukan kondisi pembuatan, meliputi suhu, waktu, dan
kecepatan pengadukan. Kosurfaktan yang sering digunakan dalam mikroemulsi adalah alkohol
rantai pendek.Kosurfaktan digunakan untuk membantu menstabilkan mikroemulsi yang telah terbentuk Subramanian, 2005.Pemilihan beberapa kosurfaktan
tersebut didasarkan karena selain kosurfaktan tersebut dapat membantu kelarutan zat aktif dan juga dapat berfungsi sebagai sebagai peningkat penetrasi zat aktif ke
dalam kulit. Pada penelitian ini, digunakan surfaktan nonionik sebagai zat
pengemulsi.Surfaktan nonionik telah digunakan secara luas dalam sediaan topikal dan dikenal sebagai turunan polioksietilen yang tidak toksik dan tidak mengiritasi
kulit.Golongan surfaktan nonionik juga dapat meminimalisir terjadinya gangguan keseimbangan pada sistem mikroemulsi karena sifatnya yang tidak memiliki
muatan sehingga dapat mencegah terjadinya fluktuasi muatan pada sistem mikroemulsi.Golongan ini dapat mengurangi tegangan antarmuka sampai 1
dynecm
3
sehingga dapat mendukung terbentuknya mikroemulsi Martin, Swarbrick, dan Cammarata, 2008.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Minyak zaitun memiliki nilai HLB 7 dan untuk membentuk mikroemulsi tipe am dengan minyak zaitun diperlukan nilai HLB sekitar 6-9.Oleh karena itu
dibutuhkan jenis surfaktan nonionik yang memiliki nilai HLB yang lebih dekat dengan nilai HLB di atas, yakni tween 80 dan span 80 yang memiliki nilai HLB
untuk masing-masingnya sebesar 4,3 dan 15. Diharapkan dengan penggunaan surfaktan dengan nilai HLB yang lebih dekat dengan nilai yang diminta,
emulsifikasi akan lebih cocok. Tween 80 dan span 80 juga memiliki bentuk berupa cairan kental dalam suhu ruang sehingga tidak diperlukan suhu tinggi
untuk meleburkannya.Suhu tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada komponen senyawa yang ada pada ekstrak sehingga penggunaan suhu tinggi
dalam pembuatan mikroemulsi ini perlu dihindari. Penambahan tween 80 juga merujuk pada hasil studi pendahuluan yang menunjukan bahwa mikroemulsi yang
dibentuk hanya dengan menggunakan span 80 sebagai surfaktan tunggal menghasilkan pemisahan fase setelah 2 hari didiamkan. Hal tersebut menunjukan
bahwa penggunaan span 80 belum dapat membentuk mikroemulsi yang stabil sehingga diperlukan kombinasi dengan surfaktan lain. Tween 80 ditambahkan
dengan harapan dapat lebih banyak mengikat fase air sehingga penggunaan kombinasi span 80 dengan tween 80 dapat membentuk lapisan monomolekuler
yang lebih kompleks dan menghasilkan sediaan mikroemulsi yang lebih stabil.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.2 Bagan Optimasi Pembentukan Mikroemlsi
Pada uji pendahuluan, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan konsentrasi kombinasi surfaktan yang digunakan. Penggunaan surfaktan dimulai
pada konsentrasi yang terkecil, yakni span 80 10 dan tween 80 5. Kemudian diikuti dengan penambahan berbagai jenis kosurfaktan dengan konsentrasi awal
5. Optimasi konsentrasi terus dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi masing-masing kosurfaktan dan kemudian tween 80 hingga span 80 untuk
membentuk mikroemulsi yang jernih dan stabil. Apabila dengan meningkatkan konsentrasi tween 80 belum terbentuk mikroemulsi maka dilakukan peningkatan
konsentrasi span 80 hingga terbentuk mikroemulsi yang jernih dan transparan. Pada penentuan kosurfaktan, propilen glikol, gliserin, dan etanol
menghasilkan mikroemulsi yang keruh dan mudah terpisah.Sebaliknya, penggunaan PEG 400 dapat menghasilkan mikroemulsi yang jernih dan
Optimasi Formula Pembuatan Mikroemulsi
Konsentrasi Surfaktan Jenis Kosurfaktan
Propilen Glikol, Gliserin, Etanol, PEG 400
Terbentuk Mikroemulsi
Optimasi Kondisi Pembuatan
Suhu suhu ruang ±25
⁰C, 30- 5 ± ⁰C, 36-40 ±
⁰C Kecepatan
Pengadukan 300, 500, 750,
1000, dan 1500 rpm
Waktu Pengadukan 10, 20, 30, dan 40
menit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
transparan. PEG 400 dapat menghasilkan mikroemulsi pada konsentrasi 5 sedangkan jika konsentrasi PEG 400 dinaikan akan terbentuk mikroemulsi yang
akan terpisah jika didiamkan. Oleh sebab itu, dipilihlah konsentrasi 5 untuk PEG 400 sebagai kosurfaktan.Adapun hasil optimasi formula sediaan
mikroemulsi ekstrak talas jepang dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Hasil OptimasiFormula Sediaan Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas
Jepang Komposisi
Bahan Konsentrasi dalam Formula bv
A B
C D
E F
G H
I
Minyak Zaitun
36,5- 76,5
36,5- 76,5
36,5- 76,5
71,5- 76,5
46,5- 66,5
36,5- 66,5
51,5- 71,5
46,5- 60,5
41,5- 50,5
Vitamin E 0,5
0,5 0,5
0,5 0,5
0,5 0,5
0,5 0,5
Span 80 10-
40 10-
40 10-
40 10-
15 20-
40 10-
40 10-
20 21-
30 21-
30 Tween 80
- -
- -
- -
5-15 5-10
15 Propilen
Glikol 5-15
- -
- -
- -
- -
Gliserin -
5-15 -
- -
- -
- -
Etanol -
5-15 -
- -
- -
- PEG 400
- 5
5 5
5 5-15
5 5
5 Ekstrak
3 3
3 3
3 3
3 3
3 Akuades
5 5
5 5
5 5
5 5
5 Keterangan:
1. Formula A tidak menghasilkan mikroemulsi, berwarna kuning keruh, terdapat
endapan, dan memisah jika didiamkan. 2.
Formula B tidak tidak terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning keruh, terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan.
3. Formula C tidak terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning keruh, terdapat
endapan, dan memisah jika didiamkan. 4.
Formula D terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning jernih, terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan beberapa hari.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5. Formula E terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning jernih, tidak terdapat
endapan, dan memisah jika didiamkan beberapa hari. 6.
Formula F tidak terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning keruh, tidak terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan.
7. Formula G terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning kecoklatan dan jernih,
tidak terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan beberapa hari. 8.
Formula H terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning kecoklatan dan jernih, tidak terdapat endapan, dan memisah jika didiamkan.
9. Formula I terbentuk mikroemulsi, berwarna kuning kecoklatan dan jernih,
tidak terdapat endapan, dan tidak memisah didiamkan.
Hasil optimasi konsentrasi kombinasi surfaktan dan kosurfaktan pada uji pendahuluan
menunjukan bahwakonsentrasi
kombinasi surfakatan
dan kosurfaktan yang dapat membentuk mikroemulsi adalah tween 80 15, span 80
21-30, dan PEG 400 5. Berdasarkan hasil tersebut, maka dipilihlah konsentrasi surfaktan yang lebih rendah dengan komposisi formula, minyak zaitun
48,5, vitamin E 0,5, span 80 23, tween 80 15, PEG 400 5, ekstrak umbi talas jepang 3, dan akuades 5.
Hasil optimasi formula di atas digambarakan dengan menggunakan diagram fase pseudoterner. Diagram fase pseudoterner dibuat dengan komposisi:
a. Surfaktan: Span 80 dan Tween 80
b. Fase Minyak: Minyak Zaitun dan Vitamin E
c. Fase Air: Ekstrak Umbi Talas Jepang, PEG 400, dan akuades.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Diagram fase pseudoterner dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Keterangan: Emulsi No. 7
Emulsi No. 8 Mikroemulsi No. 9
Gambar 4.3 Diagram Fase Pseudoterner Mikroemulsi Ekstrak Umbi Talas
Jepang
Diagram fase pseudoterner menunjukan titik daerah terbentuknya mikroemulsi.Mikroemulsi terbentuk dengan rentang konsentrasi surfaktan 37-
40 kombinasi tween 80 15 dan span 80 21-30.Setelah didapatkan formula mikroemulsi yang sesuai, maka dilakukan optimasi kondisi pembuatan.
Pada optimasi sebelumnya, mikroemusi dibentuk pada suhu ruang ±25 ⁰C
dengan pengadukan menggunakan magnetic stirrer pada kecepatan 5 ±300 rpm selama ±60 menit. Optimasi ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi terbaik
dalam pembentukan mikroemulsi. Optimasi kondisi yang dilakukan meliputi suhu, kecepatan pengadukan,
dan lama pengadukan. Suhu yang digunakan adalah suhu ruang ±25 ⁰C, 30-35 ±
2 ⁰C, 36-40 ± 2 ⁰C dengan kecepatan pengadukan yakni 300, 500, 750, 1000, dan
1500 rpm serta lama pengadukan 10, 20, 30, dan 40 menit.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada penentuan suhu pembuatan, mikroemulsi terbentuk dalam waktu yang sangat lama pada suhu ruang sedangkan pada suhu 36-40 ± 2
⁰C terdapat endapan yang terbentuk.Hal ini mungkin disebabkan karena lapisan pelindung
yang terbentuk tidak cukup kuat untuk menghalangi terjadinya penggabungan dari fase dalam Leon, 1994 dalam Septianingrum 2013.Pada penentuan ini
didapatkan suhu 30-35 ± 2 ⁰C yang dapat membentuk mikroemulsi dalam waktu
yang lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Proses pengadukan konstan dalam optimasi ini dilakukan dengan
menggunakan homogenizer untuk menyesuaikan dengan volume mikroemulsi akan dibuat. Awalnya, pengadukan dilakukan pada kecepatan yang lebih rendah,
yaitu 300 dan 500 rpm, akan tetapi proses pendispersian berlangsung lama sehingga mikromulsi akan sulit terbentuk. Selanjutnya dilakukan pengadukan
dengan kecepatan 750 rpm.Pada kecepatan ini dapat dihasilkan mikroemulsi yang jernih dan transparan dalam waktu yang lebih cepat. Kemudian dicoba
peningkatan pengadukan kembali dengan asumsi mikroemulsi yang terbentuk akan lebih cepat terbentuk dari sebelumnya, yaitu dengan kecepatan 1000 dan
1500 rpm. Pada kecepatan pengadukan tersebut dihasilkan mikroemulsi yang berbusa dan akan terpisah menjadi dua lapisan jika didiamkan sehingga dapat
dikatakan mikroemulsi yang terbentuk tidak stabil. Pada pengadukan yang terlalu cepat akan terjadi turbulensi dimana tetesan-tetesan mikroemulsi akan semakin
mudah berbenturan dan mengakibatkan ukuran partikel mikroemulsi yang dihasilkan menjadi lebih besar Lachman et al, 1994. Adanya surfaktan pada
pengadukan yang terlalu cepat akan menghasilkan busa yang lebih banyak Jufri M, 2009 dalam Septianingrum 2013.
Pengadukan dilakukan selama 30 menit sebab dengan waktu kurang dari 30 menit masih terdapat butir-butir fase terdispersi sehigga belum dapat
membentuk mikroemulsi.Waktu pengadukan yang lebih dari 30 menit menyebabkan terbetuknya kabut pada sediaan sehingga sediaan menjadi keruh.
Hal tersebut membuktikan bahwa lamanya pengadukan akan mempengaruhi pembentukan mikroemulsi. Jika pengadukan terlalu lama, maka mikroemulsi yang
tadinya jernih akan menjadi keruh karena terbentuknya kabut halus akibat penggumpalan partikel-partikel terdispersi yang saling bertumbukan Lachman
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dkk, 1994.Hasil dari optimasi penetuan kondisi pembentukan mikroemulsi dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Optimasi Kondisi Pembentukan Mikroemulsi
Kondisi Pembuatan Hasil
Suhu
⁰C
Suhu ruang ± 25 ⁰C
Tidak membentuk mikroemulsi
31-35 ± 2 Terbentuk mikroemulsi yang jernih
dan transparan. 36-40 ± 2
Terbentuk endapan
pada mikroemulsi.
Kecepatan
Pengadukan rpm
±300 dan ±500 Tidak terbentuk mikroemulsi.
±750 Terbentuk mikroemulsi yang jernih
dan transparan ±1000 dan ±1500
Terbentuk mikroemulsi dengan busa yang banyak dan cepat terjadi
pemisahan.
Waktu Pengadukan
menit
10-20 Belum terbentuk mikroemulsi.
±30 Terbentuk mikroemulsi yang jernih
dan transparan. 30
Mikroemulsi yang terbentuk menjadi berkabut.
Berdasarkan optimasi yang telah dilakukan dalam uji pendahuluan, maka didapatkan formula dan kondisi terbaik untuk membentuk mikroemulsi ekstrak
umbi talas jepang.Formula inilah yang nantinya akan dievaluasi secara fisik. Adapun formula dan kondisi terbaik tersebut dapat dilihat pada tabel 4.8.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.8 Formula dan Kondisi Terbaik Pembentukan Mikroemulsi Ekstrak Umbi
Talas Jepang
Hasil Optimasi Terbaik Fomula
Minyak zaitun 48,5 Vitamin E 0,5
Span 80 23 Tween 80 15
PEG 400 5 Ekstrak umbi talas jepang 3
Akuades 5
Kondisi Pembentukan Suhu 30-35 ± 2
⁰C Kecepatan pengadukan 750 rpm
Lama pengadukan ±30 menit
4.7 Evaluasi Fisik Mikroemulsi