Kebijakan Amerika Serikat Untuk Memenuhi Kepentingan Ekonominya Melalui Trans Pacific Partnership Periode 2011-2013

(1)

2011-2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

oleh:

ANDRI

109083000032

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Skripsi ini menjelaskan mengenai kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership (TPP) pada tahun 2011-2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan apa saja yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk bisa memenuhi kepentingan ekonominya pada negosiasi perdangangan bebas TPP di kawasan Asia Pasifik. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara.

Kerangka teori yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah teori neoliberal institusionalisme yang dijelaskan oleh Keohane untuk melihat peran institusi dalam menciptakan kerjasama, teori comparative advantage untuk mengetahui pentingnya perdagangan bebas untuk kesejahteraan ekonomi, konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri untuk mengetahui faktor dan tujuan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan. Dari hasil analisa penulis menggunakan kerangka teori diatas, dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat telah menggunakan TPP sebagai instrumen untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang efisien dan rasional.

Penulis menemukan bahwa Amerika Serikat telah melakukan beberapa upaya agar bisa memaksimalkan keuntungannya di TPP, sehingga kepentingan ekonominya terpenuhi. Kebijakan yang digunakan oleh Amerika Serikat adalah mengusulkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nasionalnya dalam proses negosiasi TPP dan menambah keanggotaan institusi tersebut agar membuka pasar yang lebih luas dengan mengarahkan pembahasan forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) ke TPP disaat negara tersebut menjadi host economy pada tahun 2011 dan mengundang negara-negara di Asia Pasifik untuk bergabung dengan negosiasi kerjasama abad ke 21 tersebut.


(6)

vi

nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.

Penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini, tanpa ada dukungan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan beribu-ribu terimakasih kepada kedua orang tua beserta uda-uda dan uni-uni yang selalu memberikan berbagai bentuk dukungan kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak A. Alfajri, MA selaku dosen pembimbing yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, motivasi, saran, dan masukan sehingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.

Terimakasih juga kepada Bu Rahmi Fitriyanti dan Bu Mutiara Pertiwi selaku dosen penasehat akademik, Pak Febri Dirgantara selaku dosen penguji, serta seluruh dosen dan staf Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengetahuan selama penulis menimba ilmu di kampus ini.

Penulis juga berterimakasih kepada Amrullah Rafioeddin, sebagai sahabat terbaik yang membantu penulis dalam banyak hal positif, serta sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka duka perkuliahan dan penulisan skripsi: Edwin Saputra, Fajar Shidiq, Dafi Hifzillah, Arif Rahman, Corryatul Filacano, Muhammad Nabil dan Team MAPOKUS 20.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih juga kepada rekan-rekan Hubungan Internasional 2009 A yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembelajaran hingga melalui proses sidang DPS dan sidang skripsi, special mention kepada: Waliyuddin, Robi, Deden, Imam Ojal, Vina, Andi, April, Wati, Hafiz, Agus, Kikay, Fuzi, Enny, Eky, Helmi, Ardhy, Wilda, Eca, Azay, Atina, Aqid, Friska, Nyimas, Abe, Myu, Kasyfi, Ibin, Daus dan Aqmal.

Serta tidak lupa kepada rekan-rekan yang selalu memberikan dukungan, inspirasi, dan aura positif disaat melalui proses pembelajaran dan pembuatan


(7)

vii

Terimakasih juga kepada seluruh kolega dari berbagai organisasi yang pernah penulis geluti selama berada di uni-life. Global Citizen Corps dengan proyek-proyek sosial dan Qatar experience-nya, Indonesian Student Association For International Studies dengan Model United Nations, International Weeks, ISAFISian quality time-nya, Himpunan Mahasiswa Islam dengan ilmu dan pembelajarannya, dan last but not least, International Studies Club dengan seluruh semangat dan kegiatan-kegiatannya.

Harapan penulis, semoga Allah membalas semua dukungan dan kebersamaan tersebut dengan kebaikan. Mengutip sabda Rasulullah Muhammad SAW, ﺱﺎ ﻟﻠ ﻢﻬﻌﻔ ﺃ ﺱﺎ ﻠﺍ ﺮﻴﺧ. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dengan berbagai kekurangannya. Wallahu’alam.

Jakarta, Desember 2013 Andri


(8)

viii

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 11

1. Perspektif Neoliberal Institutionalisme ... 11

2. Teori Comparative Advantage ... 13

3. Kepentingan Nasional ... 14

4. Kebijakan Luar Negeri ... 15

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT DAN KEIKUTSERTAANNYA DI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP ... 19

A. Gambaran Perekonomian Amerika Serikat ... 19

B. Krisis Finansial 2007 ... 22

C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership ... 26


(9)

ix

BAB II TRANS PACIFIC PARTNERSHIP ... 34

A. Sejarah Trans Pacific Partnership: TransPacific Strategic Economic Partnership ... 34

B. Potensi Trans Pacific Partnership ... 40

1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomiannya ... 41

2. Perjanjian Abad 21 dan Sindrom Noodle Bowl ... 43

C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation ... 46

BAB IV KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT UNTUK MEMENUHI KEPENTINGAN EKONOMINYA MELALUI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP PERIODE 2011-2013... 49

A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 2011-2012 ... 50

B. Menambah Keanggotaan TPP ... 53

1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011 ... 56

2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP ... 62

a. Korea Selatan ... 63

b. Indonesia ... 64

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... xi LAMPIRAN-LAMPIRAN


(10)

x


(11)

xi

Gambar I.A Gross Domestic Product Amerika Serikat 2007-2010 (Milyar) ... 5

Gambar II.A Ekspor Impor (Barang dan Jasa) Amerika Serikat ... 21

Gambar II.C.4 Gross Domestic Product Cina ... 32

Gambar III.C.2 Noodle Bowl di Asia Pasifik ... 44

Gambar IV.B Trans Pacific Partnership Tahun 2010 ... 54


(12)

xii

APEC : Asia Pacific Economic Cooperation ASEAN : Asoociation of South East Asian Nations DDA : Doha Developement Agenda

FED : the Federal Reserve

FTAAP : Free Trade of the Asia-Pacific

GATT : General Agreement on Tariffs and Trade GDP : Gross Domestic Product

NAFTA : North Amerika Free Trade Agreement OPEC : Organization of the Petroleum Countries

P4 : Pacific 4

SOM : Senior Official Meeting TPP : Trans Pacific Partnership

TPSEP : Trans Pacific Strategic Economic Partnership UNSD : United Nations Statistic Division

USTR : United States Trade Representative WTO : World Trade Organization


(13)

xiii

Lampiran 1. Outlines of the Trans Pacific Partnership Agreement... xviii Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan analis senior APEC Carlos Kuriyama.. xxiii Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Prof. Peter A. Petri ... xxv Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan pimpinan Temasek Foundation Centre for


(14)

1

A. Pernyataan Masalah

Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Bukti kekuatan ekonomi itu terlihat dari data statistik yang dikeluarkan oleh World Bank (2013) bahwa sejak tahun 1961 hingga 2012, Gross Domestic Product (GDP) Amerika Serikat selalu mengalami pertumbuhan dan juga mempunyai jumlah terbanyak dari seluruh negara di dunia dengan $539 milyar pada tahun 1961 dan $16.244 milyar pada tahun 2012 (n.h). Untuk mencapai kemakmuran itu, Amerika Serikat sudah melakukan perdagangan internasional sejak dahulu. Seperti yang dijelaskan oleh the United States Trade Representative (USTR) bahwa proses pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan telah dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1934 dan berperan penting dalam perkembangan dan kemakmuran Amerika Serikat (Representative 2013: n.h).

Jika dilihat dari masa ke masa, fokus kebijakan ekonomi internasional Amerika Serikat terus berubah. Bergsten (2005) menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi. Pada tahun 1960an, kebijakan ekonomi internasional Amerika Serikat terpusat ke Eropa dikarenakan saat itu kawasan tersebut merupakan kawasan industri dunia. Pada tahun 1970an fokus Amerika Serikat berpindah ke negara-negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dikarenakan terjadinya krisis minyak dunia. Tahun 1980an, dengan munculnya dua negara industri yaitu Korea Selatan dan Taiwan,


(15)

fokus Amerika Serikat pun beralih ke dua negara tersebut. Tahun 1990an berpindah ke Meksiko melalui North America Free Trade Agreement (NAFTA) dan negara kawasan Asia Pasifik melalui forum Asia Pacific Economic Cooperasion (APEC) (h.51). Pada tahun 2000an hingga tahun 2010an, fokus Amerika Serikat masih berada di kawasan Asia Pasifik.

Williams (2012) menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik mempunyai 40% populasi dunia dan lebih dari setengah GDP dunia. Pada tahun 2010, lebih dari tiga perempat negara kawasan Asia-Pasifik mengalami pertumbuhan GDP di atas 3%, mencapai pertumbuhan GDP Amerika Serikat (h.2). Cossa, Glosserman, McDevitt, Patel, Przystup dan Roberts (2009) juga menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik saat itu telah menjadi kawasan penting bagi Amerika Serikat daripada sebelumnya. Geopolitik berpindah semakin cepat sebagai akibat dari krisis ekonomi global yang terjadi (h.9). Namun APEC bukanlah satu-satunya wadah Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik. Institusi internasional lainnya adalah Trans Pacific Partnerhsip (TPP). Seperti yang dijelaskan oleh USTR (2011) bahwa TPP adalah elemen kunci dari strategi administrasi Obama untuk membuat keterlibatan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik menjadi prioritas utama (n.h).

TPP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang masih berada dalam proses negosiasi yang dibuat oleh beberapa negara anggota APEC. Namun, walaupun TPP masih berada dalam proses negosiasi, sebenarnya perjanjian perdaganan bebas ini merupakan pengembangan dan lanjutan dari perjanjian yang sudah berlaku diantara empat negara, yaitu Brunei Darussalam, Singapura, Chili,


(16)

dan Selandia Baru yang dikenal dengan nama Trans Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP). Selain itu pada tahun 2011, TPP mengeluarkan garis besar institusi ini, sehingga memberikan gambaran mengenai latar belakang, instrumen, konsep, dan tujuan dari negosiasi perdagangan ini. Beberapa tujuan dari kerjasama ekonomi ini adalah membentuk area perdagangan bebas antara negara anggota, seperti yang terdapat dalam pembukaan perjanjian TPSEP bahwa tujuan dari kerjasama ini adalah: mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama di antara anggota melalui liberalisasi dan investasi untuk menciptakan kemitraan strategis di kawasan Asia Pasifik, membangun aturan jelas terkait perdagangan, dan sebagainya (TPSEP 2005:1-2).

Mengenai sejarah TPSEP dan peralihannya menjadi TPP, Kuriyama (2011) menjelaskan bahwa saat Leader’s Summit APEC di Meksiko pada tahun 2002, pemimpin negara dari Singapura, Chili, dan Selandia Baru mengumumkan bahwa mereka akan melakukan negosiasi untuk pembuatan perjanjian perdagangan bebas. Negosiasi negara-negara tersebut berlangsung sejak September 2003 hingga Juli 2005 dengan menghasilkan TPSEP. Sedangkan Brunei Darussalam baru mengikuti proses negosiasi TPSEP sejak pertemuan kedua pada Juli 2004 sebagai observer dan akhirnya menyatakan diri bergabung dengan kerjasama tersebut pada April 2005. Setelah TPSEP berjalan, beberapa negara APEC lainnya tertarik untuk bergabung dengan perjanjian tersebut. Gabungan antara negara TPSEP dan beberapa negara APEC lainnya ini lah yang kemudian disebut dengan TPP (h.5-8).


(17)

Amerika Serikat merupakan negara APEC pertama yang mengumumkan diri untuk melakukan engagement dengan TPSEP pada tahun 2008 (Office of the USTR 2008: n.h). Namun, kebijakan Amerika Serikat tersebut menimbulkan pertanyaan, mengingat perundingan pembentukan kerjasama tersebut sudah dimulai sejak tahun 2002 dan Amerika Serikat baru bergabung pada 2008. Salah satu hal yang bisa menjelaskan hal tersebut adalah fenomena yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yaitu krisis finansial yang sudah bermula sejak tahun 2007.

Bagi Amerika Serikat, krisis finansial dapat mengganggu kestabilitasan negaranya. Seperti yang dijelaskan oleh Nanto (2009) bahwa gejolak keuangan menyinggung kepentingan nasional mendasar untuk melindungi keamanan ekonomi Amerika Serikat. Gema krisis finansial tidak hanya dirasakan di Wall Street dan Main Street saja tetapi juga berdampak pada ekspor dan impor, tingkat pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (h.3). Media Masa Amerika Serikat, New York Post melaporkan bahwa krisis finansial telah membuat Amerika Serikat kehilangan $12,8 triliun perekonomiannya dengan 23,1 juta pengangguran, $19 triliun jumlah kekayaan yang lenyap, 46,2 Juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan (Kennan 2012: n.h).

Selain itu, krisis finansial juga mengakibatkan terjadinya resesi di Amerika Serikat. Seperti yang digambarkan oleh Gambar I.A bahwa GDP Amerika Serikat yang awalnya berjumlah $14.720 milyar pada tahun 2008 menurun menjadi $14.418 pada tahun 2009. Sehingga berdasarkan kepada peristiwa yang terjadi di


(18)

Amerika Serikat tersebut, ia harus segara membangkitkan lagi perekoniannya untuk mengembalikan kesejahteraannya.

Gambar I.A Gross Domestic Product Amerika Serikat 2007-2010

(Milyar)

Sumber : World Bank 2013

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sejak dahulu Amerika Serikat mengandalkan pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan untuk meningkatkan perekonomiannya. Dikarenakan Amerika Serikat tengah berada dalam keadaan krisis ekonomi pada tahun 2008, dan di saat itu terdapat TPP yang merupakan kerjasama ekonomi yang mempunyai konsentrasi utama dalam hal liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Pasifik, maka keputusan Amerika Serikat untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut adalah untuk memulihkan kembali perekonomian negaranya yang rusak akibat krisis finansial yang bermula pada tahun 2007. Dengan kata lain, TPP akan menjadi wadah bagi Amerika Serikat untuk melebarkan perdagangan internasionalnya, agar stagnansi perekonomian yang dialaminya bisa teratasi. Hal ini terlihat dari pidato Susan C.

$14.480

$14.720

$14.418

$14.958


(19)

Schwab, pejabat USTR pada tahun 2008 saat mengumumkan keikutsertaan Amerika Serikat di TPSEP:

“… to announce the launch of negotiations for the United States to join the comprehensive Trans Pacific Strategic Economic Partnership Agreement. …at a time when attention is focused on the challenges confronting the financial markets and our economy…… We need to ensure that our trade will continue to expand so that it can contribute to U.S. economic growth in the future. Strengthening our economic ties to the Trans Pacific region is vital to achieving this goal because of the economic significance of this region now and in the future. (USTR 2008)”

“…untuk mengumumkan peluncuran negosiasi Amerika Serikat dalam Trans Pacific Strategi Economic Partnership Agreement.…pada saat ini perhatian fokus pada tantangan yang dihadapi pasar finansial dan perekonomian kami.. Kami perlu memastikan bahwa perdangannya kami akan terus melakukan ekspansi sehingga bisa berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kedepannya. Memperkuat hubungan ekonomi kami ke kawasan trans pacific adalah hal penting untuk mencapai tujuan ini dikarenakan signifikansi ekonomi kawasan ini pada saat ini dan masa mendatang”.

Hal ini menjadi menarik mengingat Amerika Serikat sudah mempunyai 20 perjanjian perdagangan bebas bilateral dan anggota perjanjian perdagangan multilateral World Trade Organization (WTO), Amerika Serikat justru tertarik untuk bergabung dengan TPP. Profesor Bernard K. Gordon (2012), menjelaskan bahwa Amerika Serikat memerlukan TPP dikarenakan negara tersebut memerlukan kerjasama ekonomi yang lingkupannya tidak terlalu multilateral seperti WTO dan tidak sekecil bilateral. Mengingat negosiasi Doha Developement Agenda di WTO yang sudah berlangsung selama 12 tahun namun belum


(20)

memberikan hasil dan keuntungan perjanjian bilateral yang tidak maksimal (h. 1-2).

Menurut Petri, Plummer, dan Zhai (2011) kepentingan Amerika serikat di TPP adalah pertama, TPP akan menciptakan kesepakatan ekonomi yang komprehensif (mencakup isu-isu yang tidak ada dari Doha Round seperti jasa, investasi, kompetisi, dan regulasi yang koheren) dan bentuk perjanjian yang modern sebagai alternatif kesepakatan di Kawasan Asia Pasifik yang melibatkan Amerika Serikat. Kedua, TPP akan mendorong integrasi lebih dalam di Kawasan Asia Pasifik. Ketiga, TPP akan menyediakan model yang bisa mengkonsolidasikan perjanjian perdagangan yang ada sehingga bisa memetakan jalan keluar dari the Noodle Bowl, yaitu perjanjian perdagangan internasional yang terlalu banyak sehingga tidak terorganisir (Baldwin 2008:47), yang ada di Asia Pasifik dan sekitarnya. Keempat, TPP akan membantu memperluas pasar ekspor Amerika Serikat ke Asia (h. 6-7).

Namun, ternyata TPP mempunyai kekurangan yang membuat Amerika Serikat tidak bisa sepenuhnya mencapai tujuannya, terutama pembukaan pasar dan perluasan perdagangan ke kawasan Asia Pasifik. Kekurangan tersebut yakni sedikitnya negara kawasan yang bergabung dengan TPP. Walaupun TPP merupakan kerjasama ekonomi yang dibuat oleh negara anggota APEC dan merujuk kepada Artikel 20.6 perjanjian TPSEP bahwa semua negara anggota APEC dan negara lainnya boleh bergabung, namun hingga tahun 2010 hanya terdapat sembilan dari 21 negara APEC yang mengikuti negosiasi kerjasama


(21)

ekonomi tersebut, yaitu: Australia, Selandia Baru, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Chili, Peru, Vietnam, dan Amerika Serikat itu sendiri.

Amerika Serikat tentunya tidak bisa memenuhi kepentingan ekonominya secara maksimal di kawasan Asia Pasifik melalui TPP dengan sumber daya yang terbatas. Di samping negara anggota TPP yang hanya berjumlah sembilan negara, Amerika Serikat juga sudah mempunyai perjanjian perdagangan bebas bilateral dengan empat negara anggota, yaitu: Singapura, Australia, Chili, dan Peru. Dengan kata lain, kesempatan Amerika Serikat untuk melakukan perdagangan bebas melalui TPP di kawasan Asia Pasifik hanya terbuka ke Selandia Baru, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam.

Keempat negara tersebut cukup potensial bagi Amerika Serikat untuk melakukan perdagangan bebas. Melihat dari data perdagangan Amerika Serikat ke negara-negara tersebut, secara kuantitas perdagangan masih sedikit dan bahkan defisit. Seperti ekspor yang dilakukan Amerika Serikat ke Brunei Darussalam hanya sebanyak 0,2 milyar dan Selandia Baru hanya senilai 3,6 milyar. Sedangkan terjadi defisit perdaganan dengan Malaysia senilai 11,6 milyar dan dengan Vietnam senilai 13,1 milyar (Fergusson 2012:1). Sehingga dengan perdagangan bebas bisa membuat penambahan kuantitas dan pengurangan defisit perdagangan.

Namun, jika dilihat dari jumlah perdagangan Amerika Serikat ke TPP hanya sebesar 5% pada tahun 2010. Potensinya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan perdaganan Amerika Serikat ke negara Asia Pasifik yang berjumlah 56% (Williams 2012:8). Sehingga Amerika Serikat perlu memikirkan dan mengeluarkan beberapa upaya yang membuat TPP menjadi instrumen penting


(22)

bagi negara tersebut dalam memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kepada kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan kekurangan yang dimiliki oleh kerjasama ekonomi Trans Pacific Partnerhsip tersebut, maka penulisan penelitian ini akan dibatasi dari tahun 2011 hingga 2013 dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Apa kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership (TPP) pada periode 2011-2013?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa upaya dan kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik dengan menggunakan Trans Pacific Partnership sebagai instrumennya, mengetahui peran Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dan Trans Pacific Partnership, dan mengetahui kontribusi perspektif neoliberal institutionalisme, teori comparative advantage, kepentingan nasional dan konsep kebijakan luar negeri dalam melihat permasalahan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hubungan Internasional terutama dalam hal kebijkan luar negeri, studi kawasan Asia Pasifik, dan politik global Amerika Serikat.


(23)

D. Tinjauan Pustaka

Pembahasan mengenai kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik adalah hal yang sudah lazim dibahas, baik dari segi politik, ekonomi, stratejik, dan sebagainya. Namum belum terlalu banyak penelitian yang lebih fokus mengenai kepentingan ekonomi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dan Trans Pacific Partnership. Pembahasan beberapa tinjauan pustaka tentang Amerika Serikat dan TPP di bawah ini diharapkan dapat memperlihatkan bahwa penelitian ini tidak hanya menarik untuk dibahas, tapi juga penting untuk dilakukan.

Studi yang dilakukan oleh Ian F. Ferguson dan Bruce Vaughn pada Desember 2011 dalam tulisan “Trans Pacific Partnership Agreement”, menjelaskan TPP secara umum serta tujuan dan kepentingan Amerika Serikat bergabung dengan TPP. Studi tersebut juga menjelaskan mengenai bidang-bidang yang menjadi fokus Amerika Serikat di perjanjian tersebut serperti produk pertanian, kekayaan intelektual, lingkungan, buruh, dan sebagainya. Studi ini sering di-cited oleh beberapa buku dan tulisan yang membahas mengenai Amerika Serikat dan TPP.

Pada September 2012, Ian F. Ferguson juga melakukan penelitian dengan William Cooper, Remy Jurenas, dan Brock R. William dalam tulisan “The Trans Pacific Partnership Negotiations and Issues for Congress”. Studi ini membahas TPP dalam beberapa hal serperti TPP dan kebijakan perdagangan Amerika Serikat, TPP dan perjanjian perdagangan Asia Pasifik lainnya, TPP dan WTO, dan sebagainya. Studi ini juga menjelaskan bagaimana hubungan perekonomian antara


(24)

Amerika Serikat dan negara TPP lainnya, bagaimana substansi dari negosiasinya, area-area yang menjadi bahan negosiasi, dan bagaimana domestik merespon TPP tersebut.

Studi lainnya dilakukan oleh Brock R. Williams pada Februari 2012 dengan

tulisannya ‘Trans Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and Economic Analysis’. Studi ini menjelaskan kepentingan ekonomi Amerika Serikat di Trans Pacific Partnership dengan memberikan analisis ekonomi komparatif dari negara-negara yang sedang melakukan negosiasi dengan institusi tersebut.

Penelitian ini menganalisa kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik dengan menggunakan TPP sebagai instrumen utamanya. Penelitian ini tentunya akan berbeda dengan penelitian sebelumnya, di samping karena belum ada studi dan penelitian yang membahas hal ini, studi ini bersifat deskriptif analitis dan menggunakan perspektif neoliberal institusionalisme, teori comparative advantage, kepentingan nasional, dan konsep kebijakan luar negeri.

E. Kerangka Pemikiran

Untuk membantu membentuk kerangka berfikir yang akademis dalam mendudukan dan menjawab masalah penelitian yang telah dirumuskan, penelitian ini menggunakan perspektif neoliberal institusionalisme, teori komparative advantage, konsep kepentingan nasional, dan kebijakan luar negeri.

1. Perspektif Neoliberal Institutionalisme

Perspektif neoliberal institusionalisme berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institusi sebagai instrumen utamanya dengan


(25)

negara sebagai aktor utama. Institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan praktek-praktek yang menetukan peran, memaksakan tindakan, dan membentuk pengharapan (Keohane 1989:3). Menurut neoliberal institusionalisme sifat dasar interaksi antara negara yakni kompetitif dan kadang-kadang terjadi konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama pada bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya (Keohane 1989:3).

Perspektif neoliberal institusionalisme mebantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama (Keohane 1989:2). Mengenai institusi ini, kaum neoliberal institusionalisme percaya akan asumsi rasionalitas. Sehingga negara sebagai aktor utama yang rasional akan lebih memilih bekerjasama daripada berkonflik, karena dengan bekerjasama mereka saling mendapatkan keuntungan. Dengan adanya kerjasama tersebut, maka akan tercipta interdependensi yang merupakan refleksi dari perdamaian.

Aktor rasional (individu maupun negara) diasumsikan bersifat atomistik, mementingkan diri sendiri, dan rasional. Aktor akan mementingkan diri mereka sendiri untuk memenuhi kepentingannya dan ia juga rasional yang mampu membangun cara yang paling efektif dan efisien untuk mewujudkan kepentingan mereka dalam kendala yang mereka hadapi (Burchill 1996:192). Dikarenakan aktor rasional itu bersifat profit-seeking, maka ia akan melakukan kalkulasi untung dan rugi dalam mengambil suatu kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang mendapatkan keuntungan yang maksimal (Snidal 2002:75).

Sebagai pendekatan yang penuh dengan teori untuk menganalisa Hubungan Internasional seperti yang telah penulis jabarkan di atas, teori ini menggunakan beberapa asumsi, pertama, neoliberal institusionalisme menganggap negara sudah dan masih menjadi aktor yang penting dalam Hubungan Internasional (Keohane 1989:1). Kedua, teori ini sangat menilai penting peranan dari institusi. Ketiga,


(26)

negara sebagai aktor yang utama merupakan aktor rasional. Keempat, perilaku negara sebagai aktor utama dipengaruhi beberapa faktor seperti sistem internasional, insentif, dan interdependensi (Keohane 1989:3).

2. Teori Comparative Advantage

Teori comparative advantage berasal dari pemikiran dari David Ricardo yang berargumen bahwa suatu negara akan mendapatkan keuntungan jika dapat menghasilkan atau memproduksi sesuatu yang dibutuhkan secara efisien daripada negara lain, dan akan mendapatkan keuntungan juga jika melakukan spesialisasi dalam produksi dan menggunakan keuntungan dari spesialisasi tersebut untuk membeli hal-hal yang diinginkan di tempat atau negara lain (Patrick Love dan Lattimore Ralph 2009: 26). Kemampuan negara dalam memproduksi barang dan jasa secara efisien (dengan harga yang murah) dapat menjadi faktor pendukung untuk melakukan perdagangan (Burchill 1996: 73)

Menurut teori comparative advantage, perdagangan bebas bagaimanapun adalah cara yang lebih damai untuk mencapai kekayaan nasional. Masing-masing negara akan lebih baik secara ekonomi dengan melakukan perdagangan bebas daripada negara tersebut berusaha untuk mandiri (tidak melakukan perdagangan) dengan alasan nasionalisme (Burchill 1996: 63).

Perdagangan bebas juga akan menyatukan domestik dan menyatukan berbagai individu-individu dalam satu komunitas. Hal ini dikarenakan hambatan perdagangan telah mendistorsi persepsi dan hubungan antar individu sehingga menyebabkan ketegangan internasional. Sedangkan perdagangan bebas akan memperluas jangkauan dan mendorong pertemanan di tingkat internasional. Menurut Kant, seperti yang dikutip Burchil (1996), perdagangan tanpa hambatan


(27)

antara bangsa di dunia akan menyatukan mereka dalam suatu kerjasama yang damai. Demikian pula Ricardo percaya bahwa perdagangan bebas mengikat negara dalam kebersamaan (h.63).

3. Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional oleh kaum neoliberal berakar dari konsepsi Adam Smith bahwa kebiasaan individu meraih kemakmuran sendiri merupakan kondisi yang normal dalam kehidupan manusia. Lalu kepentingan masing-masing individu tersebut terakumulasi menjadi satu yang kemudian dikenal dengan kepentingan nasional. Kepentingan nasional itu juga menjadi dasar untuk pembangunan kedamaian global, salah satunya dengan melakukan perdagangan bebas (Burchill 2005:104).

Kaum Neoliberal Institusional juga mengadopsi pemahaman kaum realis dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Kaum realis seperti Rosenau (2006) menjelaskan bahwa kepentingan nasional juga dikenal dengan istilah national honor, the public interest, dan the general will (h.247). Selain itu Holsti (1992) menyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan alat untuk menganalisis tujuan dari kebijakan luar negeri suatu negara (h.168). Rosenau (2006) juga menyatakan bahwa konsep ini digunakan sebagai alat analisa kebijakan luar negeri dan sebagai instrumen tindakan politik internasional. Sebagai alat analisis, Ia digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, atau mengevaluasi sumber atau kecukupan kebijakan luar negeri suatu negara. Sebagai instrumen dari tindakan politik internasional, ia berfungsi sebagai sarana membenarkan, mencela, atau mengusulkan kebijakan (h.246).


(28)

Perbedaan mendasar antara kaum realis dan neoliberal dalam hal penerapan kepentingan nasional. Kaum realis berasumsi bahwa aktor concern dalam hal memaksimalkan relative gains mereka, yaitu keuntungan yang didapatkan negara bersifat relatif, tergantung dari berapa besar kontribusi yang diberikan suatu negara. Neoliberal Institusionalisme berasumsi bahwa dalam hal memenuhi kepentingan nasional, aktor negara concern dalam hal memaksimalkan absolut gains, yaitu keuntungan yang sama didapatkan oleh masing-masing negara dalam suatu kerjasama (Burchill 2005: 122).

Keohane juga mengkritik pandangan kaum realis mengenai pemahaman implementasi kepentingan nasional, terutama pandangan Morghentau yang mengatakan bahwa kepentingan nasional lebih didahului daripada tujuan atau kepentingan internasional. Menurutnya, Morghentau melihat kepentingan nasional secara dangkal, tanpa memperhatikan efek dari tindakan aktor pada isu-isu atau nilai-nilai lain, atau dengan cara yang lebih berpandangan jauh, dengan mempertimbangkan dampak melanggar aturan dan norma-norma internasional oleh tujuan negara lain. Hal yang terpenting adalah bagaimana kepentingan didefinisikan, dan bagaimana institusi mempengaruhi negara untuk mendefinisikan kepentingan mereka sendiri (Keohane 2005: 99-100).

4. Kebijakan Luar Negeri

Secara umum, kebijakan luar negeri merupakan suatu upaya, perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional (Yani, 2007:1). Kaum liberalis memberikan kontribusi dalam kebijakan luar


(29)

negeri untuk menjelaskan bagaimana individu, kekuatan sosial (kapitalisme dan pasar), dan institusi politik bisa memberikan efek langsung kepada hubungan luar negeri (Smith, Hadfield, dan Dunne 2008: 54).

Keohane seperti yang di kutip oleh Carlsnaes (2008) menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan luar negeri sebagai proses pembatasan pilihan pada negara untuk bertindak secara rasional dan strategis, dimana pembatasan ini bukan dalam hal kapabilitas power yang dihadapi negara di internasional, tetapi dalam hal sistem anarkis yang menumbuhkan ketidakpastian. Oleh karena itu masalah keamanan, harus tetap dipengaruhi oleh penciptaan rezim untuk memberikan informasi dan aturan umum, sehingga mendorong kerjasama internasional (h.121).

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik studi pustaka. Menurut Prof. Dr. Sugiyono (2009), metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, yang mana seorang peneliti diagggap sebagai instrumen kunci (h.9). Pendapat lain, Dr Husaini Usman (2009) menyatakan bahwa alat pengumpul data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif adalah peneliti. Jadi, seorang peneliti merupakan key instrument dalam pengumpulan data dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti obeservasi partisipasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian Kualitatif pada dasarnya dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan juga berupa data yang umumnya bersifat kualitatif (h.78). Menurut Hendrarsono (2010), pada dasarnya proses


(30)

pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak bersifat kaku, melainkan selalu disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Selain itu juga, hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak dapat dipisahkan (h.169).

Skripsi ini menggunakan data premier dari website resmi pemerintahan Amerika Serikat, APEC, dan institusi-institusi lain yang penulis bahas dalam penelitian ini. Selain itu, data dikumpulkan melalui wawancara dengan staf dan senior analis APEC, Carlos Kuriyama, yang telah menerbitkan beberapa penelitian, salah satunya the Mutual Usefulness between APEC and TPP, kontributor analis di Peterston Institute for International Economic Prof. Peter A. Petri yang telah mengeluarkan beberapa penelitian terkait TPP, salah satunya The Trans Pacific Partnership and Asia-Pacific Integration: A Quantitative Assessment, dan Kepala Temasek Foundation Centre for Trade & Negotiations of Rajaratnam School of International Studies, Deborah K. Elms, yang telah mengeluarkan puluhan tulisan terkait TPP.

Skripsi ini juga menggunakan data dari media-media internasional dan lokal, jurnal-jurnal terkait yang telah penulis kumpulkan dari Information Research Center kedutaan Amerika Serikat dan American Corner yang terdapat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB I Pendahuluan

A. Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka


(31)

E. Kerangka Pemikiran

1. Perspektif neoliberal Institutionalisme 2. Teori Comparatif Advantage

3. Kepentingan Nasional 4. Kebijakan Luar Negeri F. Metode Penelitian

G. Sistematika Penulisan

BAB II. Perekonomian Amerika Serikat dan Keikutsertaannya di Trans Pacific Partnership

A. Gambaran Amerika Serikat B. Krisis Finansial 2007

C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership

1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial 2. Potensi Asia Pasifik

3. Potensi Trans Pacific Strategic Economic Partnerhsip 4. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral 5. Pivot to Asia dan the Rise of China

BAB III. Trans Pacific Partnership

A. Sejarah Trans Pacific Partnership: Trans Pacific Strategic Economic Partnership

B. Potensi Trans Pacific Partnership

1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomiannya 2. Perjanjian Abad ke-21 dan Sindrom Noodle Bowl

C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation

BAB IV. Kebijakan Amerika Serikat dalam Memenuhi Kepentingan Ekonominya di Trans Pacific Partnerhsip Periode 2011-2013

A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 2011-2012

B. Menambah Keanggotaan TPP

1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011

2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP a. Korea Selatan

b. Indonesia BAB V. Penutup A. Kesimpulan B. Saran


(32)

19

Untuk mengetahui kebijakan Amerika Serikat dalam memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership, maka perlu mengetahui keadaan perekonomian Amerika Serikat beserta faktor yang menyebabkan negara ini bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut. Bab ini akan menjelaskan gambaran ekonomi Amerika Serikat, krisis finansial 2007, dan keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Partnership.

A. Gambaran Perekonomian Amerika Serikat

Amerika Serikat merupakan developed country yang mempunyai perekonomian terkuat di dunia. Data statistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 hingga 2012, pendapatan nasional Amerika Serikat secara konsisten berada di peringkat pertama sebagai negara dengan pendapatan terbanyak di dunia dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tidak hanya itu, pendapatan negara yang berjumlah $15.684 M pada tahun 2012 tersebut besarnya hampir seperempat dari pendapatan semua negara. Jika dibagi dengan jumlah penduduknya, maka pendapatan per kapita negara tersebut sebesar $48.100, jauh di atas pendapatan perkapita rata-rata dunia yaitu $11.800 (Bank 2013: n.h).


(33)

Kekayaan Amerika Serikat tersebut juga di dukung dengan sumber daya yang melimpah. Sumber daya manusia dan alam yang dimilikinya bisa menjadikan negara ini sebagai negara produsen energi terbanyak di dunia, negara yang mempunyai infrastruktur baik dan teknologi maju, dan negara yang mempunyai produktivitas tinggi yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang bernilai $40 milyar perharinya (Friedman 2012:4).

Selain sumber daya berlimpah, kemakmuran yang dimiliki Amerika Serikat juga didapati dari aktifitas perdagangan bebas yang sudah dilakukan sejak dahulu. Seperti yang dijelaskan oleh the United States Trade Representative (USTR) bahwa proses pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan telah dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1934 dan berperan penting dalam perkembangan dan kemakmuran Amerika Serikat (Office of the USTR 2013:n.h).

Perdana Menteri Amerika Serikat ke 47, Cordel Hull pada tahun 1948 pernah mengatakan bahwa perdagangan bebas:

dovetailed with peace; high tariffs, trade barriers, and unfair economic competition, with war. … If we could get a freer flow of trade … freer in the sense of fewer discriminations and obstructions … so that one country would not be deadly jealous of another and the living standards of all countries might rise, thereby eliminating the economic dissatisfaction that breeds war, we might have a reasonable chance of lasting peace(Friedman 2012:117)”

"serupa dengan kedamaian; (sedangkan) tarif tinggi, hambatan perdagangan, dan persaingan ekonomi yang tidak adil, (sama) dengan perang. Jika kita bisa mendapatkan aliran bebas perdagangan... dalam arti lebih sedikit diskriminasi dan penghalang... maka satu negara tidak akan iri dengan (negara) lain dan standar hidup semua negara bisa naik, sehingga menghilangkan ketidakpuasan ekonomi yang


(34)

menghasilkan perang, kita bisa memiliki kesempatan yang wajar perdamaian abadi."

Pada tahun 1948 tersebut, Amerika Serikat beserta 22 negara lainnya menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang berisi seperangkat aturan internasional yang secara signifikan mengurangi tarif dan hambatan lain untuk arus perdagangan internasional. Pertemuan anggota GATT terus dilakukan, dan anggota semakin bertambah dari masa ke masa, hingga tahun 1995 terciptalah World Trade Organization (WTO) di Jenewa, Swiss yang salah satu wewenangnya adalah mengawasi kepatuhan negara anggota dengan perjanjian perdagagan (Friedman 2012:117). Sehingga dengan demikian proses GATT telah berkontribusi secara umum kepada perekonomian dunia dalam hal aktivitas perdagangan dan penurunan tarifnya, secara khusus kepada kemakmuran Amerika Serikat.

Gambar II.A. Ekspor Impor (Barang dan Jasa) Amerika Serikat

Sumber: World Trade Organization 2013 $-

$500.000 $1.000.000 $1.500.000 $2.000.000 $2.500.000 $3.000.000

1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012 Ekspor Impor


(35)

Gambar III.A menjelaskan bahwa, meskipun perdagangan Amerika Serikat selalu defisit dari segi balance of tradenya, namun terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Awalnya total ekspornya dari tahun 1982 - 1988 masih di bawah $500 milyar, di tahun 2012 sudah berada di atas $2 Triliun. Sedangkan untuk impor, tahun 1982 – 1985 masih berada di bawah $500, di tahun 2012 sudah melebihi $2,5 Triliun. Sehingga dengan perdagangan yang terbuka, dinamis, kompetitif, dan nilai perdagangan yang sebesar itu tidak hanya menjadikan Amerika Serikat sebagai negara perekonomian terbesar di dunia, tetapi juga negara ekportir dan importir terbesar di dunia yang selalu menjadi pilihan terbaik untuk melakukan bisnis dan investasi (Office of the USTR 2013:n.h).

Total perdagangan dengan jumlah sebesar itu tentunya membawa benefit yang banyak bagi Amerika Serikat. USTR (2013) menjelaskan bahwa kegiatan ekspor dan impor telah membuka 9,8 juta lapangan pekerjaan, mermberikan pekerjaan yang lebih produktif dengan standar gaji tinggi, memperbanyak jenis produk untuk konsumen dan bisnis, dan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (Office of the USTR 2013: n.h)..

B. Krisis Finansial 2007

Perekonomian Amerika Serikat yang kuat, tidak menjamin negaranya bisa bebas dari krisis. Bermula dari tahun 2007, Amerika Serikat dan dunia menghadapi krisis finansial global. Banyak pendapat mengenai penyebab terjadinya krisis finansial tersebut seperti housing bubble di Amerika Serikat, lembaga penyalur kredit rumah Amerika Serikat yang tidak bijaksana dan tidak transparan, ketidakseimbangan global, black swan theory, dan berbagai pendapat


(36)

lainnya (Jickling 2009:5-10). Namun dari sekian literatur yang ada, krisis finansial tersebut memang berakar dari Amerika Serikat.

Krisis bermula di saat banyaknya muncul bisnis subprime mortgage dalam bentuk properti pada tahun 2000-an. Subprime mortgage merupakan kebalikan dari prime mortgage, yaitu pemberian kredit kepada nasabah atau konsumen yang memiliki sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005 (Qomariah 2009:n.h). Dilihat dari peningkatan tersebut, tentunya terdapat banyak properti dan lembaga penyalur properti di Amerika Serikat saat itu, sehingga berbagai cara dilakukan para penyalur untuk memasarkan produk tersebut, salah satu yang terkenal adalah ‘produk 2/28’.

Produk 2/28 ini memiliki fitur fix rate pada dua tahun pertama dan akan berubah pada akhir tahun kedua menjadi adjustable rate untuk 26 tahun sisa kreditnya. Pada saat suku bunga kredit berubah, pembayaran bulanan konsumen dapat meningkat secara drastis. Hal ini menyebabkan konsumen yang memang kurang layak kredit mengalami kesusahan membayar cicilan, dan kemudian gagal bayar atau default (Kusuma 2007:n.h).

Gagal bayar konsumen tersebut memicu terjadinya krisis finansial global, hal ini dikarenakan subprime mortgage melibatkan banyak lembaga investasi dan investor dengan melakukan skema sekuritisasi yang rumit. Seperti yang dijelaskan John Marshall (2009) setelah penyalur subprime mortgage menjual properti ke


(37)

konsumen, penyalur melakukan sekuritisasi dengan menjual surat kredit ke mortgage bank. Lalu mortgage bank membuat obligasi yang bisa dijual ke bank investasi. Kemudian bank investasi menggabungkan beberapa obligasi dan menjadikanya Mortgage-Backed Security (MBS) agar bisa di jual ke pasar dan dibeli oleh berbagai lembaga investasi dan investor di seluruh dunia (termasuk bank komersial, perusahaan asuransi, dan individu). Tidak hanya itu, MBS tersebut juga didaftarkan kedalam lembaga pemeringkat kredit dan memberi 80% MBS yang ada dengan grade AAA (tingkat kredit peringkat tertinggi) sehingga wajar jika banyak investor yang tertarik bermain dipasar subprime mortgage. Investor MBS akan mendapatkan keuntungan berupa bunga yang dibayarkan oleh konsumen dan dijamin oleh bank investasi, jika mengalami default, investor akan tetap mendapatkan agunan yang nantinya bisa kembali di jual dengan harga yang tinggi (h.15-7).

Namun gagal bayar yang berujung kepada penyitaan rumah yang terjadi pada subprime mortgage Amerika Serikat pada tahun 2007 itu terjadi terjadi secara massive. RealtyTrac melaporkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 2.203.295 pengajuan penyitaan rumah, meningkat sebanyak 75% dari tahun 2006 (White 2008:n.h). Gagal bayar dan penyitaan tersebut tentunya membuat nilai properti di Amerika Serikat turun drastis, karena tingginya penawaran dan sedikitnya permintaan. Selain itu, gagal bayar masal ini juga membuat perusahaan yang terlibat dalam subprime mortgage, baik perusahaan asuransi, bank komersial maupun bank investasi mengalami kerugian. Beberapa bank Amerika Serikat yang mengalami kerugian diantaranya Citigroup, Merrill Lynch, Morgan Stanley,


(38)

Bank of Amerika, Lehman Brothers, JPMorgan Chase, dan sebagainya. Sedangkan bank diluar Amerika Serikat yang mengalami kerugian adalah BNP Paribas Perancis, USB Swiss, HSBC Inggris, Deutsche Bank Jerman, Mizuho Financial Group Jepang, Fortis Belgia, ICIC India, ICBC Cina dan sebagainya (BBC News 2008:n.h).

Muhammad Rumi Arrafat (2009) menjelaskan kerugian yang dialami oleh perusahaan-perusahaan tersebut, pada kenyataannya tidak hanya mempengaruhi pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan subprime mortgage, namun juga pihak-pihak yang tidak mempunyai kaitan secara langusng. Investor mengalami kepanikan karena dipicu oleh penurunan harga saham bank atau lembaga besar lainnya yang terkena imbas subprime mortgage. Penurunan tersebut dilihat investor bahwa perusahaan-perusahaan raksasa dan pasar modal Amerika Serikat sedang mengalami permasalahan serius. Sebagai tindakan rasional, para investor berlomba-lomba untuk menarik dananya dari pasar modal untuk menghindari kerugian. Prilaku investor-investor yang menarik dananya tentu saja menyebabkan kekeringan likuiditas di pasar modal dan krisis finansial terjadi (Arrafat 2009: 48).

Bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve (FED) telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga. Seperti yang dilaporkan media Amerika Serikat bahwa pemerintahnya menurukan suku bunga menjadi 4,75% pada Agustus 2007 (Edmund et al 2007: n.h). Pemotongan suku bunga tersebut terus dilakukan oleh Amerika Serikat untuk mendorong aktifitas ekonomi, hingga 1,5% pada Oktober 2008 (Isidore 2008: n.h). Selain


(39)

memotong suku bunga, pemerintah Amerika Serikat juga menyuntikkan banyak dana ke pasar modal dan menyelamatkan beberapa perusahaan raksasa Amerika Serikat dari kebangkrutan (Qomariah 2009: n.h). Hal tersebut menggambarkan betapa parahnya keadaan finansial negara perekonomian terkuat di dunia tersebut.

C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership

Di saat Amerika Serikat masih menghadapi gejolak finansial di negaranya, pada 4 February 2008 pejabat USTR mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan berusaha untuk bergabung dengan sebuah kerjasama perdagangan bebas yang dikenal dengan Trans Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) (Office of the USTR 2008:n.h). Amerika Serikat adalah negara kawasan Asia Pasifik pertama yang ingin bergabung dengan kerjasama ekonomi yang memang dibuat untuk negara-negara kawasan tersebut. Beberapa bulan kemudian, negara-negara lain di kawasan pun ingin bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut, dan TPSEP pun bertransformasi menjadi TPP. Awalnya TPSEP hanya beranggotakan Singapura, Selandia Baru, Chili, dan Brunei Darussalam, dan bertransformasi menjadi TPP dengan tambahan anggota Amerika Serikat, Malaysia, Vietnam, Australia, dan Peru hingga tahun 2010. TPP saat ini masih berada dalam proses negosiasi.

Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi Amerika Serikat untuk bergabung dengan TPP, yaitu:

1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial

Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Amerika Serikat menghadapi permasalahan finansial serius yang bermula pada tahun 2007.


(40)

Gejolak keuangan ini telah menyinggung kepentingan nasional mendasar bagi negara tersebut terutama dalam hal keamanan ekonomi yang dampaknya tidak hanya disektor finansial saja, tertapi juga pada ekspor dan impor, tingkat pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (Nanto 2009:3). Selain itu juga terjadi resesi di Amerika Serikat seperti yang digambarkan oleh Gambar I.A (BAB I) bahwa GDP Amerika Serikat yang awalnya berjumlah $14.720 milyar pada tahun 2008 menurun menjadi $14.418 pada tahun 2009.

Krisis finansial juga menyebabkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan raksasa Amerika Serikat, tentunya membuat banyak pegawainya kehilangan pekerjaan, melemahnya nilai mata uang Amerika Serikat yang juga mata uang perdagangan internasional membuat berkurangnya kegiatan perdagangan internasional, sehingga mengurangi pemasukan negara. Seperti yang diwartakan oleh New York Post (2012) bahwa krisis finansial telah membuat Amerika Serikat kehilangan setidaknya $12,8 Triliun perekonomiannya dengan 23,1 juta pengangguran, $19 Triliun jumlah kekayaan negara, dan 46,2 Juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan (Kennan 2012: n.h).

Untuk menghadapi krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan beberapa kebijakan moneter, seperti menurunkan suku bunga, menyuntikkan dana ke pasar modal, menyelamatkan bank-bank besar dari kebangkrutan, dan sebagainya (BBC News 2009: n.h). Namun Amerika Serikat juga perlu menyelesaikan permasalahan yang diakibatkan oleh krisis finansial tersebut seperti pengangguran dan perdagangan internasional. Salah satu cara


(41)

yang bisa dilakukan oleh negara tersebut adalah dengan melakukan kerjasama perdangangan dengan negara lainnya untuk mendorong perekonomian, meningkatkan perdagangan, dan menambah lapangan pekerjaan. Seperti yang dijelaskan oleh pejabat USTR saat itu Susan Schwab:

“We make this announcement... at a time when attention is focused on the challenges confronting the financial markets and our economy. The Administration is taking extraordinary measures to address these challenges and will continue to act to strengthen and stabilize the financial markets. Meanwhile, we have an opportunity to build on one of the strengths of our economy... Robust international trade is crucial to the health of the U.S. economy, particularly during the uncertain times we are experiencing.” "Kami membuat pengumuman ini (bergabungnya Amerika Serikat ke TPSEP)... pada saat perhatian difokuskan pada tantangan yang dihadapi pasar keuangan dan perekonomian kami. Administrasi (negara) mengambil langkah-langkah yang luar biasa untuk mengatasi tantangan ini dan akan terus bertindak untuk memperkuat dan menstabilkan pasar keuangan. Sementara itu, kami (USTR) memiliki kesempatan untuk membangun salah satu kekuatan ekonomi kami... Perdagangan internasional yang kuat sangat penting untuk kesehatan ekonomi Amerika Serikat, terutama selama masa yang tidak menentu yang kami alami. ]"

2. Potensi Asia Pasifik dan Trans Pacific Economic Strategic Partnership

TPSEP merupakan kerjasama ekonomi yang akan beroperasi dikawasan Asia Pasifik. Sementara kawasan ini merupakan kawasan dengan perekonomian yang dinamis di dunia. Seperti yang dijelaskan oleh USTR pada tahun 2008 dalam sebuah press realese untuk memberitakan kepada media dan masyarakatnya mengenai bergabungnya Amerika Serikat dengan TPSEP, potensi perekonomian yang ada di Asia Pasifik menjadi alasan negara tersebut untuk bergabung.


(42)

USTR menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi global, yang mewakili hampir 60 persen dari GDP global dan sekitar 50 persen dari perdagangan internasional. Tingkat rata-rata pertumbuhan GDP di negara-negara berkembang pesat dan dinamis di kawasan ini dengan 5,1 persen pada 2006, dibandingkan dengan rata-rata dunia 3,9 persen. Sejak tahun 1990, total perdagangan barang Asia Pasifik telah meningkat sebesar 300 persen, sedangkan investasi global di wilayah ini telah meningkat lebih dari 400 persen. Perdagangan barang dan jasa Amerika Serikat dengan kawasan ini melebihi $2 triliun pada 2006, lebih dari dua kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Arus investasi antara Amerika Serikat dan negara-negara Asia Pasifik juga substansial, foreign direct investment Amerika Serikat di kawasan ini mencapai $774 milyar pada tahun 2006, naik 10 persen dibanding tahun sebelumnya, sementara foreign direct investment Asia Pasifik di Amerika Serikat mencapai $ 424 miliar, meningkat 8 persen dari tahun 2005 (Sean Spicer dan Gretchen Hamel 2008:n.h)

Konsep yang ditawarkan oleh TPSEP seperti the 21 century atau high standard agreement yang disertai dengan keanggotaan yang bersifat ekspansif terutama bagi negara kawasan Asia Pasifik bahkan di luar kawasan, tentunya membuat Amerika Serikat tertarik untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi ini. Terlebih lagi ini berkaitan dengan perekonomian bebas yang sejalan dengan kepentingan nasional Amerika Serikat. Seperti yang dijelaskan oleh Susan Schwab:

“We are particularly interested in this high-standard agreement potentially serving as a vehicle for advancing trade and investment


(43)

liberalization and integration across the Trans pacific region and perhaps beyond. Ultimately, the objective is to expand the membership of the Agreement to other nations that share our vision of free and fair trade (Office of the USTR 2008: n.h).”

“Kami sangat tertarik dalam perjanjian high standard (ini) yang berpotensi berfungsi sebagai kendaraan untuk memajukan liberalisasi perdagangan dan investasi, dan integrasi di seluruh wilayah trans pasifik dan mungkin di luar (kawasan). Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk memperluas keanggotaan perjanjian ke negara-negara lain yang berbagi visi kami perdagangan bebas dan adil.”

3. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral

Amerika Serikat telah bergabung dengan kerjasama ekonomi global, World Trade Organization (WTO) sejak organisasi ini berdiri pada 1 Januari 1995. WTO adalah organisasi yang mendorong liberalisasi perdagangan dan memonitor 159 negara anggotanya agar menaati peraturan perdagangan internasional. WTO juga merupakan wadah untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan, pembukaan perdagangan, dan penyelesaikan sengketa perdagangan internasional (WTO 2013:n.h).

Pada tahun 2001, WTO melansir sebuah negosiasi perdagangan bebas yang bernama Doha Developement Agenda (DDA) yang bertujuan untuk mereformasi sistem perdagangan internasional melalui pengenalan hambatan perdagangan yang lebih rendah dan pengkajian ulang aturan perdagangan. Program kerja ini mencakup 20 bidang perdagangan. Perjanjian yang buat saat konferensi WTO keempat di Doha Qatar ini awalnya direncanakan akan terealisasi pada tanggal 1 Januari 2005, namun tidak berjalan sesuai rencana (WTO 2013:n.h). Kemudian


(44)

menargetkan lagi pada tahun 2006. Namun, hingga 2012 DDA tidak memberikan hasil dan proses negosiasinya telah mengalami kegagalan (Gordon 2012:n.h).

Karena kegagalan tersebut, Amerika Serikat mencoba menjalin kerjasama perdagangan bilateral dengan Panama, Kolombia, dan Korea Selatan (Gordon 2012:n.h) yang akhirnya terealisasi pada tahun 2011 (Office of the USTR 2013:n.h). Selain dengan tiga negara tersebut, Amerika Serikat sudah memiliki kerjasama bilateral dengan 17 negara lainnya yaitu Australia, Bahrain, Kanada, Chile, Costa Rica, Republik Dominican, El Salvador, Guatemala, Honduras, Israel, Jordania, Meksiko, Maroko, Nicaragua, Oman, Peru, dan Singapore. Ditambah Korea Selatan, Kolombia, dan Panama pada tahun 2011. Namun ternyata pendekatan bilateral juga tidak bisa menawarkan banyak keuntungan (Gordon 2012:n.h). Hal ini disebabkan negara masih memberikan beberapa hambatan perdagangan kepada Amerika Serikat.

Dikarenakan kegagalan negosiasi organisasi yang berskala global (WTO) dengan Doha Development Agenda dan tidak maksimalnya keuntungan yang bisa didapatkan Amerika Serikat dengan melakukan kerjasama perdagangan bilateral, maka Amerika Serikat pun perlu bergabung dengan institusi yang tidak seluas WTO dan sesempit bilateral.

4. Pivot to Asia dan the Rise of China

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya kebangkitan Cina adalah sebuah fenomena internasional. Cina dengan beberapa kebijakannya lambat laun membangun perekonomiannya. Dimulai dengan kebijakan Open Door Policy yang dikeluarkan pada masa Deng Xiaoping, yaitu keterbukaan Cina dalam hal


(45)

perekonomian dengan dua kebijakan utamanya keterbukaan terhadap investasi asing serta pembukaan institusi-institusi tertentu secara nation wide (Galbraith dan Lu 2000:9). Alhasil, Cina bisa menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Seperti yang digambarkan oleh gambar III.C.4, pendapatan Cina dari tahun ke tahun meningkat tinggi. Sebelum tahun 1998, pendapatan Cina masih berada di bawah $1.000 milyar, sedangkan pada tahun 2012 sudah melebihi $8.000 milyar.

Gambar III.C.4. Gross Domestic Product Cina

Sumber: World Bank 2013

Untuk memacu pertumbuhan ekonominya, Cina juga melakukan kerjasama perdagangan, tidak terkecuali dengan negara-negara Asia. Cina sudah terhubung dengan beberapa perdagangan di regional Asia seperti Northeast Asia Free Trade

$- $1.000 $2.000 $3.000 $4.000 $5.000 $6.000 $7.000 $8.000 $9.000


(46)

Area antara Cina, Korea Selatan, dan Jepang, dan Association of South East Asian Nations (ASEAN) + 3 yang terdiri dari 10 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Myanmar, Filipina, Kamboja, Laos, dan Brunei Darussalam), dan ASEAN + 6 yang beranggotakan negara ASEAN+3 beserta India, Selandia Baru, dan Australia (5-6). Sehingga Cina memiliki peran penting di kawasan Asia.

Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan Pivot to Asia, dengan perspektif bahwa pusat gravitasi kebijakan luar negeri, ekonomi, dan militer bergeser ke kawasan Asia Pasifik. Salah satu alasannya adalah untuk penyeimbang kebangkitan dan pengaruh Cina tersebut (Fergusson dan Vaughn 2011:8), dan dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat menjadikan TPSEP/TPP sebagai instrumennya.


(47)

34

Untuk mengetahui kebijakan Amerika Serikat dalam memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik melalui Trans Pacific Partnership (TPP), maka penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan TPP. Mulai dari latar belakang, struktur, instrumen, dan sebagainya. Bab ini akan membahas mengenai alat yang dijadikan oleh Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya tersebut (TPP).

A. Sejarah Trans Pacific Partnership: TransPacific Strategic Economic Partnership

TPP merupakan negosiasi perdagangan yang bermula dari perjanjian perdaganan khusus yang bernama Trans Pacific Strategic Economic Partnerhsip (TPSEP). Dalam sela-sela pertemuan sebuah forum ekonomi antara dua puluh satu negara di kawasan Asia Pasifik yang bernama Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 1990-an, lima negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Singapura, Chili, dan Selandia Baru mengadakan diskusi informal yang disebut ‘Pacific 5 – P5’, untuk mendiskusikan kemungkinan mekanisme penciptaan perjanjian perdagangan baru antara negara-negara tersebut (Elms dan Lim 2012:1). Namun, Amerika Serikat dan Australia saat itu tidak antusias dalam pembicaraan tersebut, sehingga akhirnya pembicaraan hanya dilanjutkan oleh


(48)

Singapura, Chili, dan Selandia Baru (Elms 2009:4), yang dijuluki sebagai negara P3.

Negara P3 terus berdiskusi mengenai kemungkinan melakukan kerjasama ekonomi tersebut. Pada pertemuan APEC tahun 2002 di Meksiko, mereka (P3) mengumumkan kepada semua negara anggota APEC mengenai intensinya untuk membuat suatu perjanjian perdagangan khusus. Setelah itu, mereka pun mulai melakukan negosiasi perdagangan.

Negosiasi antara negara P3 pun mulai dilakukan, baik pertemuan khusus maupun disela-sela pertemuan APEC. Dari tahun 2003 hingga tahun 2005, P3 sudah melakukan empat kali pertemuan (Elms dan Lim 2012:1). Di tengah perjalanan negosiasi, tepatnya pada negosiasi ke 5 pada tahun 2004, Brunei Darussalam meminta untuk bergabung dalam proses negosiasi dengan maksud ingin menjadi anggota pertama dalam perjanjian tersebut (Foreign Affairs and Trade of New Zealand 2012:n.h)

Proses negosiasi tersebut akhirnya mencapai resolusi dan diumumkan pada pertemuan menteri perdagangan APEC tahun 2005 di Korea Selatan oleh negara P4 yaitu Singapura, Chili, Selandia Baru dan Brunei Darussalam (Foreign Affairs and Trade of New Zealand 2012:n.h). Perjanjian TPSEP dibuat dalam 20 bab perjanjian yang didampingi dengan dua nota kesepahaman (MoU) mengenai kerjasama lingkungan dan tenaga kerja. Namun, meskipun MoU lingkungan dan tenaga kerja diumumkan sebagai dokumen terpisah dari TPSEP, negara manapun yang keluar dari salah satu dari tiga perjanjian tersebut, secara otomatis keluar dari dua lainnya (Elms dan Lim 2012:1-2).


(49)

Saat negara P4 mengumumkan mengenai TPSEP dan 2 MoU tersebut, mereka tidak langsung meratifikasinya saat itu juga. Penandatangan kerjasama tersebut dilakukan pada 18 Juli 2005 oleh Chili, Selandia Baru dan Singapura, disusul oleh Brunei Darussalam pada 2 Agustus 2005. Sementara pemberlakukannya pada tanggal 1 Mei 2006 bagi Selandia Baru dan Singapura, tanggal 8 November 2006 bagi Chili, sedangkan Brunei menerapkan perjanjian tersebut secara parsial pada 12 Juni 2006 dan secara penuh pada 12 Juli 2009 (Kuriyama 2011:5).

Mengenai tujuan dibentuknya kerjasama ini, menurut pasal 1.1 perjanjian TPSEP (2005), perjanjian ini berdasarkan kepada kepentingan bersama untuk memperdalam hubungan dalam berbagai bidang, diantaranya keuangan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan kerjasama lapangan. Namun, tidak terbatas kepada bidang-bidang itu saja karena juga dapat diperluas ke bidang lainnya. Sehingga dengan demikian, setiap negara anggota juga berupaya mendukung proses liberalisasi APEC secara konsisten dengan melakukan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka.

Secara spesifik pasal 1.1 menjelaskan bahwa TPSEP ini bertujuan untuk: 1. Mendorong ekspansi dan diversifikasi perdagangan di antara wilayah

masing-masing;

2. Menghilangkan hambatan perdagangan dan memfasilitasi pergerakan lintas batas barang dan jasa antara wilayah;

3. Mendorong persaingan sehat di area perdagangan bebas;


(50)

5. Memberikan perlindungan yang memadai dan efektif, serta menegakkan hak kekayaan intelektual di wilayah masing-masing pihak;

6. Menciptakan mekanisme yang efektif untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa perdagangan (h.1-1).

TPSEP adalah perjanjian perdagangan bebas pertama yang menghubungkan Asia, Pasifik, dan Amerika Latin. Brunei Darussalam dan Singapura yang berada di Asia, Selandia Baru yang berada di Pasifik, dan Chili yang berada di Amerika Latin dihubungkan secara perdagangan oleh TPSEP tersebut.

Selain keragaman geografis, perjanjian ini juga mempunyai cakupan yang luas. Hal ini dikarenakan perjanjian ini meliberalisasikan hampir semua produk barang, termasuk produk kebutuhan pokok. Hingga akhirnya pada tahun 2017, P4 harus benar-benar menjadikan tarif mereka menjadi nol pada semua barang, kecuali Brunei Darussalam dalam beberapa produk (Lewis 2010:31-32).

Selain itu perjanjian ini juga merespon permasalahan-permasalahan baru yang terkait dengan perdaganan internasional, sehingga perjanjian ini sering disebut dengan perjanjian High Level dan atau 21 Century. Akan terus ada pembahasan lanjutan terkait isu-isu perdangan. Misalnya, pada perjanjian TPSEP bab 20 pasal 20.1 dan 20.2 mengatakan bahwa tidak lebih dari 2 tahun setelah TPSEP diberlakukan, negara anggota harus melakukan negosiasi lanjutan terkait investasi dan layanan finansial. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan bahwa negara P4 akan terus melakukan pembahasan dan perundingan lanjutan sebelum


(51)

tahun 2009 dan tentunya hal ini membuat TPSEP menjadi perjanjian perdagangan yang akan terus mengalami perkembangan.

Secara institusi, TPSEP membuat suatu badan yang bernama Trans pacific Strategic Economic Partnership Commission sebagai badan utama yang bertanggung jawab atas administrasi perjanjian. Komisi ini dapat membuat pertemuan di tingkat menteri atau pejabat senior yang didelegasikan oleh negara anggota. Menurut Pasal 17.2, Komisi ini mengawasi kerja komite dan kelompok kerja yang dibentuk di bawah TPSEP. Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa komisi bertanggung jawab atas setiap hal yang berkaitan dengan implementasi perjanjian, penelaahan kesepakatan, pertimbangan jika terdapat proposal untuk melakukan amandemen, menentukan langkah-langkah untuk melakukan ekspansi perdagangan dan investasi antara negara anggota dan mengidentifikasi area kerjasama komersial, industri dan teknis, serta mempertimbangkan segala hal yang dapat mempengaruhi operasi perjanjian.

Sehingga berdasarkan kepada penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwasanya TPSEP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang diprakarsai dan berlaku bagi negara P4. Perjanjian ini menggunakan kerjasama dan perdagangan bebas dalam berbagai bidang, serta beberapa regulasi sebagai instrumennya. Selain itu, penandatanganan TPSEP ini juga dibarengi dengan ratifikasi dua nota kesepahaman terkait kerjasama lingkungan dan tenaga kerja. Walaupun TPSEP ini terkesan fleksibel, namun ia mempunyai badan dan komite yang memastikan implementasi perjanjian.


(52)

Terbentuknya TPSEP dan berjalannya perjanjian perdagangan bebas antara negara trans pasifik ini ternyata berhasil menarik intensi negara lain untuk bergabung. Apalagi TPSEP bersifat ekspansif secara keanggotan, berdasarkan kepada bab 20 pasal 20.6 yang mengatur mengenai aksesi, menyatakan bahwa aksesi perjanjian ini terbuka atas persetujuan anggota, untuk negara anggota APEC ataupun negara lainnya (h.20.1-20.3). Sehingga selain negara P4, terlebih lagi negara APEC, berkesempatan besar untuk bisa bergabung dengan perjanjian ini.

Amerika Serikat adalah negara anggota APEC pertama yang menyatakan intensinya untuk bergabung dengan TPSEP. Keinginan Amerika Serikat tersebut disampaikan pada 4 February 2008 oleh pejabat United States Trade Representative (USTR) Susan Schwab yang berada di bawah kepemimpunan George W Bush. USTR mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan berusaha untuk bergabung kembali dengan negara P4, dan ingin mengikuti negosiasi lanjutan TPSEP tentang investasi dan layanan finansial (Office of the USTR 2008:n.h).

Analis, pengamat, dan para pengambil keputusan umumnya percaya bahwa Amerika Serikat bisa menjadi katalisator bagi negara Asia Pasifik untuk bergabung dengan TPSEP (Verguson dan Vaughn 2009:1). Hal itu terbukti dengan adanya beberapa negara APEC lainnya yang menyatakan intensinya untuk bergabung dengan perjanjian ini beberapa bulan setelah bergabungnya Amerika Serikat. Australia dan Peru mengumumkan keinginannya untuk bergabung pada November 2008, dan Vietnam juga mendaftarkan dirinya sebagai observer dalam


(1)

06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative

www.ustr.gov/about-us/press-office/fact-sheets/2011/november/outlines-trans-pacific-partnership-agreement 4/5 and related rights, patents, trade secrets, data required for the approval of certain regulated products, as well as intellectual property enforcement and genetic resources and traditional knowledge. TPP countries have agreed to reflect in the text a shared commitment to the Doha Declaration on TRIPS and Public Health. o Investment. The investment text will provide substantive legal protections for investors and investments of each TPP country in the other TPP countries, including ongoing negotiations on provisions to ensure non-discrimination, a minimum standard of treatment, rules on expropriation, and prohibitions on specified performance requirements that distort trade and investment. The investment text will include provisions for expeditious, fair, and transparent investor-State dispute settlement subject to appropriate safeguards, with discussions continuing on scope and coverage. The investment text will protect the rights of the TPP countries to regulate in the public interest.  

o Labor. TPP countries are discussing elements for a labor chapter that include commitments on labor rights protection and mechanisms to ensure cooperation, coordination, and dialogue on labor issues of mutual concern. They agree on the importance of coordination to address the challenges of the 21st-century workforce through bilateral and regional cooperation on workplace practices to enhance workers’ well-being and employability, and to promote human capital development and high-performance workplaces.

o Legal Issues. TPP countries have made substantial progress on provisions concerning the administration of the agreement, including clear and effective rules for resolving disputes and are discussing some of the specific issues relating to the process. TPP countries also have made progress on exceptions from

agreement obligations and on disciplines addressing transparency in the development of laws, regulations, and other rules. In addition, they are discussing proposals related to good governance and to procedural fairness issues in specific areas.

o Market Access for Goods. The TPP countries have agreed to establish principles and obligations related to trade in goods for all TPP countries that ensure that the market access that they provide to each other is ambitious, balanced, and transparent. The text on trade in goods addresses tariff elimination among the partners, including significant commitments beyond the partners’ current WTO obligations, as well as elimination of non-tariff measures that can serve as trade barriers. The TPP partners are considering proposals related to import and export licensing and remanufactured goods. Additional provisions related to agricultural export competition and food security also are under discussion.

o Rules of Origin. TPP countries have agreed to seek a common set of rules of origin to determine whether a product originates in the TPP region. They also have agreed that TPP rules of origin will be objective,

transparent and predictable and are discussing approaches regarding the ability to cumulate or use

materials from within the free trade area in order to make a claim that a product is originating. In addition, the TPP countries are discussing the proposals for a system for verification of preference claims that is simple, efficient and effective.

o Sanitary and Phytosanitary Standards (SPS). To enhance animal and plant health and food safety and facilitate trade among the TPP countries, the nine countries have agreed to reinforce and build upon existing rights and obligations under the World Trade Organization Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures. The SPS text will contain a series of new commitments on science, transparency, regionalization, cooperation, and equivalence. In addition, negotiators have agreed to consider a series of new bilateral and multilateral cooperative proposals, including import checks and verification. 

o Technical Barriers to Trade (TBT). The TBT text will reinforce and build upon existing rights and obligations under the World Trade Organization Agreement on Technical Barriers, which will facilitate trade among the TPP countries and help our regulators protect health, safety, and the environment and achieve other legitimate policy objectives. The text will include commitments on compliance periods, conformity assessment procedures, international standards, institutional mechanisms, and transparency. The TPP countries also are discussing disciplines on conformity assessment procedures, regulatory cooperation, trade facilitation, transparency, and other issues, as well as proposals that have been tabled covering specific sectors.


(2)

06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative

telecommunications providers in TPP markets, which will benefit consumers and help businesses in TPP markets become more competitive. In addition to broad agreement on the need for reasonable network access for suppliers through interconnection and access to physical facilities, TPP countries are close to consensus on a broad range of provisions enhancing the transparency of the regulatory process, and ensuring rights of appeal of decisions. Additional proposals have been put forward on choice of technology and addressing the high cost of international mobile roaming.

o Temporary Entry. TPP countries have substantially concluded the general provisions of the chapter, which are designed to promote transparency and efficiency in the processing of applications for temporary entry, and ongoing technical cooperation between TPP authorities. Specific obligations related to individual categories of business person are under discussion.

o Textiles and Apparel. In addition to market access on textiles and apparel, the TPP countries also are discussing a series of related disciplines, such as customs cooperation and enforcement procedures, rules of origin and a special safeguard.

o Trade Remedies. TPP countries have agreed to affirm their WTO rights and obligations and are considering new proposals, including obligations that would build upon these existing rights and obligations in the areas of transparency and procedural due process. Proposals also have been put forward relating to a transitional regional safeguard mechanism.

Tariff Schedules and Other Market-Opening Packages

• The TPP tariff schedule will cover all goods, representing some 11,000 tariff lines. The nine countries also are developing common TPP rules of origin, and are weighing proposals now for how to do this most effectively and simply.

• Services and investment packages will cover all service sectors. To ensure the high-standard outcome the nine countries are seeking, the TPP countries are negotiating on a “negative list” basis, which presumes

comprehensive coverage but allows countries to negotiate specific exceptions to commitments in specific service sectors.

• Government procurement packages are being negotiated with each country seeking to broaden coverage to ensure the maximum access to each others’ government procurement markets, while recognizing each others’ sensitivities.

Next Steps

• Leaders of the nine TPP countries have instructed negotiators to meet in early December, and at that time to schedule additional negotiating rounds.


(3)

From: Andri Andri [mailto:andrig20@gmail.com] Sent: Tuesday, 25 June, 2013 10:48 AM

To: Carlos A. Kuriyama

Subject: Interview for Research

Dear Sir Carlos Kuriyama,

Allow me to introduce myself. My name is Andri, I am an International Relations Student in UIN

Jakarta, Indonesia. I am right now doing my last research for my undergraduate program.

I know you sir and get your email address from your great work (paper) and your research about

Trans Pacific Partnership and APEC.

Talking about my research, my research is also discuss about Trans-Pacific Partnership. I am trying to

find out what are the efforts of USA in order to fulfil its economic interest through Trans-Pacific

Partnership.

Honourable Sir Carlos Kuriyama,

Hereby I would like to ask for your willingness to be interviewed through email. Is it possible for me

to ask you some questions related to the USA and Trans Pacific Partnership?

Thank you very much for reading this email.

I look forward to hear the great news from you about your willingness, :)

Warmest Regards,

Dear Andri,

Thanks for your message. If you have any questions about USA and the TPP, please go ahead, I will

do my best to help you to the extent possible.

Cheers,

Carlos

Carlos KURIYAMA (Mr)

Senior Analyst, Policy Support Unit | APEC Secretariat

Tel +65 6891 9407 | Mob +65 9827 3556 | Fax +65 6891 9419 35 Heng Mui Keng Terrace Singapore 119616

Visit us at www.apec.org | Twitter | Facebook

Thanks Andri for your sending your questions. My views for each of your questions are embedded

below right after each of your questions. Hope it helps!

Best,

Carlos

From: Andri Andri [mailto:andrig20@gmail.com] Sent: Tuesday, 25 June, 2013 3:13 PM

To: Carlos A. Kuriyama

Subject: Re: Interview for Research


(4)

Thank you for your quick respond, I really appreciate it..

Hereby several questions that I want to know from your opinion: 1. What is Trans-Pacific Partership in your opinion?

The Trans-Pacific Partnership (TPP) is a process that seeks to strengthen regional economic

integration in the Pacific Rim through the establishment of a free trade agreement (FTA).

2. What are the differences between TPSEP and TPP?

One key difference. TPSEP is already a FTA. TPP is not yet, since the parties are still negotiating an

FTA.

Another difference is the membership. TPSEP only has 4 parties (Brunei, Chile, New Zealand and

Singapore). TPP has much more parties participating in the process (Australia, Brunei, Canada, Chile,

Malaysia, Mexico, New Zealand, Peru, Singapore, United States and Viet Nam). The process to

incorporate Japan in the TPP negotiations is ongoing, not finished yet.

3. Why did USA join TPP? What are the factors that make USA join?

Many reasons: multilateral negotiations in WTO slowing down, USA

’s i terest to stre gthe its

political and economic links with the Asia Pacific, etc. My advice is to read some documents written

A eri a e perts. Suggest readi g Jeffre S hott’s pie es: U desta di g the TPP

Agreement(

http://bookstore.piie.com/book-store/6727.html);

The Trans-Pacific Partnership,

Chapter

4

(http://www.cambridge.org/asia/catalogue/catalogue.asp?isbn=9781107028661&ss=toc).

Als

o, check this paper written for the US Congress on the

matter:

http://www.fas.org/sgp/crs/row/R42694.pdf

4. What are the economic interests of USA in Asia Pasific? Why Asia Pasific?

To get the answer for this question, my advice is to read the documents I mentioned in my answer

for question 5.

5. How is USA fulfilling its economic interests in Asia Pacific through TPP?

Same response as above.

6. How do you see the future of Trans Pacific Partnership?

It is promising as long as the negotiating parties reach a comprehensive agreement, especially if this is done within the next two years.

Thank you very much..

Carlos KURIYAMA (Mr)

Senior Analyst, Policy Support Unit | APEC Secretariat

Tel +65 6891 9407 | Mob +65 9827 3556 | Fax +65 6891 9419 35 Heng Mui Keng Terrace Singapore 119616


(5)

Dear Sir Peter A. Petri,

Allow me to introduce myself. My name is Andri, I am an International Relations Student in UIN Jakarta, Indonesia. I am right now doing my last research for my undergraduate program.

I know you sir and get your email address from your great work (paper) and your research about Trans Pacific Partnership. Talking about my research, my research is also discuss about Trans-Pacific Partnership. I am trying to find out what are the efforts of USA in order to fulfil its economic interest through Trans-Pacific Partnership.

Honourable Sir Peter A. Petri,

Hereby I would like to ask for your willingness to be interviewed through email. Is it possible for me to ask you some questions related to the USA and Trans Pacific Partnership?

Thank you very much for reading this email.

I look forward to hear the great news from you about your willingness, :)

Warmest Regards,

DEAR ANDRI, THE ANSWERS ARE IN CAPS BELOW.

On Tue, Jun 25, 2013 at 10:59 PM, Andri Andri <andrig20@gmail.com> wrote: Dear Sir Peter Petri,

Thank you for your respond, I really appreciate it..

Hereby several questions that I want to know from your opinion: 1. What is Trans-Pacific Partership in your opinion?

THE TPP IS AN EFFORT BY MEMBER COUNTRIES TO DEFINE HIGH QUALITY TRADE RULES APPLICABLE TO TRADE IN THIS CENTURY. THERE IS MUCH DISCUSSION IN THE LITERATURE AND MEDIA WHAT EXACTLY THAT MEANS, AND IT DIFFERS FROM COUNTRY TO COUNTRY.

2. What are the differences between TPSEP and TPP?

THE TPSEP WAS THE 4-COUNTRY AGREEMENT THAT PRECEDED THE TPP AND HAD SIMILAR AIMS IN TERMS OF HIGH QUALITY RULES. SINCE MANY OTHER COUNTRIES, INCLUDING MUCH LARGER ONES THAN WERE INVOLVED ORIGINALLY, HAVE SINCE JOINED, THE TPP IS BEGINNING TO LOOK QUITE DIFFERENT FROM TPSEP.

3. What are the differences between TPP with other FTAs?

THE TPP WOULD BE MUCH LARGER (CURRENLY NEARLY 40 PERCENT OF GDP) AND IS OVERLAYED ON SEVERAL EXISTING FTAS. THUS IT IS A FIRST EFFORT TO CONSOLIDATE SEVERAL PRIOR FTAS--WHAT SOME PEOPLE HAVE CALLED THE NOODLE BOWL OF TRADE AGREEMENTS.

4. Why did USA join TPP? What are the factors that make USA join?

IT APPEARS INCRERASINGLY UNLIKELY THAT THE WTO NEGOTIATION PROCESS WILL YIELD

AGREEMENTS ON ISSUES THAT THE US THINKS ARE IMPORTANT, SUCH AS THE LIBERALIZATION OF SERVICE TRADE, INVESTMENT, AND GOOD RULES FOR INTELLECTUAL PROPERTY. SO THE US IS TRYING TO DEVELOP AGREEMENTS WITH GROUPS OF LIKE-MINDED COUNTRIES TO ADDRESS THESE AND OTHER NEW TRADE ISSUES.

5. What are the economic interests of USA in Asia Pasific? Why Asia Pasific?

THE ASIA-PACIFIC IS VERY VIBRANT AREA OF INTERNATIONAL TRADE. EVERY SENSIBLE BUSINESS AND COUNTRY WILL WANT TO BE INVOLVED IN TRADE AND INVESTMENT IN THE REGION. THE US HAS LONG HAD ECONOMIC CONNECTIONS WITH THE REGION AND IT WANTS TO MAINTAIN THEM, ESPECIALLY NOW WHEN THE REGION'S ECONOMY IS DYNAMIC.

6. How is USA fulfilling its economic interests in Asia Pacific through TPP?

THE AGREEMENT WILL DEVELOP STRONGER RULES AND LIBERALIZE TRADE AND INVESTMENT FLOWS BETWEEN THE US AND THE REGION.

7. How do you see the future of Trans Pacific Partnership?

I AM OPTIMISTIC--THERE IS STILL HARD WORK TO BE DONE, BUT THE VALUE OF REACHING AN AGREEMENT IS HIGH AND I EXPECT THAT NEGOTIATORS WILL ULTIMATELY DO SO.


(6)

Dear Madam Deborah Elms,

Allow me to introduce myself. My name is Andri, I am an International Relations Student in UIN Jakarta, Indonesia. I am right now doing my last research for my undergraduate program.

I know you madam and get your email address from your great work (paper) and your research about Trans Pacific Partnership.

Talking about my research, my research is also discuss about Trans-Pacific Partnership. I am trying to find out what are the efforts of USA in order to fulfill its economic interest through Trans-Pacific Partnership.

Honorable Madam,

Hereby I would like to ask for your willingness to be interviewed through email. Is it possible for me to ask you some questions related to the USA and Trans Pacific Partnership?

Thank you very much for reading this email.

I look forward to hear the great news from you about your willingness, :)

Warmest Regards,

Andri,

I think you should start by reading the attached materials and the paper at http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP232.pdf Deborah K. Elms

Head, Temasek Foundation Centre for Trade & Negotiations (TFCTN) S. Rajaratnam School of International Studies

Nanyang Technological University Singapore 639798

Tel: (65) 6790-6978 Fax: (65) 6793-2991 isdelms@ntu.edu.sg