PENGARUH JUMLAH PEMADATAN TERHADAP PARAMETER UJI MARSHALL PADA CAMPURAN ASPHALT TREATED BASE (ATB) MENURUT SPESIFIKASI BINA MARGA 2010 REV-2

(1)

TUGAS AKHIR

PENGARUH JUMLAH PEMADATAN TERHADAP PARAMETER UJI MARSHALL PADA CAMPURAN ASPHALT TREATED BASE (ATB)

MENURUT SPESIFIKASI BINA MARGA 2010 REV-2

Disusun oleh :

ANGGA RAMDHANI KHOIRUL FEBRIAN 2010 011 0020

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

i

HALAMAN JUDUL

PENGARUH JUMLAH PEMADATAN TERHADAP PARAMETER UJI MARSHALL PADA CAMPURAN ASPHALT TREATED BASE (ATB)

MENURUT SPESIFIKASI BINA MARGA 2010 REV-2

Disusun oleh :

ANGGA RAMDHANI KHOIRUL FEBRIAN 2010 011 0020

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(3)

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR

PENGARUH JUMLAH PEMADATAN TERHADAP

PARAMETER

UJIMARSHALL

PADA CAMPURAN

ASPHALT

TREATED BASE

(A TB) MENURUT SPESIFIKASI

BINA MARGA 2010 REV-2

Disusun guna melengkapi persyaratan untuk mencapai derajat keserjanaan Strata-1 (S 1)

Pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Y ogyakarta

Disusun oleh :

ANGGA RAMDHANI KHOIRUL FEBRIAN 2010 011 0020

Telah diperiksa dan disahkan oleh Tim Penguji:

Anita Rahmawati, S.T., M.Sc

Ketua Tim Penguji Y ogyakarta, 1

o

Agustus 2016

Ir. Anita Widianti, M. T

Anggota Tim Penguji I

Emil AdJy, s.T., M.Eng

Y ogyakarta,jl Agustus 2016

1

セ@

Anggota Tim Penguji II Y ogyakarta,

10

Agustus 2016


(4)

xii

senantiasa meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Peningkatan kebutuhan ini harus diimbangi dengan peningkatan performa perkerasan jalan agar jalan yang dibangun kuat dan mampu memenuhi umur layanannya. Dalam pelaksanaan perkerasaan jalan raya pemadatan aspal dan jumlah tumbukan sangat berpengaruh terhadap karakteristik lapisan aspal. Salah satu jenis campuran panas yang digunakan adalah Asphalt Treated Base (ATB) yang terdiri dari agregat, bahan pengisi dan bitumen dengan proporsi campuran yang telah ditentukan.

Pemadatan sangat mempengaruhi kekuatan campuran aspal terutama dari nilai-nilai parameter uji Marshall, yaitu stabilitas dan flow (kelelehan). Pada penelitian ini menggunakan variasi pemadatan dengan 2x25, 2x50, 2x75, 2x100 untuk menganalisis jumlah tumbukan efektif. Campuran panas pada penelitian ini digunakan campuran Asphalt Treated Base (ATB). Dari pengujian Marshall diperoleh data yang akan dijadikan sebagai dasar perhitungan yakni VMA, VIM, VFA, stabilitas dan flow. Nilai stabilitas dan flow didapatkan dari pengujian menggunakan uji Marshall, sedangkan VMA, VIM serta VFA ditentukan melalui penimbangan benda uji dan perhitungan (berat kering, berat kering permukaan dan berat dalam air).

Berdasarkan hasil pengujian Marshall secara keseluruhan, maka parameter Marshall pada campuran Asphalt Treated Base (ATB) ini memperoleh jumlah tumbukan yang optimum yaitu pada tumbukan 2 x 75 kali. Jumlah tumbukan 2x75 lebih disarankan. Pada 2x50 tumbukan nilai stabilitas rendah karena agregat masih belum terlalu rapat dan flow yang tidak memenuhi spesifikasi karena campuran yang belum terlalu padat, sehingga campuran rentan terhadap sifat plastis dan mudah berubah bentuk apabila mendapatkan beban lalu lintas. Sedangkan tumbukan 2x100 nilai stabilitas tinggi dan nilai VFA lebih tinggi yang akan mengakibatkan lapis keras mudah mengalami bleeding.

Kata Kunci : Asphalt Treated Base (ATB), Karakteristik Marshall, Kadar Aspal Optimum (KAO)


(5)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi darat masih menjadi andalan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mobilitas, terutama untuk jarak pendek sampai menengah. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan prasarana transportasi darat terutama jaringan jalan senantiasa meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah kendaraan. Peningkatan kebutuhan ini harus diimbangi dengan peningkatan performa perkerasan jalan agar jalan yang dibangun kuat dan mampu memenuhi umur layanannya.

Salah satu jenis dari aspal beton campuran panas yang digunakan dalam perkerasan jalan adalah campuran Asphalt Treated Base (ATB) sebagai lapis pondasi atas yang terletak di bawah lapis permukaan yang khusus diformulasikan untuk meningkatkan keawetan dan ketahanan kelelehan. Campuran ATB pada dasarnya terdiri dari agregat, bahan pengisi dan bitumen dengan proporsi campuran yang telah ditentukan dan harus memiliki sifat – sifat yang memenuhi persyaratan.

Menurut Bina Marga (2010), disyaratkan bahwa agregat kasar harus terdiri dari batu pecah yang bersih, kering, kuat, awet, dan bebas dari bahan lain yang menganggu. Persyaratan tersebut dimaksudkan apabila campuran aspal sudah digelar dan dipadatkan, maka agregat harus cukup kuat untuk menahan muatan dan pukulan-pukulan roda, artinya agregat tidak boleh pecah.

Dalam pelaksanaan perkerasan jalan raya jumlah tumbukan dan pemadatan aspal sangat berpengaruh terhadap karakteristik lapisan aspal. Campuran aspal panas untuk perkerasan lentur diuji dengan menggunakan metode Marshall. Pemadatan mempengaruhi kekuatan campuran aspal terutama dari nilai-nilai parameter uji Marshall, yaitu stabilitas dan flow (kelelehan) suatu campuran. Kedua parameter tersebut berpengaruh besar terhadap kekuatan dan keawetan suatu campuran aspal.


(6)

Mengingat begitu pentingnya masalah pemadatan terhadap nilai-nilai parameter Marshall, maka berdasarkan fenomena tersebut perlu adanya kajian mengenai "Pengaruh jumlah pemadatan terhadap parameter uji Marshall pada campuran Asphalt Treated Base (ATB) menurut spesifikasi Bina Marga 2010-rev 2.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan dapat dirumuskan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaruh variasi tumbukan terhadap parameter uji Marshall di dalam campuran ATB ?

2. Berapakah jumlah tumbukan yang efektif berdasarkan hasil pengujian Marshall secara keseluruhan?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji parameter uji Marshall pada Asphalt Treated Base (ATB) akibat jumlah tumbukan yang divariasikan.

2. Menganalisis jumlah tumbukan efektif untuk campuran Asphalt Treated Base (ATB).

D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan :

1. Akan diperoleh nilai yang menunjukkan berapa jumlah optimum tumbukan yang diperlukan pada spesimen Asphalt Treated Base (ATB) pada kadar aspal optimum yang dihasilkan dalam suatu prosedur uji Marshall, sehingga prosedur pemadatan pada uji Marshall dengan metode Bina Marga dapat disempurnakan.

2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengaturan jumlah tumbukan efektif dalam pengerjaan konstruksi jalan.


(7)

3

E. Batasan Penelitian Batasan dari penelitian ini berupa :

1. Material yang digunakan yaitu : a. Aspal dengan penetrasi 60/70.

b. Agregat kasar yang digunakan berasal dari Celereng. c. Agregat halus berasal dari Kali Progo.

d. Filler yang digunakan adalah debu batu kapur.

2. Aspal yang digunakan dengan variasi 4%, 4,5 %, 5%,5,5% dan 6% dari berat campuran.

3. Pemeriksaan yang dilakukan berupa :

a. Pemeriksaan aspal (penetrasi, titik lembek, titik nyala, penurunan berat aspal, daktilitas, berat jenis aspal).

b. Pemeriksaan agregat (ketahanan agregat, berat jenis dan penyerapan agregat halus serta agregat kasar, analisis saringan).

4. Gradasi campuran yang digunakan berdasarkan spesifikasi umum 2010 (revisi-2) PU-Bina Marga.

5. Variasi jumlah tumbukan pada agregat adalah 2 x 25 kali, 2 x 50 kali, 2 x 75 kali, dan 2 x 100 kali.

6. Tiap variasi campuran menggunakan tiga benda uji (tripel samples).

7. Pengujian hanya sebatas pengujian untuk skala laboratorium, bukan di lapangan.

8. Penentuan kadar aspal optimum.

F. Keaslian Penelitian

Rondhi (2007) telah melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Variasi Pemadatan terhadap Nilai Stabilitas Marshall pada LASBUTAG Campuran Panas”. Variasi tumbukan yang digunakan pada komposisi modifier 3,6%: 50% dan 3,6%: 75%. Tumbukan pada LASBUTAG campuran panas dilakukan dengan variasi 2 x 50, 2 75, 2 x 100, 2 x 125, 2 x 150, 2 x 175, dan 2 x 200.


(8)

Sastra (2011) telah melakukan penelitian tentang “Pengaruh Variasi Jumlah Tumbukan Pada Lapisan Aspal Buton Beragregat (LASBUTAG) Campuran Dingin (Coldmix) Dengan Modifier Pertamax Terhadap Karakteristik Marshall”, Metode pencampuran LASBUTAG menurut Direktorat Bina Marga 1998.


(9)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konstruksi Perkerasan Lentur

Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya. Beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban terbagi rata. Beban tersebut diterima olah lapisan permukaan yang disebarkan ke tanah dasar menjadi yang lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.

Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) susunan lapisan kontruksi perkerasan lentur terdiri atas :

1. Lapis Permukaan (surface course), terdiri atas campuran mineral agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan biasanya terletak di atas lapis pondasi. Lapisan ini memiliki stabilitas yang tinggi untuk melindungi lapisan di bawahnya, dan berfungsi untuk meneruskan beban kendaraan ke lapisan di bawahnya.

2. Lapis Pondasi Atas (base course), terletak langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi bawah, atau jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah dasar. Fungsi lapis pondasi antara lain :

a. Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda. b. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan

Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet, sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik.


(10)

Bermacam-macam bahan alam/setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis pondasi, anatar lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen, aspal, pozzolan, atau kapur.

3. Lapis pondasi bawah (Sub-base course), terletak di antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri dari lapis material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak, atau lapisan yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :

a. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar beban roda.

b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya.

c. Mencegah tanah dasar masuk ke dalam pondasi bawah.

d. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar. Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan denga terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada pelaksanaan konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca.

Material yang digunakan untuk lapisan pondasi bawah umumnya memiliki nilai CBR minimum 20% dan indeks plastisitas (PI) ≤ 10%. Di Indonesia biasanya lapisan ini memakai pasir dan batu (Sirtu) kelas A, B, atau kelas C atau tanah lempung. Selain itu dapat pula digunakan stabilisasi agregat atau tanah dengan semen.

4. Lapisan tanah dasar (subgrade), lapisan ini berada terbawah dari perkerasan jalan raya. Apabila kondisi tanah pada lokasi pembangunan jalan mempunyai spesifikasi yang direncanakan maka tanah tersebut akan langsung dipadatkan dan digunakan. Tebalnya berkisar antara 50 – 100 cm. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat perletakan suatu perkerasan jalan.


(11)

7

Gambar 2.1 Susunan Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur

Berdasarkan Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa lapisan yang paling berat menerima beban adalah lapisan surface course yang kemudian didistribusikan ke lapisan di bawahnya.

B. Asphalt Treated Base (ATB)

Asphalt Treated Base (ATB) merupakan jenis campuran yang digunakan untuk jalan-jalan dengan lalu lintas sedang dan padat, dimana tipe ini digunakan sebagai pondasi sebelum lapisan atas. Lapisan ini juga biasa digunakan sebagai lapis sementara sebelum lapisan atas selesai dikerjakan. Asphalt Treated Base (ATB) adalah beton aspal campuran panas (hot mix) yang berfungsi sebagai lapis pondasi. ATB tersusun dari fraksi-fraksi material berbutir (agregat) dan aspal sebagai bahan pengikat sesuai dengan spesifikasi campuran yang telah ditentukan. Penghamparan ATB yang semakin lama akan mengakibatkan turunnya temperatur campuran sebelum dipadatkan, sehingga apabila melewati batas minimum temperatur pemadatan yang diisyaratkan, dapat menurunkan kualitas perkerasan dan juga kadar mastic dalam campuran akan mempengaruhi terhadap tingkat resistensi penurunan temperatur (Yulizarman, 2004).

Asphalt Treated Base(ATB) merupakan campuran agregat dan pengikat yang telah dipadatkan, memiliki gradasi terbuka (open graded) yaitu tipe campuran yang gradasi agregatnya mempunyai rongga besar, diletakkan di atas lapisan pondasi bawah dan berfungsi untuk mendukung dan menyebarkan beban serta tempat untuk meletakkan lapisan permukaan. Selain itu juga untuk meningkatkan keawetan dan ketahanan kelelehan (flow) (Yulizarman, 2004). Keawetan didefinisikan sebagai kekuatan bertahannya campuran terhadap disentegrasi akibat


(12)

beban lalu lintas dan akibat lain seperti air, udara, dan cuaca. Faktor yang mempengaruhi keawetan adalah kekerasan, kelekatan, gradasi agregat, kualitas dan kadar aspal pemadatan. Ketahanan kelelehan adalah ketahanan dari lapis aspal dalam menerima beban berulang tanpa terjadinya kelelehan yang berupa alur dan retak. Faktor yang mempengaruhi kelelehan adalah kadar aspal.

Sebagai lapis pondasi bawah perkerasan jalan, Asphalt Treated Base (ATB) mempunyai kriteria sebagai berikut :

1. Sebagai bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban dan menyebarkan beban lapisan dibawahnya.

2. Sebagai lapisan peresapan untuk pondasi bawah. 3. Sebagai bantalan terhadap lapisan permukaan.

Persyaratan campuran perkerasan Asphalt Treated Base(ATB) adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Persyaratan sifat campuran untuk Asphalt Treated Base (ATB)

No Sifat-sifat Campuran Min Maks Satuan

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Stabilitas Kelelehan

Quitient Marshall

Rongga dalam Campuran (VIM)

Rongga di antara mineral agregat (VMA) Rongga terisi aspal (VFA)

1800 4,5 300 3 13 60

- - - 5 - -

Kg Mm Kg/mm

% % %


(13)

9

C. Material Kontruksi Perkerasan

Dalam pelaksanaan kontruksi perkerasan Asphalt Treated Base (ATB) terdiri dari tiga komposisi utama yaitu, agregat yang terdiri dari agregat kasar dan agregat halus, filler dan bahan ikat berupa aspal.

1. Agregat

Agregat adalah material perkerasaan yang berbentuk butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral lainnya, berupa hasil alam atau buatan. Kadar agregat dalam campuran perkerasan jalan berkisar antara 90 – 95 % dari berat total atau berkisar antara 75 – 95% dari volume total. Fungsi dari agregat dalam campuran aspal adalah sebagai kerangka yang memberikan stabilitas campuran jika dilakukan dengan alat pemadat yang tepat.

Dapat atau tidak suatu agregat digunakan pada kontruksi perkerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu gradasi, kekuatan, bentuk butir, tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat kimia. Jenis dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan atau stabilitas suatu perkerasan jalan.

Berdasarkan ukuran butiran, agregat dapat dibedakan menjadi : a . Agregat kasar

Agregat kasar pada campuran aspal berfungsi memberikan stabilitas campuran dengan saling mengunci dari masing-masing partikel agregat kasar dan sebagai stabilitas tahanan gesek terhadap suatu aksi perpindahan. Agregat kasar terdiri dari batu pecah dan kerikil-kerikil. Batu pecah diperoleh dari pemecah batu, sedangkan kerikil merupakan disintegrasi dari batuan. Perbedaan mendasar antara kerikil (koral) dengan batu pecah (split) adalah dengan permukaan yang lebih kasar maka batu pecah lebih menjamin ikatan yang lebih kokoh dengan semen.

Sama halnya dengan agregat halus, agregat kasar harus memenuhi beberapa syarat, yaitu terdiri dari butir yang keras dan tidak berpori. Agregat jenis ini juga tidak boleh banyak mengandung lumpur dan


(14)

kekerasan juga merupakan salah satu syaratnya. Agregat kasar harus terdiri dari butir-butir yang beraneka ragam besarnya untuk memperoleh rongga-rongga seminimum mungkin. Pemakaian ukuran butiran ini juga tergantung dari dimensi perkerasan yang akan dibuat. Untuk memisahkan aregat kasar dengan agregat halus dipakai saringan No.4. Material ynag tertahan pada saringan tersebut merupakan agregat kasar. Ini dilakukan dengan menggunakan satu set saringan yang digerakkan oleh motor (Sieve Shaker). Setelah perhitungan dilakukan maka dapat dibuat kurva distribusi ukuran atau kurva gradasi agregat halus (Pasir).

Agregat kasar yaitu agregat yang diameternya lebih dari 4,75 mm menurut ASTM atau lebih besar 2 mm menurut AASHTO. Berikut ini adalah Tabel 2.2 yang berisi tentang ketentuan pengujian untuk agregat kasar dan agregat halus.

Tabel 2.2. Spesifikasi pengujian agregat kasar dan agregat halus

No Jenis Pemeriksaan Standar Rujukan

Persyaratan

Satuan Agregat

kasar

Agregat halus

1. Abrasi dengan mesin

Los Angeles SNI 03-2417-1991 Maks. 40

Maks.

30 %

2. Berat jenis semu SNI 03-1969-1990

SNI 03-1970-1990 Min 2,5 Min 2,5 %

3. Absorbsi air SNI 03-1969-1990

SNI 03-1970-1990 Maks 3 Maks 3 %

1.

Kekekalan bentuk agregat terhadap larutan natrium dan magnesium sulfat

SNI 03-3407-2008 Maks 12 - %

2. Kelekatan agregat

terhadap aspal SNI 03-2439-1991 MIN 95 - %

3. Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-2008 Maks 40 - %

4. Berat jenis semu SNI 03-1969-1990

SNI 03-1970-1990 Min 2,5 Min 2,5

5. Absorbsi air SNI 03-1969-1990


(15)

11

Sumber : Spesifikasi Bina Marga 2010 b. Agregat halus

Agregat halus pada campuran aspal berfungsi untuk menambah stabilitas dari campuran dengan memperkokoh sifat saling mengunci dari agregat kasar, mengurangi rongga udara dalam campuran dan menaikkan luas permukaan serta menaikkan kadar aspal guna membuat campuran menjadi awet. Agregat yang secara umum mempunyai ukuran antara 0,234 – 0,075 mm. Agregat halus terdiri dari bahan – bahan yang berbidang kasar, bersudut tajam dan bersih dari kotoran – kotoran atau bahan-bahan lain yang tidak dikehendaki. Agregat bergradasi halus adalah agregat yang mempunyai butir yang berukuran dari yang kasar sampai yang halus tetapi agregat halusnya dominan. Agregat halus yaitu agregat yang ukurannya lebih kecil dari 4,75 mm menurut ASTM atau ukurannya berada di antara 0,075 mm sampai 2 mm menurut AASHTO. Agregat halur adalah material yang lolos saringan No.8 (2,36mm) dan tertahan saringan no.200(0,075mm ). Agregat dapat meningkatkan stabilitas campuran dengan ikatan yang baik terhaap campuran aspal. Bahan ini dapat terdiri dari butir-butiran batu pecah atau pasir alam atau campuran dari keduanya.

Tabel 2.3. Spesifikasi pengujian agregat halus

Pengujian Standard Nilai

Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min 70% untuk AC bergradasi

kasar

Material Lolos Ayakan No 200 SNI 03-4428-1997 Maks 8%

Kadar Lempung SNI 3423 : 2008 Maks 1%

Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10cm)

AASHITO TP 33 atau ASTM

C 1252-93 Min 45

Angularitas (kedalaman dari permukaan < 10cm)

AASHITO TP 33 atau ASTM

C 1252-93 Min 40

Sumber : Spesifikasi Bina Marga 2010

6. Partiket pipih dan lonjong ASTM D4791


(16)

c. Bahan Pengisi (Filler)

Filler adalah bahan pengisi rongga dalam campuran (void in mix) yang berbutir halus yang lolos saringan No. 30 dimana persentase berat yang lolos saringan No.200 minimum 65 %(SKBI-2.4.26.1987). Sebagai filler dapat dipergunakan debu batu kapur, debu dolomits atau semen portland. Fungsi filler pada perkerasan adalah untuk meningkatkan stabilitas dan mengurangi rongga udara dalam campuran. Bahan pengisi (filler) merupakan bahan yang 75% lolos ayakan No.200, dapat terdiri dari abu batu, abu batu kapur, kapur padam atau bahan non plastis lainnya. Bahan pengisi harus kering dan bebas dari bahan lain yang mengganggu.

Fungsi filler dalam campuran adalah untuk memodifikasi agregat halus sehingga berat jenis campuran meningkat dan jumlah aspal yang diperlukan untuk mengisi rongga akan berkurang. Filler dan aspal secara bersamaan membentuk suatu pasta yang akan membalut dan mengikat agregat halus, mengisi ruang antara agregat. Apabila dicampur dengan aspal maka filler akan membentuk bahan pengikat yang berkonsistensi tinggi sehingga mengikat antar butiran-butiran agregat.

Tabel 2.4 Syarat gradasi bahan pengisi (filler)

Ukuran saringan Persen (%) lolos

No. 30 (0,59 mm) 100

No. 50 (0,279 mm) 95 – 100

No. 100 (0,149 mm) 90 – 100

No. 200 (0,074 mm) 65 – 100

Sumber : Spesifikasi Bina Marga 2010 2. Aspal

Aspal adalah material utama pada konstruksi lapis permukaan lentur (flexible pavement) jalan raya, yang berfungsi sebagai bahan pengikat karena mempunyai daya lekat yang kuat, mempunyai sifat adhesif, kedap air dan mudah dikerjakan. Aspal merupakan senyawa hidrokarbon berwarna coklat


(17)

13

gelap atau hitam pekat yang dibentuk dari unsur-unsur asphathenes, resins, dan oils. Aspal pada lapir perkerasan berfungsi sebagai bahan ikat antara agregat untuk membentuk suatu campuran yang ompak, sehingga akan memberikan kekuatan masing-masing agregat. Jika temperatur mulai turun, aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis). Sebagai salah satu material kontruksi perkerasan lentur, aspal merupakan salah satu komponen kecil umumnya hanya 4 – 10 % berdasarkan berat dan 10 -15 % berdasarkan volume.

Terdapat bermacam-macam tingkat penetrasi aspal yang dapat digunakan dalam campuran, antara lain 40/50, 60/70, 80/100. Umumnya aspal yang digunakan di Indonesia adalah penetrasi 60/70. Berikut ini adalah Tabel 2.5 tentang persyaratan pengujian aspal penetrasi 60/70.

Tabel 2.5. Persyaratan pengujian aspal keras penetrasi 60/70

No Jenis Pemeriksaan Standar Rujukan

Persyaratan

Satuan

Min Maks

1. Penetrasi (25 °C, 5 detik) SNI 06-2456-1991 60 79 0,1 mm

2. Titik lembek SNI 06-2434-1991 48 58 °C

3. Titik nyala dan titik bakar SNI 06-2433-1991 200 °C

4. Daktilitas (25°C, 5

cm/menit) SNI 06-2432-1991 100 cm

5. Penurunan berat SNI 06-2440-1991 0,8 % berat

6. Berat jenis (25°C) SNI 06-2441-1991 1 gr/cc

7. Penetrasi setelah

penurunan berat, %asli SNI 06-2456-1991 54


(18)

D. Gradasi Agregat

Gradasi agregat merupakan campuran dari berbagai diameter butiran agregat yang membentuk susunan campuran tertentu, ditentukan melalui analisis saringan butiran (grain size analysis) dengan menggunakan 1 set saringan dimana saringan paling kasar diletakkan paling atas dan saringan paling halus diletakkan paling bawah, dimulai dengan pan dan diakhiri dengan tutup. Tabel Gradasi Agregat pada spesifikasi teknis Bina Marga 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Batasan gradasi agregat untuk campuran Asphalt Treated Base (ATB)

No. Sarin gan

Bukaan saringan

% Berat yang lolos terhadap total agregat dalam campuran

% Berat yang lolos terhadap total agregat dalam campuran

ATB ATB

Gradasi kasar Gradasi halus

BASE BASE

1.5 37,5 mm 100 100

1 25 mm 90 – 100 90 - 100

¾” 19 mm 73 – 90 73 - 90

½” 12,5 mm 55 – 76 61 - 79

3/8” 9,5 mm 45- 66 47 - 67

#4 4,75 mm 28- 39,5 39,5 - 50

# 8 2,36 mm 19 - 26,8 30,8 - 37

# 16 1,18 mm 12 - 18,1 24,1 - 28

# 30

0,600

mm 7 - 13,6 17,6 - 22

# 50

0,300

mm 5 – 11,4 11,4 - 16

#100

0,150

mm 4,5 -9 4 - 10

#200

0,075

mm 3 – 7 3 - 6


(19)

15

BAB III LANDASAN TEORI

A. Karakteristik Marshall pada Asphalt Treated Base (ATB) 1. Stabilitas (Stability)

Stabilitas merupakan kemampuan maksimum suatu benda uji campuran aspal dalam menahan beban sampai terjadi kelelehan plastis dan dinyatakan dalam satuan beban. Untuk stabilitas harus sesuai dengan persyaratan campuran aspal yang sudah ditentukan dalam spasifikasi yang dipakai. Apabila stabilitas tinggi harus menggunakan agregat yang bergradasi rapat (dense graded), permukaan yang kasar dan jenis agregat yang keras dan berbentuk kubikal. Aspal yang digunakan harus penetrasinya rendah dan cukup untuk ikatan agregat.

Stabilitas lapisan pekerjaan jalan adalah kemampuan lapisan perkerasan jalan menerima beban lalulintas tanpa terjadi perubahan bentuk seperti gelombang dan alur. Kebutuhan stabilitas sebanding dengan fungsi jalan dan beban lalu lintas yang dilayani. Jalan yang melayani volume lalu lintas tinggi dan mayoritas kendaraan berat membutuhkan perkerasan jalan dengan stabilitas tinggi. Stabilitas terjadi dari hasil geseran antar butir , penguncian antar partikel dan daya ikat yang baik dari lapisan aspal. Untuk mendapatkan stabilitas yang tinggi, biasanya dapat dilakukan penggunaan agregat dengan gradasi yang rapat, agregat dengan permukaan yang kasar, agregat berbentuk kubus, aspal dengan penetrasi rendah serta aspal dalam jumlah yang mencukupi untuk ikatan antar butir.

2. Kelelehan (flow)

Kelelehan adalah besarnya deformasi vertikal benda uji yang terjadi mulai saat awal pembebanan sampai kondisi kestabilan maksimum sehingga sampel sampai batas runtuh dinyatakan dalam satuan mm. Nilai flow yang tinggi mengindikasikan campuran bersifat plastis dan lebih mampu mengikuti deformasi akibat beban, sedangkan nilai flow yang rendah mengindikasikan campuan tersebut memiliki banyak rongga kosong yang tidak terisi aspal


(20)

sehingga campuran berpotensi untuk mudah retak. Pengukuran flow bersamaan dengan pengukuran nilai stabilitas Marshall. Nilai flow juga diperoleh dari hasil pembacaan langsung pada alat Marshall Test sewaktu melakukan pengujian Marshall.

3. Density (Kerapatan)

Density merupakan kerapatan dari campuran setelah dilakukan pemadatan di laboratorium maupun di lapangan. Nilai density ini digunakan untuk membandingkan nilai kepadatan dari perkerasan baik dari laboratorium maupun dari lapangan dan sebagai batasannya ≥ 96% terhadap kepadatan di laboratorium. Tingkat kerapatan dari rongga perkerasan dipengaruhi oleh jumlah kadar aspal, kualitas dan jenis fraksi agregat dari bahan penyusun. 4. Rongga Udara dalam Campuran / Void in Mix (VIM)

VIM adalah volume rongga yang masih tersisa setelah campuran beton aspal dipadatkan, dinyatakan dalam persen (%). VIM dibutuhkan untuk mengetahui besarnya rongga campuran akibat bergesernya butir-butir agregat dalam butir aspal. VIM yang terlalu kecil akan mengakibatkan beton aspal mengalami bleeding dan VIM yang terlalu besar mengakibatkan beton aspal berkurang kekedapan airnya sehingga berakibat meningkatnya proses oksidasi aspal yang dapat mempercepat penuaan aspal dan menurunkan durabilitas (keawetan/daya tahan).

5. Rongga Terisi Aspal / Voids Filled with Asphalt (VFA)

VFA adalah volume rongga beton aspal yang terisi oleh aspal, dinyatakan dalam persen (%). Parameter VFA diperlukan untuk mengetahui perkerasan memilki keawetan dan tahan air yang cukup memadai.

6. Rongga diantara Mineral Agregat / Void in Mineral Agregat (VMA)

VMA adalah ruang diantara partikel agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap agregat). Volume rongga yang terdapat diantara partikel agregat suatu campuran beraspal yang telah dipadatkan, yaitu rongga udara dan volume kadar aspal efektif yang dinyatakan dalam persentase terhadap volume total benda uji.


(21)

17

7. Marshall Quotient (MQ)

MQ adalah hasil bagi dari stabilitas dengan kelelehan yang dipergunakan untuk pendekatan terhadap tingkat kekakuan atau kelenturan campuran, dinyatakan dalam Kn/mm. Nilai MQ yang tinggi menunjukkan nilai kekakuan lapis keras tinggi. Lapis keras yang mempunyai nilai MQ yang terlalu tinggi akan mudah terjadi retak-retak akibat repitisi beban lalu lintas. Jika nilai MQ yang terlalu rendah menunjukkan campuran terlalu fleksibel yang mengakibatkan perkerasan mudah berubah bentuk bila menahan beban lalu lintas. Marshall Quotient besarnya merupakan indikator dari kelenturan yang potensial terhadap keretakan. Persyaratan untuk nilai parameter Marshall dapa dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Persyaratan sifat campuran untuk ATB

No Sifat-sifat Campuran Min Maks Satuan

1. 2. 3. 4. 5. 6. Stabilitas Kelelehan Quitient Marshall

Rongga dalam Campuran (VIM)

Rongga di antara mineral agregat (VMA) Rongga terisi aspal (VFA)

1800 4,5 300 3 13 60 - - - 5 - - Kg Mm Kg/mm % % %

Sumber : Spesifikasi umum 2010 (Revisi 2), PU-Bina Marga

B. Perhitungan Campuran 1. Berat Jenis Efektif Total Agregat

Berat jenis efektif total agregat dapat ditentukan dengan persamaan dibawah ini yang digunakan berdasrkan hasil pengujian kepadatan maksimum teoritis. Berat jenis efektif dari total agregat dapat dihitung dengan persamaan berikut :


(22)

dengan,

Gse total agregat = Berat jenis efektif agregat gabungan (gr/cc) Gsb = Berat jenis kering/bulk spesific gravity (gr/cc) Gsa = Berat jenis semu/apparent spesific gravity (gr/cc) Gse1, Gse2, ... Gsen = Berat jenis efektif dari masing-masing agregat 1, 2, ... n Pmm = Persen berat total campuran (=100)

Gmm =Berat jenis campuran maksimum teoritis setelah pemadatan (gr/cc)

Pb = Persentase kadar aspal terhadap total campuran (%) Gb = Berat jenis aspal (gr/cc)

2. Berat Jenis Maksimum dengan Kadar Aspal yang Berbeda

Gmm= Pmm

Ps Gse+

Pb Gb

………...…………...………...………...…...(3.2)

dengan,

Gmm = Berat jenis campuran maksimum (gr/cc) Pmm = Persen berat terhadap total campuran (=100)

Ps = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran Pb = Kadar aspal, persen terhadap berat tital campuran Gse = Berat jenis efektif agregat (gr/cc)

Gb = Berat jenis aspal (gr/cc)

3. Berat Jenis Bulk

Berat jenis kering (bulk spesific gravity) dari total agregat dapat dihitung menggunakan persamaan berikut :

Gsb= P1+P2+P3...+Pn P1

G1+

P2

G2+

P3

G3...+

Pn Gn


(23)

19

dengan,

Gsb = berat jenis bulk

P1,P2,Pn = persentase masing-masing fraksi agregat G1,G2,Gn = berat jenis masing-masing fraksi agregat 4. Berat jenis curah campuran padat

Vbulk Wa

Gmb ………...………...…………...………...………....(3. 4) Dengan:

Gmb = Berat jenis curah campuran padat (gr/cc)

Vbulk = Volume campuran setelah pemadatan (cc)

Wa = Berat di udara.(gr)

5. Rongga diantara mineral agregat

Gsb Ps Gmb

VMA100  ………...………....……...………...…...(3. 5)

dengan :

VMA = rongga diantara mineral agregat, persen terhadap volume total campuran

Gsb = berat jenis bulk

Gmb = berat jenis curah campuran padat

Ps = persen agregat terhadap berat total campuran. 6. Rongga di dalam campuran

Gmm Gmb Gmm

VIM 100  ………...………...………...…...(3. 6)

dengan :


(24)

Gmb = berat jenis curah campuran padat Gmm = berat jenis maksimum campuran. 7. Rongga terisi aspal

VFA=100

(

VMA- VIM

)

VMA ………...………...………...…...(3.7)

dengan :

VFA = rongga terisi aspal, persen terhadap VMA VMA = rongga diantara mineral agregat

VIM = rongga di dalam campuran. 8. Stabilitas

Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan pembacaan arloji tekan dikalikan dengan hasil kalibrasi cincin penguji serta angka korelasi beban. Angka korelasi beban terlampir.

9. Kelelehan (mm)

Dibaca pada arloji pengukur pelelehan. 10. Marshall Quotient

Marshall Quotient dapat dihitung dengan menggunalan persamaan berikut :

F S

MQ ………...………...………...…...(3.8)

dengan,

MQ = Marshall Quotient (kg/mm) S = nilai stabilitas (kg)


(25)

21

C. Pemadatan

Pemadatan adalah proses dimana partikel-partikel solid dirapatkan secara mekanis sehingga volume rongga dalam campuran mengecil dan kepadatan campuran meningkat dan mengatur distribusi partikel agregat dalam campuran sehingga menghasilkan konfigurasi agregat optimum dalam mencapai kepadatan yang ditargetkan dan Metode Marshall adalah metode untuk menguji parameter yang diperlukan (Bowles, 1991).

Pemadatan pada intinya merupakan suatu upaya untuk memperkecil jumlah rongga dalam suatu campuran, sehingga mencapai nilai yang diisyaratkan. Karena perannya yang besar terhadap karakteristik perkerasan, maka pemadatan baik pada waktu pelaksanaan di lapangan maupun pemadatan di laboratorium untuk pembuatan benda uji Marshall, diatur sedemikian untuk menghindari penyimpangan.

Pemadatan pada pelaksanaannya sangat rawan akan terjadinya penyimpangan-penyimpangan, baik karena alat-alat yang digunakan tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan atau juga karena jumlah lintasan (passing) alat pemadat dalam melakukan pemadatan menyimpang dari jumlah yang ditetapkan. Ada dua jenis pemadatan yang dilakukan, yaitu :

a. Pemadatan di Laboratorium

Pemadatan di laboratorium diperlukan untuk mendapatkan campuran dalam cetakan besi (mold) berbentuk silinder, untuk dijadikan benda uji dalam pemeriksaan dengan alat uji Marshall. Pemadatan diawali dengan spesimen campuran dalam cetakan ditusuk-tusuk sebanyak 25 kali, dibagian tepi 15 kali dan 10 kali di bagian tengah, kemudian dipadatkan pada suhu 140oC dengan 2 x 35 kali tumbukan untuk lalu lintas ringan, 2 x 50 kali tumbukan untuk lalu lintas sedang, dan 2 x 75 kali tumbukan untuk lalu lintas berat. Sedangkan beban seberat 4,536 kg dijatuhkan dari ketinggian 45,7 cm untuk menumbuk spesimen tersebut.


(26)

b. Pemadatan di Lapangan

Ketika dipadatkan di laboratorium, campuran memiliki penahan (retraining) yang baik oleh cetakan (mold). Sedang yang terjadi di lapangan, campuran dipadatkan dalam keadaan tergelar bebas tanpa penahan, sehingga sebelum tergilas (asphalt finisher) bekerja dengan baik dan operator berpengalaman, sehingga prosedur pemadatan yang dilaksanakan bisa sesuai dengan ketentuan.

Tahap-tahap pemadatan di lapangan sesuai dengan buku Petunjuk pelaksanaan Laston Atas No. 03/PT/B/1983 sebagai berikut:

1. Pemadatan awal (break down rolling)

Pemadatan awal dilakukan pada temperature minimum 80oC, dengan menggunakan tandem roller, atau mesin gilas roda tiga (4-6 ton) dengan jumlah lintasan 2-4 kali pada kecepatan 3-4 km/jam

2. Pemadatan antara (intermediate rolling)

Pemadatan antara dilakukan setelah pemadatan pertama selesai dengan menggunakan mesin gilas roda karet (self propelled pneumatic tired roller) berat 10-12 ton dan tekanan angin 70-80 psi pada kecepatan 5 km/jam.

3. Pemadatan akhir (finishing rolling)

Pemadatan akhir dilakukan dengan tandem roller 4-6 ton langsung setelah pemadatn antara berakhir, pada temperature minimum 60oC atau sedikit diatas titik leleh aspal yang digunakan dengan jemlah lintasan antara 4-6 kali pada kecepatan 5-8 km/jam.


(27)

23

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini untuk pengujian agregat, aspal, pembuatan benda uji dan pengujian Marshall dilakukan di Laboratorium Bahan Perkerasan Jalan, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhamamdiyah Yogyakarta (UMY).

B. Bagan Alir Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang sepenuhnya dilaksanakan melalui beberapa tahapan. Untuk lebih jelasnya tahapan penelitian secara umum dapat dilihat secara skematis pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

Tidak

Ya

Gambar 4.1 Bagan alir penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO)

AC penetrasi 60/70 : 1. Penetrasi 2. Titik nyala 3. Titik lembek 4. Daktilitas 5. Berat jenis 6. Kehilangan berat Agregat kasar :

1. Keausan agregat

2. Berat jenis semu 3. Absorbsi air

Agregat halus : 1. Berat jenis

semu 2. Absorbsi air

Analisis saringan sesuai dengan spesifikasi umum

Persiapan alat dan bahan

Mulai

Studi pustaka

Pemeriksaan bahan

Memenuhi spesifikasi ?


(28)

Tidak

Ya

Gambar 4.1 Lanjutan bagan alir penentuan Kadar Aspal Optimum (KAO) Perencanaan campuran

Design Mix Formula: Gradasi ideal kadar aspal 4-6 % untuk mendapatkan Kadar Aspal optimum

Benda uii direndam ± 24 jam dalam waterbath pada suhu ruang 600C

Benda uji diletakkan dalam alat uji Marshall

Pembuatan 15 benda uji untuk mencari kadar aspal optimum 2 x

75 tumbukan

Pengukuran tinggi dan diameter serta penimbangan benda uji (berat kering)

Hasil pengujian : 1. Stabilitas

2. Kelelehan (flow)

Angka terkoreksi

Selesai Memenuhi spesifikasi ?

Penimbangan benda uji dalam air Penimbangan benda uji dalam kondisi

SSD

Analisa :

1. VMA

2. VIM

3. VFA

Pengujian Marshall

Hasil terkoreksi : 1. Stabilitas 2. Kelelehan (flow) 3. Marshall Quotient

Penentuan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) Analisis perhitungan


(29)

25

Gambar 4.2 Bagan alir penelitian campuran dengan variasi jumlah pemadatan

C. Alat dan Bahan

Pada penelitian ini, alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini dari pemeriksaan bahan sampai dengan pengujian untuk benda uji yaitu :

a. Timbangan (neraca Ohauss) dengan ketelitian 0,01 gram, untuk mengetahui kebutuhan berat setiap sampel, meliputi agregat dan aspal serta mengetahui berat dari setiap benda uji yang telah dibuat.

Pengukuran tebal dan penimbangan (Kering, Dalam air, SSD)

Pengujian Marshall

Pencampuran

Persiapan bahan (untuk 12 benda uji) : 1. Agregat dengan gradasi ideal 2. Aspal dengan Kadar Aspal

Optimum (KAO)

Pemadatan dengan variasi jumlah tumbukan 2x25, 2x50, 2x75, 2x100

Mulai

Stabilitas Flow MQ VIM VMA VFA

Analisis

Kesimpulan dan Saran


(30)

b. Saringan, dengan ukuran 37,5mm; 25mm; 19 mm; 12,5 mm; 9,5 mm; 4,75 mm; 2,36 mm; 1,18 mm; 0,600 mm; 0,300 mm; 0,150 mm; 0,075 mm. c. Shave shaker machine, untuk mengayak agregat halus dan filler. d. Mesin Los Angeles, untuk menguji tingkat keausan agregat kasar. e. Piknometer, untuk pemeriksaan berat jenis aspal.

f. Oven, untuk membantu proses pengeringan agregat.

g. Waterbath, sebagai bak perendam benda uji yang dilengkapi dengan suhu yang terukur.

h. Untuk pemeriksaan aspal digunakan alat uji penetrasi, alat uji daktilitas, alat uji titik lembek, alat uji titik nyala serta cawan untuk pengujian kehilangan berat pada aspal.

i. Alat uji Marshall, digunakan untuk mendapatkan karakteristik campuran aspa, yang terdiri dari :

1) Cincin penguji berkapasitas 2500 kg (5000 lb) yang dilengkapi dengan arloji pengukur flowmeter.

2) Alat cetak benda uji/mold berbentuk silinder dengan diameter 10,2 cm (4 inch) dengan tinggi 7,5 cm (3 inch) untuk Marshall standar (Sukirman, 1999).

3) Penumbuk standar dengan permukaan rata berbentuk silinder berdiameter 9,8 cm dengan berat 4,5 kg (10 lb) dan tinggi jatuh bebas 45,7 cm (18 inch).

j. Kompor sebagai pemanas agregat dan aspal, termometer untuk mengukur suhu, jangka sorong (caliper) untuk mengukur dimensi dari benda uji serta pengaduk.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan benda uji dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Aspal, digunakan penetrasi 60/70.

b. Agregat kasar, digunakan batu pecah yang berasal dari Celereng. c. Agregat halus,berasal dari Kali Progo


(31)

27

D. Tahapan Penelitian 1. Persiapan alat dan bahan

Pada tahapan ini, persiapan alat berupa pengecekan kondisi untuk setiap alat bahwa alat dalam kondisi bersih dan baik, sehingga tidak mengganggu selama proses penelitian berlangsung, seperti timbangan yang harus dikalibrasi terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahan dalam proses penimbangan untuk setiap bahan-bahan.

Untuk persiapan bahan berupa pengadaan bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian, yakni agregat kasar, agregat halus serta abu batu yang telah dicuci bersih sehingga menghasilkan kualitas batu yang memenuhi syarat pengujian.

2. Pemeriksaan bahan

Pemeriksaan bahan bertujuan untuk mengetahui apakah bahan tesebut layak digunakan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan atau tidak.

3. Pembuatan benda uji

Pembuatan benda uji dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan benda uji masing-masing 3 buah untuk kadar aspal 4-6% guna mendapatkan nilai KAO dan tahap kedua yaitu pembuatan benda uji setelah diperoleh nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) yang masing-masing 3 buah untuk tiap variasi jumlah tumbukan.

Pembuatan benda uji tahap pertama dilakukan dengan tahapan berikut ini: a. Ditentukan kadar aspal sebesar 4%, 4,5%, 5%, 5,5%, dan 6%. b. Dihitung kebutuhan berat setiap bahan:

1) Dihitung berat sampel 2) Dihitung berat aspal 3) Dihitung berat agregat


(32)

c. Dicampur agregat dengan aspal pada suhu yang disarankan berdasarkan spesifikasi Bina Marga 2010.

d. Dilakukan pemadatan terhadap sampel sebanyak 2 x 75 kali tumbukan

e. Benda uji didiamkan terlebih dahulu agar mulai mengeras sebelum dikeluarkan dari cetakan, dan kemudian didiamkan selama kurang lebih 24 jam.

f. Diukur ketebalan menggunakan jangka sorong dan ditimbang, kemudian benda uji direndam dalam air pada suhu normal selama 24 jam.

g. Benda uji ditimbang kembali dan dikeringkan sampai kondisi benda uji kering permukaan untuk mendapatkan berat jenuh.

h. Sebelum diuji dengan menggunakan alat Marshall, benda uji direndam terlebih dahulu dalam waterbath pada suhu 60oC selama 30 menit.

Benda uji dibuat sebanyak 3 buah pada masing-masing kadar aspal sehingga jumlah benda uji yang dibuat sebanyak 15 buah.

Pembuatan benda uji tahap kedua dilakukan dengan tahapan berikut ini : a. Dari pengujian Marshall tahap pertama didapatkan nilai Kadar

Aspal Optimum (KAO) sebesar 5,45 % b. Dihitung kebutuhan berat setiap bahan :

1) Dihitung berat sampel.

2) Dihitung berat kadar aspal optimum yaitu 5,45 %. 3) Dihitung berat agregat

c. Dicampur agregat dengan KAO pada suhu optimum 150oC. d. Dilakukan pemadatan dengan variasi :

1) 2x25 tumbukan 3 buah sampel. 2) 2x50 tumbukan 3 buah sampel. 3) 2x75 tumbukan 3 buah sampel 4) 2x100 tumbukan 3 buah sampel.


(33)

29

e. Benda uji didiamkan terlebih dahulu agar mulai mengeras sebelum dikeluarkan dari cetakan, dan kemudiam didiamkan selama kurang lebih 24 jam.

f. Diukur ketebalan menggunakan jangka sorong dan benda uji kemudian ditimbang, benda uji lalu direndam dalam air pada suhu normal selama 24 jam.

g. Benda uji ditimbang kembali dan benda uji lalu dikeringkan sampai kondisi kering permukaan untuk mendapatkan berat jenuh. h. Sebelum diuji dengan menggunakan alat Marshall, benda uji direndam terlebih dahulu dalam waterbath pada suhu 60oC selama 30 menit.

i. Setelah pengujian Marshall dilakukan terhadap seluruh benda uji, kemudian dilakukan analisis terhadap data yang diperoleh. Dari hasil pengujian didapatkan nilai-nilai parameter Marshall yaitu Stabilitas, Kelelehan (Flow), VMA, VIM, VFA, dan MQ.

Tabel 4.1 Data jumlah sampel berdasarkan variasi pemadatan.

Jenis campuran

Kadar Aspal Optimum

(%)

Variasi pemadatan 25

tumbukan

50 tumbukan

75 tumbukan

100 tumbukan

Asphalt Treated Base (ATB)

5,45 3 3 3 3

Total jumlah sampel 12 buah

4. Pengujian Marshall

Setelah pengujian Marshall dilakukan terhadap seluruh benda uji, kemudian langkah berikutnya adalah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh.


(34)

Data yang akan dianalisis pada pengujian ini antara lain :

1. Rongga di antara mineral agregat (VMA), ditunjukkan pada Persamaan 3.5.

2. Rongga di dalam campuran (VIM), ditunjukkan pada Persamaan 3.6. 3. Rongga terisi aspal (VFA), ditunjukkan pada Persamaan 3.7.

4. Stabilitas (kg). 5. Kelelehan (mm).

5. Analisis Hasil

Dari pengujian Marshall diperoleh data yang akan dijadikan sebagai dasar perhitungan yakni VMA, VIM, VFA, stabilitas dan flow. Nilai stabilitas dan flow didapatkan dari pengujian menggunakan uji Marshall, sedangkan VMA, VIM serta VFA ditentukan melalui penimbangan benda uji dan perhitungan (berat kering, berat kering permukaan dan berat dalam air). Dari data yang diperoleh dibuat suatu analisis hubungan yang disajikan dalam grafik hubungan antara :

1. Jumlah variasi tumbukan & VMA. 2. Jumlah variasi tumbukan & VIM. 3. Jumlah variasi tumbukan & VFA. 4. Jumlah variasi tumbukan & Stabilitas. 5. Jumlah variasi tumbukan & Flow.


(35)

31

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Pengujian Agregat

Agregat merupakan komponen utama dari lapisan perkerasan jalan yang terdiri dari agregat halus dan agregat kasar. Oleh karena itu, sebelum digunakan maka dilakukan beberapa jenis pengujian untuk mengetahui kelayakan dari agregat tersebut. Hasil dari pengujian agregat akan disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5. 1 Hasil pengujian agregat kasar dan agregat halus

No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi Pengujian Standar

Minimal Maksimal

I. Agregat Kasar

1 Berat Jenis Bulk - 2,697 - - SNI 03-1969-1990

2 Berat jenis Apparent - 2,721 2,5 - SNI 03-1969-1990

3 Berat jenis efektif - 2,640 - - SNI 03-1969-1990

4 Penyerapan % 0,880 - 3 SNI 03-1969-1990

5 Pengujian Abrasi % 22,83 - 40 SNI 03-2417-1991

II. Agregat Halus

1 Berat Jenis Bulk - 2,612 - - SNI 03-1979-1990

2 Berat jenis Apparent - 2,698 2,5 - SNI 03-1979-1990

3 Berat jenis efektif - 2,643 - - SNI 03-1979-1990

4 Penyerapan % 1,205 - 3 SNI 03-1979-1990

Sumber : Dokumen Pelelangan Nasional Pekerjaan jasa pelaksanaan konstruksi BAB VII Spesifikasi Umum 2010 Divisi 6 Tabel 6.3.2.(1a)

Berdasarkan hasil dari pengujian pada Tabel 5.1 maka agregat kasar dan agregat halus memenuhi persyaratan sebagai bahan yang akan digunakan pada penelitian ini

B. Hasil Pengujian Aspal

Aspal yang digunakan pada penelitian ini merupakan aspal keras dengan penetrasi 60/70. Untuk mengetahui kelayakan dari aspal tersebut, maka dilakukan beberapa jenis pengujian. Hasil dari pemeriksaan aspal akan disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Hasil pengujian aspal keras AC 60/70

No Jenis Pengujian Satuan Hasil

rata-rata

Spesifikasi

Pengujian Standar

Min Maks

1 Penetrasi (25º, 5 dt,


(36)

2 Titik Lembek ºC 55,05 48 58 SNI 06-2434-1991

3 Titik Nyala ºC 254 200 - SNI 06-2433-1991

4 Daktilitas cm 90 100 - SNI 06-2432-1991

5 Berat Jenis gr/cm3 1,07 1 - SNI 06-2441-1991

6 Kehilangan Berat % berat 0,236 - 0,8 SNI 06-2440-1991

Sumber : Spesifikasi umum 2010 (Revisi 2), PU-Bina Marga

Dari nilai penetrasi rata-rata sebesar aspal 73,6 dapat disimpulkan bahwa aspal ini termasuk aspal AC pen 60/70, yaitu aspal dengan penetrasi antara 60-70. Dari pengujian titik lembek, titik nyala, berat jenis dan kehilangan berat semua hasil yang didapat memenuhi persyaratan yang ditentukan SNI. Untuk pengujian daktilitas nilai yang didapat tidak memenuhi standar persyaratan yang di tentukan, sebab pada saat penarikan alat yang digunakan sudah tidak sesuai kecepatan penarikannya. Pengujian yang dilakukan sudah mengikuti prosedur yang benar dengan penambahan gliserin dalam campuran air agar berat jenis aspal terhadap air lebih besar dan pengujian tersebut sudah dilakukan berulang-ulang kali.

C. Kadar Aspal Optimum (KAO)

Pemakaian aspal dalam campuran sangat menentukan tingkat kekedapan terhadap air dan udara. Semakin besar kadar aspal akan semakin rapat campurannya, karena rongga dalam campuran akan terisi aspal. Pemakaian aspal yang banyak akan memberikan ikatan yang baik dalam campuran. Tetapi kadar aspal yang berlebihan akan berakibat aspal berubah fungsi menjadi pelicin pada temperatur yang tinggi. Untuk itu perlu dicari kadar aspal yang optimum.

Berdasarkan spesifikasi Bina Marga, Buku V Divisi 6.3 (2010), kadar aspal normal adalah 3%-6%. Melalui prosedur uji Marshall akan diperoleh kadar aspal optimum, dimana pada kadar aspal optimum sangat tergantung pada karakter agregat seperti gradasi dan penyerapan.

Pada pengujian Marshall metode Bina Marga, kadar aspal optimum diperoleh dari nilai-nilai VMA, VIM, VFA, Stabilitas, Kelelehan( flow), dan Quitient Marshall yang ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan antara kadar aspal yang digunakan dengan parameter-parameter tersebut. Selanjutnya diplotkan dengan parameter yang


(37)

33

telah diisyaratkan, sehingga diperoleh rentang aspal yang memenuhi syarat, maka nilai kadar aspal optimum diambil pada nilai tengah dari koridor kadar aspalnya.

Hasil pengujian ditampilkan pada Tabel 5.3 sampai dengan Tabel.5.8 dan Gambar 5.1 sampai dengan Gambar 5.6 .

Tabel 5.3 Nilai VMA

Kadar Aspal

(%) Nilai VMA (%)

4 14,4

4,5 14,13

5 14,44

5,5 14,48

6 14,51


(38)

Tabel 5.4 Nilai VIM

Kadar Aspal

(%) Nilai VIM (%)

4 6,66

4,5 5,23

5 4,40

5,5 3,26

6 2,07

Gambar 5.2 Hubungan antara kadar aspal dengan VIM Tabel 5.5 Nilai VFA

Kadar Aspal

(%) Nilai VFA (%)

4 53,80

4,5 63,01

5 69,71

5,5 77,52


(39)

35

Gambar 5.3 Hubungan antara kadar aspal dengan VFA

Tabel 5.6 Nilai Stabilitas

Gambar 5.4 Hubungan antara kadar aspal dengan Stabilitas

Kadar Aspal

(%) Nilai Stabilitas (Kg)

4 2233,2

4,5 2299,73

5 2387,39

5,5 2313,36


(40)

Tabel 5.7 Nilai Kelelehan (Flow)

Kadar Aspal

(%) Nilai Kelelehan (Flow) (mm)

4 4,60

4,5 4,16

5 4,47

5,5 5,27

6 5,88

Gambar 5.5 Hubungan antara kadar aspal dengan Kelelehan

Tabel 5.8 Nilai MQ

Kadar Aspal

(%) Nilai MQ (Kg/mm)

4 441,67

4,5 530,04

5 494,65

5,5 417,17


(41)

37

Gambar 5.6 Hubungan antara kadar aspal dengan MQ

Gambar 5.7 Penentuan kadar aspal optimum

Berdasarkan hasil uji Marshall, campuran dengan kadar aspal normal berkisar antara 4-6% diperoleh kadar aspal optimum (KAO) sebesar 5,45%.


(42)

D. Hubungan antara Jumlah Tumbukan dan Parameter Hasil Uji Marshall Dari hasil uji Marshall dengan jumlah tumbukan yang bervariasi didapat hasil selengkapnya sebagai berikut.

1. . Voids in the Mineral Aggregate (VMA)

VMA digunakan untuk mengukur kemampuan suatu campuran dalam menerima dan menampung sejumlah kadar aspal (Arifin, dkk., 2008). Rongga dalam agregat atau VMA merupakan salah satu parameter penting dalam rancangan campuran aspal, karena pengaruhnya terhadap ketahanan dari campuran aspal. VMA menunjukkan banyaknya % aspal dari rongga yang terisi aspal. Hasil untuk nilai pengujian VMA masing-masing variasi jumlah tumbukan disajikan pada Tabel 5.9 dan Gambar 5.8.

Tabel 5.9 Nilai VMA untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optimum

(%)

VMA(%)

2x25 tumbukan 2x50 tumbukan 2x75 tumbukan 2x100 tumbukan

5,45 25,07 22,05 19,50 17,44


(43)

39

Dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa semua hasil memenuhi spesifikasi namun semakin bertambah jumlah tumbukan menyebabkan nilai VMA mengalami penurunan, nilai tertinggi terdapat pada 2 x 25 kali tumbukan yaitu 25,07% dan nilai VMA terendah sebesar 17,44% pada tumbukan 2 x 100. Terjadinya penurunan nilai VMA pada campuran disebabkan karena agregat yang tadinya sudah padat pada tumbukan ke 2 x 25 bertambah padat dengan adanya butiran akibat tumbukan berikutnya yang mengisi rongga. Nilai kadar rongga antar agregat dalam campuran pada agregat minimum adalah 13%, jika didapat nilai VMA yang terlalu besar, maka akan diperlukan tambahan jumlah aspal agar rongga udara dalam lapisan perkerasan dapat dikurangi. Namun, jumlah aspal yang berlebihan didalam campuran dapat membuat stabilitas campuran terganggu (Lavin 2003, dalam Rizana 2012).

2. Voids in Mix (VIM)

Nilai VIM menunjukkan nilai persentase rongga dalam suatu campuran aspal. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai VIM adalah gradasi, kadar aspal dan density. Nilai VIM yang semakin besar menunjukkan campuran bersifat keropos (porous). Proses ini mengakibatkan udara dan air mudah masuk ke dalam lapis perkerasan sehingga berakibat meningkatkan proses oksidasi yang dapat mempercepat penuaan aspal. Apabila didapat nilai VIM yang kecil, maka dapat diindikasikan bahwa campuran akan bersifat lebih kedap air. Nilai VIM yang terlalu kecil juga dapat mengakibatkan terjadinya bleeding pada lapis perkerasan saat temperatur meningkat. Spesifikasi dari VIM berkisar antara 3%-5%. Hasil dari nilai VIM disajikan pada Tabel 5.10 dan Gambar 5.9.

Tabel 5.10 Nilai VIM untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optimum

(%)

VIM(%)

2x25 tumbukan 2x50 tumbukan 2x75 tumbukan 2x100 tumbukan


(44)

Gambar 5.9 Hubungan antara variasi jumlah tumbukan dengan VIM

Dari Gambar 5.9 terlihat bahwa semakin bertambah jumlah tumbukan maka nilai VIM semakin menurun, tetapi pada tumbukan 2x 75 dan 2 x 100 justru mengalami peningkatan. Nilai VIM terendah diperoleh sebesar 3,66% pada tumbukan 2 x 50 dan tertinggi sebesar 5,03% pada tumbukan 2 x 25. Campuran yang mengalami pemadatan dimana berat VIM dicapai kurang dari 3% akan mengakibatkan alur plastis dan jembul. Nilai VIM lebih dari 5% mengakibatkan campuran tidak kedap air. Nilai VIM pada penelitian masuk dalam spesifikasi yang telah ditentukan oleh Bina Marga sebagaimana yang telah disyaratkan sebesar 3%-5%. Hasil dari nilai VIM menunjukkan dengan penambahan kadar aspal pada campuran aspal terjadi peningkatan, sehingga mengakibatkan berkurangnya keawetan dari lapis keras, udara dan air mudah masuk kedalam lapis perkerasan.

3. Voids Filled with Asphalt (VFA)

Rongga dalam campuran terjadi akibat adanya ruang sisa antar butiran penyusun campuran. Rongga ini dalam kondisi kering akan diisi oleh udara dan dalam kondisi basah akan diisi oleh air. Nilai VFA sangat dipengaruhi oleh penggunaan jumlah kadar aspal. Nilai VFA yang besar berarti semakin banyak rongga udara yang terisi aspal, sehingga kekedapan campuran terhadap air dan udara


(45)

41

akan semakin tinggi, tetapi dengan nilai VFA yang terlalu tinggi akan menyebabkan lapis keras mudah mengalami bleeding. Nilai VFA yang diisyaratkan adalah diatas antara 60 %.

Nilai VFA yang terlalu kecil akan menyebabkan kekedapan campuran berkurang karena hanya sedikit rongga yang terisi oleh aspal, dengan banyaknya rongga yang kosong, air dan udara akan mudah masuk ke dalam lapis keras sehingga keawetan dari lapis keras akan berkurang (Juliasti, dkk, 2003). Hasil dari nilai VFA disajikan pada Tabel 5.11 dan Gambar 5.10.

Tabel 5.11 Nilai VFA untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optimum

(%)

VFA(%)

2x25 tumbukan 2x50 tumbukan 2x75 tumbukan 2x100 tumbukan

5,45 38,11 65,01 66,92 70,42

Gambar 5.10 Hubungan antara variasi jumlah tumbukan dengan VFA

Dari grafik terlihat semakin bertambahnya jumlah tumbukan maka nilai VFA akan semakin meningkat. Nilai VFA terendah didapat pada tumbukan 2 x 25 yaitu sebesar 38,11 % dan nilai tertinggi berada pada tumbukan 2 x 100 yaitu 70,42 %. Nilai tersebut juga masuk spesifikasi dan menjadi nilai yang disyaratkan.


(46)

4. Stabilitas

Nilai stabilitas menunjukkan besarnya kemampuan lapis keras untuk menahan deformasi yang terjadi akibat adanya beban lalu lintas tanpa terjadinya perubahan bentuk seperti gelombang dan alur (Juliasti,dkk, 2003). Kebutuhan akan stabilitas dengan jumlah lalu lintas dan volume lalu lintas yang tinggi menuntut stabilitas yang lebih besar. Nilai stabilitas dipengaruhi sifat saling mengunci antara agregat penyusunnya yang tergantung dari tekstur permukaan, bentuk butiran, gradasi dan kadar aspal. Nilai minimum yang diisyaratkan adalah sebesar 1800 Kg. Nilai stabilitas untuk masing-masing campuran dapat dilihat pada Tabel 5.12 dan Gambar 5.11.

Tabel 5.12 Nilai Stabilitas untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optimum

(%)

Stabilitas (kg)

2x25 tumbukan 2x50 tumbukan 2x75 tumbukan 2x100 tumbukan

5,45 1850,68 2094,57 2610,70 2379,98

Gambar 5.11 Hubungan antara variasi jumlah tumbukan dengan stabilitas

Dari grafik terlihat bahwa nilai stabilitas mengalami kenaikan semakin bertambahnya jumlah tumbakan, namun pada tumbukan 2 x 100 nilai stabilitas justru


(47)

43

mengalami penurunan. Nilai stabilitas tertinggi diperoleh sebesar 2610,70 kg pada tumbukan 2x 75 dan terendah diperoleh sebesar 1850,68 Kg dan semua nilai masuk ke dalam spesifikasi yang disyaratkan.

5. Kelelehan

Kelelehan menunjukkan besarnya deformasi dari campuran akibat beban yang bekerja pada perkerasan. Nilai kelelehan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain viskositas dan kadar aspal. Campuran yang memiliki nilai kelelehan yang rendah dan stabilitas yang tinggi, cenderung menjadi terlalu kaku dan getas, sedangkan campuran yang memiliki nilai kelelehan yang tinggi dengan nilai stabilitas yang rendah cenderung plastis dan mudah berubah bentuk jika mendapatkan beban lalu lintas. Hasil kelelehan disajikan dalam Tabel 5.13 dan Gambar 5.12.

Tabel 5.13 Nilai kelelehan untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optimum

(%)

Kelelehan/ Flow (mm)

2x25 tumbukan 2x50 tumbukan 2x75 tumbukan 2x100 tumbukan

5,45 5,68 4 4,9 4,8


(48)

Kelelehan plastis (flow) merupakan indikator terhadap lentur. Pada Gambar 5.11 diperlihatkan bahwa nilai kelelehan mengalami penurunan semakin bertambahnya jumlah tumbukan, tetapi pada tumbukan 2 x 75 nilai flow mengalami peningkatan dan turun kembali pada tumbukan 2 x 100 . Rongga terisi aspal yang semakin membesar membuat rentang kelelehan aspal semakin besar, sehingga benda uji lebih mampu mengikuti perubahan bentuk sampai benda uji tersebut hancur karena pembebanan.

Batas minimum flow adalah 4,5 mm. Flow dibutuhkan agar perkerasan mempunyai daerah mulur akibat pembebanan. Pada saat terjadi pembebanan campuran memanjang untuk mengikuti pembebanan agar perkerasan tidak retak. Jika semakin kecil kadar aspal maka perkerasan mudah retak tetapi besarnya flow juga dibatasi untuk mencegah terjadi gelombang dan alur pada perkerasan, sehingga memberikan kenyamanan dan keamanan berlalu lintas.

Hal ini disebabkan karena kadar aspal yang telah tercampur dengan agregat mengisi rongga-rongga yang ada, sehingga campuran menjadi semakin rapat atau padat. Jika campuran yang semakin padat ini menerima beban, maka deformasi akibat beban yang terjadi semakin kecil. Dapat diindikasikan bahwa agregat dengan campuran kadar aspal menyebabkan campuran menjadi kaku yang bisa menyebakan terjadinya retak (cracking).

6. Marshall Quotient (MQ)

MQ dihitung sebagai rasio dari stabilitas terhadap kelelehan yang digunakan sebagai indikator kekakuan campuran. Semakin tinggi nilai MQ suatu campuran, maka semakin kaku campuran tersebut, sebaliknya semakin kecil nilai MQ maka semakin lentur lapis perkerasan tersebut. Hasil untuk pengujian MQ disajikan pada Tabel 5.14 dan Gambar 5.13.


(49)

45

Tabel 5.14 Nilai MQ untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optimum

(%)

MQ (kg/mm)

2x25 tumbukan 2x50 tumbukan 2x75 tumbukan 2x100 tumbukan

5,45 303,49 476,68 481,64 447,64

Gambar 5.13 Hubungan antara variasi jumlah tumbukan dengan MQ

Dari Gambar 5.13 terlihat bahwa semakin bertambah jumlah tumbukan nilai MQ semakin meningkat namun mengalami penurunan pada tumbukan 2 x 100. Nilai tertinggi yang didapat adalah sebesar 481,64 kg/mm pada tumbukan 2 x 75 dan terendah adalah 303,49 pada tumbukan 2 x 25. Peningkatan nilai MQ ini disebabkan nilai stabilitas yang tinggi disertai dengan nilai kelelehan yang rendah. Nilai MQ yang dihasilkan memenuhi batas minimum spesifikasi sebesar 300 kg/mm. Dari hasil nilai MQ yang semakin naik dengan ditambahkannya kadar aspal meskipun dengan variasi tumbukan yang kecil, maka dapat di simpulkan bahwa campuran semakin kaku.


(50)

7. Jumlah Tumbukan Optimum

Jumlah rongga udara terkecil terdapat pada tumbukan 2 x 25 kali sampai 2 x 100 kali, tetapi pada kenyataannya pada tumbukan 2 x 25 kali ada salah satu kasrakteristik Marshall yang tidak terwakili persyaratannya, yaitu nilai VFA yang persyaratannya terwakili pada tumbukan 2 x 100 kali, karena gradasi agregat masih berada pada batas spesifikasi yang ada. Jadi berdasarkan penelitian diatas, maka jumlah tumbukan optimum berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh pada tumbukan 2 x 82,5 kali.

Gambar 5.14 Penentuan jumlah tumbukan optimum

Berdasarkan hasil pengujian Marshall secara keseluruhan, maka parameter Marshall pada campuran Asphalt Treated Base (ATB) ini memperoleh jumlah tumbukan yang optimum yaitu pada tumbukan 2 x 82,5 kali. Jumlah tumbukan 2x82,5 lebih disarankan karena pada 2x50 tumbukan nilai stabilitas rendah karena agregat masih belum terlalu rapat dan flow yang tidak memenuhi spesifikasi karena campuran yang belum terlalu padat, sehingga campuran rentan terhadap sifat plastis dan mudah berubah bentuk apabila mendapatkan beban lalu lintas. Sedangkan tumbukan 2x100 nilai stabilitas tinggi dan nilai VFA lebih tinggi yang akan mengakibatkan lapis keras mudah mengalami bleeding.


(51)

47

Tabel 5.15 HASIL PENELITIAN VARIASI JUMLAH PEMADATAN

Parameter/ spesifikasi

Jumlah tumbukan

2 x 25 2 x 50 2 x 75 2 x 100

Density

(gr/cc)

2,10 2,13 2,15 2,16

Masuk spek Makin tinggi Makin tinggi Makin tinggi

VFA (%) 65 - 75

38,11 65,01 66,92 70,42

Dibawah batas

spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

VIM (%) 3 - 8

5,03 3,66 3,94 4,35

Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

VMA (%) Min 15

25,07 22,05 19,50 17,44

Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

Stabilitas (Kg) Min 600

1850,68 2094,57 2610,70 2379,98

Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

Flow(mm)

2-4

5,68 4 4,9 4,8

Diatas spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

Quitient Marshall

(mm) Min 300

303,49 476,68 481,64 447,64


(52)

48

Sesuai dengan permasalahan, tujuan dan pembahasan pada hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Nilai karakteristik marshall pada variasi jumlah tumbukan dengan kadar aspal optimum 5,45 % pada campuran Asphalt Treated Base (ATB) yang memenuhi semua standar marshall, yaitu dari 2x75 tumbukan sampai 2x100. Nilai yang tidak masuk standar adalah VIM pada tumbukan 2x25 dan VFA pada tumbukan 2x25. Nilai flow yang tidak memenuhi standar marshall, yaitu pada tumbukan 2x50.

2. Pada penelitian ini jumlah tumbukan efektif yang memenuhi semua standar marshall untuk campuran Asphlat Treated Base (ATB) adalah dari tumbukan 2x75 sampai tumbukan 2x100. Dan jumlah tumbukan yang lebih disarankan adalah 2x82,5 tumbukan. Jumlah tumbukan 2x82,5 lebih disarankan karena pada tumbukan 2x100 nilai VFA yang tinggi menyebabkan semakin banyak rongga udara yang terisi aspal, sehingga kekedapan campuran terhadap air dan udara akan semakin tinggi yang rentan menyebabkan lapis keras mudah mengalami bleeding.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan oleh penulis untuk lebih sempurnanya penelitian yang akan datang,yaitu ;

1. Sebaiknya kontrol suhu dilakukan dengan lebih teliti saat pencampuran dan pemadatan campuran aspal, dan harus berhati-hati pada saat menuangkan aspal ke dalam cetakan agar jumlahnya tidak berkurang.

2. Dalam perhitungan jika terjadi kesalahan pada salah satu data diantara ketiga data sebaiknya data tersebut dihilangkan atau dilakukan pembuatan ulang sampel yang salah tersebut agar tidak menggangu grafik hasil akhir.


(53)

49

3. Dalam melakukan pembuatan benda uji marshall sebaiknya pada proses penimbangan aspal dan agregat harus lebih teliti akan hal ini dikarenakan dapat mempengaruhi nilai hasil pengujian marshall.


(54)

Nasional V, Yogyakarta ; Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt T-01-2002-B. Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementrian Pekerjaan Umum, 2013. Manual Desain Perkerasan Jalan, Jakarta.

Sukirman, S. 1999. Perkerasaan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung. Sukirman, S. 2003. Beton Aspal Campuran Panas, Penerbit Granit, Bandung.

Yulizarman,R. 2004. Pengaruh kegunaan pasir halus sungai terhadap karakteristik campuran Asphalt Treated Base (ATB) berdasarkan uji Marshall, Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


(55)

Laboratorium Bahan Lapis Keras Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Alamat : Jalan Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY, 55183

: :

A B satuan

5000 5000 (gram) 5043 5045 (gram) 3190 3190 (gram) 2.698327 2.695418 (gram) 2.639769 2.640125

2.720345 2.721065

0.86 0.9 (%)

Iman Basuki Penanggung Jawab

Berat jenis semu (apparent) Bk/(Bk-Ba) 2.721 Penyerapan (absorption) ((Bj-Bk)/Bk)*100% 0.880

Berat jenis Bk/(Bj-Ba) 2.697

Berat jenis kering permukaan jenuh Bj/(Bj-Ba) 2.640 Berat benda uji kering permukaan j Bj 5044.0 Berat benda uji dalam air Ba 3190.0

Hasil Pemeriksaan

Keterangan Rata-Rata

Berat benda uji kering oven Bk 5000 Nama Pemeriksa

Lampiran 1

Pemeriksaan

BERAT JENIS DAN PENYERAPAN AGREGAT KASAR

Pekerjaan

Angga Ramdhani K F Berat Jenis


(56)

: :

A B satuan

500 500 (gram)

494.7 493.4 (gram) 816.1 815.2 (gram) 1122.5 1130.3 (gram) 2.555269 2.668469

2.582645 2.704164 2.627191 2.767246

1.071356 1.337657 (%)

Penanggung Jawab

Iman Basuki

Penyerapan (absorption) ((500-Bk)/Bk)*100% 1.205 Berat jenis kering permukaan jenuh 500/(B+500-Bt) 2.643 Berat jenis semu (apparent) Bk/(B+Bk-Bt) 2.698 Berat piknometer + benda uji + air (25° Bt 1126.4 Berat jenis bulk Bk/(B+500-Bt) 2.612 Berat benda uji kering oven Bk 494.05 Berat piknometer + air (25° C) B 815.65

Hasil Pemeriksaan

Keterangan Rata-Rata

Berat benda uji kering permukaan je 500 Nama Pemeriksa

Pemeriksaan

BERAT JENIS DAN PENYERAPAN AGREGAT HALUS

Pekerjaan

Angga Ramdhani K F Berat Jenis


(57)

Gradasi kasar

No. Bukaan

Gradasi Kasar

Gradasi Halus

% lolos saringan

1,5 37.5 37.5 mm 100 100 0 1 25 25mm 90-100 90-100 5

¾” 19 19mm 73-90 73-90 13.5

½” 12.5 12,5mm 55-76 61-79 11.5

⅜ 9.6 9,5mm 45-66 47-67 13

#4 4.75 4,75mm 28-39.5 39.5-50 12

#8 2.36 2,36mm 19-26.8 30.8-37 11

#16 1.18 1,18mm 12-18.1 24.1-28 8

#30 0.6 600 µm 7-13.6 17.6-22 6

#50 0.3 300 µm 5-11.4 11.4-16 6

#100 0.15 150 µm 4.5-9 10-Apr 7

#200 0.075 75 µm 3 7 3 6 2.5

pan 4.5

Iman Basuki

Lampiran 4

Spesifikasi Asphalt Treated Base

Saringan Persen lolos


(58)

0 20 40 60 80

P

er

se

ntase


(59)

Laboratorium Bahan Lapis Keras Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Alamat : Jalan Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY, 55183

: :

Penanggung Jawab

Iman Basuki

Rata-rata 72.4 74.8

73.6

Penetrasi rata-rata :

4 74 79

5 77 70

2 64 72

3 74 80

Penetrasi pada 25° C 100 gram 5 detik Pemeriksaan I Pemeriksaan II

1 73 73

Hasil Pemeriksaan Nama Pemeriksa

Lampiran 5

Pemeriksaan

PENETRASI BAHAN-BAHAN BITUMEN

Pekerjaan

Angga Ramdhani K F Penetrasi


(60)

: :

I II I II

1 0 0

2 1'40" 1'40"

3 3'35" 3'35"

4 4'45" 4'45"

5 6'11" 6'18" 55 55.1

6 7

Penanggung Jawab

Iman Basuki

55.05

Titik lembek rata-rata : 40 45 50 55 60 65 35

Pemeriksaan

TITIK LEMBEK ASPAL DAN TER

Pekerjaan Nama Pemeriksa

Jalannya Pemeriksaan

No Suhu yang diamati (°C) Waktu (detik) Titik Lembek (°C)

Angga Ramdhani Titik lembek


(61)

(62)

: : °C 160 165 170 175 180 185 190 195 200 205 210 215 220 225 230 235 240 245 250 255 Penanggung Jawab Iman Basuki

35'01" 254°C

32'48" 33'13" 32'08" 32'39" 30'38" 31'45" 1 23'38" 26'23" 11 21'50" 6 22'25" 21 11'32" 16 20'55" 31 9'46" 26 10'46" 41 4'49" 36 6'26" 51 2'08" 46 3'11" Hasil Pemeriksaan 56 0'

°C di bawah TNP Waktu (menit) Titik Nyala Nama Pemeriksa

Jalannya Pemeriksaan

Pengamatan Jam Mulai

Suhu antara 56°C s/d 28°C di bawah TNP

11.17 Angga Ramdhani K F

Jam Selesai Suhu 65°C di bawah TNP

10.38 11.17

(Kenaikan suhu 15°C/menit)

11.52 (Kenaikan suhu 5°C s/d 6°C/menit)

Pekerjaan

Pemeriksaan

TITIK NYALA DAN TITIK BAKAR DENGAN CLEVELAND OPEN CUP


(63)

Laboratorium Bahan Lapis Keras Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Alamat : Jalan Lingkar Barat, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY, 55183

: :

satuan

(gram) (gram) (gram)

(gram) (gram) (gram) (%)

Penanggung Jawab

Iman Basuki

Lampiran 10

0.235610327 Kehilangan berat rata-rata

Kehilangan berat dalam gram (A-B) 0.1 0.2 Kehilangan berat dalam % ((A-B)/A) 0.15576324 0.315457413

Berat cawan + aspal 64.2 63.4

Berat aspal setelah dipanaskan (B) 64.1 63.2 Berat aspal sebelum dipanaskan (A) 64.2 63.4 Setelah dipanaskan

Berat Cawan Kosong 14.2 13.4

Berat cawan + aspal 64.2 63.4

Sebelum dipanaskan

Pemeriksaan

PENURUNAN BERAT MINYAK DAN ASPAL (THICK FILM TEST)

Pekerjaan Nama Pemeriksa

Pemeriksaan Sampel Uji

Keterangan Benda Uji I Benda Uji II Angga Ramdhani K F


(1)

Agregat Halus

1 Berat Jenis Bulk - 2,612 - -

SNI 03-1979-1990

2 Berat jenis

Apparent -

2,698 2,5 - SNI 03-1979-1990

3 Berat jenis efektif - 2,643 - -

SNI 03-1979-1990

4 Penyerapan % 1,205 - 3

SNI 03-1979-1990

5.2Hasil Pengujian Aspal

Aspal yang digunakan pada penelitian ini merupakan aspal keras dengan penetrasi 60/70. Untuk mengetahui

kelayakan dari aspal tersebut, maka dilakukan beberapa jenis pengujian. Hasil dari pemeriksaan aspal akan disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Hasil pengujian aspal keras AC 60/70

No

Jenis Pengujian Satuan

Hasil

rata-rata

Spesifikasi

Pengujian Standar Min Maks

1 Penetrasi (25º, 5

dt, 100 gr) 0,1 mm 73,6 60 79

SNI 06-2456-1991

2 Titik Lembek ºC 55,05 48 58 SNI 06-2434-1991

3 Titik Nyala ºC 254 200 - SNI 06-2433-1991

4 Daktilitas cm 90 100 - SNI 06-2432-1991

5 Berat Jenis gr/cm3 1,07 1 - SNI 06-2441-1991

6 Kehilangan

Berat % berat 0,236 - 0,8

SNI 06-2440-1991

5.3KadarAspal Optimum

Berdasarkan spesifikasi Bina Marga, Buku V Divisi 6.3 (2010), kadar aspal normal adalah 3%-6%. Melalui prosedur uji Marshall akan diperoleh kadar aspal optimum, dimana pada kadar aspal

optimum sangat tergantung pada karakter agregat seperti gradasi dan penyerapan.

Pada pengujian Marshall metode Bina Marga, kadar aspal optimum diperoleh dari nilai-nilai VMA, VIM, VFA, Stabilitas, Kelelehan( flow), dan Quitient Marshall yang ditampilkan dalam bentuk grafik


(2)

hubungan antara kadar aspal yang digunakan dengan parameter-parameter tersebut. Selanjutnya diplotkan dengan parameter yang telah diisyaratkan, sehingga diperoleh rentang aspal yang memenuhi syarat, maka nilai kadar aspal optimum diambil pada nilai tengah dari koridor kadar aspalnya.

5.4Hubungan antara Jumlah Tumbukan dan Parameter Hasil Uji Marshall 1. Voids in the Mineral Aggregate (VMA)

VMA digunakan untuk mengukur kemampuan suatu campuran dalam

menerima dan menampung sejumlah kadar aspal (Arifin, dkk., 2008)

Tabel 5.3 Nilai VMA untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optim um (%)

VMA(%)

25 tumbu

kan

50 tumbu

kan

75 tumbu

kan

100 tumbu

kan

5,45 25,07 22,05 19,50 17,44

2. Voids in Mix (VIM)

Nilai VIM menunjukkan nilai persentase rongga dalam suatu campuran aspal. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai VIM adalah gradasi, kadar aspal dan density. Nilai VIM yang semakin besar menunjukkan campuran bersifat keropos (porous).

Tabel 5.4 Nilai VIM untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optim um (%)

VIM(%)

25 tumbu

kan

50 tumbu

kan

75 tumbu

kan

100 tumbu

kan

5,45 5,03 3,66 3,94 4,35

3. Voids Filled with Asphalt (VFA)

Rongga dalam campuran terjadi akibat adanya ruang sisa antar butiran penyusun campuran. Rongga ini dalam kondisi kering akan diisi oleh udara dan dalam kondisi basah akan diisi oleh air.

Tabel 5.6 Nilai VFA untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optim um (%)

VFA(%)

25 tumbu

kan

50 tumbu

kan

75 tumbu

kan

100 tumbu

kan

5,45 38,11 65,01 66,92 70,42

4. Stabilitas

Nilai stabilitas menunjukkan besarnya kemampuan lapis keras untuk menahan deformasi yang terjadi akibat adanya beban lalu lintas tanpa terjadinya


(3)

perubahan bentuk seperti gelombang dan alur (Juliasti,dkk, 2003).

Tabel 5.5 Nilai Stabilitas untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optim um (%)

Stabilitas (kg)

25 tumbu

kan

50 tumbu

kan

75 tumbu

kan

100 tumbu

kan

5,45 1850,6 8

2094,5 7

2610,7 0

2379,9 8

5. Kelelehan

Kelelehan menunjukkan besarnya deformasi dari campuran akibat beban yang bekerja pada perkerasan.

Tabel 5.7 Nilai kelelehan untuk setiap variasi jumlah tumbukan Kadar

Aspal Optim um (%)

Kelelehan/ Flow (mm) 25

tumbu kan

50 tumbu

kan

75 tumbu

kan

100 tumbu

kan

5,45 5,68 4 4,9 4,8

6. Marshall Quotient (MQ)

MQ dihitung sebagai rasio dari stabilitas terhadap kelelehan yang digunakan sebagai indikator kekakuan campuran.

Tabel 5.8 Nilai MQ untuk setiap variasi jumlah tumbukan

Kadar Aspal Optim um (%)

MQ (kg/mm)

25 tumbu

kan

50 tumbu

kan

75 tumbu

kan

100 tumbu

kan

5,45 303,49 476,68 481,64 447,64

7. Jumlah Tumbukan Optimum

Jumlah rongga udara terkecil terdapat pada tumbukan 2 x 25 kali sampai 2 x 100 kali, tetapi pada kenyataannya pada tumbukan 2 x 25 kali ada salah satu kasrakteristik Marshall yang tidak terwakili persyaratannya, yaitu nilai VFA yang persyaratannya terwakili pada tumbukan 2 x 100 kali, karena gradasi agregat masih berada pada batas spesifikasi yang ada. Jadi berdasarkan penelitian diatas, maka jumlah tumbukan optimum berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh pada tumbukan 2 x 75 kali.


(4)

Tabel 5.15 HASIL PENELITIAN VARIASI JUMLAH PEMADATAN Parameter/

spesifikasi

Jumlah tumbukan

2 x 25 2 x 50 2 x 75 2 x 100

Density

(gr/cc)

2,10 2,13 2,15 2,16

Masuk spek Makin tinggi Makin tinggi Makin tinggi VFA (%)

65 - 75

38,11 65,01 66,92 70,42

Dibawah batas

spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi VIM (%)

3 - 8

5,03 3,66 3,94 4,35

Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

VMA (%) Min 15

25,07 22,05 19,50 17,44

Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

Stabilitas (Kg) Min 600

1850,68 2094,57 2610,70 2379,98

Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

Flow(mm)

2-4

5,68 4 4,9 4,8

Diatas spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi Masuk spesifikasi

Quitient Marshall

(mm) Min 300

303,49 476,68 481,64 447,64


(5)

KESIMPULAN

Sesuai dengan permasalahan, tujuan dan pembahasan pada hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemadatan dengan variasi jumlah tumbukan sangat berpengaruh terhadap seluruh parameter Marshall. Dengan adanya variasi jumlah pemadatan tersebut maka:

a. Semakin bertambah jumlah tumbukan maka kepadatan (density) akan semakin meningkat. Dari hasil penelitian ini, nilai kepadatan maksimum sebesar 2,16 gradasi/cc terjadi pada tumbukan 2 x 100 dan terendah sebesar 2,10 gradasi/cc terjadi pada tumbukan 2 x 25. b. Semakin bertambah jumlah

tumbukan maka nilai VFA akan semakin meningkat. Nilai VFA tertinggi diperoleh sebesar 70,42 % pada tumbukan 2 x 100 dan memenihi syarat spesifikasi, sedangkan terendah sebesar 38,11 % pada tumbukan 2 x 25 kali. Denagn peningkatan jumlah tumbukan maka nilai VFA yang diperoleh semakin besar.

c. Nilai VIM untuk variasi tumbukan pada gradasi batas tengah dan batas bawah telah memenuhi spesifikasi Bina Marga 2010 yaitu antara 3%-8%, Semakin bertambah jumlah

tumbukan maka nilai VIM akan semakin menurun. Nilai VIM tertinggi diperoleh sebesar 5,03 % pada tumbukan 2 x 25 dan terendah sebesar 3,66 % pada tumbukan 2 x 50.

d. Bertambahnya jumlah tumbukan menyebabkan penurunan pada nilai VMA dikarenakan agregat yang tadinya sudah padat bertambah padat dengan adanya butiran akibat tumbukan berikutnya yang mengisi rongga. Nilai VMA yang diperoleh memenuhi spesifikasi yang disyaratkan.

e. Nilai stabilitas untuk variasi jumlah tumbukan memenuhi syarat spesifikasi Bina Marga 2010 yaitu minimum 1800 kg. Semakin bertambah jumlah tumbukan maka nilai stabilitas akan semakin meningkat.

f. Nilai flow yang memenuhi syarat spesifikasi Bina Marga 2010 berada pada tumbukan 2 x 25 yaitu sebesar 5,68 mm, semakin bertambah jumlah tumbukan maka nilai kelelehan semakin menurun, namun pada tumbukan 2 x 75 nilai flow mengalami peningkatan dan turun kembali pada tumbukan 2 x 100. g. Nilai Quitient Marshall (MQ) untuk

variasi tumbukan memenuhi syarat spesifikasi yaitu sebesar 300 kg/mm


(6)

dan semakin meningkat dengan nilai tertinggi 481,64 kg/mm namum cenderung menurun kembali seiring dengan penambahan jumlah tumbukan.

2. Berdasarkan hasil pengujian Marshall secara keseluruhan, maka parameter Marshall pada campuran Asphalt Treated Base (ATB) ini memperoleh jumlah tumbukan yang optimum yaitu pada tumbukan 2 x 75 kali. Jumlah tumbukan 2x75 lebih disarankan karena pada 2x50 tumbukan nilai stabilitas rendah karena agregat masih belum terlalu rapat dan flow yang tidak memenuhi spesifikasi karena campuran yang belum terlalu padat, sehingga campuran rentan terhadap sifat plastis dan mudah berubah bentuk apabila mendapatkan beban lalu lintas. Sedangkan tumbukan 2x100 nilai stabilitas tinggi dan nilai VFA lebih tinggi yang akan mengakibatkan lapis keras mudah mengalami bleeding.

DAFTAR PUSTAKA

Bina Marga. 2010. Spesifikasi Umum 2010 (revisi 2), Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V, Yogyakarta ; Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Pt T-01-2002-B. Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementrian Pekerjaan Umum, 2013. Manual Desain Perkerasan Jalan, Jakarta.

Sukirman, S. 1999. Perkerasaan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung. Sukirman, S. 2003. Beton Aspal Campuran

Panas, Penerbit Granit, Bandung. Yulizarman,R. 2004. Pengaruh kegunaan

pasir halus sungai terhadap karakteristik campuran Asphalt Treated Base (ATB) berdasarkan uji Marshall, Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.