Multidimensional Nyeri Konsep Nyeri 1 Defenisi Nyeri

b. Jumlah reseptor periperal yang bekerja; reseptor periperal membawa informasi seperti menyentuh, menggosok, menggaruk ringan pada kulit akan menutup gerbang. c. Pesan dari otak; otak mempunyai neuron untuk mengirimkan pesan sehingga gerbang dapat terbuka atau tertutup. Cemas atau bahagia yang mempengaruhi otak dapat membuka dan menutup gerbang.

1.5 Multidimensional Nyeri

Nyeri bukanlah fenomena tunggal, namun terdapat dimensi-dimensi yang mempengaruhinya. Ahles dan koleganya 1983 dalam Harahap, 2007 mengkategorikan lima dimensi dari nyeri yang dialami. Identifikasi dimensi nyeri ini mulanya diperuntukan untuk nyeri-nyeri pada kasus-kasus kanker. Kelima dimensi ini meliputi: dimensi fisiologi, sensori, afektif, kognitif, dan behavior perilaku. Sebagai tambahan, McGuire 1987 dalam Harahap, 2007 menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi keenam dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi dari fenomena nyeri ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis dan dijelaskan sebagai berikut: 1.5.1 Dimensi Fisiologi Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organik dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke sistem saraf Davis, 2003 dalam Harahap, 2007. Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman Universitas Sumatera Utara nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan Priharjo, 1993. 1.5.2 Dimensi Afektif Dimensi afektif akan mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder 1993 dalam Harahap 2007, dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta kolega 1994 dalam Harahap, 2007 menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan signifikan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik. Mereka juga menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka semakin tinggi tingkat depresi individu tersebut. Price 1980 dalam Aydede Guzeldere, 2002 menyatakan bahwa nyeri akan membuat ketidaknyamanan pada penderita sehingga mempengaruhi psikologisnya seperti stres dan ketakutan khususnya pada penderita nyeri yang berkepanjangan. Penyakit - penyakit kronis seperti artritis, fibromialgia, nyeri pada muskuloskletal selain mengalami nyeri, dan disabilitas, juga mengalami tekanan emosional. Pada tahun 1985, publikasi oleh West Haven-Yale Multidimensional Pain Inventory mengkaji multidimensional nyeri, dan dikatakan bahwa adanya hubungan yang kuat antara depresi dan nyeri. Oleh karena itu, perlu dikaji secara Universitas Sumatera Utara komprehensif dampak psikososial dari nyeri tersebut American Psychological Association, 2006. 1.5.3 Dimensi Sosio-kultural Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain. yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya McGuire Sheidler, 1993 dalam Harahap, 2007. Kultur atau budaya memiliki peran yang kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya. 1.5.4 Dimensi Sensori Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimanan rasanya. Ahles dan koleganya 1983 dalam Harahap, 2007 menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi dari nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi McGuire Sheidler, 1993 dalam Harahap, 2007. Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor Universitas Sumatera Utara dari nyeri yang dirasakan McGuire Sheidler, 1993 dalam Harahap, 2007. Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu secara subjektif. Pasien mendiskripsikan kualitas nyeri dengan berdenyut throbbing, menyebar, menusuk pricking, terbakar, sensasi remuk crushing dan gatal. Kualitas nyeri ini seringkali tidak dapat dijelaskan digambarkan oleh pasien Potter Perry, 2005. 1.5.5 Dimensi Kognitif Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh individu terhadap proses berpikirnya atau pandangan individu terhadap dirinya sendiri Ahles et al.,1983 dalam Harahap, 2007. Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan koping individu mengahadapi nyerinya. Barkwell 2005 dalam Ardinata, 2007 melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya Ardinata, 2007. Universitas Sumatera Utara 1.5.6 Dimensi Perilaku Behavioral Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu Fordyce, 1976; 1978 dalam Harahap, 2007. Dimensi perilaku dari nyeri meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007. Orang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku seperti merintih, grimacing, rubbing, mengeluh, berjalan pincang, tidak dapat melakukan pekerjaan, tirah baring, atau perilaku lain yang menunjukkan bahwa orang tersebut sedang mengalami nyeri Fordyce, 1974 dalam Brannon Feist, 2007. Lebih jauh lagi, Fordyce 1976 dalam Harahap 2007 mengajukan bahwa perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau dapat juga direinforce oleh perhatian, suport sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang nyeri seperti: bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga.

1.6 Penanganan Nyeri