uji, didapat bahwa pada variabel intensitas nyeri tidak terdistribusi normal dengan nilai p= 0.029. Sementara pada variabel tingkat stres terdistribusi normal dengan
nilai p= 0.438. Kemudian dilakukan transform untuk menormalkan data intensitas nyeri tersebut tetapi data tetap tidak terdistribusi normal dengan nilai p= 0.016.
Dengan hasil ini, maka uji yang dilakukan untuk menganalisa kedua variabel adalah uji nonparametrik Spearman. Pada analisa data hubungan
intensitas nyeri dengan stres pasien osteoartritis di RSUP H Adam Malik Medan, didapat nilai koefisien korelasi Spearmen atau r= 0.480 dengan p=0.007.
Tabel 4. Hubungan Intensitas Nyeri dengan Stres Pasien Osteoartritis
Variabel Korelasi
Intensitas Nyeri Tingkat Stres
Intensitas Nyeri -
0.480 p=0.007 Tingkat Stres
0.480 p=0.007 -
2. PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian, peneliti membahas mengenai hubungan intensitas nyeri dengan stres pasien poteoartrtitis di RSUP H. Adam Malik Medan.
2.1 Karakteristik Demografi
Berdasarkan usia responden, sebagian besar responden merupakan kelompok usia lanjut mean= 62.3 dan min-max= 43-79
. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia ini, angka kejadian penyakit osteoartritis sering terjadi. Hal yang
sama didukung oleh Cibulka et al.,2009 menyatakan bahwa osteoartritis
Universitas Sumatera Utara
umumnya terjadi pada dewasa madya dan lansia dan yang paling sering berada
pada usia diatas 60 tahun. Kejadian penyakit osteoartritis akan meningkat seiring dengan peningkatan usia Cibulka et al.,2009.
Terkait dengan jenis kelamin, pada penelitian ini sebagian besar 90 responden berjenis kelamin perempuan. Hal ini terkait dengan penelitian
Lawrence et al.,2008 menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan merupakan salah satu faktor resiko penyakit osteoartritis dan prevalensi osteoartritis
meningkat pada jenis kelamin wanita. Hal ini disebabkan oleh kejadian menopause yang dialami oleh wanita yang menunjukkan adanya peran hormonal
pada patogenesis penyakit osteoartritis Girsang, 2009. Berdasarkan agama responden, setengah responden 53.3 beragama Kristen Protestan dan disusul
oleh agama Islam sebanyak 36.6 . Dari jumlah ini sekilas dilihat bahwa responden yang beragama Kristen Protestan lebih sering mengalami osteoartritis
dibandingkan dengan responden yang beragama lain, namun hal ini disebabkan karena kurang representatifnya responden yang beragama Islam dan Katolik.
Dalam penelitian ini tidak dijumpai adanya pengaruh agama terhadap penyakit osteoartritis. Hal ini didukung oleh penelitian Chokkhanchitchai et al.,2010,
meyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara agama Islam dan Budha dengan kejadian osteoartritis di Thailand.
Berbicara tentang latar belakang pendidikan, pengetahuan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Pengetahuan tentang kesehatan yang cukup akan
membuat seseorang menjaga kesehatannya Potter Perry, 2005. Tingkat pendidikan penelitian ini masih tergolong rendah yaitu mayoritas responden pada
Universitas Sumatera Utara
SMA 43.3 dan diikuti oleh tingkat pendidikan SMP 26.6 dan hanya 13.3 yang berpendidikan Diploma sampai Magister. Data ini menunjukkan bahwa
responden penelitian yang mayoritas memiliki tingkat pendidikan yang rendah memiliki prevalensi tinggi kejadian penyakit osteoartritis. Hal ini didukung oleh
penelitian Andrianakos et al.,2006 dimana prevalensi penyakit osteoartritis tinggi pada responden yang mempunyai pendidikan level rendah.
Pekerjaan adalah salah satu faktor resiko terjadinya osteoartritis, pekerjaan berat atau pemakaian salah satu sendi secara terus-menerus akan menjadi penentu
faktor lokasi dan penentu beratnya osteoartritis yang dialami Girsang, 2008. Pada penelitian ini didapatkan bahwa lebih dari setengah responden 60 tidak
bekerja lagi karena dipengaruhi oleh faktor usia, dimana kebanyakan responden mempunyai usia lebih dari 60 tahun dan berada pada masa pensiun. Usia diatas 60
tahun adalah usia tua, dan kebanyakan orang sudah menjalani masa pensiun dan tidak bekerja secara produktif lagi WHO, 2000.
Berdasarkan lama penyakit yang dialami oleh responden pada penelitian ini lebih dari setengah responden 56.6 mengeluhkan nyeri yang mereka alami
lebih dari 1 sampai dengan 3 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang mengalami penyakit osteoartritis mempunyai nyeri kronis Sarafino, 2006.
Penyakit osteoartritis sudah dimulai pada usia 40 tahun dan terus berkembang sampai lansia, hingga akhirnya nyeri yang dirasakan juga bersifat kronis
McCaffrey, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Penanganan nyeri para pasien osteoartritis bermacam-macam, mulai dari tidak ditangani sampai dengan pemakaian obat-obatan analgesik nonopioid dan
obat antiinflamasi nonsteroid NSAID, terapi, bahkan pengobatan alternatif. Dari penelitian didapatkan bahwa responden cenderung menggunakan obat-obatan
analgesik nonopioid dan obat antiinflamasi nonsteroid NSAID yang diberikan oleh dokter yaitu sebanyak 40 dan responden umumnya datang mencari
pengobatan ke rumah sakit karena obat-obat yang digunakan responden sudah habis. Hal ini didukung oleh Setiyohadi 2003, yang menyatakan bahwa obat-
obatan NSAID merupakan kelompok obat yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri penderita osteoartritis.
2.2 Intensitas Nyeri pada Pasien Osteoartritis
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan bersifat subjektif Muttaqin , 2008.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki intensitas nyeri sedang 73.3, kemudian diikuti oleh nyeri berat 23.3
dengan mean sebesar 6.03. Hal yang sama juga didapatkan dalam penelitian Zautra dan Smith 2001, dimana intensitas nyeri pasien osteoartritis yang
menjadi responden mereka rata-rata memiliki intenitas nyeri yang sedang yaitu dengan mean 5.2.
Felson dan Schaible 2009, menyatakan bahwa nyeri pada osteoartritis disebabkan oleh hiperalgesia dan nyeri yang menetap pada penderitanya.
Hiperalgesia yang dimaksud disini adalah adanya nyeri yang lebih kuat dari
Universitas Sumatera Utara
biasanya. Heperalgesia biasanya disebabkan oleh gerakan yang tidak dapat ditoleransi, seperti berjalan lama, aktivitas tinggi dan lain-lain. Nyeri osteoartritis
jiuga diperburuk oleh lokasi nyeri yaitu pinggul dan lutut yang merupakan sendi yang paling banyak digunakan menopang tubuh Felson Schaible, 2009. Hal
ini sesuai dengan hasil dari penelitian ini, dimana para responden yang sebagian besar mengeluhkan lokasi nyeri di pinggul dan lutut mempunyai intensitas nyeri
sedang sampai berat. Hal-hal lain seperti obesitas, rasa ketidakberdayaan, faktor psikologis dapat mempengaruhi intensitas nyeri osteoartritis Felson Schaible,
2009. Berkaitan dengan usia, banyak penelitian terakhir yang belum dapat
menjelaskan apakah ada perbedaan intensitas nyeri pada orang muda dan orang tua. Hal ini disebabkan karena terdapat faktor internal seseorang yang
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri Gagliese, 2009. International Association for the Study of Pain IASP menyatakan bahwa usia tua cenderung
mengalami penurunan respon terhadap nyeri. Hal ini berkaitan dengan perubahan- perubahan biologis yang dialami oleh lansia, seperti saraf, muskuloskletal,
kekebalan tubuh dan lain sebagainya IASP, 2006. Namun IASP 2006, juga memaparkan bahwa penurunan nyeri pada usia lanjut tidak konsisten, yaitu pada
meningkatnya nyeri pada rangsangan yang ringan. Hal ini berbeda pada penelitian Galiese 2009, yang mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
intensitas nyeri pada orang muda dan lansia. Hanya saja, lansia lebih sering mengalami nyeri daripada orang muda akibat dari penyakit-penyakit di masa tua,
sehingga nyeri pada lansia lebih umum daripada nyeri pada orang muda
Universitas Sumatera Utara
Gagliese, 2009. Pada penelitian ini responden cenderung memiliki intensitras nyeri sedang, namun terdapat juga intensitas nyeri ringan dan berat yang
menunjukkan ketidakkonsistenan responden terhadap nyeri yang dialaminya. Peneliti membedakan rata-rata intensitas nyeri yang dirasakan oleh responden usia
dewasa madya dan lansia, dan didapatkan rata-rata intensitas nyeri yang dirasakan responden lansia lebih tinggi daripada usia dewasa madya yaitu mean pada lansia
sebesar 6.3 dan 5.6 pada dewasa madya. Hal ini bertentangan dengan pernyataan IASP yang menyatakan usia lanjut memiliki respon yang rendah terhadap nyeri.
Berdasarkan jenis kelamin peneliti tidak menemukan adanya perbedaan intensitas nyeri antara jenis kelamin laki-laki dengan perempuan p= 0.400
0.005. Hal ini berbeda dengan penelitian Hallin 2003, yang mengatakan bahwa perempuan memilki persepsi terhadap nyeri lebih tinggi dari pada laki-laki.
Namun hasil penelitian ini didukung oleh Saito et al.,2012, dimana tidak terdapat perbedaan yang signifikan intensitas nyeri antara laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan agama responden tidak terdapat perbedaan intensitas nyeri
yang mencolok antara agama Kristen Protestan, Islam dan Katolik. Peneliti hanya melihat mean antara ketiga agama, dan tidak didapat nilai yang signifikan untuk
menunjukkan adanya perbedaan antara ketiganya 6.4, 5.2 dan 6.6. hal ini sesuai dengan Almeida dan Koenig 2008, menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara agama dengan nyeri, namun spiritualitas yang positif yang dimiliki seseorang digunakan sebagai koping atas nyeri yang dirasakannya.
Universitas Sumatera Utara
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh individu terhadap proses berpikirnya atau pandangan individu terhadap
dirinya sendiri Ahles et al.,1983 dalam Harahap, 2007. Tingkat pendidikan penelitian ini masih tergolong rendah yaitu mayoritas responden pada SMA
43.3 dan diikuti oleh tingkat pendidikan SMP 26.6, sedangkan intensitas nyeri yang dilaporkan yaitu intensitas nyeri sedang hingga berat. Hal ini sesuai
dengan penelitian Lal 2008 menyatakan bahwa orang-orang dengan pendidikan yang rendah mempunyai nyeri muskuloskletal yang tinggi. Tingkat pengetahuan
mempengaruhi perspektif seseorang menilai nyeri yang dirasakannya, oleh karena itu seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki pandangan
yang positif tentang nyeri dan berusaha mencari pengobatan untuk mengatasi nyeri Lal, 2008.
Nyeri kronis mempunyai pengaruh yang negatif dengan kinerja seseorang, bahkan nyeri kronis dapat menyebabkan keterbatasan melakukan
pekerjaan sehari-hari Fisher etal.,2007. Pada penelitian ini didapatkan bahwa lebih dari setengah responden 60 tidak bekerja lagi. Terkait dengan usia
responden yang mayoritas adalah lansia, peneliti tidak dapat mengasumsikan apakah responden mayoritas tidak berkerja disebabkan oleh masa pensiun atau
diakibatkan oleh nyeri kronis yang mereka rasakan. Brunner dan Suddarth 2002 menyatakan bahwa nyeri kronik adalah
nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu yang biasanya terjadi lebih dari 6 bulan.
Sama seperti defenisinya nyeri kronik, merupakan nyeri yang dirasakan dalam waktu yang lama, sehingga orang-orang
Universitas Sumatera Utara
merasakan nyeri sebagai kejadian yang umum dalam hidup mereka Portenoy Kanner, 1996.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang mayoritas 56.6 lama responden menderita penyakit osteoartritis berkisar antara 1 sampai
3 tahun dan sebagian 40 lebih dari 3 tahun mengeluhkan nyeri sedang sampai berat. Peneliti mengasumsikan bahwa terjadinya nyeri yang bersifat kronis ini
diakibatkan oleh penyakit osteoartritis yang diderita mulai umur 40 tahun dan gejala klinis yang bersifat asimtomatik, sehingga responden datang menacri
pengobatan saat penyakit sudah berjalan lama dalam hidup responden. Berkaitan dengan penanganan nyeri, penanganan secara farmaklogis
kgusunya obat-obatan NSAID merupakan kelompok obat yang banyak digunakan untuk menghilangkan nyeri kronik Kroenke, 2008. Hal ini juga didapat oleh
peneliti, bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar 40 menggunakan penanganan farmakologis. Hal ini juga didukung oleh Kroenke
2008, bahwa pada nyeri muskuloskletal obat NSAID merupakan pilihan obat yang umum digunakan. Penggunaan obat-obat NSAID ini mempunyai efek untuk
mengurangi nyeri pada osteoartitis Sarafino, 2006, namun pada penelitian ini, intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien osteoartritis berada pada tingkat
sedang samapai berat. Pada saat penelitian, peneliti mendapatkan bahwa sebagian besar responden datang mencari pengobatan pada saat obat-obat yang
dikomsumsinya sudah habis dan pada saat dikaji intensitas nyerinya, sebagian besar 73.3 menyatakan intensitas nyeri yang dirasakan berada pada tingkat
sedang dan berat 23.3. Peneliti mengasumsikan, bahwa hal inilah yang
Universitas Sumatera Utara
menjadi salah satu penyebab intensitas nyeri yang reponden laporkan berada pada level sedang sampai berat.
2.3 Tingkat Stres pada Pasien Osteoartritis
Pada penelitian ini, peneliti khusus akan melihat dimensi psikologis yang lebih mengarah kepada distress psikologis yang dialami responden yang
mempunyai nyeri osteoartritis. Hal-hal yang termasuk ke dalam distres psikologis dalam penelitian ini adalah depresi, cemas, marah, perubahan pola aktivitas,
kemampuan sehari-hari, gangguan pola tidur, perubahan makan, sosial dan spiritual.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini mempunyai tingkat stres yang sedang, yaitu dengan mean
31.6 dan min-max= 20- 45. Lebih dari setengah responden memiliki tingkat stres yang sedang 73.3 dan
diikuti oleh stres ringan sebanyak 23.3 . Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh psikologis. Adanya hubungan
stres pada nyeri kronis ini didukung oleh Community Health Centre 2010, bahwa stres dapat berasal dari penyakit yang dialami oleh seseorang dan
penelitian oleh Creamer dan Hochberg 1998, juga menunjukkan bahwa 49 wanita yang mengalami osteoartritis lutut memiliki semangat yang rendah bahkan
sangat rendah dalam menghadapi kehidupannya. Berdasarkan usia responden yang sebagian besar 56.6 adalah lansia,
peneliti mengasumsikan bahwa stres sedang dan ringan yang dialami responden disebabkan karena sebagian besar responden menganggap penyakit yang mereka
Universitas Sumatera Utara
derita adalah penyakit biasa di masa tua, akibatnya responden tidak menganggap nyeri sebagai sesuatu yang dapat membuat mereka mengalami stres yang berat.
Hal ini sesuai dengan pernyataan yang menyatakan bahwa semakin tinggi usia seseorang, dia akan cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri karena
sudah terbiasa dengan nyeri yang dirasakannnya Brunner Suddarth, 2001. Hal ini juga didukung oleh Birditt 2005 yang menyatakan bahwa lansia memiliki
tingkat emosional yang rendah dan jika dibandingkan dengan usia yang muda, lansia memiliki tingkat stres yang lebih rendah.
Tingkat stres dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, yang didukung oleh Stroud, Salovey dan Epel 2002 menyatakan bahwa perempuan lebih mudah
mengalami depresi dan perubahan mood dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian tingkat stres, dimana mayoritas 90 adalah
perempuan, peneliti tidak menemukan tidak ada perbedaan tingkat stres antara perempuan dan laki-laki p= 0661 0.005. Peneliti mengasumsikan, hal ini dapat
terjadi karena jumlah responden laki-laki yang kurang representatif, sehingga tidak dapat dilihat perbedaan tingkat stres yang signifikan antara laki-laki dengan
perempuan. Agama ataupun spritualitas secara kuat mempengaruhi stres sesorang.
Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya koping yang efektif pada sesorang dengan spritualitas yang baik Newton McIntosh, 2010. Dalam penelitian ini
didapatkan tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat stres pada ketiga agama responden. Hal ini dapat dilihat dari mean tingkat stres agama Kriten Protestan
sebesar 31.65, agama Islam sebesar 31 dan agama Katolik sebesar 34 dan agama
Universitas Sumatera Utara
Katolik yang tinggi ini diakibatkan oleh jumlah responden yang beragama katolik yang tidak representatif.
Tingkat pengetahuan mempengaruhi kesehatan seseorang dan mempengaruhi perpektif seseorang melihat status kesehatannya Potter Perry,
2005. Hal ini tidak sesuai dengan hail penelitian ini, dimana tingkat pendidikan
mayoritas responden adalah SMA 43.3 dan diikuti oleh tingkat pendidikan SMP 26.6, sedangkan tingkat stres antara ringan dan sedang.
Masa tua adalah masa yang mempunyai resiko tinggi terhadap stres, selain adanya penyakit-penyakit degeneratif, stres juga didapat dari tidak adanya
perkerjaan dan berada pada masa pensiun Fishkin, 2008. Pada penelitian ini, sebagian besar responden 60 tidak bekerja lagi, yang diasumsikan peneliti
akibat masa pensiun dan akibat nyeri osteoartritis dan tidak adanya pekerjaan para responden ini, akan mempengaruhi tingkat stres responden dalam penelitian ini.
Nyeri kronik yang merupakan nyeri berlansung lebih dari 6 bulan sangat menggangu kehidupan sehari hari mengakibatkan kemarahan terhadap diri
sendiri sehingga dapat mengakibatkan stres American Psychological Association, 2011. Pada penelitian ini, mayoritas responden 56.6 mengalami lama
penyakit osteoartrisi 1 sampai 3 tahun, diikuti lebih dari 3 tahun sebanyak 40. Nyeri kronik yang merupakan gejala utama penyakit osteoartritis pada penelitian
ini menyebabkan distres psikologis yang sesuai dengan penelitian Geerlings et al.,2002 yang menyatakan adanya depresi pada lansia yang mengalami nyeri
kronik.
Universitas Sumatera Utara
Pada kuisioner tingkat stres pernyataan dengan nilai paling tinggi adalah pernyataan-pernyataan yang menanyakan tentang respon terhadap nyeri yaitu
semagat hidup dan spiritual dan pernyataan yang paling rendah yang merupakan
pernyataan tentang tidak dapat berkonsentrasi terhadap aktivitas ringan setiap harinya akibat nyeri. Hal ini sesuai dengan penelitian Lame et al., 2005 yang
menyatakan bahwa rendahnya kualitas hidup orang yang mengalami nyeri kronik. Pada kuisioner tingkat stres, pernyataan dengan nilai paling tinggi adalah
pernyataan-pernyataan yang menanyakan tentang respon terhadap nyeri yaitu depresi, emosi, pola tidur, spiritual, sosial, dan gangguan fisik. Hal ini
menunjukkan nyeri yang dialami responden dalam penelitian ini sangat berpengaruh dengan hal-hal diatas. Hal ini didukung oleh penelitian Zaza dan
Baine 2002, dimana faktor psikologis terhadap nyeri kronis adalah perubahan mood, depresi, distres, cemas, marah dan takut.
2.4 Hubungan Intensitas Nyeri dengan Stres Pasien Osteoartritis
IASP International Association for the Study of Pain menyatakan, bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensional. Defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa nyeri berkaitan dengan psikologis terutama stres.
Berdasarkan dimensi afektif dan dimensi kognitif dari nyeri dinyatakan bahwa pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau
gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta kolega
Universitas Sumatera Utara
1994 dalam Harahap, 2007 menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik. Mereka juga
menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka semakin tinggi tingkat depresi individu tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dengan stress, dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi
sedang yaitu r = 0.480 dan p = 0.007, artinya pasien osteoartritis dengan intensitas nyeri yang tinggi akan mempunyai tingkat stres yang tinggi dan sebaliknya pasien
dengan intensitas nyeri rendah akan menunjukkan tingkat stres yang rendah juga. Adanya hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dengan stres
didukung oleh Stanos 2005, bahwa hubungan yang kuat antara nyeri dengan faktor psikologis seperti depresi terjadi karena adanya proses modulasi nyeri yang
dialami seseorang. Stanos 2005 juga menambahakan bahwa 5-87 orang-orang denagn nyeri kronis akan mengalami perubahan pada psikologis.
Hal ini sesuai dengan penelitian Geerlings et al.,2002 yang menyatakan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara nyeri yang persisten dan depresi
pada usia lanjut yaitu sebesar B = 0.28, SE = 0.06,p 0.001. Didukung juga oleh penelitian Verbunt, Pernot dan Smeets 2008 pada penderita fibromyalgia,
didapatkan bahwa nyeri yang dialami pasien fibromyalgia sangat berhubungan dengan penurunan kualitas hidup mereka terutama pada distres psikologisnya.
Hasil penelitiannya menunjukkan saat nyeri tinggi pada pasien fibromyalgia, kualitas hidup penderita rendah
β= -0.360 p = 0.02.
Universitas Sumatera Utara
Nyeri kronik sangat memepengaruhi kehidupan seseorang tertama kuaitas hidupnya, dengan adanya nyeri kronik akan membuat terbatasnya
aktivitas, gangguan tidur, depresi, kesehatan yang semakin menurun menyebabkan tingkat stres yang berat pada penderitanya Chapman, 2010. Oleh
karena itu penderita nyeri konis harus mempunyai koping yang efektif terhadap nyeri yang menetap yang dialaminya agar kesehatannya tidak semakin memburuk
Aritonang, 2010.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data, dapat diambil kesimpulan dan saran tentang hubungan intensitas nyeri dengan stres paada pasien osteoartritis di
RSUP Haji Adam Malik Medan
1. Kesimpulan