2. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah: a.
Bagaimana intensitas nyeri yang dialami oleh pasien osteoartritis? b.
Bagaimana tingkat stres yang dialami pasien osteoartritis? c.
Bagaimanakah hubungan antara intensitas nyeri dengan stres pada pasien osteoartritis?
3. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah : Terdapat hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dengan stres pasien
osteoartritis.
4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a.
Mengidentifikasi intensitas nyeri pasien osteartritis. b.
Mengidentifikasi tingkat stres pasien osteoartritis. c.
Mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara stres dengan intensitas nyeri pasien osteoartritis.
5. Manfaat penelitian
a. Bagi praktek keperawatan
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang signifikansi antara intensitas nyeri dengan stres pasien osteoartritis. Hal ini akan memudahkan
Universitas Sumatera Utara
perawat dalam melakukan pengkajian nyeri dan stres agar dapat melakukan manajemen nyeri dan manajemen stres yang tepat sehingga
dapat membantu mengurangi keluhan nyeri pada pasien osteoartritis. b.
Bagi pendidikan keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan akan digunakan oleh pendidikan
keperawatan sebagai bahan bacaan ilmiah di perpustakaan dan tambahan pengetahuan bagi mahasiswa keperawatan tentang hubungan intensitas
nyeri dengan stres. c.
Bagi penelitian keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dipergunakan sebagai data dan bahan
referensi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan nyeri, stres dan penyakit osteoartritis.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dengan penelitian ini.
1. Konsep Nyeri 1.1 Defenisi Nyeri
Nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain Kozier Erb, 2009. Menurut Muttaqin
2008, nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan bersifat subjektif. Nyeri merupakan
gejala luas dari penyakit yang sering dikeluhkan dalam praktek medis, biasanya disebut sebagai penyebab dari disabilitas, serta yang menjadi alasan utama untuk
mencari pengobatan maupun perawatan medis Karoly P, 1985 dalam Sarafino, 2006.
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis tubuh yang betujuan untuk melindungi diri. Perilaku seseorang akan berubah apabila ia merasakan nyeri.
Misalnya pada seseorang yang kakinya terkilir akan menghindari mengangkat beban yang berat untuk mencegah cedera yang lebuh lanjut Potter Perry,
2005. Dikatakan bersifat individual karena respon individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak dapat disamakan satu dengan yang lainnyaAsmadi, 2008.
Semua nyeri adalah nyata, meskipun ada beberapa nyeri yang tidak diketahui apa
Universitas Sumatera Utara
penyebabnya. Hal inilah yang mendasari bahwa keberadaan nyeri itu hanya berdasar pada laporan pasien yang mengalaminya Brunner Suddarth, 2002.
1.2 Klasifikasi Nyeri
Menurut Kozier dan Erb 2009 ada dua jenis nyeri yang umum diketahui yaitu :
1.2.1 Nyeri Akut
Potter dan Perry 2005 menyatakan bahwa nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang
cepat dan intensitas yang bervariatif ringan sampai berat dan berlangsung pada waktu yang singkat. Respon fisik dari nyeri akut yaitu; menangis, waspada,
mengerutkan dahi, mengeluh sakit Prasetyo, 2008. Nyeri ini bertujuan untuk tanda peringatan setelah terjadi cedera pada tubuh disertai dengan tanda objektif
dari aktivitas sistem saraf otonom dan mempunyai penyebab tunggal serta dapat dilihat. Contoh penyebab nyeri akut yaitu : trauma, pembedahan, infeksi, fraktur,
pankreatitis, obstruksi usus Oman et al.,2008. Pada umumnya nyeri akut bersifat temporer, berlangsung kurang
dari 6 bulan 3-6 bulan dapat berhenti tanpa terapi atau berkurang sejalan dengan penyembuhan jaringan. Menghilangkan penyebab nyeri, istirahat, pemberian
analgetik juga akan dapat membantu mengatasi nyeri akut. Kegagalan terapi nyeri akut dapat menimbulkan nyeri kronik Moeliono, 2008.
1.2.2 Nyeri Kronis
Brunner dan Suddarth 2002 menyatakan bahwa nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri
Universitas Sumatera Utara
kronis tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sulit untuk diobati karena tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri kronik biasanya terjadi lebih dari 6 bulan dan semakin memburuk dengan berjalannya waktu dan jarang disertai gejala dari sistem saraf
simpatis. Biasanya penyebab dari nyeri ini lebih dari satu penyebab dan gejala serta intensitasnya tidak masuk akal Oman et al.,2008.
Contoh penyakit yang dapat menyebabkan nyeri kronik adalah nyeri kanker, arthritis, euralgia terminal dan lain-lain. Respon psikologis dari nyeri ini
biasanya pasien mengalami depresi, keputusasaan, mudah tersinggung atau marah, serta menarik diri Prasetyo, 2010.
1.3 Fisiologi Nyeri
Menurut Torrance dan Serginson 1997, ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut
konektor atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri
dihantarkan ke sumsum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh.
Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Noresiptor adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada
stimulus yang kuat, yang secara potensial dapat merusak. Stimuli tersebut bisa mekanik, termal, kimia Brunner Suddarth, 2002. Stimulus pada jaringan akan
merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin,
Universitas Sumatera Utara
histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak Torrance
Serginson, 1997. Harahap 2007 membagi timbulya nyeri menjadi 4 proses, yaitu:
1.3.1 Transduksi Transduction
Transduksi adalah proses dari stimuli nyeri yang diubah ke bentuk yang dapat diakses oleh otak Turk Flor, 1999 dalam Harahap, 2007. Proses
transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini nociceptor
merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan Ardinata, 2007.
1.3.2 Transmisi transmission
Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi
melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar Davis, 2003 dalam Ardinata 2007. Kedua
saraf ini akan memasuki dorsal horn dari sumsum tulang belakang lalu memasuki thalamus dan terakhir di korteks serebral Casasola, 2007.
1.3.3 Modulasi Modulation
Modulasi adalah aspek penting dalam proses yang terjadinya nyeri. Proses ini menggambarkan perubahan pada sistem saraf, dimana nyeri yang
diterima secara selektif akan dihambat sehingga nyeri yang akan diterima dimodulasi. Terdapat sistem endogen yang berasal dari tubuh yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menghambat transmisi nyeri Casasola, 2007. Proses modulasi melibatkan sistem neural yang kompleks. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi
impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari sistem saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya
impuls nyeri ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor Turk Flor, 1999 dalam Ardinata, 2007
1.3.4 Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir dimana ada interpretasi subjek terhadap nyeri. Terdapat dua komponen yaitu komponen sensori yang
mengklasifikasikan stimulus sebagai nyeri, intensitas nyeri, dan lokasi dari nyeri itu. Komponen yang kedua adalah komponen afektif yang berhubungan dengan
mengingat nyeri atau pengalaman nyeri Casasola, 2007. Faktor psikologis, emosional, dan berhavioral perilaku akan muncul sebagai respon dalam
mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang melibatkan multidimensional
Ardinata, 2007.
1.4 Teori Nyeri
Ada beberapa teori tentang mekanisme nyeri yaitu : 1.4.1
Teori Spesivitas Specivicity Theory Teori ini menjelaskan bahwa reseptor-reseptor spesifik nyeri dari
jaringan tubuh dibawa ke pusat otak Price Wilson, 2005. Prinsip teori ini adalah : 1 reseptor somatosensorik adalah reseptor yang mengalami spesialisasi
Universitas Sumatera Utara
untuk berespon secara optimal terhadap satu atau lebih tipe stimulus tertentu dan, 2 tujuan perjalanan neuron aferen primer dan ascendens merupakan faktor kritis
dalam membedakan sifat stimulus di perifer Price Wilson, 2005. 1.4.2
Teori Pola Pattern Theory Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989. Teori
pola ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat stimulasi reseptor yang
menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom, dan neuralgia teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat
mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana rangsangan dengan intensitas
rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri Lewis, 1983 dalam Harahap, 2007. 1.4.3
Teori Gerbang Kendali Nyeri Gate Control Theory Tahun 1960-an, Ronald Melzack dan Patrick Wall memperkenalkan
teori gerbang kendali nyeri. Menurut teori ini cornu dorsalis medula spinalis tepatnya di substansi gelatinosa, menjadi gerbang dari stimulasi nyeri untuk
masuk ke otak Sarafino, 2006. Impuls nyeri dihantarkan saat pertahanan dibuka dan impuls nyeri dihambat saat pertahanan tertutup Potter Perry, 2005. Teori
ini terdiri dari tiga faktor Sarafino, 2006 yaitu : a.
Jumlah reseptor nyeri yang bekerja; semakin kuat stimulasi nyeri yang ada semakin banyak reseptor yang bekerja dan akan mebuka
gerbang substansi gelatinosa.
Universitas Sumatera Utara
b. Jumlah reseptor periperal yang bekerja; reseptor periperal
membawa informasi seperti menyentuh, menggosok, menggaruk ringan pada kulit akan menutup gerbang.
c. Pesan dari otak; otak mempunyai neuron untuk mengirimkan
pesan sehingga gerbang dapat terbuka atau tertutup. Cemas atau bahagia yang mempengaruhi otak dapat membuka dan menutup
gerbang.
1.5 Multidimensional Nyeri
Nyeri bukanlah fenomena tunggal, namun terdapat dimensi-dimensi yang mempengaruhinya. Ahles dan koleganya 1983 dalam Harahap, 2007
mengkategorikan lima dimensi dari nyeri yang dialami. Identifikasi dimensi nyeri ini mulanya diperuntukan untuk nyeri-nyeri pada kasus-kasus kanker. Kelima
dimensi ini meliputi: dimensi fisiologi, sensori, afektif, kognitif, dan behavior perilaku. Sebagai tambahan, McGuire 1987 dalam Harahap, 2007
menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi keenam dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi dari fenomena nyeri ini
saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis dan dijelaskan sebagai berikut:
1.5.1 Dimensi Fisiologi
Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organik dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah
menginfiltrasi ke sistem saraf Davis, 2003 dalam Harahap, 2007. Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman
Universitas Sumatera Utara
nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi
sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan Priharjo, 1993.
1.5.2 Dimensi Afektif
Dimensi afektif akan mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakanya. Menurut McGuire dan Sheilder 1993 dalam Harahap 2007,
dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan
psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta kolega 1994 dalam
Harahap, 2007 menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan signifikan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik. Mereka juga
menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka semakin tinggi
tingkat depresi individu tersebut. Price 1980 dalam Aydede Guzeldere, 2002
menyatakan bahwa nyeri akan membuat ketidaknyamanan pada penderita sehingga mempengaruhi psikologisnya seperti stres dan ketakutan khususnya
pada penderita nyeri yang berkepanjangan. Penyakit - penyakit kronis seperti artritis, fibromialgia, nyeri pada
muskuloskletal selain mengalami nyeri, dan disabilitas, juga mengalami tekanan emosional. Pada tahun 1985, publikasi oleh West Haven-Yale Multidimensional
Pain Inventory mengkaji multidimensional nyeri, dan dikatakan bahwa adanya hubungan yang kuat antara depresi dan nyeri. Oleh karena itu, perlu dikaji secara
Universitas Sumatera Utara
komprehensif dampak psikososial dari nyeri tersebut American Psychological Association, 2006.
1.5.3 Dimensi Sosio-kultural
Dimensi sosio-kultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat istiadat, agama, dan faktor-faktor lain. yang berhubungan yang
dapat mempengaruhi persepsi dan respon seseorang terhadap nyerinya McGuire Sheidler, 1993 dalam Harahap, 2007. Kultur atau budaya memiliki peran yang
kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya.
1.5.4 Dimensi Sensori
Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimanan rasanya. Ahles dan koleganya 1983 dalam Harahap,
2007 menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri. Lokasi dari nyeri memberikan
petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi McGuire
Sheidler, 1993 dalam Harahap, 2007. Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori.
Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya.
Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat.
Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor
Universitas Sumatera Utara
dari nyeri yang dirasakan McGuire Sheidler, 1993 dalam Harahap, 2007. Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya
dirasakan individu secara subjektif. Pasien mendiskripsikan kualitas nyeri dengan berdenyut throbbing, menyebar, menusuk pricking, terbakar, sensasi remuk
crushing dan gatal. Kualitas nyeri ini seringkali tidak dapat dijelaskan digambarkan oleh pasien Potter Perry, 2005.
1.5.5 Dimensi Kognitif
Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh individu terhadap proses berpikirnya atau pandangan individu
terhadap dirinya sendiri Ahles et al.,1983 dalam Harahap, 2007. Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan
koping individu mengahadapi nyerinya. Barkwell 2005 dalam Ardinata, 2007 melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan
melaporkan nyeri lebih rendah dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan
pasien yang menganggap nyerinya adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi
respon seseorang terhadap nyeri dan penanganannya. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya,
apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya Ardinata, 2007.
Universitas Sumatera Utara
1.5.6 Dimensi Perilaku Behavioral
Seseorang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku tertentu Fordyce, 1976; 1978 dalam Harahap, 2007. Dimensi perilaku dari nyeri
meliputi serangkaian perilaku yang dapat diobservasi yang berhubungan dengan nyeri yang dirasakan dan bertindak sebagai cara mengkomunikasikan ke
lingkungan bahwa seseorang tersebut mengalami atau merasakan nyeri Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007.
Orang yang mengalami nyeri akan memperlihatkan perilaku seperti merintih, grimacing, rubbing, mengeluh, berjalan pincang, tidak dapat melakukan
pekerjaan, tirah baring, atau perilaku lain yang menunjukkan bahwa orang tersebut sedang mengalami nyeri Fordyce, 1974 dalam Brannon Feist, 2007.
Lebih jauh lagi, Fordyce 1976 dalam Harahap 2007 mengajukan bahwa perilaku nyeri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau dapat juga direinforce oleh
perhatian, suport sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang nyeri seperti: bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga.
1.6 Penanganan Nyeri
Menurut Brunnerth Suddarth 2002 ada dua cara untuk penanganan nyeri yaitu intervensi farmakologis dan intervensi nonfarmakologis. Penanganan
nyeri membutuhkan pendekatan yang individual untuk memutuskan itervensi mana yang dibutuhkan oleh pasien.
Universitas Sumatera Utara
1.6.1 Intervensi Farmakologis
The American Geriatrics Society 2009 menyebutkan ada empat jenis agen farmakologis yang digunakan untuk menangani nyeri yaitu : analgesik
nonopioid dan obat antiinflamasi nonsteroid NSAID, analgesik opioid, analgesik adjuvant obat tambahan dan jenis obat lainnya.
NSAID digunakan dalam mengobati nyeri artritis, nyeri pascaoperasi, dan nyeri berat lainnya. Obat nonopioid terdapat dua obat yang
efektif dalam penanganan nyeri osteoartritis yaitu NSAID dan Acetaminophen, namun NSAID lebih efektif dalam menghilangkan nyeri osteoatritis dalam jangka
pendek dari pada Acetaminophen The American Geriatrics Society, 2009. NSAID menurunkan nyeri dengan menghambat produksi prostadglandin dari
jaringan-jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi Brunner Suddarth, 2002.
Di sisi lain analgesik opioid merupakan pilihan yang tepat untuk beberapa pasien dengan nyeri sedang dan berat. Analgesik opioid sering
digunakan pada pasien kanker dan digunakan pada waktu yang relatif lama, oleh karena itu pemakaian analgesik ini perlu mempertimbangkan efek samping yang
merugikan The American Geriatrics Society, 2009. Adjuvan meliputi antidepresan, antikonvulsi, dan agen-agen lainnya
yang meghilangkan gejala lain terkait nyeri, seperti depresi dan mual Brunner Suddarth, 2002. Obat-obat lain yang dipelajari belakangan ini dapat mengurangi
nyeri antara lain kortikosteroid, relaksan otot, Benzodiazepin, Kalsitonin dan
Universitas Sumatera Utara
Bispophospat, Analgesik topikal dan Cannabin The American Geriatrics Society, 2009
1.6.2 Intervensi Nonfarmakologis
Intervensi nonfarmakologis sering dilakukan oleh perawat yang merupakan pendekatan kesehatan holistik dalam mengatasi nyeri Potter Perry,
2005. Beberapa cara nonfarmakologis dalam penanganan nyeri yaitu : a.
Sentuhan teraupetik Mackey 1995 dalam Potter Perry, 2005 menyatakan bahwa
sentuhan teraupetik merupakan pengembangan dari praktek kuno “meletakkan tangan” oleh Kunz dan Krieger. Pendekatan ini
menyatakan bahwa pada individu yang sehat, terdapat keseimbangan antara aliran energi di dalam tubuh dan di luar
tubuh. Sentuhan teraupetik menggunakan tangan untuk pertukaran energi. Brunner dan Suddarth 2002 menjelaskan
bahwa cara ini berhubungan dengan teori gate control yang menyatakan bahwa dengan adanya sentuhan di kulit akan
membantu penutupan gerbang terhadap impuls nyeri. Masase merupakan tehnik sentuhan yang umum yang dapat membuat
pasien lebih nyaman. b.
Terapi Dingin dan Panas Merupakan metode yang menghasilkan panas dan dingin untuk
penanganan akut atau kronik nyeri muskuloskletal Dureja, 2006. Terapi es dapat menurunkan prostadglandin dan
Universitas Sumatera Utara
menghambat proses inflamasi dengan cara es diletakkan pada tempat cedera. Sedangkan terapi panas bertujuan untuk
meningkatkan aliran darah ke tempat yang cedera sehingga mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan Brunner
Suddarth, 2002. Terapi panas untuk nyeri muskuloskletal dapat meningkatkan suhu pada kulit, meningkatkan aliran darah,
mengurangi kaku sendi dan otot kejang Dureja, 2006. c.
Distraksi Pemfokusan perhatian pasien pada sesuatu yang lain selain nyeri
yang dialaminya. Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri, akan lebih
toleransi terhadap nyeri yang dirasakannya Brunner Suddarth, 2002. Sistem aktivasi retikular menghambat stimulasi nyeri jika
seseorang menerima masukan sensori dan akan merangsang tubuh meghasilkan endorphin yang membuat seseorang kurang
menyadari nyeri yang dialaminya Potter Perry, 2005. Tehnik ini efektif untuk nyeri ringan sampai sedang dan
berpengaruh dalam waktu yang relatif singkat. Aktivitas dalam tehnik distraksi ini yaitu : bernyanyi, berdoa, mendengarkan
musik, menonton, bermain dan lain-lain Potter Perry, 2005. d.
Tehnik relaksasi Relaksasi otot skletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Penelitian
Universitas Sumatera Utara
membuktikan relaksasi efektif pada penurunan nyeri pada nyeri punggung dan pascaoperasi. Tehnik relaksasi yang sederhana
meliputi pernafasan perut dengan frekuensi lambat sambil menghitung dalam hati. Pasien juga dapat memejamkan mata dan
bernafas dengan perlahan dan nyaman. Metode relaksasi efektif pada nyeri kronis dengan periode yang teratur Brunner
Suddarth, 2002. e.
Imajinasi terbimbing Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang
dalam suatu cara yang dirancang khusus untuk mencapai efek positif tertentu Brunner Suddarth, 2002. Pasien menciptakan
sesuatu dalam pikiran dan berkonsentrasi pada hal tersebut sehingga secara bertahap nyeri berkurang. Perawat membimbing
pasien untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang menyenangkan seperti pemandangan yang indah, pengalaman yang menarik
sehingga dapat menurunkan nyeri. Apabila pasien merasa terganggu dan tidak nyaman, maka perawat harus menghentikan
tindakan tersebut Potter Perry, 2005.
1.7 Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri menunjukkan seberapa banyak nyeri yang dialami seseorang. Pasien biasanya mampu mendeskripsikan intensitas nyeri yang mereka
rasakan dalam wakru yang relatif cepat Jensen Karoly, 1992. Intensitas nyeri
Universitas Sumatera Utara
sering diungkapakan dengan menggunakan kata-kata seperti ‘tidak ada nyeri’, ‘ringan’, ‘sedang’, ‘berat’ atau bisa juga menggunakan skoring untuk
menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan Harahap, 2007. Mengkaji nyeri tidak hanya sebatas menilai intensitas nyeri, kualitas nyeri, dan durasi nyeri,
tetapi, mengkaji nyeri juga mempertimbangkan pengaruh dan respon nyeri tersebut terhadap orang yang mengalaminya Harahap, 2007.
Ada 3 pengukuran intensitas nyeri yang sering digunakan yaitu, Verbal Rating Scale VRS, Numeric Rating Scale NRS, dan Visual Analogue Scale
VAS. Penilaian yang jarang dipakai adalah Behavior Rating Scale BRS, skala gambar, skala box, dan Descriptor Differential Scale DDS Jensen Karoly,
2008. Harahap 2007 menambahkan McGill Pain Questionaire MPQ dan Brief Pain Inventory BPI sebagai skala yang lengkap yang biasa juga digunakan
dalam mengukur nyeri. Pada osteoartritis pengukuran nyeri yang digunakan cukup banyak
meliputi Visual Analogue Scale VAS, Numeric Rating Scale NRS, Neuropathic pain Scale NPS, McGill Pain Quistionare MPQ, The Western
Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis Index WOMAC yang menilai tiga dimensi yaitu nyeri, kekakuan, dang fungsi fisik. Selain itu the Brief Pain
Inventory BPI yang biasa digunakan pada nyeri kanker dapat juga digunakan pada nyeri osteoartritis. Terdapat juga The Health Assessment Questionnaire
HAQ dan The Disease Activity Score DAS merupakan alat yang mengukur nyeri pada osteoartritis Neugebauer et al 2007.
Universitas Sumatera Utara
1.7.1 Verbal Rating Scale VRS
VRS adalah skala pengukurang nyeri yang menggunakan kata-kata sifat deskriptif untuk menggambarkan nyeri yang dirasakan.VRS biasanya
disusun atas tingkatan intensitas nyeri. Intensitas nyeri yang diungkapkan dimulai dari ‘tidak ada nyeri’ no pain sampai “nyeri hebat” extreme pain. VRS
merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5 poin yaitu none tidak ada nyeri
dengan skore “0”, mild kurang nyeri dengan skore “1”, moderate nyeri yang sedang dengan skore “2”, severe nyeri keras dengan skor “3”, very severe
nyeri yang sangat keras dengan skore “4”. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok
untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan Jensen Karoly, 1992.
Tidak Nyeri
Nyeri Nyeri
Nyeri yang nyeri ringan
sedang berat
tak tertahankan 1.7.2
Numeric Rating Scale NRS NRS adalah pengukuran nyeri yang sering digunakan dalam
pengukuran nyeri dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala
numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol 0 merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh 10, suatu nyeri yang sangat hebat Brunner
Suddarth, 2002.
Universitas Sumatera Utara
1.7.3 Visual Analogue Scale VAS
VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap
ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” nyeri hebat. Pasien diminta untuk
menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien Jensen Karoly, 1992.
Tidak ada Nyeri yang
nyeri tidak tertahankan
1.7.4 Verbal Numerical Rating Scale VNRS
Sama seperti VAS hanya diberi skor 0-10, dengan 0 merupakan tidak ada nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-7 nyeri sedang dan 8-10 merupakan nyeri paling
buruk Mc Kinney et al, 2000 dalam Rabi’al, 2009
Universitas Sumatera Utara
1.7.5 McGill Pain Quistionare MPQ
Ronald Melzack 1975 dalam Sarafino, 2006 membuat kuisioner ini dan membuatnya dalam bentuk skoring, dan pengukuran ini adalah pengukuran
nyeri yang kompleks. Gambar dibawah ini terdiri dari empat bagian: 1 gambar nyeri, 2 indeks nyeri, 3 pertanyaan-pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan
lokasinya; dan 4 indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini. Pengukuran ini meliputi tiga aspek yaitu afektif, sensorik dan evaluasi dari nyeri yang dirasakan
Melzack Torgeson, 1971 dalam Sarafino, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Gambar: Kuesioner Nyeri McGill MPQ
Universitas Sumatera Utara
2. Konsep Stres 2.1 Defenisi stres
Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan
kemampuan untuk mengatasinya yang menentukan apakah kita tidak merasakan stres, merasakan distres, atau eustres Terry Olga, 2004. Selye 1976 dalam
Potter Perry, 2005, menyatakan bahwa stres adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk merespons atau
melakukan tindakan. Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut dengan
stresor atau stresor dapat juga diartikan kejadian atau peristiwa yang menantang. Stresor menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan
tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kebutuhan kultural Sarafino, 2006; Potter Perry,
2005. Stresor dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu stresor internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang sseperti keadaan
demam dan menstruasi, sedangkan stresor eksternal berasal dari luar seperti lingkungan Potter Perry, 2005.
Ketika seseorang mengalami stres, banyak sistem organ di dalam tubuh yang dipengaruhi, baik sistem organ dalam tubuh maupun eksternal yang dapat
dilihat. Sistem yang paling umum dipengaruhi adalah sistem saraf, sistem pernafasan, endokrin, kekebalan tubuh, kekebalan tubuh dan saluran pencernaan.
Reaksi seseorang terhadap stres berbeda-beda dan unik dipengaruhi oleh sikap
Universitas Sumatera Utara
dan pengetahuan. Namun sikap yang positif diperlukan agar dapat menghasilkan solusi yang tepat terhadap situasi yang negatif. Sikap yang positif berguna untuk
mengontrol diri dan tindakan Yoder Nobbe, 1995. Lebih lanjut lagi, stres dapat mempengaruhi seseorang dalam
memandang hidup, menggangu kehidupan sosial, kesehatan atau dengan kata lain stress mempengaruhi semua dimensi hidup seseorang Potter Perry, 2005.
Hans Selye, seorang pelopor peneliti stres pada tahun 1930-an membagi stres menjadi tiga Terry Olga, 2004, yaitu:
2.1.1 Eustres
Eustres adalah respon stres ringan yang menimbulkan rasa bahagia, senang, menantang, dan menggairahkan. Dalam hal ini tekanan yang terjadi
bersifat positif, misalnya lulus dari ujian, atau kondisi ketika menghadapi perkawinan Terry Olga, 2004.
2.1.2 Distres
Merupakan respon stres yang buruk dan menyakitkan, sehingga tidak mampu lagi diatasi. Distres seringkali dihubungkan dengan frustasi, ketakutan,
kecemasan, atau segala perasaan buruk yang dialami Terry Olga,2004. 2.1.3
Optimal stres Optimal stres atau neustres adalah stres yang berada antara eustres
dengan distres, merupakan respon stres yang menekan namun masih seimbang sehingga seseorang merasa tertantang untuk menghadapi masalah dan memacu
untuk lebih bergairah, berprestasi, meningkatkan produktivitas kerja dan berani bersaing Terry Olga, 2004.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Sumber Stres
Klinic Community Health Centre 2010, menyebutkan ada empat sumber pada manusia yang dapat menyebabkan stres, yaitu :
2.2.1 Lingkungan
Lingkungan dapat menganggu dengan kuat dan menuntut banyak persaingan. Contoh stresor lingkungan: cuaca, kebisingan, kepadatan, polusi, lalu
lintas, dan kejahatan Klinic Community Health Centre, 2010. Kondisi lingkungan seperti yang telah disebutkan, sangat menggangu kehidupan seseorang
yang berpotensi menimbulkan stres Sarafino, 2006. 2.2.2
Stresor sosial Kita dapat mengalami stres yang timbul dari beberapa tuntutan peran
sosial yang berbeda kita tempati, seperti orang tua, pasangan, saudara karyawan. Contoh stres sosial: masalah keuangan, masalah pekerjaan, perselisihan, tuntutan
atas waktu dan perhatian, perceraian, kehilangan orang yang dicintai Klinic Community Health Centre, 2010.
2.2.3 Fisiologis
Merupakan situasi dan kondisi yang berasal dari dalam diri seseorang yang mempengaruhi tubuh dan dapat menimbulkan stres Sarafino,
2006. Contoh stres fisiologis pertumbuhan yang cepat dari remaja, menopause, penyakit, penuaan, melahirkan, kecelakaan, kurang olahraga, gizi buruk, dan
gangguan tidur Klinic Community Health Centre, 2010.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Pikiran
Otak dapat menafsirkan dan merasakan situasi yang kita alami seperti stres, kesulitan, nyeri, bahkan sesuatu yang menyenangkan. Beberapa
situasi dalam hidup dapat memicu adanya stres, tetapi pikiran dapat menentukan situasi mana yang dapat menimbulkan masalah atau tidak Klinic Community
Health Centre, 2010.
2.3 Respons Terhadap Stres
Ketika otak merasakan bahwa situasi tertentu akan menjadi stres, otak akan mengirimkan “alarm” pesan melalui saraf. Hormon untuk mempersiapkan
tubuh untuk melawan atau menghindari. Adaptasi fisiologis tubuh terhadap stres adalah mempertahankan tubuh dalam keadaan seimbang. Mekanisme utama untuk
mengontrol stresor adalah medula oblongata, formasi retikular, dan kelenjar hipofisis Potter Perry, 2005.
Tanda dan gejala seseorang yang mengalami stres antara lain cemas, khawatir, panik, kesedihan bahkan depresi dan tertekan. Orang-orang yang
mengalami stres juga mengalami kesulitan berkonsentrasi dan membuat keputusan. Gejala fisik yang mungkin timbul meliputi masalah pada saluran
cerna, sakit kepala, nyeri dada, alergi, dan asma. Stres juga mempengaruhi kehidupan seseorang untuk terlalu banyak makan atau terlalu sedikit makan.
Merokok, minum, alcohol bahkan memakai narkoba adalah dampak dari stres American Psychological Ascociation, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Potter dan Perry 2005 ada dua respon stres, yaitu : 2.3.1
Respon Fisiologis Dr.
Walter B. Cannon 1987 seorang psikolog yang
memperkenalkan respon stres “fight or flight response” sebagai respon tubuh untuk menghadapi ancaman bahaya Klinic Community Health Centre, 2010.
Selanjutnya Selye 1946, 1976 dalam Potter Perry 2005 menyatakan ada dua respon fisiologi terhadap stres yaitu :
a. Local Adaptation Syndrome LAS.
LAS merupakan respon dari jaringan, organ atau bagian tubuh yang mengalami stres karena trauma, penyakit, atau perubahan
fisiologis lainnya. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah, penyembuhan luka, repon terhadap tekanan dan respon terhadap
cahaya Potter Perry, 2005. Ada dua jenis respon setempat : pertama yaitu, respon refleks nyeri, merupakan respon sistem saraf
pusat terhadap nyeri dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Contoh : menghindarkan tangan dari tusukan jarum, keram
otot. Kedua yaitu respon inflamasi, merupakan respon yang di stimulasi oleh infeksi atau trauma. Respon ini menghambat
inflamasi dan meningkatkan penyembuhan Potter Perry, 2005. b.
General Adaptation Syndrome GAS. Merupakan respon fisiologis seluruh tubuh terhadap stres, melibatkan sistem tubuh
terutama sistem saraf dan endokrin Potter Perry, 2005. Selye 1946, dalam Feist Rosenberg, 2010 menyebutkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
GAS adalah jumlah dari semua nonspesifik, reaksi sistemik dari tubuh yang mana terjadi setelah lama terrpapar oleh stres. GAS
terdiri atas tiga tahap reaksi yaitu reaksi alarm, tahap resisten, dan tahap kehabisan tenaga Potter Perry, 2005.
Pertama yaitu reaksi alarm alarm reaction; terjadi ketika tubuh tanggap terhadap ancaman lingkungan yang mempengarui
hipotalamus, hipofisis, sistem saraf simpatis dan medula adrenal. Hal ini mempersiapkan tubuh untuk melakukan respon “fight or
flight” Feist Brannon, 2007. Aktivitas saraf simpatis yang meningkat dalam tubuh menimbulkan banyak perubahan fisiologis
dalam tubuh seperti frekuensi jantung meningkat, metabolisme meningkat, peningkatan frekuensi pernafasan, dan sebagainya.
Reaksi alarm ini dapat terjadi selama beberapa menit sampai jam, namun jika stresor menetap akan berkembang ke tahap yang kedua
Potter Perry, 2005. Tahap yang kedua yaitu tahap resisten resistance stage, pada
tahap ini tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan drah dan yang lainnya kembali ke keadaan normal Potter
Perry, 2005. Selama tahap ini seseorang akan menunjukkan perilaku yang normal, namun fisiologis di dalam tubuh terganggu.
Stres yang berkepanjangan dalam tahap ini berpotensi menimbulkan penyakit Feist Brannon, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakberhasilan mengatasi stres pada tahap kedua, maka tubuh akan memasuki tahap yang ketiga.
Tahap ketiga yaitu kehabisan tenaga exhaustion stage, yaitu ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan ketika energi yang
diperlukan sudah menipis. Tubuh tidak mampu mempertahankan diri terhadap stresor, dan jika berkepanjangan dapat berakibat fatal
karena tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresorPotter Perry,2005; Feist Rosenberg,
2010. 2.3.2
Respon Psikologis Respon psikologis dapat menimbulkan frustasi, ansietas, dan
ketegangan Kline-Leidy, 1990 dalam Potter Perry, 2005. Perilaku ini dapat mempengaruhi seseorang untuk memecahkan masalah, berorientasi pada realitas,
serta menghadapi situasi yang berat dalam kehidupan Potter Perry, 2005. Stres fisik dan psikologis, yang terjadi secara terus -menerus dapat mengakibatkan
kemarahan terhadap diri sendiri bahkan bagi orang lain serta sangat menggangu kehidupan sehari hari, oleh karena itu, diperlukan pengelolaan nyeri dan
pengelolaan stres akibat nyeri secara bersamaan American Psychological Association, 2011.
2.4 Pengukuran Stres
Menurut Safarino 2006 terdapat tiga jenis pengukuran stres, yaitu Psysiological Arousal, Life Events, dan Daily Hassles. Reaksi stres dari tubuh
Universitas Sumatera Utara
diukur dengan psysiological arousal dengan perlatan elektronik yang menampilkan pengukuran tekanan darah, pernafasan, detak jantung. Pengukuran
life events mengacu pada peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada kehidupan seseorang yang mengukur derajat penyesuaian psikologis Sarafino, 2006.
Gangguan-gangguan kecil yang berpotensi menimbulkan stres diukur dengan Daily hassles yang dibuat oleh Richard Lazarus Kanner et al.,1981 dalam
Sarafino, 2006. Pengukuran stres yang berhubungan dengan nyeri dapat diukur dengan
Pain Centered Outcomes Quistionnare, yang mengukur nyeri, kelelahan dan emosi distress, dan Multidimensional Pain Inventory MPI mengukur nyeri,
dampaknya, respon nyeri, dan dampak terhadap kehidupan sehari-hari University of Florida Health Science Center, 2010. Patient Distress Checklist merupakan
pengukuran stres pada pasien kanker yang mengukur dampak psikologis dari penyakit kanker, nyeri, dan pengobatan yang didapatkan. Pengukuran ini
dekembangkan oleh Universitas Calgari, Kanada American Cancer Society, 2010.
3. Konsep Osteoartritis 3.1 Defenisi Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang dan ditandai oleh
adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian Price Wilson, 2002. American College of
Universitas Sumatera Utara
Rheumatology ACR mendefenisikan osteoartritis sebagai penyakit sendi yang bejalan secara lambat dan progresif yang sering mengenai dewasa madya hingga
lansia, disebabkan oleh kerusakan rawan sendi sehingga merusak tulang yang mendasarinya sehingga memyebabkan nyeri sendi, kaku sendi, bengkak, krepitus,
dan penurunan fungsi pergerakan dan biasanya mengenai sendi-sendi pada tangan, tulang belakang, kaki dan pinggul ACR, 2010.
3.2 Patofisiologi Osteoartritis
Berdasarkan penyebabnya osteoartritis diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis
primer disebut idiopatik karena disebabkan faktor genetik yaitu dengan adanya abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak. Sedangkan osteoartritis sekunder
adalah penyakit yang didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma, imobilitas yang terlalu lama serta faktor
risiko lainnya, seperti obesitas dan sebagainya Maharani, 2007. Selama ini osteoartritis sering dipandang sebagai akibat dari proses
penuaan dan tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa osteoartritis merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan
struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui Soeroso, 2006. Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk proteoglikan dan kolagen pada
rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal mensintesis matriks yang berkualitas dan tidak mampu memelihara keseimbangan antara degradasi dan
sintesis matriks ekstraseluler termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X
Universitas Sumatera Utara
yang berlebihan dan sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada diameter dan orientasi dari serat kolagen
yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya Maharani, 2007.
Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis osteoartritis, terutama setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak
nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases MMPs dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam
rongga sendi dan merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan
terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik rawan sendi Girsang, 2008. Peningkatan enzim-enzim yang merusak matriks tulang rawan sendi
mengakibatkan terjadi kerusakan fokal tilang rawan sendi secara progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan sendi Mansjoer et
al.,2001. Osteoartritis disebut sebagai penyakit degeneratif
karena dengan bertambahnya usia terjadi perubahan rawan sendi glikosiaminoglikan menjadi
memendek sehingga kemampuan proteoglikan untuk menahan air menjadi berkurang. Hal ini akan mengakibatkan fungsi rawan sendi sebagai bantalan
terhadap beban sendi akan berkurang. Selain itu jaringan kolagen juga menjadi patah-patah yang mengakibatkan timbulnya fisur pada rawan sendi Girsang,
2008.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Faktor Resiko
Ada beberrapa faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit osteoartritis Mansjoer et al.,2001 yaitu :
3.3.1 Usia
Faktor resiko yang paling utama pada penyakit osteoartritis adalah usia, biasanya mengenai dewasa madya hingga lansia, tetapi sering pada usia
diatas 60 tahun Cibulka et al.,2009. Prevalensi dan beratnya osteoartritis akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur, namun seperti yang dijelaskan di
atas, bahwa osteoartritis bukan terjadi akibat pertambahan usia saja, tetapi juga bisa terjadi akibat perubahan pada rawan sendi Girsang, 2008.
3.3.2 Jenis kelamin wanita
Prevalensi osteoartritis meningkat pada jenis kelamin wanita Lawrence et al.,2008. Penelitian terhadap faktor resiko ini dilakukan oleh
Tepper and Hochberg 1993, dalam Cibulka et al.,2009 dengan perbandingannya jelas yaitu 3,2 : 3 . Diperkirakan hal ini terjadi akibat perbedaan bentuk
pinggul antara pria dan wanita Cibulka et al.,2009. 3.3.3
Presdisposisi genetik Faktor herediter juga berpengaruh terhadap kejadian osteoartritis,
misalya pada seorang ibu dengan osteoartritis pada sendi interfalang, maka kemungkinan anaknya berpeluang 3 kali lebih sering untuk terrkena penyakit
yang sama Girsang, 2008.
Universitas Sumatera Utara
3.3.4 Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko osteoartritis yang dapat dimodifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut
oleh karena itu peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan Maharani, 2007.
3.3.5 Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga
Cedera sendi pinggul akan menimbulkan perubahan retikular pada sendi sehingga berdampak pada kejadian penyakit osteoartritis Cibulka et
al.,2009. Selain itu pekerjaan berat atau pemakaian salah satu sendi secara terus- menerus akan menjadi penentu faktor lokasi dan penentu beratnya osteoartritis
yang dialami Girsang, 2008. 3.3.6
Kelainan pertumbuhan Hal ini berhubungan dengan osteoatritis primer, sehingga kelainan
kongenital dan pertumbuhan akan dapat menyebabkan osteoartritis pada usia muda Girsang, 2008.
3.4 Gambaran Klinis
Gambaran klinis osteoartritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama bila sendi digerakkan atau bila menanggung beban. Nyeri sendi bervariasi mulai dari
ringan sampai berat, bertambah saat aktivitas dan berkurang saat beristirahat. Pasien sering mengeluhkan nyeri yang berpusat pada tulang belakang dan
bertambah berat ketika digerakkan; rasa nyeri ini hampir selalu disertai dengan
Universitas Sumatera Utara
keluhan rasa kaku dan keterbatasan gerakan Girsang, 2008; Price Wilson, 2006; Isselbacher et al.,1999.
Secara umum ada tiga gejala klinis pada osteoartritis, yaitu : 3.4.1
Nyeri dan kekakuan pada satu atau lebih sendi, biasanya pada tangan, pergelangan tangan, kaki, lutut, spina bagian atas dan bawah, panggul dan
bahu. Nyeri dapat berkaitan dengan rasa kesemutan atau kebas, terutama pada malam hari Corwin, 2008.
3.4.2 Pembengkakan sendi yang terkena, disertai penurunan rentang gerak
dan deformitas pada sendi Corwin, 2008. 3.4.3
Pembengkakan tulang hipertrofi dapat berkembang dan ikut mempengaruhi pada gerakan yang normal. Hipertrofi tulang terlihat dengan
sangat jelas pada persendian interphalangeal distal nodus Herbeden yang banyak ditemukan pada wanita, persendian interphalangeal proximal nodus Bouchard,
dan persendian karpometakarpal yang pertama jari jempol kaki Corwin, 2008.
3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan osteoartritis haruslah bersifat multifokal dan individual. Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mencegah atau menahan kerusakan
yang lebih lanjut pada sendi tersebut dan untuk mengatasi nyeri dan kaku sendi guna mempertahankan mobilitas Price Wilson, 2002. Ada dua
penatalaksanaan pada osteoartitis, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
3.5.1 Terapi Nonfarmakologis
Terapi non obat terdiri dari edukasi, penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi kerja. Pada edukasi, yang penting adalah meyakinkan pasien untuk
dapat mandiri, tidak selalu tergantung pada orang lain. Walaupun osteoartritis tidak dapat disembuhkan, tetapi kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.
Penurunan berat badan merupakan tindakan yang penting, terutama pada pasien- pasien obesitas, untuk mengurangi beban pada sendi yang terserang osteoartritis
dan meningkatkan kelincahan pasien waktu bergerak Maharani, 2007. Suatu penelitian oleh Messier 2000 yang diikuti 21 penderita osteoatritis yang
mengalami obesitas, kemudian mereka melakukan penurunan berat badan dengan cara diet dan olah raga. Setelah diikuti selama 6 bulan, dilaporkan bahwa pasien-
pasien tersebut mengalami perbaikan fungsi sendi serta pengurangan derajat dan frekuensi rasa nyeri.
Terapi fisik dan terapi kerja bertujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas optimal dan tidak tergantung pada orang lain. Terapi ini
terdiri dari pendinginan, pemanasan dan latihan penggunaan alat bantu. Dalam terapi fisik dan terapi kerja dianjurkan latihan yang bersifat penguatan otot,
memperluas lingkup gerak sendi dan latihan aerobik. Maharani, 2007 Terapi konservatif mencakup penggunaan kompres hangat, upaya
untuk mengistirahatkan sendi serta menghindari penggunaan sendi yang berlebihan. Penggunaan alat-alat ortotik untuk menyangga sendi yang mengalami
inflamasi juga dapat dilakukan untuk menangani osteoartritis Brunner Suddarth, 2002.
Universitas Sumatera Utara
3.5.2 Terapi farmakologis
Sama seperti terapi non farmakologis, terapi ini juga bertujuan untuk menurunkan nyeri, meningkatkan fungsi sendi dan meningkatkan kualitas hidup
penderita osteoartritis McCool, 2001. Ada beberapa cara yang dilakukan pada terapi ini yaitu :
a. Analgesik oral
American College of Rheumatology 2000 merekomendasikan penggunaan parasetamol pada nyeri osteoartritis ringan hingga
sedang, karena aman penggunaanya dan baik digunakan pada pasien berumur tua. Selain itu penggunaan acetaminophen, ibuprofen, juga
telah terbukti efektif pada penanganan nyeri osteoartritis ACR, 2000. Pada nyeri sedang dan berat diberikan NSAID dan COX-2
Cyclo-oxygenase 2 McCool, 2001. b.
Glukosiamin dan Kondroitin sulfat, walaupun masih diperdebatkan tetapi pada penelitian mampu mengurangi nyeri dan
pada pemakaian jangka panjang mampu melindungi kerusakan rawan sendi secara efektif Girsang, 2008.
c. Injeksi Intraartikuler, yang bertujuan mengganti komponen caira
sinovial, yang mampu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi McCool, 2001. Beberapa injeksi yang dipakai pada
penanganan osteoartritis adalah injeksi Intraartikuler kortikosteroid dan Hyaluronic acid Kennedy et al.,2010.
Universitas Sumatera Utara
d. Pengobatan topikal, sering digunakan untuk mengurangi nyeri
ringan samapi sedang pada osteoartritis. Pengobatan topikal yang sering digunakan antara lain obat topikal NSAID dan Capsaici
McCool, 2001. 3.5.3
Pembedahan Penatalaksanaan osteoartritis juga bisa melalui pembedahan , yaitu
dengan penggantian total sendi lutut dan pembedahan ini dilakukan jika pasien mengalami nyeri yang tidak tertahankan serta kehilangan fungsi Brunner
Suddarth, 2002.
4. Hubungan Intensitas Nyeri dengan Stres
Safarino 2006 menyatakan bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara kesehatan dengan stres. Ada dua cara yang menghubungkan keterkaitan ini,
pertama stres yang mempengaruhi perilaku seseorang agar mudah terkena penyakit, contohnya seseorang dengan stres tinggi akan mengkomsumsi banyak
makanan sehingga menimbulkan obesitas. Kedua stres mempengaruhi fisiologis seseorang yaitu respon fisiologis yang berlebihan sehingga menimbulkan penyakit
Sarafino, 2006. Jika dihubungkan dengan nyeri batasan defenisi yang dikemukakan oleh
IASP International Association for the Study of Pain adalah, pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan
yang aktual dan potensional. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa nyeri berkaitan dengan psikologis baik depresi maupun ansietas Kasjmr, 2003.
Berdasarkan dimensi afektif dan dimensi kognitif dari nyeri dinyatakan bahwa pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau
gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya. Buckelew, Parker, dan Keefe beserta kolega
1994 dalam Harahap, 2007 menemukan bahwa keparahan nyeri berhubungan dengan kondisi depresi individu yang mengalami nyeri kronik. Mereka juga
menyatakan bahwa semakin berat nyeri yang dialami, maka semakin tinggi
tingkat depresi individu tersebut. Price 1980 dalam Aydede Guzeldere, 2002.
Barkwell 2005 dalam Ardinata, 2007 melaporkan bahwa pasien yang berpendapat nyerinya sebagai suatu tantangan melaporkan nyeri lebih rendah
dengan tingkat depresi yang rendah juga dan disertai dengan mekanisme koping yang lebih baik jika dibandingkan dengan pasien yang menganggap nyerinya
adalah sebagai hukuman atau sebagai musuh. Nyeri kronik adalah stres fisik dan psikologis, serta ketidaknyamanan ini jika
terjadi secara terus – menerus dapat mengakibatkan kemarahan terhadap diri sendiri bahkan bagi orang lain serta sangat menggangu kehidupan sehari hari.
Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan nyeri dan pengelolaan stres akibat nyeri secara bersamaan American Psychological Association, 2011.
American Psychological Association 2011, menyebutkan beberapa cara untuk mengelola stres pada nyeri kronik, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
4.1 Mengatasi stres
Nyeri dan emosi berkaitan erat, sehingga nyeri yang terus – menerus dapat mengakibatkan peningkatan stres. Mengatasi stres akan membuat seseorang
lebih efektif mencari pengobatan terhadap nyeri American Psychological Association, 2011. Cara mengatasi stres dapat dilakukan dengan cara olahraga
teratur, humor, makanan sehat, istirahat cukup, relaksasi, spritualitas Potter Perry, 2005.
4.2 Berpikir positif
Berpikir positif adalah cara yang efektif untuk berbicara kepada diri- sendiri secara konstruktif. Contoh, berpikir bahwa nyeri yang dialami sekarang
lebih rendah akibat pengobatan, daripada nyeri yang dialami dahulu akan lebih efektif daripada memikirkan nyeri tersebut merupakan keadaan tidak berdaya dan
tidak dapat diatasi American Psychological Association, 2011. 4.3
Aktivitas fisik Terlibat dalam aktivitas-aktivitas merupakan tehnik distraksi terhadap
nyeri. Mengisolasi diri akan menumbuhkan sikap negatif dan menigkatkan persepsi nyeri. Melakukan hobi akan membantu seseorang merasa lebih baik dan
dapat berhubungan dengan baik dengan orang lain American Psychological Association, 2011.
4.4 Sistem pendukung
Sistem pendukung seperti keluarga, teman kerja akan mendengarkan dan memberikan nasihat dan dukungan emosional yang akan bermanfaat untuk
Universitas Sumatera Utara
mengurangi stres. Sistem pendukung dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan fisik serta mental Potter Perry, 2005.
4.5 Konsultasi dengan ahli
Kondisi nyeri yang tidak dapat ditangani akan membuat stres berat. Pada kondisi ini seseorang dapat konsultasi dengan profesi kesehatan dan psikolog
yang dapat membantu menangani nyeri dan kondisi psikologis American Psychological Association, 2011.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konsep